Enjoy reading... Tulung agung, 11 februari 2023
Satu tangan Michiya masih berada di genggamanku, tapi satu tangannya yang lain justru diarahkan ke pipiku. Kemudian mengusapnya pelan, bahkan sangat lembut. Seulas senyum indah dan tatapan penuh hipnotis itu membuatku seakan tersihir sejadi-jadinya. Rambut hitamnya yang sedikit diberi warna coklat matang dengan ujung setengah bergelombang dan make up yang terkesan sangat natural dengan kecantikannya, membuatku hampir tidak mau memalingkan pandangan. Tuhan! Michiya adalah wanita tercantik yang pernah kutemui! Ah ... bukan! Dia wanita paling sempurna yang pernah kutemui! Berkedip saja aku rasanya enggan, karena khawatir setelahnya Michiya akan menghilang. Setergila-gila inikah aku pada dirinya? Atau ini hanya perasaan kagum yang teramat dalam saja? Hingga tanpa terasa sang fotografer berucap ... "Cut! Cukup!" "Bagus sekali Michiya, Jayka. Kalian luar biasa." "Sekarang kita akan ganti posisi dan tempat." Michiya menarik tangannya dari pipiku kemudian menarik satu tangannya perlah
Bukan menjadi hal yang tabu jika perempuan di Jepang menyatakan perasaannya lebih dulu pada lelaki yang disukai. Oleh karena itu, jika Michiya menyatakan perasaannya padaku saat kami berada berdua di dalam lift seperti ini bukanlah hal yang aneh. Perasaannya padaku mungkin berawal dari kekaguman kemudian berubah menjadi rasa suka. Bagai setali tiga uang, ketika ia ditunjuk oleh agensi untuk menjadi partnerku dalam bersandiwara di depan media, itu seperti sebuah keberuntungan yang tidak akan datang dua kali. Dia langsung bersedia membuka hatinya untukku asal aku pun membuka hati untuknya. "Ini bukan masalah profesionalisme semata, Jay." Aku menoleh ke arahnya yang berada sedekat ini denganku. Ditambah kelima jari kami saling menyatu dan menggenggam meski tidak erat. "Maksudmu?" Anehnya, hatiku menanti dengan cemas isi hatinya padaku. Dimana nuraniku sebagai seorang suami sekaligus ayah yang meninggalkan anak dan istri di rumah? "Aku tidak memiliki pasangan selama satu tahun
"Bilang saja kalau aku sedang sibuk." Dengan gamblang aku menjawab demikian ketika Minaki, istriku, menghubungiku. Padahal jelas-jelas aku baru saja usai melakukan pemotretan dengan Michiya. Walau aku masih memakai pakaian dari sponsor, tapi fotografer tidak menginterupsi ada pemotretan tambahan. Tapi mengapa aku justru menolak menerima panggilan dari Minaki dan selalu mencuri pandang ke arah Michiya? Ah ... sudah kukatakan bukan?! Jika Michiya adalah perempuan paling sempurna yang mampu menggetarkan hatiku meski baru sekali bertemu. Debaran ini terus bertabuhan di dada meski aku tidak memintanya. "Sibuk? Bukankah kamu sudah selesai pemotretan?" Tanya manajerku dengan ekspresi bertanya-tanya. Aku tahu, dia bingung dengan sikapku yang mendadak tidak hangat pada Minaki. Padahal sebelumnya aku begitu menggebu-gebu ingin dia kembali ke dalam pelukanku setelah setahun lamanya kutinggalkan. "Nanti saja aku hubungi balik." Aku memilih pergi pura-pura mengambil air mineral yang ters
"Jangan memberiku pertanyaan seolah-olah aku ini tidak bisa bersikap profesional. Aku dan Michiya seperti yang kukatakan dari awal, kami hanya berhubungan sebatas hubungan profesional. Tidak lebih." Ucapku membela diri. Manajer tersenyum penuh arti sambil menatapku. "Minaki, istrimu itu, tadi menghubungimu. Karena kamu sibuk dan tidak bisa mengangkat telfonnya, jadi aku yang menjawab." "Dia bicara apa?" "Dia ingin kamu segera pulang setelah pemotretan." "Ada apa dengannya?" Manajer mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi tidak tahu menahu. "Dia istrimu, apa aku berhak bertanya sedetail itu?" "Jangan bersikap seperti kamu bukan sahabat baikku." Tawa lirih manajer membuatku makin salah tingkah karena menebak jalan pikiran dan isi hatiku. Maklum, dia jauh lebih tua dariku dan lebih dulu memakan asam pahit manis ujian hidup. "Jay, sebagai sahabat baik aku hanya bisa berkata, telfon kembali istrimu itu. Jangan terbiasa memberiku mandat untuk mengurusi masalah keluarga kecilmu,
Aku mengulurkan tangan perlahan untuk meraih tangan Michiya yang berdiri dihadapanku. Senyumnya terbit sangat indah ketika aku menggenggam tangannya. Dia pun melakukan hal yang sama, menggenggam tanganku balik. Lalu dengan percaya diri dan tanpa mengenakan masker yang menutup wajahnya, Michiya menarik tanganku menuju kursi VIP yang disediakan oleh pramusaji restauran Sanzabe. Beberapa pengunjung yang datang ada yang melirik kedatangan kami karena penampilan Michiya yang sederhana namun sangat menarik perhatian. Belum lagi riasan sisa pemotretan yang tidak dihapus makin menunjukkan kecantikannya yang melebihi beberapa wanita yang ada di restauran ini. Andai mereka bersanding dengan Michiya, mereka pasti akan sangat insecure. "Jay, buka maskermu. Kita sedang pura-pura berkencan." Bisiknya pelan yang kini duduk diseberangku. Perlahan aku membuka masker yang menutupi wajah dan meletakkannya di atas meja. Melihatku yang tidak lagi mengenakan masker, Michiya kembali tersenyum malu-malu.
"Mas! Jadi pulang nggak?!" Dina kembali berseru padaku.Ditengah kebahagiaan bisa bersama Michiya kemudian menjalin kedekatan seperti yang kuharapkan, mengapa pula putriku, Mayka, justru tidak enak badan? Hingga harus dilarikan ke rumah sakit tanpa bantahan."Oke.""Oke apa, Mas?! Jawab yang lengkap!" Dina kembali berseru."Iya, aku pulang!" ucapku setengah mendesis geram pada Dina."Oke, kita tunggu. Cepetan!"Setelah panggilan berlalu, aku menyimpan ponsel ke dalam tas bermerk milikku. Kemudian dua bola mataku menatap Michiya yang juga sedang memandangku dengan raut ingin tahu. "Chiya, aku minta maaf. Sepertinya aku harus pergi karena ada satu urusan penting.""Oh ya? Sayang sekali, Jay. Padahal kita baru makan bersama." Menu makanan dan minuman kami saja belum habis setengah tapi bagaimana lagi jika ada keperluan yang tidak bisa aku cegah kini datang menyergah. "Ya, tapi aku tidak bisa lebih lama lagi. Mungkin lain waktu kita bisa kembali membuat janji makan bersama, Chiya."Terl
Aku membuang muka sambil menahan ledakan emosi yang menguasai hati. Ini semua terjadi karena Minaki yang mulai berani mengatur karirku dengan seenak hati. Padahal aku merintisnya dengan jerih payah yang tidak bisa ia ganti. Lalu, tugasnya sebagai seorang Ibu kemudian lalai menjaga Mayka, ia limpahkan padaku juga. Aku tidak terima! Karena tugasku hanyalah mencari nafkah. "Karirmu memang penting, Jay. Tapi bukankah kamu juga sudah berjanji padaku akan mengasuh Mayka bersama-sama? Apa kamu lupa?" tanyanya dengan sorot memelas. "Lalu, kalau aku tidak membersihkan nama baikku, dan hanya fokus pada Mayka saja, apa itu bisa membuat popularitasku tidak hancur heh?! Tidak bisa, Minaki! Tidak bisa! Asal kamu tahu saja, aku banyak kehilangan kerja sama dengan pihak sponsor karena namaku berubah buruk!" ucapku dengan suara tajam namun sangat lirih. Aku tidak mau membuat Mayka terbangun karena mendengar pertengkaran kami yang mengalun. Kepala Minaki menggeleng pelan, "Jadi kamu menyalahkan a
"Jay, kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku? Siapa yang ada di parkiran basement?" Manajer kembali bertanya ketika aku tidak kunjung bersuara. Setelah mata kami bertatapan, aku segera memutusnya kemudian menatap sekeliling. Hanya ada tembok dan anak tangga saja. "Jay, aku peringatkan sekali lagi. Jangan membuat masalahmu sendiri semakin rumit. Ingat, gossipmu saja masih baru mulai diselesaikan. Kalau kamu menambah masalahmu sendiri, lebih baik aku angkat tangan." Kehilangan manajerku adalah hal yang sangat tidak kuinginkan. Karena apa? Karena sejauh ini, manajer begitu baik, pengertian, dan banyak membantuku mengatasi banyak masalah. Termasuk masalah pribadi. "Jay, jujur padaku. Ada siapa di parkiran basement?" Setelah menghela nafas pendek dan mendengarkan nasehatnya, akhirnya aku membuka suara. "Michiya." Tangan manajer langsung berkacak pinggang begitu mendengar siapa wanita yang sedang bersamaku saat ini. "Anakmu sakit, Jay. Minaki butuh dukungan. Justru kamu ... " dia
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan