Yamada menatapku tajam. "Apa jawabanmu Jayka?" Aku berpikir keras dan cepat ketika tatapan tajamnya masih menghunus netraku. "Kamu juga sama sampahnya dengan Matsushima." Gumamnya kesal. "Aku akan mempertahankan kekasihku." Ucapku cepat. "Aku tidak peduli dengan perkataan orang atau apapun itu. Dia kekasihku, pilihan hatiku yang bisa membuatku bahagia." Matsushima menepuk wajahnya setelah mendengar ucapanku. Dia duda yang menyedihkan, dan aku tidak mau mengikuti jejaknya. Yamada tersenyum kecut. "Kamu benar benar teman sejati Jayka. Baru kali ini ada yang berkata begini, tetap menyuruh mempertahankan tunanganku. Tidak seperti Kamura dan yang lain." "Jangan minum lagi, lebih baik kamu pulang sebelum benar benar mabuk." Yamada kembali terduduk dengan menyandarkan punggung dan memejamkan matanya. Matsushima menggeleng. "Dia sudah lumayan mabuk Jay." "Kamu bisa mengantarnya Shima." "Denganmu." Aku menggeleng. "Besok aku harus bekerja di pabrik. Kecuali kamu membebaskan jam ke
Sekarang sedang hari libur, aku menyempatkan bervideo call dengan kekasihku Harumi yang tengah di rumah orang tuanya. Wajahku masih kumal, karena baru bangun tidur. "Bangunlah Jayka, sudah jam berapa ini?" Harumi nampak di luar rumah dengan menggunakan jaket bulu tebal. Semalam aku bermain PS dengan Rinto hingga menjelang pagi. Minaki? Entahlah dia tidak mengirim pesan sama sekali seharian kemarin. Bahkan ucapan selamat pagiku saja tidak dibalas. Mungkin dia sedang sibuk, pikirku. "Apa sayang, aku masih sangat mengantuk." Ucapku serak. "Bermain salju akan sangat menyenangkan Jayka. Keluarlah." Dia terlihat cantik dengan memegang bola salju di tangannya. Musim dingin mulai menurunkan saljunya. Begitu juga di sekitar asramaku. "Tidak sayang, aku mengantuk." "Hari ini kamu akan kemana?" "Mungkin di asrama seharian, membuat kopi, dan menunggu kamu kembali memelukku." Gombalku. Harumi terkekeh. "Dasar gombal, minggu depan tidur di asramaku ya Jay?" "Iya sayang, nanti kamu yang
"Disana rupanya kamu gadis nakal." Gumamku dengan amarah yang siap meledak. Aku berjalan cepat dengan mata tetap tertuju pada sosok Minaki yang tengah membelakangiku dengan kursi roda yang ia duduki. Gemuruh amarah dalam dada seakan siap dimuntahkan bagai lahar panas saat gunung Krakatau mengguncang Banten. Di hari tenangku, Minaki membuatku kesetanan mencarinya. Belum lagi mamanya, Nyonya Tatsuo, terus meronta meminta bantuan mencari putri tercintanya yang tidak tahu diri ini. 'Sudah cacat masih aja berulah.' Begitulah batinku berujar kasar. Bahkan aku tidak peduli lagi dengan ancaman karma karena menghina orang tidak sempurna seperti Minaki. Aku berdiri di sebelahnya tepat dengan tatapan bagai busur tombak. "Jayka." Dia mendongak manatapku dengan raut sedih dan terlukanya. Jika ini adalah bagian dari drama novela yang Minaki rancang, maka jawabannya adalah salah besar. "Pulang." Ucapku tegas, datar, dan mungkin menusuk relung hatinya. Minaki menunduk dan menggeleng lemah
Selesai membayar tagihan makan siang, aku menuntun kursi roda Minaki menuju penginapan yang ia tempati semalam. Rasa penasaran bagaimana Minaki bisa sampai kesini pun menyeruak. Aku membetulkan jaket tebalnya yang sedikit miring lalu kembali menuntun kursi rodanya. "Siapa orang yang kamu sewa untuk membawamu hingga ke Kumamoto?" Minaki menoleh sekilas. "Seseorang yang kumintai tolong secara acak di media sosial." "Wow.... rupanya kamu berani sekali." Minaki menggeleng. "Aku... takut tapi keadaan yang memaksa Jay." "Keadaan yang memaksa? Maksudnya?" "Aku bukan gadis pemberani yang berani menatap dunia luar dengan keterbatasan fisik ini Jayka. Aku melakukan ini karena tidak tahan dengan kondisi di rumah yang terlalu emosional." "Apa ini masalah keluarga?" "Iya." "Mau berbagi cerita?" Ada sebuah tempat duduk di depan penginapan Deals yang ditempati Minaki di jalan Chuo Ward Sakuramachi. Kuposisikan kursi roda dengan baik lalu duduk disebelahnya. "Mau berbagi cerita atau la
Minaki, Nyonya Tatsuo, dan asisten rumah tangganya sedang duduk menunggu di peron stasiun Kita-Kumamoto. Dan aku masih melakukan isi ulang kartu Suica untuk melanjutkan perjalanan pulang ke prefektur Miyazaki. Setelah terisi, aku menghampiri ketiganya lalu menunggu Dentetsu yang masih akan tiba 40 menit lagi. Musim dingin di Jepang membuat waktu siang lebih pendek. Ini masih pukul tiga sore tapi cahaya matahari telah meredup. Cuaca mulai dingin dengan salju tipis yang berguguran. "Jangan pernah pergi lagi dari rumah. Mama akan sangat sedih jika kamu melakukannya. Beruntung ada Jayka yang bergerak cepat." Minaki mengangguk. "Maafkan aku maa." Nyonya Tatsuo membelai rambutnya. "Maafkan kakakmu. Dia tidak bermaksud jahat." "Aku tahu, seharusnya aku tetap di kamar." "Minaki, bukan begitu. Kamu tetap bisa mengikuti kursus membuat kue seperti yang kamu inginkan. Tapi tunggu waktu yang tepat untuk membahasnya." "Aku tau maa. Kita membahasnya ketika kakak tidak ada di rumah, agar ia
Hutang uang dibayar uang. Namun ada pula hutang uang dibayar jasa. Semalam setelah Tuan dan Nyonya Tatsuo berkata bahwa mereka tahu mengenai uang 120.000 Yen yang kuminta di awal pada Minaki, aku seperti lelaki yang tidak memiliki harga diri. Malu karena ketahuan memanfaatkannya di tengah kondisi fisiknya yang 'menyedihkan'. Aarggghh... aku bodoh sekali. Mengapa aku cuek dengan konsekuensi ini? Mengapa aku hanya fokus pada uangnya saja? Ini pelajaran berharga untukku. Lain kali, aku harus lebih halus dan bermain cantik ketika meminta uang pada Minaki. Jika sudah begini, aku tidak bisa mengelak sedikit pun jika Tuan dan Nyonya Tatsuo memintaku memprioritaskan Minaki. Bahkan di saat aku sedang berkencan dengan Harumi. Oh... bagaimana ini? Aku tidak siap jika harus kehilangan Harumi, dia adalah masa depanku yang sempurna. "Jangan sampai terpeleset kalau tidak mau jatuh Jay." Ucap Matsushima. Dia tahu segalanya tentang profesi sampinganku sebagai surrogate sexual partner Minaki. "
"Mau di kamar?" Tanyanya malu-malu. Apakah Minaki sedang memberi kode atau aku yang besar rasa, entahlah. Namun hasrat menuntunku untuk berkata.... "Di kamar saja." Minaki tersenyum malu lalu menutup tudung saji indah berwarna peach dengan ornamen bunga bunga. "Handuknya kenapa tidak kamu taruh di keranjang kotor?" Tanyaku ketika bersiap mendorong kursi rodanya. Minaki menggeleng lalu mendekapnya di sekitar perut. Aku tersenyum melihat tingkah anehnya ini. Rumah tingkat dua sebesar ini hanya dihuni Minaki dan kedua orang tuanya. Kedua kakaknya telah memiliki kehidupan sendiri. Demi menjaga suasana hatinya tetap baik, aku tidak mau membahasnya jika bukan dia yang mendahului. "Kamarmu selalu rapi." Ucapku ketika duduk di sofa panjang kamarnya. Sofa yang menjadi saksi bisu aku mengambil ciuman pertama Minaki. Sekaligus saksi bisu pengkhianatanku pada Harumi, kekasihku. Minaki meletakkan handuk yang terlipat rapi itu di nakas samping ranjang. "Aku selalu membersihkan kama
"Tolong.... cium aku Jayka." Minaki menatapku dengan sorot mendamba dan ingin. Dia pernah merasakan dahsyatnya ciuman pertama dariku, hingga terasa melayang. Dan sekarang ia ingin mengulanginya kembali. "Kenapa aku harus menciummu?" Tatapku tak kalah romantis dengan tangan masih memegang tangannya. Minaki menggeleng dan menunduk malu. "Aku... menginginkannya." "Short time atau long time?" Mataku menatap mata dan bibirnya bergantian. "Apapun Jayka." "Asal kamu puas?" Minaki mengangguk. Tangannya kembali kukalungkan di leherku lalu kudekatkan wajahku perlahan. "Nikmatilah Minaki." Minaki menutup mata bertepatan dengan kecupan kecil yang kualamatkan di bibirnya. Lalu kulumat perlahan dengan tangannya telah melingkar sempurna di leherku. Tangan Minaki sedikit mencengkeram dan meremas kerah bajuku, tanda ciuman itu telah merasuki batinnya. Dia sangat pasrah mengikuti permainanku hingga lenguhan terbuai itu keluar dari bibir ranumnya yang terasa manis. Seperti inikah rasa
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan