“Aaargh! Awas saja!”
Zain menggeram marah. Hatinya berdenyut sakit, membayangkan adegan romantis proses penyerahan bunga itu.
Perlahan ia berjalan mendekati meja Amisha. Tangannya terulur meraih buket bunga itu. Tidak adanya nama pengirim yang tertera pada buket bunga itu, membuat muka Zain makin kelam. Bayangan adegan romantis yang sempat melintas di pikirannya makin terlihat jelas.
“Amisha Harist! Jangan coba-coba bermain api di belakangku!” geram Zain, mencengkeram erat buket bunga itu.
“Kamu?”
Selesai menunaikan kewajibannya kepada Sang Pencipta, Amisha terkesiap melihat Zain berada dalam ruangannya, sembari memegang buket bunga dengan wajah gelap memendam amarah.
‘
“Apa yang kamu lakukan, Office boy gila?” bentak Amisha gugup.“Membuktikan ucapanmu,” sahut Zain santai, berjalan mengitari Amisha yang berdiri mematung.Ingin sekali Amisha lari sejauh mungkin untuk menghindari Zain. Namun, raganya tak mau diajak bekerja sama. Kakinya seolah terpancang mati di lantai. Tak mampu bergeser seincipun dari tempatnya berdiri.Tabuhan detak jantungnya makin bertalu-talu. Terlebih saat Zain berhenti tepat di belakangnya, berdiri begitu rapat dengannya. Tanpa sadar, Amisha mengelus dada. Berharap jantungnya tidak melompat keluar dari sana, pun Zain tak mendengar gemuruhnya.‘Bisa mati kutu aku kalau sampai Zain mendengarnya,’ batin Amisha resah.Amisha memejamkan mata, mendesah putus asa, ketika apa yang ditakutkannya benar-benar terjadi. Tubuhnya merinding saat lengan kekar Zain mengurung pinggang rampingnya, disertai gesekan pelan dagu Zain pada pundaknya.“Berhenti menyentuhku!” hardik Amisha kemudian, setelah bersusah payah mengumpulkan tenaganya.“Kenap
“U–ular ….”Amisha berjuang keras untuk berdiri dengan tenang, tanpa membuat gerakan-gerakan yang dapat memancing ular itu bertindak agresif.DOR!Suara letusan senapan terdengar lantang, bersamaan dengan jatuhnya tubuh ular itu ke tanah. Tak bernyawa.Amisha menoleh ke belakang, tempat dari mana suara senapan itu berasal. Tampak seorang lelaki memakai sepatu boot dan rompi, dengan sebuah topi yang sangat tinggi, berjalan setengah berlari ke arahnya.“Aland? Apa itu kamu?” tanya Amisha, berteriak dengan suara masih bergetar karena rasa ngeri yang masih tersisa.“Kau sudah aman sekarang!” ujar Aland, menenangkan Amisha begitu tiba di dekatnya dan memeluknya.“Aku takut! Jangan tinggalkan aku sendiri,” bisik Amisha lirih.“Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku selalu menunggumu,” sahut Aland sembari mengelus lembut punggung Amisha.Amisha balas memagut pinggang Aland dengan kedua lengan mungilnya. Ia menyandarkan kepala ke dada Aland, merasakan kenyamanan dan kehangatan mengaliri seluruh
Pukul 17.15. Mentari bersinar redup. Sekumpulan awan putih berarak pelan dihalau embusan angin. Tercerai-berai dan perlahan menipis, lalu menghilang tanpa jejak. Menyisakan warna biru teduh di bentang cakrawala, menjelang senja menyapa.Zain berdiri termangu di balkon kamarnya. Tegak membungkuk, bertopang kedua tangan pada pagar pembatas balkon, dengan jari-jari yang saling bertaut. Pandangan matanya menatap lurus ke depan. Menyapu ujung jalan. Siap menangkap gerak mobil Amisha berbelok memasuki gerbang rumahnya.Huuuh! Haaah!Zain menghela napas panjang dan dalam, kemudian mengembuskannya dengan kuat seraya berdiri tegap dari posisi semula. Diliriknya jam di pergelangan tangannya. Sudah hampir dua puluh menit ia berdiri menanti di tepi balkon. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Amisha.“Tidak biasanya dia pulang terlambat,” gumam Zain resah. Ia selalu saja mengkhawatirkan Amisha.Berpikir tentang Amisha, ingatan Zain terpaku pada kebiasaan unik istrinya itu. Ya, kebiasaan yang m
“Punyaku!” Yoshi menarik potongan daging ayam ke arahnya.“Punyaku!” Gianna menarik balik ayam itu ke dekat piringnya.“Oh My God! Kalian ini seperti anak kecil saja. Kenapa harus rebutan. Itu ‘kan masih ada potongan lainnya?” Zain yang sudah mulai geregetan melihat ulah Yoshi dan Gianna menegur mereka.“Tidak mau!” Yoshi dan Gianna menjawab kompak.“Hahaha ….” Amisha tertawa renyah menyaksikan tingkah Yoshi dan Gianna.Yoshi dan Gianna sama-sama menoleh pada Amisha, dengan kening berkerut.Zain terpesona mendengar tawa Amisha. Ia sangat suka melihat Amisha tertawa. Tawa pertama yang didengar dan dilihat Zain, setelah berbulan-bulan ia mengarungi bahtera rumah tangga bersama Amisha.“Oops! Maaf!” ujar Amisha sembari menutup mulut dengan kedua telapak tangan, menyadari tatapan aneh Yoshi dan Gianna tertuju kepadanya.“Kalian pasangan yang lucu!” cerocos Amisha santai, masih dengan sisa-sisa tawanya.“Aiiyyya … siapa bilang kami pasangan?” Gianna sewot. Ia mendelik pada Yoshi, yang diba
“Kalian mau main tidak?” hardik Amisha saat dilihatnya Zain dan Yoshi masih ogah-ogahan, telentang di atas karpet.Sejenak Zain dan Yoshi saling toleh, lalu serentak bangkit dan berseru kompak, “Oke! Ayo mulai!”Gianna melempar balok uno stacko itu kepada Yoshi, seolah memberi perintah kepada lelaki itu untuk menyusunnya.“Dasar cewek manja! Masa menyusun ini saja tidak bisa,” gerutu Yoshi, mengejek Gianna.PLAK!“Kerjakan saja! Tidak usah banyak protes!” omel Gianna, menepuk keras bahu Yoshi.“Ish! Sakit tahu!” semprot Yoshi,mengusap bekas pukulan Gianna.“Meledek lagi, giliran mulutmu yang kutabok!” ancam Gianna.“Oh My God! Kalian mau main atau mau berantem sih?” Zain mulai jengah dengan perang mulut antara Yoshi dan Gianna.“Dia yang mulai,” kilah Gianna, membela diri.Protes tersebut langsung dibalas tatapan tajam oleh Zain. Seketika Gianna bungkam.Yoshi kembali mencibir pada Gianna. Membuat mata Gianna membulat, seakan ingin keluar dari sarangnya.Setelah menentukan nomor urut,
“Kenapa harus aku? Dia sudah besar. Bisa pulang sendiri,” sahut Yoshi, seakan menolak perintah Zain untuk mengantar Gianna pulang.Padahal, dalam hati ia sangat senang mendapat kesempatan berdua dengan Gianna. Saking riangnya, jantungnya serasa mau loncat keluar dari dadanya.Namun, sedetik kemudian Yoshi seketika diam seribu bahasa dan menundukkan kepala. Tatapan Amisha menghunjam tajam kepadanya.“Aku juga tidak minta diantar sama kamu. Aku bisa panggil taksi.” Gianna juga tak mau kalah gengsi.“Gianna!” hardik Zain dan Amisha bersamaan.Gianna langsung bungkam.“Ya, ya, ya … baiklah. Kalian yang berkuasa,” ujar Gianna pasrah.Zain memberi kode kepada Yoshi dengan gerakan kepala.“Jadi, kami sudah diusir nih ceritanya?” tanya Yoshi.Ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa ia belum rela untuk meninggalkan rumah Zain.“Tidak baik anak gadis pulang terlalu larut,” sahut Zain tegas.“Oke.” Yoshi bergerak malas, diikuti Gianna.Sepeninggal Yoshi dan Gianna, Amisha bergegas mengambil vacuum c
“Jadi berangkat hari ini?” tanya Zain pada Amisha, saat mereka tengah menikmati sarapan pagi.“Terima kasih,” ujar Zain, refleks menoleh ke kiri ketika Inah tiba-tiba datang, menghidangkan secangkir kopi untuknya.“Iya,” sahut Amisha singkat, mengoles sehelai roti tawar dengan selai kacang.“Kurasa aku masih sempat mengantarmu,” imbuh Zain setelah melirik jam di pergelangan tangannya.“Tidak usah. Gianna sudah memesan jemputan bandara,” tolak Amisha halus.Ia melipat roti yang sudah diolesnya. Memegangnya dengan dua tangan, lalu memasukkan bagian sudutnya ke mulut.“Oh .…” Zain sedikit kecewa.Terkadang Amisha terlalu mandiri dan terkesan tidak membutuhkannya. Tetapi paling tidak, ia harus tetap bersyukur Amisha masih berpikir untuk minta izin padanya.“Selama kau di Kota S, aku akan kembali ke rumahku,” kata Zain, memberitahu Amisha rencananya.“Kenapa? Kamu tidak betah tinggal di sini?” Amisha mengernyit.Semenjak rumah Zain selesai direnovasi, mereka memang sepakat untuk menghabisk
Sorot mata Gianna penuh permusuhan menatap Sonny. Sementara yang ditatap tidak menyadari, kalau dirinya sedang menjadi target kebencian seorang Gianna.Melihat Amisha sangat fokus pada buku bacaannya, Sonny tak berani mengganggu Amisha, walau hati kecilnya sangat ingin menghabiskan waktu tunggu, bercakap-cakap dengan Amisha. Berulang kali ia melirik Amisha dengan desahan napas kecewa.‘Dia memang hobi membaca atau sengaja mengabaikanku?’ Hati Sonny bertanya-tanya, masih belum percaya jika Amisha benar-benar tidak mengenalinya.Tidak lama kemudian, terdengar suara panggilan agar penumpang segera naik ke pesawat.Gianna menggamit Amisha. “Ayo naik ke pesawat!”Amisha bergegas menutup bukunya dan menyimpan buku itu ke dalam tas.Begitu Amisha bangkit dari duduknya, Gianna cepat-cepat menyeret Amisha. Ia tidak ingin Amisha berjalan berdampingan dengan Sonny.“Kamu berniat membuat kakiku sakit?’ tanya Amisha, melirik tajam pada Gianna.Ia tak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba seperti or
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang