Hai.. Kasih bintang 5 ya. Jangan lupa tulis komentar yang membangun. Makasih...
Senyum yang lebih mirip seringai itu masih tersungging dengan aku melangkah sedikit sempoyongan menuju ranjang Minaki terlelap. Rasa pening yang berdenyut di kepala tidak serta merta membuatku menghentikan langkah atau berbelok menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajah dengan guyuran air. Salahkan saja gaun tidur Minaki yang terlalu menggoda seperti perempuan yang mengundang perhatian lelakinya ketika akan melakukan ritual malam pertama. Aku juga lelaki normal yang memiliki hasrat dan nafsu yang masih membara penuh gejolak tak tertahan. Apalagi, setengah jiwaku dikendalikan alam bawah sadar alkohol walau aku masih cukup sadar untuk mengenali apapun. Tapi melihat Minaki terlelap dengan gaun tidur berwarna peach kalem itu seperti sebuah lambaian untuk mendekat. "Cantik." Gumamku tanpa melepas tatapan dari setengah tubuhnya yang tertutup selimut. Ah... Gaya tidurnya seperti bangsawan, anggun dan sopan. Membuatku tidak sabaran. Melepas sepatu dan hoodie sembarang, lalu tubuhku men
Tangan nakalku kembali membelai pinggang ramping Minaki. Bahkan, awalnya aku yang enggan menyentuh Minaki jika melihat kaki kecilnya pun kini seakan tidak peduli sama sekali. Nakal. Itu kata-kata yang cocok untuk kusandang setelah dengan beraninya aku mengecup pundak Minaki yang baru saja tali gaun malamnya kusingkirkan."Jay." Minaki menggeliat resah tapi nafsuku menahan tubuhnya agar tidak turun dari pangkuanku. "Aku menginginkanmu Minaki." Ucapku begitu saja karena sudah merasa sangat bergairah. "Jay, aku belum siap. Aku takut." Ingin rasanya aku memaksa Minaki tidur denganku tapi bayangan kami yang baru saja akur menghalangiku untuk memaksanya lebih jauh. Sadar dia bisa kembali terluka karena aku memaksa, akhirnya aku menurunkan tubuhnya dari pangkuan lalu menuju kamar mandi. "Sial! Aku harus bermain sendiri atau bisa gila karena pusing menahan ini semua." Tidak butuh waktu lama, menonton video panas dengan tangan bergerak nakal disekitar juniorku secara intensif, akhirnya
Hari ini Minaki kembali mengambil kursus di bagian kedua. Bukan kembali ke area Shibuya, melainkan ia, gurunya, dan Kitazawa menuju ke tempat kursus pastry di salah satu bakery ternama lainnya yang berada di Tokyo. Points of Bakery, yang berada di daerah Ginza. Sepanjang perjalanan menuju Ginza kami melewati beberapa lokasi wisata yang indah seperti Shinjuku Gyoen, Istana Akasaka, dan Istana Kekaisaran Tokyo. Bahkan aku menyuruh sopir agar sedikit memperlambat kecepatannya agar bisa melihat kemegahan atap istana itu walau tidak lama. Karena tertutup oleh pagar dan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di segala sisi istana itu. Meski Tokyo telah maju dengan segala peradabannya tetapi menjaga kelestarian peninggalan jaman kerajaan menjadi satu keharusan. Istana itu jauh lebih menarik perhatian daripada gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. "Waktu Kaisar Akihito turun takhta, upacaranya berlangsung di Aula Pinus yang dianggap paling bergengsi di Istana Kekaisaran To
Dengan segera aku menelfon Nyonya Tatsuo setelah panggilan dengan Yamada berakhir. Bukan tanpa sebab, rencana Yamada akan menyusul Minaki ke Tokyo membuat perasaanku benar-benar tidak enak. "Ayo angkatlah nyonya!" Geramku karena Nyonya Tatsuo belum mengangkat panggilanku hingga dering panggilan pertama hampir habis. "Halo Jayka." Akhirnya...."Selamat siang nyonya." "Ada apa?" "Nyonya, apa yang harus saya lakukan? Yamada akan datang kemari untuk mengacaukan perjalanan kursus Minaki." "Benarkah? Bagaimana kamu tahu?" Astaga!! Pilihan bodoh! Bukankah selama ini aku belum membuka rahasia jika aku dan Yamada berteman? Dan betapa bodohnya aku membuka kartu sendiri di hadapan Nyonya Tatsuo. "Jayka?" "Nyonya tolong beri saya saran agar bisa bergerak cepat. Urusan saya mengetahui informasi ini dari mana sepertinya akan panjang untuk dijelaskan. Saya hanya tidak mau perjalanan kursus Minaki menjadi kacau." "Memangnya ada perlu apa Yamada datang kesana?" Nada bertanya Nyonya Tatsuo s
Tidak jauh dari hotel tempat kami menginap, Minaki menjelaskan segalanya sambil kami menghabiskan waktu di teras minimarket. "Maafkan aku Jay. Aku pikir kakak bertanya dimana hotelku menginap cuma sekedar basa basi. Ternyata aku salah." Ya, Minaki lah yang mengatakan segalanya. Sehingga Yamada tahu dimana kami menginap. "Sudah lah jangan bersedih. Itu sudah terjadi." Minaki terus menangis karena kesalahan tak disengajanya. Melihat dia seperti itu aku sangat kasihan. Berkali-kali kuusap lengannya agar tenang dan berhenti menangis. Ketika jarum jam bertengger di angka hampir jam 10 malam, aku membawa Minaki kembali ke hotel. Sebelum keluar, aku mengedarkan pandangan ke kanan kiri barang kali Yamada masih berkeliaran di sekitar hotel. Syukurlah kami sampai kamar tanpa ada tanda-tanda Yamada hadir diantara kami. Setelah membersihkan diri, aku mengangkat tubuh Minaki ke atas ranjang lalu memeluknya hingga kami tertidur lelap. Semoga saja esok hari Yamada tidak kembali datang ke
Tanganku begitu gatal ingin menonjok muka mulus Yamada. Bagaimana tidak, ia mulai bermain curang dengan menyangkut pautkan kehidupan asmaraku dengan Minaki. Aku bangkit dari sofa lalu memburu tubuhnya. Mencengkeram kaosnya bagian atas dengan kuat lalu mendekatkan wajah kami. "Aku rasa tujuanmu datang kemari telah terjawab. Jadi sekarang pergilah!!" Aku menarik tubuh Yamada kasar menuju pintu kamar. "Lepas Jay! Kamu membuatku hampir tercekik bodoh!" "Diam lah Yamada! Kamu merusak acara kami." "Hey Minaki bodoh! Kalau kamu memang perempuan pintar akan kukatakan padamu jika Jayka sudah memiliki kekasih. Lalu apa kamu masih mau bersamanya?" Aku memejamkan mata dengan perasaan kesal yang teramat. Pasalnya selama ini aku sangat menghormati Minaki dengan tidak mengatakan privasiku khususnya mengenai masalah asmara. Tapi Yamada membongkarnya dalan sekejap mata. Ibarat gedung pencakar langit yang dibangun puluhan bulan langsung hancur seketika dengan sekali tabrakan singkat. "
Minaki tertunduk lalu kembali mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi putihnya. Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku bila berada dalam posisiku. Keluarga atau kekasih? Aku meraih tangannya yang memegang tisyu dan menggenggamnya erat. "Terimakasih telah melamarku sebagai surrogate sexual partner-mu. Kehidupanku berubah lebih baik, juga keluargaku yang berada di Indonesia. Sekalipun mereka tidak mengenalmu maka aku yang akan mewakilinya." "Aku tidak menyesal dengan keputusanku menjadi lelaki pemuasmu. Bahkan jika harus mengorbankan perasaan kekasihku tapi bila itu demi kesejahteraan keluargaku maka akan kulakukan." "Aku salah telah menyembunyikan banyak hal padamu tapi aku punya alasan logis mengapa melakukannya. Termasuk aku khawatir kamu mendapat cemoohan yang bisa Yamada katakan tiap kalian bertemu atau mungkin lebih dari itu." "Dan itu terbukti Jay." Ucapnya dengan sesenggukan. "Lalu, apa kamu akan membuangku setelah semua terbongkar?" "Entahlah Jay." Mataku menatap kelu
"Apa kamu tidak menelfon kembali ibumu? Barangkali ada yang perlu beliau katakan." Minaki menggeleng dengan senyum sedikit terpaksa. "Nanti saja. Aku...ingin menikmati malam ini denganmu." Minaki kembali menyandarkan kepalanya di pundakku sambil menatap indahnya rainbow bridge. "Kapan kita akan pindah ke apartemen?" "Secepatnya Jay. Kenapa?" "Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan. Tapi aku pikir Yamada tidak akan meloloskan kita begitu saja. Terutama kamu." Selain itu aku merasa cukup jengah dengan asrama kumuh TKI yang kutinggali. Minaki mengeratkan rengkuhan di lenganku. "Aku takut Jay. Aku tidak tahu harus bagaimana jika kakak datang melabrakku. Aku takut." Perasaan kasihan membuatku iba melihat Minaki jika Yamada benar-benar menghancurkan harapannya. Tanganku berpindah ke sisi lengannya lalu mengusapnya hangat. "Kita hadapi bersama- sama." Malam harinya kami kembali ke hotel setelah dengan nakalnya Minaki meminta pada petugas restoran untuk membawakannya anggur
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan