enjoy reading ...
Aku membuang muka sambil menahan ledakan emosi yang menguasai hati. Ini semua terjadi karena Minaki yang mulai berani mengatur karirku dengan seenak hati. Padahal aku merintisnya dengan jerih payah yang tidak bisa ia ganti. Lalu, tugasnya sebagai seorang Ibu kemudian lalai menjaga Mayka, ia limpahkan padaku juga. Aku tidak terima! Karena tugasku hanyalah mencari nafkah. "Karirmu memang penting, Jay. Tapi bukankah kamu juga sudah berjanji padaku akan mengasuh Mayka bersama-sama? Apa kamu lupa?" tanyanya dengan sorot memelas. "Lalu, kalau aku tidak membersihkan nama baikku, dan hanya fokus pada Mayka saja, apa itu bisa membuat popularitasku tidak hancur heh?! Tidak bisa, Minaki! Tidak bisa! Asal kamu tahu saja, aku banyak kehilangan kerja sama dengan pihak sponsor karena namaku berubah buruk!" ucapku dengan suara tajam namun sangat lirih. Aku tidak mau membuat Mayka terbangun karena mendengar pertengkaran kami yang mengalun. Kepala Minaki menggeleng pelan, "Jadi kamu menyalahkan a
"Jay, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku? Siapa yang ada di parkiran basement?" Manajer kembali bertanya ketika aku tidak kunjung bersuara. Setelah mata kami bertatapan, aku segera memutusnya kemudian menatap sekeliling. Hanya ada tembok dan anak tangga saja. "Jay, aku peringatkan sekali lagi. Jangan membuat masalahmu sendiri semakin rumit. Ingat, gossipmu saja masih baru mulai diselesaikan. Kalau kamu menambah masalahmu sendiri, lebih baik aku angkat tangan." Kehilangan manajerku adalah hal yang sangat tidak kuinginkan. Karena apa? Karena sejauh ini, manajer begitu baik, pengertian, dan banyak membantuku mengatasi banyak masalah. Termasuk masalah pribadi. "Jay, jujur padaku. Ada siapa di parkiran basement?" Setelah menghela nafas pendek dan mendengarkan nasehatnya, akhirnya aku membuka suara. "Michiya." Tangan manajer langsung berkacak pinggang begitu mendengar siapa wanita yang sedang bersamaku saat ini. "Anakmu sakit, Jay. Minaki butuh dukungan. Justru kamu ... " dia
Aku gagal mendengar obrolan Minaki dan manajerku. Minaki sengaja lebih memelankan suara ketika Mayka merengek sejenak. Alhasil, apa yang mereka rencanakan tidak bisa kuketahui lebih lanjut. Ingin bertanya pada manajer atau Minaki, tapi mereka pasti tidak akan mengatakannya. Malam harinya, ketika jam sudah menunjukkan pukul sembilan, Minaki menghampiriku yang tengah duduk di sofa sambil berbalas-balasan pesan dengan Michiya. "Jay, maaf mengganggu. Kamu bisa tinggalkan kami kalau besok ada pekerjaan." Aku mendongak menatap wajahnya yang tidak ceria. "Aku bisa menjaga Mayka bersama Dina dan pengasuhnya." imbuhnya. Kusembunyikan senyum tipisku karena masih mengingat isi pesan yang baru saja Michiya kirimkan untukku. Tidak etis rasanya jika aku menunjukkan bahagiaku di depan istriku ketika anakku sedang tidak enak badan. Bagaimanapun, aku merasa perlu menghormatinya. "Aku akan menjaga Mayka juga." Kepala Minaki menggeleng pelan, "Jangan paksa dirimu, Jay. Kamu adalah kepala ke
"Jaka?" sapa Ibu penuh binar kebahagian ketika pintu mobil dibuka oleh manajerku. Mata kami bertemu dengan penuh kerinduan yang mendalam. Kemudian aku mengulurkan tangan padanya untuk menaiki mobil lalu duduk di jok belakang. Diikuti Bapak dan terakhir manajerku. Aku menghadap ke arah mereka yang memandangku dengan raut bahagia, terharu, rindu, dan penuh tanya. "Jak, Ibu kangen, nak." ucapnya sambil meremas kedua tanganku yang digenggam. Melihat wajah Ibu yang begitu merindukanku setelah bertahun-tahun berpisah demi mencari nafkah di Jepang, aku memutuskan untuk duduk di jok belakang. Tepat diantara mereka berdua. Kedua tanganku merengkuh pundak Bapak dan Ibu bersamaan lalu membawa mereka dalam pelukanku. "Tanpa Ibu dan Bapak, aku nggak bisa kayak gini. Kalian orang tua luar biasa, aku sayang kalian," ucapku tulus penuh haru. "Jak, kamu berbeda, nak. Maksud Bapak, penampilan kamu jauh berbeda." Selama ini, aku tidak pernah bercerita pada mereka mengenai jika aku telah ber
Bukannya menjawab pertanyaanku, manajer malah berucap, "Apa kamu mau ikut aku pulang, Jay?" "Jawab dulu apa maksudmu bicara jika aku hanya tinggal menunggu waktu?" "Jay, itu adalah hak Minaki untuk menjawab. Lebih baik kamu tanya sendiri padanya. Aku hanya memberi clue sekaligus memberi saran dan peringatan." Aku menghela nafas kasar karena manajer enggan mengatakan tujuannya berkata seperti tadi. "Aku mau pulang. Apa kamu akan terus di dalam mobil?" Akhirnya aku memilih turun lalu kembali ke ruang rawat inap putriku, Mayka. Disana Bapak dan Ibu terlihat sangat senang menimang cucunya yang begitu menggemaskan. Maklum, Mayka mewarisi warna kulit seputih salju seperti Minaki. Ditambah mata sipit dan rambut lurus lembut, membuatnya terlihat seperti boneka. "Anakmu lucu, Jak. Ibu nggak pengen balik cepet-cepet ke kampung. Ibu betah disini sama Dina." "Rini yang kasihan harus jaga rumah, Bu," Bapak menimpali. "Ya udah, Bapak aja yang balik ke kampung. Ibu masih betah disini lama-l
Kedatangan Michiya benar-benar bagai oase di tengah sahara. Dia mampu melenyapkan kesuntukanku dan masalah yang terasa membebani pundak. Datang dengan menggunakan mini dress yang begitu pas melekat di tubuh rampingnya, dengan riasan di wajah yang makin membuatnya lebih mempesona, Michiya berjalan dengan tenang menghampiriku yang masih berdiri di depan ruang ganti. "Kerah bajunya kurang lurus, Jay," ucapnya sembari membetulkan kerah kemeja flanel yang kukenakan. "Hai, Chiya," sapaku dengan menatapnya lekat. Bahkan aku seakan-akan lapar sekali akan dirinya, hingga tatapanku seperti lelaki yang ingin memakannya. "Hai, Jay." "Boleh peluk?" dan tanpa malu meski ada manajer di sekitarku, aku melontarkan pertanyaan itu. "Tentu," jawabnya dengan senyum tertahan dan pancaran kebahagiaan di kedua bola mata indahnya yang berwarna abu-abu. Dengan senyum merekah dan rindu yang membuncah, aku segera memeluk Michiya. Mendekap erat tubuhnya dalam rengkuhanku. Sembari melepas nafas panjang
"Menikah?" "Ya Jay, apa kalian akan segera meresmikan hubungan kalian ke ranah yang lebih serius?" wartawan itu kembali bertanya. Aku menatap Michiya yang berdiri di sebelahku dengan jemarinya kugenggam erat. Untuk pertanyaan sederhana ini, aku harus berhati-hati menjawabnya. Karena aku tidak boleh menjawab dengan kata-kata yang membuat wartawan mencium gelagat mencurigakan tentang hubungan setingan kami. Juga, aku tidak mau menyinggung perasaan Michiya yang sejak awal telah mengungkapkan kekagumannya padaku.Dan, aku sendiri yang tidak mau memanipulasi isi hatiku jika aku juga mulai menyukainya. "Doakan saja yang terbaik untuk hubungan kami," hanya itu yang bisa kuutarakan. "Dan satu lagi," itu suara Michiya. Reflek aku menoleh ke arahnya. Lalu ia memberikan senyum terindahnya padaku."Saat ini saja kami sudah serius. Jadi, kalian tidak perlu meragukan hubungan kami."Kemudian tanpa aba-aba, Michiya memeluk lenganku erat dan tersenyum menghadap kamera wartawan. Mereka segera men
Pemotretan untuk sebuah brand koper dan aksesoris bernama Peter-Kashioda & Co baru saja usai ketika jarum jam menyentuh angka sebelas lebih sepuluh menit. Brand yang berdiri sejak tahun 1962 itu hanya menciptakan satu model koper saja dari tangan seorang pengrajin. Jadi tidak ada istilah tas itu memiliki kembaran. Dan betapa beruntungnya aku, mendapat hadiah endorse satu tas jinjing eksklusif dari mereka. Setidaknya nama baikku mulai kembali membaik sejak aku dan Michiya meresmikan hubungan setingan kami ke hadapan publik. "Jay, ada telfon dari manajemen," manajer berucap ketika aku sedang duduk santai bersama perwakilan brand ternama tersebut. Aku segera meraih ponselku lalu sedikit menjauh dari mereka. "Iya, halo. Ini dengan Jayka." "Ada kabar bagus, Jay. Pemberitaanmu mengalami tren positif. Banyak fans yang menilai jika hubunganmu dan Michiya sangat serasi." Aku tersenyum tipis penuh kelegaan, "Aku senang mendengarnya." "Tetap rahasiakan hal ini dari siapapun, karena M
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan