“Jadi berangkat hari ini?” tanya Zain pada Amisha, saat mereka tengah menikmati sarapan pagi.“Terima kasih,” ujar Zain, refleks menoleh ke kiri ketika Inah tiba-tiba datang, menghidangkan secangkir kopi untuknya.“Iya,” sahut Amisha singkat, mengoles sehelai roti tawar dengan selai kacang.“Kurasa aku masih sempat mengantarmu,” imbuh Zain setelah melirik jam di pergelangan tangannya.“Tidak usah. Gianna sudah memesan jemputan bandara,” tolak Amisha halus.Ia melipat roti yang sudah diolesnya. Memegangnya dengan dua tangan, lalu memasukkan bagian sudutnya ke mulut.“Oh .…” Zain sedikit kecewa.Terkadang Amisha terlalu mandiri dan terkesan tidak membutuhkannya. Tetapi paling tidak, ia harus tetap bersyukur Amisha masih berpikir untuk minta izin padanya.“Selama kau di Kota S, aku akan kembali ke rumahku,” kata Zain, memberitahu Amisha rencananya.“Kenapa? Kamu tidak betah tinggal di sini?” Amisha mengernyit.Semenjak rumah Zain selesai direnovasi, mereka memang sepakat untuk menghabisk
Sorot mata Gianna penuh permusuhan menatap Sonny. Sementara yang ditatap tidak menyadari, kalau dirinya sedang menjadi target kebencian seorang Gianna.Melihat Amisha sangat fokus pada buku bacaannya, Sonny tak berani mengganggu Amisha, walau hati kecilnya sangat ingin menghabiskan waktu tunggu, bercakap-cakap dengan Amisha. Berulang kali ia melirik Amisha dengan desahan napas kecewa.‘Dia memang hobi membaca atau sengaja mengabaikanku?’ Hati Sonny bertanya-tanya, masih belum percaya jika Amisha benar-benar tidak mengenalinya.Tidak lama kemudian, terdengar suara panggilan agar penumpang segera naik ke pesawat.Gianna menggamit Amisha. “Ayo naik ke pesawat!”Amisha bergegas menutup bukunya dan menyimpan buku itu ke dalam tas.Begitu Amisha bangkit dari duduknya, Gianna cepat-cepat menyeret Amisha. Ia tidak ingin Amisha berjalan berdampingan dengan Sonny.“Kamu berniat membuat kakiku sakit?’ tanya Amisha, melirik tajam pada Gianna.Ia tak mengerti mengapa gadis itu tiba-tiba seperti or
Amisha berdiri di belakang jendela. Menikmati pemandangan di luar sana. Sudut lain dari hotel yang saat ini sedang ditempatinya. Sebuah hotel bintang lima peninggalan era kolonial yang sangat megah, bersih, dan terawat.Hotel M menyimpan nilai sejarah yang tetap dipertahankan oleh pemerintah Kota S. Menjadi ikonik dan cagar budaya Kota S. Hotel M yang dulunya bernama hotel Yamato ini menjadi salah satu saksi sejarah pra kemerdekaan Indonesia, tempat di mana Arek-Arek Suroboyo merobek bendera Belanda.Hotel M tetap mempertahankan bentuk khas zaman kolonial yang bergaya art-deco. Sejak memasuki lobi hotel, Amisha dapat merasakan suasana zaman Belanda, seakan ia melewati dimensi waktu, dan terlempar ke masa silam. Namun, ketika matanya menyapu interior di hotel itu, Amisha sadar bahwa ia benar-benar masih berada di tanah Jawa. Semua interior di hotel itu bergaya J
“Tidak apa-apa. Hanya kemasukan debu.”Amisha mengalihkan pandangan dari tatapan Sonny.“Huh?”Sonny tahu Amisha berbohong dari suaranya yang sedikit bergetar, tetapi ia tidak ingin mengorek informasi lebih jauh, karena tampak jelas Amisha tidak ingin membicarakan itu.‘Aku butuh secangkir teh,’ kata hati Amisha.Buru-buru ia menyusul anggota rombongan lainnya untuk menikmati secangkir teh, beserta camilan pengembali stamina, setelah lelah mengitari hotel nan luas itu.Sonny lekas mengimbangi langkah kaki Amisha, dengan kening berkerut dan hati memendam sejuta tanya tentang sosok misterius Amish
Suara desing mesin penggiling saling bersambut dengan hantaman palu. Memekakkan telinga. Embusan angin menghalau debu-debu semen dan pasir-pasir halus beterbangan ke udara. Memerihkan mata, menyesakkan dada.Amisha mengawasi proses pembangunan gedung di depannya dari kejauhan. Kurang puas, ia pun makin mendekat. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, Sonny terlibat percakapan dengan sang mandor sembari mengamati denah di tangan sang mandor. Pandangan Sonny beralih ke bangunan setengah jadi itu, seraya membandingkan sekilas dengan denah.Tanpa disadari Amisha, sebilah kayu yang bersandar di dekatnya bergerak perlahan. Kehilangan posisi stabil, mendorong kayu-kayu lain ikut bergerak mengikuti gravitasi bumi.“Amisha! Awas!” pekik Sonny, saat melihat tumpukan kayu itu mulai condong ke arah Amisha.
Mendengar nama Amisha dipanggil, Zain menoleh. Ia segera menyongsong Amisha ketika melihat seorang lelaki memburu wanita itu. Senyum Zain yang semula sempat mengembang melihat kemunculan Amisha, mendadak lenyap begitu memperhatikan raut muka Amisha. Wajah istrinya itu tampak sedikit pucat dan ia berjalan dipapah Gianna.“Kau kenapa, Sweetie? Mukamu pucat sekali.” Zain sungguh cemas.“Silakan, Tuan!” ujar Gianna, menyerahkan Amisha kepada Zain. Sementara ia beranjak menuju meja resepsionis untuk mengambil kunci kamar.Sonny mengepalkan tangan ketika dilihatnya Zain merengkuh pundak Amisha dan memeluknya.“Sial! Aku terlambat,” sesalnya kesal.Zain mengusap lembut punggung Amisha dan menepuknya pelan, seperti seorang ayah yang
Rencana Gianna untuk menikmati pesona Kota S bersama Amisha sebelum kembali ke Jakarta jadi berantakan gara-gara insiden kecil yang terjadi di proyek Sonny tadi pagi. Jangankan Amisha, Gianna saja yang menyaksikan kejadian itu dari jauh, bergidik ngeri membayangkan hal buruk yang akan menimpa Amisha, kalau saja Sonny terlambat menarik Amisha.FIUH!“Terima kasih, Tuhan! Engkau masih melindungi sahabatku,” syukur Gianna, menengadah menatap langit.Ia berjalan mengitari taman hotel M yang bergaya Eropa itu. Memejamkan mata, mengusir bayang menakutkan tentang Amisha. Sesekali ia menarik napas dalam-dalam. Memenuhi rongga dadanya yang terasa sesak dengan pasokan oksigen dari tanaman hijau di taman itu.“Anda suka tempat ini, Nona Gianna?” Tiba-tiba sebuah suara memaksa Giann
“Amisha nyaris mati gara-gara aku?” gumam Sonny pelan.“Aaargh!” Sonny berteriak keras. Ia meremas rambutnya dengan frustrasi.Sementara itu, di balik sebatang pohon, Yoshi tersenyum licik menatap ponselnya, setelah mengintip Sonny sekejap. Dengan mengendap-endap, ia berjinjit meninggalkan batang pohon itu, kembali ke kamar hotel.Gianna berdiri bingung di depan pintu kamar. Ia tidak membawa kunci karena saat ia meninggalkan kamar itu, Amisha sedang berada di dalam. Beberapa kali tangannya terulur hendak mengetuk pintu, tetapi selalu diurungkannya.“Bagaimana kalau Tuan Zain sedang bersama Misha?” tanya Gianna gusar.Ia berjalan mondar-mandir seperti sebuah setrika. Akhirnya ia memilih duduk bersandar pada dinding di sa
Amisha masih tegak mematung. Dadanya kian berguncang hebat. Detak jantungnya bagai genderang perang. Sungguh! Kata-kata Zain membawa jiwanya melayang tinggi, meniti angkasa menuju nirwana. Ia tak percaya Zain melamarnya. Ya, lamaran romantis yang diimpikan semua wanita. Meskipun tertunda sekian lama, Amisha masih saja merasakan lututnya gemetar. Saking gugupnya ia mendengar lamaran Zain yang disaksikan puluhan pasang mata.Selang beberapa menit, perlahan tangan kiri Amisha terulur membelai rambut Zain. Pelangi seakan bermunculan di hatinya kala ia menganggukkan kepala, tersenyum manis kepada Zain. Rona pelangi juga memancar dari sepasang netra gelap Zain ketika menyaksikan anggukan kepala Amisha. Senyuman Zain merekah.Tepuk tangan pun membahana disertai senyum bahagia dari puluhan pasang mata yang menjadi saksi lamaran tertunda Zain untuk Amisha.Zain pun bangkit dari berlutut dan spontan memeluk erat tubuh Amisha. Sejenak ia lupa akan keberadaan anak-anak panti yang menyaksikan mere
CEKLEK!Zain menutup pintu ruang kerja Amisha dengan kaki. Tangannya langsung saja menyambar tubuh Amisha yang berada di depannya dan melingkar erat pada pinggang ramping Amisha.Amisha membuang napas kesal. Kedua tangannya jatuh lurus ke samping tubuhnya.“Ini kantor, Tuan Zain Adelino! Sekarang saatnya aku bekerja!” Amisha memberi peringatan keras.Zain hanya tersenyum kecil tanpa berusaha merenggangkan pagutan lengannya dari tubuh istrinya itu. Sebaliknya, ia malah membenamkan wajahnya pada ceruk leher Amisha yang masih berbalut jilbab.“Sebentar saja,” rengek Zain.Matanya tertutup rapat, konsentrasi menyesap aroma wangi yang menguar dari tubuh Amisha.Puncak hidungnya yang menjulang tinggi berdiri pongah, seakan ingin memamerkan pada dunia bahwa tak ada seorang pun yang melebihi ketampanannya, setelah berhasil menaklukkan Amisha Harist.“Jangan bilang kamu ingin memangsaku saat ini!” goda Amisha, menoleh pada Zain dan langsung disambut dengan kecupan ringan pada pipinya.“Oh My G
Pandangan Amisha belum beralih dari Sonny, menanti penjelasan yang tak sepenuhnya ia pahami. Diletakkannya sendok dengan sedikit kasar. Menimbulkan bunyi berdentang. Untung saja meja mereka agak terpisah dari pengunjung lain, sehingga suara dentingan sendok beradu dengan piring tak sampai terdengar ke meja tetangga.“Aku tidak suka berteka-teki,” sergah Amisha dingin.Sonny tersenyum tipis dengan canggung. Ia sangat mengenal ekspresi yang ditunjukkan Amisha. Wanita itu sedang memasang kuda-kuda untuk setiap serangan kata yang akan dilayangkan oleh lawan bicaranya.“Ya … bisa jadi suatu hari nanti yang lalu itu akan menjadi awal dari masa depan,” kata Sonny, berandai-andai sembari tetap memendam angan.Amisha menantang tatapan sendu Sonny. “Tidak usah terlalu tinggi menggantung harap akan masa depan. Nikmati saja saat ini! Karena belum tentu Tuhan masih memberimu kesempatan untuk merasakan hangatnya cahaya mentari esok pagi.”Sonny terdiam. Perkataan Amisha skak mat untuknya. Ia hanya
“Ah, sudahlah! Mungkin aku memang harus ke sana. Setidaknya, pertemuan ini akan memperjelas semuanya.” Amisha akhirnya menyambar tas di atas meja, lalu menghilang dari ruangannya. Tidak butuh waktu lama bagi Amisha untuk tiba di kafe O, tempat janji temunya dengan seseorang yang menghubunginya satu jam yang lalu. Begitu Amisha berdiri di pintu masuk, seorang lelaki melambaikan tangan ke arahnya. Amisha pun berjalan ke meja di mana lelaki itu duduk. Kalau saja siang itu sinar mentari tidak begitu beringas, Amisha akan memilih pojok paling tepi di bagian luar kafe itu. Lebih sejuk. Akan tetapi, menikmati keindahan kubah dengan kaca warna-warni pada langit-langit kafe tersebut tentu tak kalah menyenangkan bila dibandingkan dengan nuansa alam di bagian luarnya. “Silakan duduk!” kata lelaki itu, menarik kursi untuk Amisha. “Terima kasih,” sahut Amisha. Komunikasi di antara mereka terdengar seperti percakapan sepasang robot yang sedang dalam masa uji coba. Amisha mematung kaku, mema
Amisha terjaga dari tidurnya ketika mendengar suara dengungan juicer yang sedang bekerja mengolah mangga. Entah berapa tempat yang didatangi Zain sampai akhirnya dia berhasil mendapat dua buah mangga sebagai stok terakhir dari sebuah kedai buah di pinggir jalan yang buka dua puluh empat jam. Ukurannya pun tidak terlalu besar. Layaknya buah mangga yang didatangkan dari kampung. Namun, Zain tetap bersyukur ia dapat memenuhi keinginan istri tercinta yang tengah mengidam itu. Melihat senyum bahagia menghiasi wajah Amisha adalah kebahagiaan terbesar bagi Zain. Amisha beranjak turun dari sofa bed dan melangkah gontai menuju ruang makan. Sesekali ia masih menguap dan ditutupnya dengan telapak tangan. Melihat Amisha berjalan seperti orang mabuk, Zain menekan tombol off, bergegas menyongsong Amisha, lalu membawanya duduk pada sebuah kursi. Lantaran masih mengantuk, Amisha langsung menempelkan sebelah pipinya pada permukaan meja. Matanya menatap sayu pada Zain yang melanjutkan pekerjaannya.
“Waktu Amisha masih kecil, mama kalian bahkan heboh, sampai lapor polisi karena mengira Amisha kabur setelah dimarahi. Eh, ternyata Amisha cuma ngumpet di kamar pengungsiannya.” Harist terkekeh setelah menceritakan kejadian itu, tak peduli pada sorot mata membunuh yang dilayangkan sang istri sebelumnya.“Honey?!” protes Claudya, dengan muka merah. Entah benar-benar marah atau justru tersipu malu.Gianna dan Zain tersenyum geli melihat raut muka Claudya yang bak pengantin baru digoda suaminya.Meski usia mereka sudah di ambang senja, hubungan Harist dan Claudya selalu mesra. Siapa pun yang melihat mereka akan merasa hangat dan damai. Ketularan hangatnya cinta kasih mereka yang tulus terhadap satu sama lain.Enggan rasanya berjauhan dari mereka bila sudah membaur dengan dua sejoli itu. Tak jarang kemesraan mereka menimbulkan rasa iri bagi sebagian anak muda, yang tanpa sengaja menyaksikan bagaimana mereka berinteraksi di tempat umum kala mereka sedang berada di taman, di restoran, atau
Setelah pesta kecil penyambutan orang tua angkatnya selesai dan tamu mereka pulang, Gianna tetap tinggal di rumah Amisha karena diminta Claudya untuk menginap. Celakanya, Gianna memang tak pernah bisa menolak permintaan orang tua angkatnya itu, meskipun sebenarnya ia sangat ingin pulang ke apartemennya sendiri.“Waaah, gila! Lama menghilang, kukira dia melanjutkan kuliah di luar negeri. Eh, ternyata malah ditangkap polisi! Ck!” seru Gianna, mendecak kaget sambil terus menyaksikan berita yang sedang ditontonnya di ruang tengah rumah Amisha.Ia ingat, terakhir kali ia melihat sosok orang yang diberitakan itu adalah saat menghadiri pesta perayaan ulang tahun Adelino Daneswara. Sempat beredar kabar lelaki itu akan melanjutkan study-nya di luar negeri.Haris yang sedang asyik membaca majalah olahraga hanya melirik sekilas mendengar kehebohan Gianna. Bagi Harist, kumpulan artikel dalam majalah itu jauh lebih menarik daripada berita yang ditonton Gianna. Dalam hitungan detik, ia pun kembali
Merahnya darah yang mengaliri wajah cantik Amisha tak lagi membayang jelas. Berubah pias diterpa kekagetan. Kaget menyaksikan berjuta kenangan indah yang terekam dalam setiap helai foto yang baru saja ditemukannya. Tidak hanya foto-fotonya semasa kuliah bersama Gianna dan Sonny, tetapi juga foto-foto menjelang pernikahannya. Bahkan, beberapa foto itu memperlihatkan tubuhnya yang sudah terbalut gaun pengantin.Diiringi detak jantung yang bergemuruh, otak Amisha mereka ulang kejadian empat tahun yang lalu. Saat itu hijaunya hamparan sajadah panjang yang terbentang menutupi lantai masjid tak lagi melukiskan ketenangan dan kedamaian hati. Warna hijau itu telah beralih rupa menjadi kelabu. Menorehkan goresan pilu.Aura keemasan yang semula memancar cerah dari indahnya janur kuning yang jatuh menjuntai dan berayun-ayun dibelai embusan angin perlahan tampak memudar, lalu menghilang tanpa jejak.Kalau saja Amisha tahu bahwa putihnya gaun pengantin yang dikenakannya saat itu tak lagi melambang
Dulu, ketika Amisha masih menyandang status sebagai tunangan Sonny, kehidupannya penuh keceriaan. Hampir setiap hari ia senyum-senyum sendiri membaca serangkaian pesan mesra dari Sonny. Saat itu ia benar-benar bahagia dan berharap kebahagiaan itu tak akan pernah berakhir.Kala itu awal tahun 2016. Pelaksanaan akad nikah yang direncanakan keluarga mereka tinggal menghitung hari. Tak ada yang menyangka jika tepat pada hari yang ditunggu-tunggu itu semua mimpi hidup bahagia yang dimiliki Amisha lenyap tak berbekas.Saat itu Amisha hanya bisa bergeming dengan ekspresi berubah kaku. Senyuman bahagia yang terpancar dari bibirnya beberapa detik sebelumnya seakan direnggut paksa oleh berita buruk tentang ketidakhadiran Sonny di Masjid Istiqlal hari itu.Amisha merasakan dunia tempatnya berpijak amblas seketika. Menariknya masuk ke dalam lapisan kerak bumi terdalam. Membenamkan jiwa raganya dalam kekalutan pikiran yang mengantarnya pada titik nadir sikap pesimis tentang cinta.Cinta Sonny yang