Kami semua duduk di meja makan yang tidak besar ini selepas aku pulang sholat magrib dari mushola dekat rumah. Aku sempatkan berdoa dengan khusyuk agar keinginanku ini direstui bapak ibu. Semoga melalui restu mereka nantinya bisa membawa keberhasilan untukku.
Aku harus memberanikan diri mengutarakan apa yang menjadi niat baikku ini. Bahkan aku siap membujuk mereka demi mendapat restu. Sekali lagi, aku melakukan ini demi keluarga.
"Pak, bu. Aku mau bicara."
Semua yang masih melahap menu makan malam pun berhenti lalu menatapku.
"Apa Jak?" Tanya bapak.
"Pak, bu, restui keinginanku. Aku mau berangkat jadi TKI."
Raut wajah bapak dan ibu langsung berubah terkejut. Pun dengan kedua adik angkatku. Reaksi seperti ini sudah kuduga sebelumnya.
"Nak, apa maksudnya?" Tanya ibu.
"Ibu tau Pak Man adiknya Pak Yit kan?"
Ibu mengangguk.
"Aku ingin sukses seperti Pak Man bu. Aku mau jadi TKI demi merubah nasib keluarga kita."
Aku menatap bapak dalam. "Juga untuk mengobati kaki bapak."
Setelahnya bapak tertunduk lalu mengusap air mata.
"Jak, bapak minta maaf karena sekarang menjadi beban di keluarga kita."
Aku bangkit dari duduk lalu bersimpuh di kaki bapak.
"Aku yang banyak merepotkan bapak dan ibu. Kasih sayang kalian nggak bisa aku bayar dengan apapun. Jadi, tolong ijinin aku merubah nasib jadi TKI demi keluarga kita. Juga demi membalas budi baik ibu bapak."
Aku menatap bapak dan ibu dengan mata berkaca kaca. Mereka sulit mengambil keputusan tapi keluarga ini butuh uang untuk merubah keadaan. Dan saat ini hanya menjadi TKI yang bisa kulakukan.
"Kalau bapak ibu mengijinkan, aku akan bilang ke Pak Man setelah ujian nasional selesai."
Bapak mengangguk haru. "Bapak merestui nak."
"Ibu juga Jak. Tapi jaga diri disana. Kasih kabar ke rumah sesering mungkin."
Aku tidak bisa menyembunyikan raut bahagia ini. Restu mereka adalah segalanya bagi perjalanan hidupku.
Tanpa campur tangan bapak ibu mungkin aku sudah mati mengenaskan sedari bayi. Mereka adalah segalanya dan yang utama dalam kehidupanku.
🌻🌻🌻🌻🌻
Setelah ujian nasional selesai, aku mengunjungi Pak Man dirumahnya untuk menanyakan segala persyaratan menjadi TKI.
Syaratnya tidak rumit hanya saja membutuhkan banyak uang untuk mengurus dokumen resmi dari PJTKI. Seperti visa, paspor, biaya administrasi, dan lain sebagainya.
Syukurlah, Pak Man sangat tahu permasalahan ekonomi keluargaku lalu memberi uang satu juta secara cuma cuma untuk tambahan biaya. Betapa baiknya beliau.
Sisanya aku berhutang pada Pak Bimo, juragan kambing tempatku bekerja. Bayaran merumput untuk semua kambingnya selama enam bulan sebagai gantinya.
Selama menunggu waktu pemanggilan keberangkatan, aku menyempatkan diri belajar komunikasi sehari-hari dalam bahasa Inggris dan Jepang. Kata-kata yang umum diucapkan agar aku tidak mengalami culture lag saat tiba di sana.
Yaah, negara tujuanku merantau adalah Jepang. Negara paling maju di Asia.
Kurs mata uangnya pasti bernilai tinggi jika dirupiahkan.
Setelah penantian selama enam bulan, akhirnya aku mendapat visa, paspor, dan dokumen penting lainnya dari jasa penyalur tenaga kerja legal. Betapa bahagianl dan leganya hatiku.
Namun ada kesedihan mendalam dari raut wajah kedua orang tua angkat melepas kepergianku. Mereka banyak memberi pesan dan petuah agar aku tidak berulah di sana.
"Rajin sholat. Jangan sampai ditinggalkan. Ingat sama Allah agar derajatmu dinaikkan menjadi hamba yang mulia."
"Bapak, ibu, dan adik-adikmu mendoakan dari rumah."
"Jangan lupa telfon, kasih kabar."
Dan kini aku telah sampai di sebuah kota yang tidak terlalu ramai di Jepang, kota Miyako yang berada di prefektur Miyazaki. Aku dan kelompok TKI dijemput pihak jasa penyalur tenaga kerja yang ada disana lalu menaiki kereta cepat, Shinkansen.
Jika orang Indonesia terbiasa naik sepeda motor, maka di Jepang biasa menaiki kereta atau bus.
Aku ditempatkan untuk bekerja di gudang pabrik makanan dengan gaji 15 juta per bulan. Membayangkan nominalnya saja sudah membuatku bersemangat.
Di sebuah asrama kecil bertingkat, aku tinggal dengan para TKI yang lain. Disinilah aku mulai memiliki teman sesama orang Indonesia dengan beragam budaya daerah.
Dua bulan pertama, rute hidupku hanya asrama - pasar - pabrik. Ditambah sekarang menjelang musim dingin. Suhu di Miyazaki maksimal hanya 15 derajat.
Gaji pertama bulan lalu sudah kukirim untuk pengobatan kaki bapak. Aku punya cita-cita mulia demi kesembuhannya.
"Uang yang kamu kirim kemarin sudah bapak pake berobat."
"Gimana kata dokter pak?"
"Secepatnya disuruh operasi."
Aku mengangguk. "Insya Allah secepatnya ya pak. Sabar dulu."
"Iya Jak. Terima kasih."
"Ini nggak seberapa sama pengorbanan bapak ibu untukku."
Begitu sambungan Skype terputus aku berbaring di futon. Kasur tipis lantai yang biasa dipakai orang-orang Jepang tidur.
Membayangkan kesembuhan bapak dan kebahagiaan keluarga angkatku adalah prioritas yang utama.
"Uang dari mana lagi untuk biaya pengobatan bapak?"
Kehidupan itu selalu berputar. Manusia tidak akan berjalan di tempat sekalipun dia hanya tiduran, asal selama nyawa masih dikandung badan. Begitu juga dengan nasib hidupku setelah memutuskan menjadi TKI ke Jepang. Dulu aku tidak banyak memiliki apapun, kini berubah perlahan. Gaya hidup teman-teman asrama yang kerap membeli sepatu dan pakaian bagus, turut mempersuasi isi dompetku. Hingga memiliki koleksi empat sepatu dari merk ternama. Kesejahteraan keluargaku di kampung naik perlahan. Bapak sudah bisa berjalan lagi sejak dua tahun lalu. Kini, mengolah lahan kecil yang kubeli dengan uang tabungan. Ibu membuka toko peracangan depan rumah. Dan kedua adik angkatku membantu usaha dagangnya. Ini sudah tahun ketiga aku bekerja di Jepang. Bertemu keluarga hanya lewat sambungan Skype. "Mau kemana Rin?" "Biasa, sing song." Ucapnya sambil menaikturunkan alis. Aku sudah tahu kebiasaan anak-anak TKI selepas menerima gaji. Kalau tidak makan-makan, minum sake hingga teler, pergi karaoke dite
"Semuanya ayo melompat!!!!" "Yow yow!!!!" Gemerlap ampu sorot yang mengarah ke dance floor Yokoha Club menambah riuh kegilaan pengunjung. Deretan perempuan cantik berpakaian minim dan seksi melonjak-lonjak riang di sana. Dengan gerombolan lelaki macho dan keren yang ikut menggoda. Kepulan asap rokok, aroma minuman beralkohol, dan kegiatan sensual yang terjadi di dalam club seakan menjadi hal yang lumrah kupandangi setiap hari. Begitu musik hip hop yang kubawakan semakin keras, mereka semakin menggila. Bahkan ada yang berciuman di tengah lantai dansa lalu disambut riuh tepuk tangan dan umpatan. "Mereka gila!" Pekik Matsushima yang tengah berdiri di sebelahku. Aku menggeleng. "Sebentar lagi mereka akan menuju hotel depan club." "Lalu membuat anak!" Aku terkekeh melihat kedua sejoli itu. Kemudian mereka pergi entah kemana. One night stand, adalah hal yang biasa terjadi di club-club malam ketika menemukan seseorang yang tepat untuk dikencani. Menginap semalaman untuk mele
"Jak, bangun! Buruan mandi!! Hampir telat oey!!" Teriak Rinto. Semalam aku baru pulang lewat tengah malam sehabis berkencan dengan Harumi. Teriakan Rinto membuatku meloncat dari futon, kasur lantai yang biasa kupakai di Jepang. Semalam Harumi mengatakan perasaan cintanya padaku. Ini gila, aku ditembak seorang perempuan. Di Jepang, seorang perempuan menyatakan cinta pada lelaki idamannya bukanlah hal tabu. Tanpa banyak pertimbangan, aku menerima cinta Harumi. Meski masih bingung dengan perasaanku padanya. Tanpa mandi, hanya menggosok gigi lalu berganti seragam kerja pabrik, menyisir rambut asal, memakai sepatu, mengambil tas kerja, lalu berlari mengejar teman-teman menuju halte. "Keasikan jadi DJ lupa sama kerjaan pabrik." "Bukan, aku semalam habis kencan sama cewekku." Jawabku dengan nafas terengah-engah. Kepalaku di tonyor teman-teman karena mereka iri dengan kecantikan dan keseksian Harumi, kekasihku. Sedang mereka sampai hari ini belum mendapat kekasih padahal jauh lebi
Surrogate sexual partner, atau istilahnya pasangan pengganti adalah jasa pelayanan 'teman kencan' yang sedang tren di Jepang. Disana, ada lembaga yang menyediakan seorang traineer atau pelatih profesional yang bertugas menjalin hubungan dan kedekatan dengan pasien yang merasa 'lack in relationship'. Sudah bukan rahasia umum jika orang yang mengalami trauma susah mencari pasangan hidup lalu menarik diri. Juga, lembaga itu menyediakan ruang bagi mereka yang terlahir dengan keterbatasan fisik tapi memiliki organ reproduksi yang normal namun tidak tahu bagaimana menyalurkan gairah itu. Dan sudah menjadi tugas para traineer untuk membantu mereka mendapat kepuasan batin yang tidak mungkin bisa dipenuhi seorang diri. Herannya, mengapa Tuan dan Nyonya Tatsuo tidak menghubungi lembaga itu? Mereka malah memilihku yang tidak berpengalaman dalam hal seperti itu, apalagi membangun kedekatan intim dengan putri mereka. Aku tidak memiliki ilmu seperti itu sama sekali. Aku hanya pernah membaca art
"Boleh. Sarapan dimana?" "Di kamarku." Deg... Apa Minaki sudah tidak sabar ingin melakukan 'itu'? Jika iya maka jawabannya berbeda denganku yang akan menjawab 'aku belum siap'. Bagaimana bisa baru bertatap muka sudah melakukan 'itu'? Otakku tiba tiba blank dan kacau. Karena selama ini hubunganku dengan Harumi hanya sebatas ciuman dan saling memegang. Bahkan hanya sekedar mas***basi saja aku belum pernah. "Jayka?" Panggilnya lembut. Aku tersentak dari lamunan lalu tersenyum kikuk. "Kenapa?" Aku menggeleng. "Sarapan sekarang yuk?" Ajaknya. "Minaki?" "Ya?" "Kenapa...tidak...sarapan di...ruang makan?" Minaki terkekeh lalu menatapku lekat. Juga dengan satu tangannya menopang dagu. "Kamu sangat mengagumkan Jayka." Aku mengernyit heran. "Aku mau membahas sesuatu denganmu di kamar sambil sarapan." Oh...begitu rupanya. Ternyata aku salah paham dan berpikiran terlalu jauh dengan maksud Minaki. Setidaknya aku harus persiapan dulu bukan?! Persiapan memahami keinginan d
"Dengan siapa?" Sorot matanya memancarkan harapan. Apakah Minaki berharap dia ingin melihat konser itu suatu saat nanti denganku? Membayangkannya saja tidak berminat, apa lagi menjalani. "Ehm....aku kurang begitu suka K-Pop. Mungkin aku tidak akan menonton konsernya." Minaki mengangguk. Kembali ada kekecewaan di wajah rapuhnya itu. "Oh ya, kamu bisa melihatnya dengan temanmu kan?" Aku mencoba memberi saran. Minaki menaruh sumpitnya. Sepertinya ia ingin menyudahi acara sarapan ini meski nasi dan lauknya masih banyak. Aku pun mengikuti meski masih lapar. Begitulah budaya Jepang. "Kalaupun ada teman yang datang ke rumah, aku pasti senang sekali Jayka. Tapi sayangnya, aku tidak punya teman yang benar-benar tulus. Apa lagi mau menemaniku ke konser dengan kursi roda ini. Pasti akan sangat merepotkan mereka." Aku tidak menyangka ternyata hidup menjadi seorang Minaki Siraga begitu kesepian. Tidak ada satu pun teman yang sudi bersamanya meski ia memiliki banyak harta. "Satu pun? Ka
"Aku setuju. Tapi ada syaratnya." "A...apa Jayka?" Tanyanya dengan wajah kami sedekat ini. Wajahnya gugup dan malu-malu. Astaga ternyata wajah merona malu itu benar-benar ada. Bukan sebuah deskripsi semata. "Janji kamu akan merahasiakan hal ini? Termasuk pada keluargamu?" Minaki mengangguk. "Janji." "Janji akan benar-benar membantuku?" Ia mengangguk lagi. Aku menyodorkan jari kelingking, tapi Minaki enggan menerimanya. Begitu aku memberi kode lewat mata barulah ia menautkan jari kelingkingnya. "Kamu siap mendengar ceritaku?" "Siap Jayka. Aku akan mendengarkannya." Aku harus membuat hati Minaki berbunga dan nyaman agar misi ini tersalurkan dengan lancar. Kata seorang seniman, cukup sentuh lah dia tepat di hatinya. Dia kan jadi milikku selamanya. Sentuh lah dengan setulus cinta, buat hatinya terbang melayang. Aku berusaha menyemangati diri agar fokus pada wajahnya, tidak menoleh ke arah kaki yang cacat itu. Jujur itu membuat suasana hatiku menjadi tidak bersemangat.
"Jayka, bisa bawa aku menuju taman depan teras rumah?" Pinta Minaki dengan memangku laptop mininya. "Tentu." Aku mendorong kursi roda miliknya menuju teras rumah. Melewati ruang tamu, di dinding ada sebuah pigora besar berisi foto keluarga besar Minaki. Hanya Minaki sendiri yang memakai kursi roda. Kedua kakak laki lakinya terlahir normal. Sampai taman, Minaki mengunci kursi rodanya agar tidak bergerak. Lalu aku duduk disebelahnya, di sebuah kursi kayu. Ia menatap ikan-ikan koi cantik yang berenang kesana kemari di kolam tidak besar itu. Namun cukup terawat. "Ini semua ikan-ikanku Jayka. Aku yang merawat dan memberi mereka makan. Kalau aku tidak punya teman curhat, aku berbicara dengan mereka." "Kenapa tidak bercerita pada mama papamu kalau punya masalah? Atau kedua kakakmu?" Minaki menggeleng. "Orang tuaku, mereka pasti sedih jika mendengar keluh kesahku. Aku tidak mau mereka sedih." "Dan kedua kakakku.... Aku tidak mau membahasnya." Dia sosok gadis cacat yang masih mem
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan