Aku beranjak dari ranjang Minaki lalu mengambil sebuah kertas dan bulpen. "Untuk apa Jay?" "Aku mau menulis hal apa saja yang membuatmu suka dan tidak suka saat kita bersentuhan. Kelak, jika kamu menemukan seseorang, kamu bisa mencatat hal yang ia sukai dan tidak." "Itu kuno sekali Jayka?" Aku terkekeh. "Aku ini penjaga sekaligus terapismu Minaki. Selain bekerja disini, aku juga bekerja di pabrik dan club. Aku khawatir akan lupa jika tidak mencatatnya." Minaki terkekeh lalu aku duduk di hadapannya. "Bolehkan aku duduk dipangkuanmu saat menjelaskan apa yang kusukai dan tidak kusukai?" Aku kembali memposisikan diri bersandar di headboard lalu Minaki duduk di depanku. "M*****basi. Apa kamu pernah melakukan dan bagaimana rasanya?" "Jayka, aku malu menjawabnya." Aku terkekeh. "Ini masih satu pertanyaan bagaimana jika aku bertanya tentang s** oral, s** anal, permainan pu***g su**, pembicaraan kotor, tamparan, permainan mainan s**." Minaki menoleh lalu menatapku tidak perc
"Pencuri! Berhenti!" Aku tetap berlari sekencang mungkin hingga menghilang di belokan lalu bersembunyi di halte dengan nafas ngos-ngosan. Berbagai umpatan meluncur dari mulutku karena ulah tamu sialan itu. Bagaimanapun, aku ini juga tamunya Minaki. Bukan pencuri seperti yang dia pikirkan. Belum reda ketengangan yang mendera jantung, sebuah pesan muncul dari Harumi. Harumi Jika kamu mencintaiku dan tidak selingkuh, maka tunjukkan kehadiranmu hari ini di Hyogo. Aku tunggu Jayka. -maps Tatsunono Tominaga Prefektur Hyogo- Aku menepuk jidat berkali-kali karena tekanan kanan kiri. Mementingkan Minaki membuat Harumi curiga lalu membahayakan hubungan kami. "Sial! Sial! Sial!" Kekesalan Harumi ternyata tidak main-main ketika dia tidak mau menerima panggilan dariku. Masalahnya jarak dari Miyazaki ke Hyogo itu sangat jauh, sekitar 7 jam perjalanan. Ditambah esok hari aku masuk kerja di pabrik dan malamnya ada jadwal manggung di Yokoha. Mau dibagi menjadi berapa tu
"Berjanjilah padaku kamu tidak akan meninggalkanku jika berkata jujur." Harumi mendengus malas lalu memalingkan muka. "Baiklah, aku tahu apa jawabanmu." "Kamu penipu Jayka." Harumi bangkit dari duduk lalu aku berusaha mengejarnya hingga di depan toko roti. Sadar sedang turun salju, aku mengajaknya berbicara di teras toko dengan memegang tangannya erat. Dia harus kembali ke dalam pelukanku setelah perjalanan jauhku yang melelahkan dan menguras tabungan. "Aku bekerja untuk adik Matsushima." Harumi mulai mau menatapku meski wajah cantiknya menyiratkan kekesalan. Lalu aku membimbingnya untuk duduk di sebelahku. "Dia memiliki usaha toko roti dan aku bertugas memasarkan semua rotinya secara online. Dan hasilnya lumayan." Dalam hati aku meminta maaf pada Matsushima dan akan menjelaskan semua permainanku ini padanya esok. "Kamu sudah tidak menjadi DJ?" "Masih, tapi dengan jadwal manggung yang minim tapi kebutuhanku dan keluargaku juga meningkat, aku harus memutar otak. Awalnya ak
Setelah memenangkan hati Harumi dengan menebar kebohongan sana-sini, hatiku pun lega. Sebagai pemain cinta, aku harus tega dengan segala tipu daya yang kurangkai demi mencapai tujuan. Harumi mengantarku kembali ke Stasiun Himeji pukul 20.15, sedang Tokaido Shinkansen Sakura akan berangkat pukul 20.31. Rasa rindu yang membuncah bertemu dengan belahan jiwa adalah hal lumrah, dan aku menginginkannya. Setelah memastikan stasiun sedikit sepi, dengan tiba-tiba aku membawa Harumi menuju toilet laki-laki. "Ada apa Jayka?" "Sayang, beri aku ciuman sebelum kembali. Atau aku akan gila karena merindukanmu. Aku mohon." Tubuhnya telah kurengkuh selekat mungkin. Bahkan aku yakin Harumi bisa merasakan keperkasaanku sedang menegang mengenai perutnya. "Tapi ini di toilet Jay." "Maka dari itu cepatlah sayang." Harumi yang masih setengah berpikir pun langsung terpaku ketika aku memburu bibirnya serakah. Bahkan suara eranganku tidak bisa ditahan lebih lama. Tanganku ikut bergerak nakal denga
Aku berjalan mendekatinya, meski terasa enggan karena penampilannya jauh dari kesan manis. Namun apa boleh buat, Minaki sedang bersedih. "Mau cerita di atas kasur?" Tawarku dengan jongkok satu kaki sambil menggenggam satu tangannya. Sambil menangis ia mengangguk. "Ada syaratnya." "Apa?" "Mandi dulu. Aku hanya mengenal Minaki yang manis, wangi, dan humoris. Bukan Minaki yang seperti ini, aku tidak mengenalnya." Dia menerima tawaranku. Saat ia mandi, aku membantu kedua ART untuk membersihkan kamar dengan cekatan. Juga meminta mereka menyiapkan sarapan. Meski kakinya tidak normal, Minaki bisa mandi dan berganti pakaian sendiri. Dia memiliki kesadaran untuk mandiri hanya saja suasana keluarga yang tidak banyak mendukung, terutama kedua kakaknya, membuat perkembangan kedewasaannya terhambat. Aku mengajaknya sarapan setelah selesai membersihkan diri. Meski tidak secantik menggunakan make up namun ini lebih baik dari pada tadi. Setelah tandas aku membawa nampan itu ke dapur dan k
Perdebatan pagi itu tidak menghasilkan apapun selain kepergian Tuan Tatsuo ke kantor. Sedang aku kembali ke kamar Minaki untuk menenangkannya sesuai permintaan Nyonya Tatsuo. Keluarga ini makin terpecah dengan keberadaanku yang tidak didukung seratus persen seperti di awal pertemuan. Jika meninggalkan Minaki maka aku menyalahi kontrak dan uang yang telah ia berikan lebih dulu padaku. Seakan aku telah terikat dengannya sejak awal. Sedang jasa yang kutawarkan masih memiliki jalan akhir yang panjang. Mendengar ucapan Tuan Tatsuo yang menyebutku akan menodai Minaki, itu seperti peringatan sekaligus tamparan bagiku. Aku sering terbuai dengan ciuman bahkan sentuhannya yang membuat gelora gairahku mencuat. Kini, aku harus bisa menahannya lebih dalam lagi dan semoga aku bisa. Melihatnya yang makin drop membuatku tidak tega. Ia banyak membantuku dan sikap baiknya pada Dina, adik angkatku, membuatku makin terenyuh. Mereka tidak saling mengenal tapi Minaki mencoba baik pada siapapun dengan
Kring.... Sebuah nomer baru menghubungiku. "Halo." "Halo Jayka." Dari logatnya sangat kentara jika ia pria Jepang asli. "Maaf, ini siapa?" "Papanya Minaki." Seketika badanku menegang mengetahui siapa yang menelfon. "I...iya Tuan Tatsuo. Ada yang bisa saya bantu?" "Aku mau meminta maaf atas ucapanku tadi pagi. Aku terlalu kalut dengan permasalahan di rumah sampai tidak bisa memilah ucapan." "Iya tuan, saya juga minta maaf telah bermalam di kamar Minaki." "Aku sadar jika permintaan putriku bukanlah hal yang naif. Dia sudah dewasa dengan kondisi yang demikian. Aku saja yang bodoh karena tidak bisa memahami keinginannya." Aku mengangguk sambil menatap lantai Kahoko Baking Class. "Aku yang membawamu kepadanya, lalu aku sendiri yang menghinamu. Tolong maafkan aku dan tetap beri semangat pada Minaki agar bisa lebih baik menata masa depannya." "Iya tuan. Saya akan berusaha sebaik mungkin sesuai keinginan anda dan nyonya." "Jayka, apa kamu sudah memiliki kekasih?" Ada perasaan
"Kekasih? Kamu sedang berbicara apa?" "Tadi saat kamu menerima telfon?" Lidahku tiba-tiba kelu. Mataku jelalatan mencari pembenaran. Juga detak jantungku berdegub tak karuan. Minaki bukanlah kekasihku tetapi pengaruhnya lumayan besar dalam hidupku. Ia seperti ATM berjalan, jadi tidak seharusnya aku mematahkan hatinya dengan membuka terang-terangan kisah asmaraku. "Tidak, aku tidak memiliki kekasih." "Oh... Aku salah dengar?" "Tentu saja." Aku menggendongnya ke dalam mobil dengan sopir kembali memasukkan kursi roda Minaki. Seperti biasa, dia akan merangkul leherku erat dengan memainkan hidungnya di leherku. "Aku takut kamu akan memprioritaskan kekasihmu dari pada aku Jayka." Aku gelagapan. "Sudah kukatakan aku tidak memiliki kekasih." Minaki mengangguk lalu kami diam seribu bahasa. Sadar jika Minaki kembali bersedih sedang kedua orang tuanya menyuruhku membahagiakannya, aku pun meminta pada sopir agar membawa kami menuju Goutor Coffe Shop yang ada di kawasan Tachibanadorinish
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan