"Jangan menangis lagi. Nanti mukamu seperti bebek." Aku mencoba melucu. Minaki mendengus geli lalu mengurai pelukan kami. "Mau ke balkon?" Tawarku sambil mengusap bekas air matanya. Musim dingin hampir usai, itu artinya sebentar lagi Jepang akan menyambut musim semi. Musim dimana bunga-bunga dan beragam tanaman yang lain bermekaran di bawah sinar matahari yang menghangatkan. Begitu juga saat malam hari, bintang-bintang mulai menampakkan diri tanpa terhalang mendung meski jumlahnya belum banyak. Tapi setidaknya ini bisa kugunakan untuk membuat suasana hati Minaki berbunga kembali. "Melihat apa? Diluar gelap Jayka." "Ck... Kamu lupa jika musim dingin akan berakhir?" Minaki menepuk jidatnya. "Aku lupa. Kalau begitu ayo ke balkon." Aku menggendongnya menuju balkon dengan kursi roda yang telah kutata menghadap Dataran Ebino yang tampak gelap gulita. "Bintangnya sedikit sekali Jayka." Aku memasangkan jaket di pundaknya lalu duduk di kursi yang kuletakkan disebelahnya. "Mau
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan Minaki lebih lanjut ketika ia bertanya demikian. Mana mungkin aku melibatkan diri ke dalam masalah keluarganya. Yang ada aku bisa memperkeruh suasana karena kehadiran seorang surrogate partner dianggap hal yang menjijikkan. "Kita tidur saja bagaimana? Ini sudah hampir jam 10 malam." Aku menggendong Minaki lalu meletakkannya di atas futon miliknya. "Jayka?" "Apa?" Jawabku sambil menata futon milikku. "Apa aku boleh minta sesuatu?" "Katakan." "Bolehkah aku tidur disisimu?" Tanyanya malu-malu. Tanganku berhenti menata bantal lalu menatap Minaki. Dia pernah tidur di dadaku tapi setelahnya aku beringsut pulang setelah ia benar-benar terlelap. Aku masih memandangnya penuh pertimbangan. Pasalnya lelaki manapun pasti memiliki gejolak hasrat ketika tidur ditemani lawan jenis, meski tidak ada cinta diantara keduanya. "Kenapa Jay?" "Kamu serius?" Minaki mengangguk. "Kita pernah hampir sama-sama terbakar hasrat kalau kamu lupa Minaki. Saat ak
Tidak ada yang lebih berat selain memiliki banyak rutinitas yang padat merayap. Dengan satu tubuh, aku melakukan tiga hal secara berurutan. Bekerja di pabrik, menjadi DJ, dan melayani Minaki. Karena terlalu lelah dengan jadwal yang ada, tubuhku meronta minta diistirahatkan. Siang ini di pabrik, aku dibawa teman-teman TKI menuju klinik yang ada di dalam pabrik karena jatuh pingsan. Tadi pagi aku tidak sempat sarapan karena saat di Ebino, aku bangun kesiangan. Sehingga perjalanan kembali ke Kiyotake cukup terlambat.Beruntung, sopir Minaki bersedia mengantarku menuju pabrik. Meski setelahnya, satpam pabrik menatapku tidak percaya karena buruh sepertiku diantar sebuah mobil mewah. Setelah siuman, seorang perawat yang bertugas memberiku minum dan menyuruhku kembali beristirahat. Ia bertanya tentang keluhan yang kurasakan saat ini yang tak lain adalah lapar dan pusing. Astaga! Aku seperti manusia paling kasihan di dunia karena tidak bisa makan padahal memiliki penghasilan. Setelah mena
Keluarga. Apa itu keluarga? Jika ditanya demikian aku hanya bisa menjawab bahwa keluarga adalah tempat berbagi suka dan duka. Dan demi keluarga aku rela melakukan banyak hal agar mereka bahagia. Selama hidup, tidak pernah sekali pun aku menunjukkan taringku pada ibu dan bapak, juga kedua adik angkatku. Malah dengan susah payah aku berjuang demi menaikkan derajat mereka sebagai balas budi baik karena merawatku yang bukan darah dagingnya sendiri. Aku hanyalah seorang anak haram yang dibuang di bawah rerimbunan pohon bambu. Mungkin kedua orang tuaku tidak menghendaki keberadaanku tapi dengan seenaknya mereka menghadirkanku ke dunia tanpa pertanggungjawaban. Kini, setelah 21 tahun hidup, Nyonya Tatsuo dengan begitu lancangnya menyentuh area paling sensitif dan privasi dalam hidupku. Keluarga. Jika beliau tidak tahu, aku ingin berteriak dengan lantang jika tersinggung dengan ucapannya yang membuat jantungku berdetak keras. Sedang tangan kananku mengepal geram menahan amarah. Bil
Seorang ibu akan selalu hangat dan melakukan yang terbaik demi putrinya, meski ia harus mengorbankan jiwanya sekalipun. Kata-kata itu bukan isapan jempol semata karena Nyonya Tatsuo benar-benar mengatakan tujuan utamanya mengajakku bertemu sore ini. Amarah yang sempat beliau luapkan hanyalah intermezzo agar aku mengikuti jalannya pembicaraan. Setelah menumpahkan tangisnya karena kerendahan hatiku yang bersedia memaafkan ucapan kasarnya, Nyonya Tatsuo malah meminta satu hal tak terduga padaku. Resign dari pabrik demi menjaga Minaki. Aku diam menatap Nyonya Tatsuo dengan hati berkecamuk. Keinginan konyolnya membuatku tidak habis pikir dan dilema. Alasannya karena aku tidak mencintai Minaki dan tidak mau hidup dengannya. Aku ingin Minaki bisa hidup mandiri setelah mendapat pengarahan dan semangat hidup seperti anak pertama kali belajar mengayuh sepeda. Jatuh namun siap bangkit kembali.Dan, aku sangat mencintai Harumi. Aku ingin kembali padanya setelah tugas menjadi surrogate partne
Lorong gelap yang ada di hadapanku terlihat angker karena banyak akar-akar pohon yang menjuntai di depan pintu masuknya. Begitu memandang ke atas, yang terlihat hanya pepohonan menjulang tinggi dengan daun super lebat. Hingga sinar matahari tidak bisa menembus sampai ke permukaan tanah yang dipenuhi dedauanan dan ranting kering. Suara keras hewan kecil yang tak nampak mata menggema di hutan belantara diikuti kabut tipis yang mendinginkan suasana. Hanya dengan memakai kaos putih tipis dan celana panjang, aku mendekati lorong gelap itu perlahan. Lalu sebuah kilat cahaya merah terlihat dari dalam. Baru selangkah menapaki mulut lorong, teriakan seorang wanita meminta tolong terdengar dari atas. Lalu kuurungkan niat memasuki lorong karena ingin membantu wanita itu. Tidak berapa lama ia terjerembab di hadapanku dengan seorang lelaki membawa parang sedang mengejarnya. "Jangan bunuh aku Jer." Mohonnya dengan bersimbah air mata sambil berusaha berdiri. "Kamu layak dibunuh!""Aku hamil ana
Hubunganku dengan Minaki jika dijabarkan secara profesional hanya sebatas terapis-klien atau surrogate partner-nya. Namun juga bertugas menjaga dan membangkitkan semangatnya saat down atau lari dari masalah keluarga yang kerap memojokkannya. Seperti tempo hari, aku menemaninya hingga Ebino untuk menenangkan diri dari amukan keluarga mengenai rencana pernikahan kakaknya. Minaki tidak setuju dengan syarat yang diajukan calon keluarga kakak iparnya lalu mereka marah. Lalu, karena kondisi kesehatanku menurun, aku menyuruh sopir Minaki kembali ke Ebino setelah menurunkanku di asrama. Lebih baik aku mengistirahatkan diri di asrama dengan ditemani Rinto, begitu rencanaku. Tetapi, semuanya tidak berjalan sesuai rencana setelah memastikan siapa yang tengah duduk di teras lantai satu sambil mengobrol banyak hal. Bahkan salah satunya mulai menembakkan busur rayuannya dan itu membuatku muak. Tidak kuat terus berdiri dengan bersandar pada tembok, akhirnya aku menampakkan diri dengan cara yan
Aku menatap lagit-langit kamar sambil merebahkan tubuh. Ada yang berbeda dengan perasaanku saat melihat Rinto dan Minaki bersenda gurau dengan lepasnya. Keduanya penyuka humor dan saat bertemu bagai bulan dan bintang, saling melengkapi satu sama lain. Harusnya aku berbahagia karena dengan begitu pekerjaan menjadi surrogate partner Minaki akan segera berakhir. Aku bisa kembali fokus pada masa depan dan cinta Harumi tanpa ada lagi pengkhianatan. "Jak, kamu udah lama kenal Minaki ya?" Tanya Rinto yang baru saja merebahkan diri di atas futon. Aku diam, pura-pura tidak mendengarnya."Jak?""Apa sih Rin?!" Merasa risih dengan pertanyaan Rinto, aku malah memunggunginya. "Kamu bohong Jak." "Bohong apa?""Minaki masih single."Aku memejamkan mata namun tidak merubah posisi. Akhirnya apa yang tadi sempat kukhawatirkan terjadi juga. Minaki mengakui statusnya di depan Rinto sedang aku pernah berbohong jika Minaki sudah memiliki tunangan. "Aku cuma nebak Rin, soalnya dia pernah dijemput cow
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan