Beri bintang 5 nya ya? Dan tinggalkan komentar membangun. Makasyiiieehh
Ucapan Minaki yang menyebut jika ia mencintaiku seperti gelegar petir yang baru saja menyambar. Aku tidak menyangka jika kedekatan kami yang selama ini hanya sebatas terapis dan klien bisa menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. "Cinta itu tidak statis Jay. Cinta itu seperti tepung. Jika dipadukan dengan mentega, telur, dan bahan lainnya sesuai resep lalu dibuat oleh ahlinya, ia akan menjadi kue paling lezat dan disukai banyak orang." "Awalnya, aku pikir bersamamu seperti memiliki sahabat. Tapi seiring dengan perhatian dan sentuhan yang kerap kita lakukan, bohong jika aku tidak memiliki getaran apapun." Minaki menatapku dengan sorot sendu. Seperti tengah membawa banyak beban dalam hidupnya. Termasuk pengalaman asmaranya yang tidak pernah beruntung. "Bersamamu, aku merasa hidup, dicintai, dan dibahagiakan. Aku merasa memiliki arti ketika menjalani hidup yang entah sampai usia berapa aku mampu menjalaninya dalam ketebatasan ini. Meski aku tahu uang-uang yang kuberikan kerap kamu
Yamada menyugar rambutnya. "Biarkan aku menjemput Minaki. Paham?" "Minaki menghubungimu untuk menjemputnya?" Tanyaku tidak yakin. "Lalu? Apa kamu pikir aku sudi datang kemari tanpa pesan darinya? Terlalu sayang jika waktu yang kumiliki habis untuk melihat drama receh kalian berdua." Aku menggeser tubuh lalu mempersilahkan Yamada memasuki apartemen kami. Dia mengangguk puas melihat isi apartemen. "Apa kamu sudah puas mengatakan segalanya pada Minaki? Tentang Harumi? Dan jangan sok tidak tahu apa-apa Yamada. Karena aku tahu niat busukmu itu." Yamada terkekeh lalu menatapku tegas. "Tentu saja aku puas. Lagi pula kehadiranmu dalan kehidupan keluargaku hanya membuat Minaki tidak bisa kuatur." "Mata duitan!" "Terserah. Itu adalah harta keluargaku dan aku tidak akan membiarkan kamu makin banyak mengambilnya dari Minaki. Jadi kupikir dengan mengatakan segalanya pada Minaki tentang hubunganmu dengan Harumi adalah hal yang tepat." Tawa bahagianya menguar dengan sangat sialan. Dia menggu
Pikiranku kembali ke keluargaku yang berada di Indonesia. Bagaimana nasib ibu, bapak, dan adik-adikku setelah ini? Dina, adik angkatku, telah memberitahu hal ini sejak tadi pagi tapi aku malah acuh karena ulahnya tempo hari yang begitu berani membongkar rahasiaku pada Minaki. Ia berubah menjadi 'anjing piaraan kesayangan' Minaki. Membocorkan rahasiaku lainnya seperti kesehatan bapak yang tidak ada masalah dan Dina yang masih SMA. Itulah mengapa aku sangat marah pada Dina karena berani bertindak melampaui kewenanganku. Apa dia lupa jika biaya hidupnya aku yang menanggung. "Astaga, ibu, bapak, cepat angkat telfonnya." Geramku sambil kembali mendial nomer ponsel bapak. Aku mendesah lelah karena menghubungi mereka hampir tengah malam tidak ada jawaban. Lalu kembali menghubungi nomer Dina. "Mas Jak." Akhirnya.... "Din, apa maksudmu ngirim pesan kayak gitu?" Dan penjelasan Dina pun mengalir. Ternyata, tanah yang Bik Sun yang dulu kubeli sebagai lahan perluasan tanah pekarangan b
"Cepat kemari Jayka! Atau aku tidak akan mengampunimu!" Ancaman penuh ketegasan dari Nyonya Tatsuo benar-benar membuat kepalaku pening seketika. Bagaimana tidak, aku berada diantara dua pilihan sekarang. Seratus juta atau merelakan nyawa Minaki melayang? "Jayka!" "Baik nyonya! Baik! Saya kesana!" Sebelum transaksi terjadi, aku masih memiliki kesempatan membatalkan pekerjaan gila ini. Toh aku pun tidak rela 'menjual' harga diriku pada janda itu. Lalu bagaimana nasib keluargaku? Nanti kupikirkan lagi. Yang penting Minaki harus segera dicegah agar tidak bunuh diri. Atau masalahku bertambah karena Nyonya Tatsuo akan menyeretku ke kantor polisi. Sial! Maju kena mundur pun kena. "Sopir, tolong putar balik." Aku menunjukkan arah rumah Minaki yang tidak terlalu jauh dari lokasiku berada. Ponselku kembali bergetar, kali ini manajer menghubungiku untuk menanyakan keberadaanku. Dia baik sekali karena begitu mengkhawatirkanku. "Aku putar arah. Tolong sampaikan pada janda kaya i
Aku meraih tisu lalu menyeka darah di paha karena goresan kaca. Setelahnya kutatap Minaki dengan raut tidak habis pikir. "Aku bukan lelaki brengsek yang suka meniduri perempuan lalu meninggalkannya saat hamil anakku Minaki. Dan lagi, syarat konyol apa itu heh?!""Apa aku salah jika memiliki keinginan untuk hamil? Apa hanya perempuan normal saja yang boleh hamil?"Aku menatap Minaki yang tampak kacau dan menyedihkan. "Minaki, kalau mau hamil, maka menikahlah. Aku akan membantumu mencari lelaki yang juga mencintaimu.""Bagaimana jika aku mencintaimu?"Aku menggeleng. "Aku belum memikirkan pernikahan apa lagi menghamili anak orang."Minaki membuang muka lalu memungut sebuah serpihan kaca. "Letakkan Minaki, mati bukanlah solusi. Kamu sudah berubah lebih baik sejauh ini, apa kamu tega menghancurkan mimpimu sendiri?"Minaki tersenyum miris dengan mata berkaca-kaca. "Semua orang ingin memiliki pasangan dan keluarga Jayka. Sedang aku? Kamu yang menjadi partnerku saja enggan mengabulkan kei
Tuan dan Nyonya Tatsuo menatapku lekat, menunggu jawabanku. Tapi mau bagaimana lagi, pekerjaanku sebagai DJ yang tengah naik daun masih belum bisa menutupi sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membayar hutang Bik Sun di bank. Dia wanita tua sialan! Sudah bau tanah masih saja menipu! Tidak ingatkah dia lebih cocok berada di liang kubur dari pada hidup membuat sengsara orang lain?!! Sedang jatuh temponya makin dekat dan uang belum terkumpul semua. Bank tidak akan memberi perpanjangan waktu. Antara bersedia menghambakan diri untuk keluarga Siraga atau percaya pada diri sendiri yang belum tentu bisa menghasilkan uang sebanyak itu dalam kurun waktu satu minggu. Yeah, aku menyerah. Biarlah aku menghamba pada mereka toh memang ini yang bisa kulakukan. Menjual harga diri. "Bantu saya melunasi hutang keluarga di Indonesia. Setelahnya, apapun yang Minaki mau akan saya turuti. Termasuk menikahinya." Bagaimana dengan kekasihku, Harumi? Ah... Aku belum memikirkannya. Keluargaku lebih pent
Melanjutkan perjanjian dengan wajah tanpa luka. Itulah yang kuharapkan. Bukannya melanjutkan perjanjian dengan wajah seperti sehabis disengat lebah. Lebam di pipi, luka di pelipis, dan dinding dalam mulut sobek karena pukulan Yamada. Hanya lelaki gila yang mau menyerahkan wajahnya untuk dihajar demi 1 juta yen. Dan untungnya wajahku tidak sampai rusak karena tendangan gila Yamada. "Saya bersedia meneruskan perjanjian menikahi Minaki tapi saya ingin melakukan visum atas perbuatan Yamada. Cukup sudah perbuatannya dan saya harap dia tidak akan semena-mena lagi." Aku mengusap pipi yang terasa sangat nyeri. Bukan main sakitnya. Andai dia berani satu lawan satu, bukan keroyokan seperti tadi. "Tadi ia juga berkata hal tidak senonoh tentang tindakan Minaki. Jadi saya harap panggilan polisi bisa membuatnya jera." Nyonya Tatsuo menggeleng sedih. "Tolong jangan Jay. Bagaimana nasib anak istrinya? Dan juga ini akan berat bagi Yamada jika keluarga mertuanya tahu, Yamada bisa dipaksa mencer
Minaki melirikku dengan wajah masih pucat. Tidak segar sama sekali. Namun sorot matanya seperti tengah bertanya 'benarkah kita akan menikah?' Aku mengangguk lalu duduk di tepi ranjang pesakitannya. "Makanya cepatlah siuman. Banyak hal yang kamu lewatkan saat tidur nyenyak." Termasuk peetengkaran antara aku dan si sialan Yamada. Tangan kurus Minaki meraih wajahku perlahan. "Kenapa?" Suaranya sangat lemah lalu tangnnya kuambil dari pipiku yang sedikit memar lalu meletakkan kembali di atas perutnya. "Urusan lelaki. Berkelahi adalah hal yang wajar kami lakukan sebagai ajang pembuktian siapa yang paling kuat." "Seperti singa." Aku mengangguk. "Lagi pula sakitnya sudah mereda." "Kakak?" Tebaknya. Aku tersenyum geli. "Bukan, tapi Matsushima. Aku tidak hadir ke Yokoha Club semalam. Lalu dia marah dan kami berkelahi." Syukurlah Minaki percaya kebohonganku, aku hanya tidak mau dia drop lalu meninggal. Taruhannya adalah kebebasanku yang akan terenggut. Keluargaku di Indonesia menggantu
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan