Ternyata Matsushima mengerjaiku habis-habisan. Dia sengaja mengetuk pintu ruang kerja tergesa-gesa dengan suara panik hanya untuk memutus waktu intimate-ku dengan Harumi. Betapa sialannya Matshusima!!!Dan di depan pintu ruangannya, dia tengah merengkuh pundak seorang remaja muda yang nampak malu-malu. Walau tidak mengenakan seragam sekolah tapi aku bisa menebak jika gadis itu masih duduk di bangku SMA."Ayam yang masih muda." Selorohku.Matsushima terkekeh lalu mencium pipi gadis itu. "Cepatlah keluar Jayka. Kami akan segera mengeluarkan oli yang lama dan menggantinya dengan yang baru." Kata-katanya cukup menjijikkan dan membuatku mual. Tanpa basa basi aku meraih pinggang Harumi lalu mengajaknya keluar. Dan malam itu, setelah usai pekerjaanku menjadi DJ, kami berpisah di depan club karena Harumi akan pulang ke asrama diantar salah satu temannya. ***"Apa semua sudah siap?" Minaki mengangguk tegas. "Satu koper sudah sangat cukup Jay."Aku tengah berada di rumah Minaki, membantuny
Ada yang berubah dari raut wajah Minaki setelah aku keluar dari kamar mandi. Sambil menatap ponselku yang berada di tangan kiri, ia juga memegang ponselnya di tangan kanan. Lalu aku mendekat. "Ada apa Minaki?" Minaki mendongak dengan tatapan sedih. "Apa kamu kenal kak Yamada?" Mataku membulat sempurna dengan tubuh seperti dialiri sengatan listrik bertegangan tinggi. Dengan gerak cepat aku segera meraih ponselku dan memasukkannya ke dalam saku celana. Bagaimana aku bisa sebodoh ini dengan meletakkan ponselku sembarangan? Dan aaargghh... Bagaimana ini? Apa yang akan Minaki lakukan padaku jika mengetahui rahasia yang kusimpan rapat-rapat darinya? Bodohnya aku!!! "Apa maksudmu dengan Yamada? Aku tidak mengenal kakakmu sama sekali." "Jayka aku sudah membaca pesannya." Jawabnya polos. Apa Minaki juga membaca pesan yang kukirimkan pada Harumi? Yang benar saja! "Kamu keterlaluan Minaki!! Kamu membaca hal yang menjadi privasiku!" Aku berteriak marah karena tidak siap jika Minaki m
Demi apapun, tangis Minaki tidak membuatku melepas belitan tubuhku padanya. Tanganku masih memeluk tubuhnya, kakiku mengunci kedua kaki lemahnya, dan wajahku masih berada di ceruk lehernya. Mencium bahkan menyesap aroma parfum mahalnya yang masih bertengger disana. "Jay...." Panggilnya dengan isak tangis yang masih terdengar."Lepas Jay." Aku menggeleng. Yang pernah kubaca, cara melelehkan hati perempuan adalah dengan pelukan dan ciuman hangat. "Aku akan melepaskanmu setelah kamu berjanji tidak akan pergi kemanapun tanpa aku, Jayka, suami khayalanmu."Minaki malah menangis lebih kencang lalu aku makin mengeratkan pelukan. Aku tahu dia sedang merasakan luka akibat bentakan kerasku tadi. Hatinya yang halus, lembut, dan perasa membuatku amat bersalah karena melukai sedalam ini. Tidak seharusnya aku melakukan itu setelah banyak kebaikan yang dia berikan untukku.Aku menarik wajah dari ceruk lehernya lalu menatap wajahnya yang berderai air mata. Mengusap air mata yang meleleh, membuat
Tiga paper bag dengan berbagai merk bertengger di genggaman tanganku, lalu aku berjalan penuh percaya diri bak model super star.Ah... berbelanja di Tokyo membuatku serasa seperti putra mahkota yang bebas menggunakan isi kartu kreditnya tanpa batas. Jiwa-jiwa hedonisme yang telah lama terkubur mendadak bangun bagai zombie lalu menghisap isi dompetku. "Gila. Aku menghabiskan hampir 30.000 Yen untuk sekedar fashion manggung. Tapi, it's okay."Setelah selesai berbelanja, aku mengecek ponsel barang kali Minaki sudah selesai kursus. Ah...ternyata dia belum membuka pesanku. "Kita lihat, sejauh mana kelinci kecilku itu bisa bertahan tanpa aku disisinya." Ucapku penuh percaya diri lalu melangkah menuju Saikaya By The Sea. Sebuah restoran yang berada di deretan Shibuya dan tidak jauh dari lokasi kursus Minaki. Hanya restoran ini yang menurutku sesuai dengan lidah Indonesia sepertiku karena menyajikan sushi dengan menu ikan laut. "Halo sayang." Ucapku pada Harumi melalui sambungan telfon de
Minaki segera membuang pandangan ketika air matanya semakin jatuh tak terbendung lagi. Rupanya, efek karena mengetahui persahabatanku dengan Yamada membuatnya tidak tenang. Bayangan Yamada akan menjauhkanku darinya menari-nari di otaknya. Aku meraih lembut kursi rodanya untuk mendekat ke arahku tapi ia menepisnya dengan kasar. Belakangan ini kurasakan Minaki cukup berani membangkang atau membantah sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hatinya. Well. Bukankah itu memang tujuan mengapa aku disewa sebagai surrogate sexual partnernya? "Baiklah, aku akan menunggu sampai amarahmu mereda." "Tidak usah! Percuma! Kamu tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaanku! Lagipula, siapa yang sudi mendengarkan keluh kesah perempuan malang sepertiku?!" Bentaknya. Minaki menarik mundur roda kursi rodanya lalu menuju balkon sambil menangis sesenggukan. Barusan adalah bentakan dan amarah pertamanya semenjak kami berhubungan. Dulu, ia begitu lemah dan penurut, hampir seperti gadis tanpa nyawa.
Senyum yang lebih mirip seringai itu masih tersungging dengan aku melangkah sedikit sempoyongan menuju ranjang Minaki terlelap. Rasa pening yang berdenyut di kepala tidak serta merta membuatku menghentikan langkah atau berbelok menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajah dengan guyuran air. Salahkan saja gaun tidur Minaki yang terlalu menggoda seperti perempuan yang mengundang perhatian lelakinya ketika akan melakukan ritual malam pertama. Aku juga lelaki normal yang memiliki hasrat dan nafsu yang masih membara penuh gejolak tak tertahan. Apalagi, setengah jiwaku dikendalikan alam bawah sadar alkohol walau aku masih cukup sadar untuk mengenali apapun. Tapi melihat Minaki terlelap dengan gaun tidur berwarna peach kalem itu seperti sebuah lambaian untuk mendekat. "Cantik." Gumamku tanpa melepas tatapan dari setengah tubuhnya yang tertutup selimut. Ah... Gaya tidurnya seperti bangsawan, anggun dan sopan. Membuatku tidak sabaran. Melepas sepatu dan hoodie sembarang, lalu tubuhku men
Tangan nakalku kembali membelai pinggang ramping Minaki. Bahkan, awalnya aku yang enggan menyentuh Minaki jika melihat kaki kecilnya pun kini seakan tidak peduli sama sekali. Nakal. Itu kata-kata yang cocok untuk kusandang setelah dengan beraninya aku mengecup pundak Minaki yang baru saja tali gaun malamnya kusingkirkan."Jay." Minaki menggeliat resah tapi nafsuku menahan tubuhnya agar tidak turun dari pangkuanku. "Aku menginginkanmu Minaki." Ucapku begitu saja karena sudah merasa sangat bergairah. "Jay, aku belum siap. Aku takut." Ingin rasanya aku memaksa Minaki tidur denganku tapi bayangan kami yang baru saja akur menghalangiku untuk memaksanya lebih jauh. Sadar dia bisa kembali terluka karena aku memaksa, akhirnya aku menurunkan tubuhnya dari pangkuan lalu menuju kamar mandi. "Sial! Aku harus bermain sendiri atau bisa gila karena pusing menahan ini semua." Tidak butuh waktu lama, menonton video panas dengan tangan bergerak nakal disekitar juniorku secara intensif, akhirnya
Hari ini Minaki kembali mengambil kursus di bagian kedua. Bukan kembali ke area Shibuya, melainkan ia, gurunya, dan Kitazawa menuju ke tempat kursus pastry di salah satu bakery ternama lainnya yang berada di Tokyo. Points of Bakery, yang berada di daerah Ginza. Sepanjang perjalanan menuju Ginza kami melewati beberapa lokasi wisata yang indah seperti Shinjuku Gyoen, Istana Akasaka, dan Istana Kekaisaran Tokyo. Bahkan aku menyuruh sopir agar sedikit memperlambat kecepatannya agar bisa melihat kemegahan atap istana itu walau tidak lama. Karena tertutup oleh pagar dan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di segala sisi istana itu. Meski Tokyo telah maju dengan segala peradabannya tetapi menjaga kelestarian peninggalan jaman kerajaan menjadi satu keharusan. Istana itu jauh lebih menarik perhatian daripada gedung pencakar langit yang menjulang tinggi. "Waktu Kaisar Akihito turun takhta, upacaranya berlangsung di Aula Pinus yang dianggap paling bergengsi di Istana Kekaisaran To
POV MINAKI Satu Tahun Kemudian … Jayka benar-benar menunjukkan keseriusannya padaku selama satu tahun kami menjalani pernikahan kedua ini. Semua terasa indah dan melenakan karena sesungguuhnya hati ini masih lah miliknya meski sedalam apapun kesalahan yang Jayka perbuat. Sungguh cinta sebodoh ini. Hari-hari penuh cinta selalu Jayka tawarkan padaku. Perlakuannya di ranjang juga tidak kalah hebatnya hingga aku diam-diam selalu menginginkannya. Maklum, usia kami masih tergolong pasangan muda. Meski kakiku memiliki keterbatasan, namun aku tidak menjadikan itu sebagai penghalang untuk memuaskannya juga. Aku ingin kami sama-sama menikmati dan bahagia. Satu bulan kemudian setelah pernikahan kami, Jayka membawaku ke Spanyol untuk melakukan pengobatan. Ditemani Mayka, pengasuh, dan manajer Jayka. Kaki yang terkena polio membuatku tidak bisa berdiri dan itu menyebabkan tulang punggungku tertekan dan terasa nyeri. Akhirnya dokter melakukan beberapa tindakan dan aku diwajibkan menjalani ter
POV MINAKI "Aku tidak hamil, Jay," selaku cepat kemudian menunduk. Menatap kedua tanganku yang ia genggam erat. Kemudian Jayka menghela nafas panjang dan menggunakan tangan kanannya untuk menaikkan daguku. Lalu memberiku satu ciuman di bibir. Meski hanya sekilas namun cukup membuatku panas dingin. "Setelah dari Spanyol, kita akan berusaha memberi Mayka adik. Tidak ada protes." Lalu ia kembali mencium bibirku sedikit lebih lama hingga dering ponselnya meminta perhatian. Dengan kedua tangan, aku mendorong dada Jayka agar menyudahi ciuman ini lalu menerima panggilan itu. Panggilan yang berasal dari manajernya. "Halo? Ada apa?" "Semua sudah beres." Jayka tersenyum lalu jemari kirinya mengusap sudut bibirku. "Terima kasih, manajer." Kemudian Jayka menekan tombol merah pada layar ponselnya lalu menghubungi seseorang kembali. Kali ini siapa yang ia hubungi? "Halo, Michiya. Apa kabar?" "Baik, Jay." "Terima kasih sudah mau menerima panggilanku. Sekali lagi, aku minta maaf untuk
POV MINAKI Kepulangan Dina ke Indonesia membuatku kehilangan adik sekaligus sahabat terbaik. Meski kami masih saling bertukar kabar melalui pesan singkat, namun aku berharap esok hari dia mau ikut calon besanku kembali menuju Jepang untuk menghadiri upacara pernikahanku dengan Jayka. Masih di lokasi yang sama di Kuil Aoshima, rencana pernikahanku dengan Jayka agar digelar. Segala sesuatunya telah diurus oleh manajer Jayka dan dipastikan kuil tidak akan dibuka untuk umum selama pernikahan kami berlangsung. Tidak banyak yang kami undang mengingat banyaknya pro dan kontra yang terjadi di luar sana. Fans Jayka terutama, ada yang mendukung tapi tidak sedikit yang menghujat hubungan kami dengan melontarkan komentar negatif. Tapi Jayka selalu berkata 'jangan diambil pusing'. Agar tidak membuatku merasa tertekan dan tidak nyaman. Bahkan ia sengaja tidak mengatakan kapan upacara pernikahan kami akan digelar agar tidak ada paparazi yang menguntit. Cukup menyewa fotografer profesional dan me
POV MINAKISepeninggal Sagawa dari villa keluargaku di Ebino, aku mengajak Dina kembali ke Miyazaki. Aku menyarankan dia agar tidur di rumah kedua orang tuaku beberapa hari ke depan untuk membuat hatinya tenang.Dan betapa terkejutnya Jayka ketika melihat Dina telah berada di rumahku esok harinya, karena Jayka fikir Dina sedang menemani Sagawa di Ebino. Untuk masalah patah hati itu, aku sengaja menyembunyikannya dari Jayka. Biarlah Dina sendiri yang mengatakan pada kakaknya itu. Khawatir jika ada kata-kataku yang tidak sesuai dengan apa yang Dina rasakan. "Mas, pesanin aku tiket pulang ke Indonesia," ucap Dina pada Jayka.Wajah sendu dan tidak bersemangat menunjukkan betapa sedih suasana hatinya. Padahal tadi aku sudah mengatakan padanya agar tidak menunjukkan betapa hancur hatinya agar Jayka tidak bertanya-tanya. Jayka yang sedang menyuapi Mayka, akhirnya menoleh ke arah adiknya itu. "Kenapa? Tiga minggu lagi aku dan Minaki mau nikah, Din. Ibu Bapak juga bakal kesini. Kok kamu mal
POV MINAKI "Aku dan Sagawa ... kami sudah ... " "Sudah apa, Dina?" tanyaku semakin penasaran hingga tidak terasa aku meremas tangannya sangat erat. "Kami ... pernah seranjang bersama, Minaki San." *** Usai Dina mengakui hubungannya dengan Sagawa sudah sejauh itu, kepalaku teramat pusing sekali. Aku hanya khawatir Dina hamil dan keluarga Sagawa tidak mau mengakuinya. Berulang kali aku melihat jam di dinding dengan hati kesal karena Sagawa belum kembali juga padahal senja sudah tiada. Dan aku sudah menghabiskan dua cangkir kopi hitam sembari menunggunya. "Kamu kemana, Sagawa?!" geramku dengan jemari mengetuk-ngetuk sandaran tangan di kursi roda. Sengaja, aku menyuruh Dina istirahat agar dia tidak terlihat seperti mayat hidup. Aku paham sekali bagaimana terpukul dirinya menyadari jika mimpi indahnya bersama Sagawa telah usai. Dia harus bangun dan menyadari bahwa Sagawa haruslah kembali ke Tokyo seperti kemauan ibunya. Soal mahkotanya yang telah diambil Sagawa, bukankah mere
POV MINAKI Terpaan angin pantai itu membuat pakaian dan rambutku berkibar-kibar namun kedua mataku tidak lepas menatap Mayka dan Jayka yang sedang bermain pasir dan hewan-hewan kecil di pesisir pantai. "Aku meulis harapan, semoga tidak lagi hidup dengan Jayka." "Minaki!" seru Kak Yamada dengan suara tidak terima. Kedua matanya menatapku dengan sorot emosi lalu aku memberikan senyum terbaik. "Aku belum selesai berucap, Kak." "Ingat Mayka jika kamu menolak Jayka. Anakmu itu akan menjadi korban. Dia akan merasa kosong karena kehilangan sosok ayah dalam dirinya!" "Aku menulis harapan semoga tidak lagi hidup dengan Jayka, bila sekali lagi dia menyelingkuhiku." Kak Yamada menghela nafas panjang lalu berbalik menatap Jayka dan Mayka yang masih bersenang-senang disana. "Jayka sudah berjanji padaku bahkan dia sudah mengganti beberapa aset kekayaannya atas namamu. Demi meyakinkanku dan Papa untuk diberi izin kembali meminangmu." "Benarkah?" *** Pagi-pagi sekali aku teringat dengan ag
POV MINAKI "Jay, sudahlah. Temui saja pendetanya. Aku menunggu disini saja." Usai mengatakan itu, tanganku perlahan menurunkan tangan Jayka dari lipatan belakang lutut kakiku yang tadi sudah bersiap mengangkat tubuhku ke dalam gendongannya. Kedua mata tajam Jayka menyorotku dengan tatapan sedikit tidak suka namun aku memilih memalingkan wajah. Masalahnya, keseriusannya masih tidak terbaca oleh kata hatiku hingga rasanya perasaan ini masih saja meragu. "Aku mengajakmu ke Kuil Aoshima untuk mendengarkan dari pendeta sendiri kapan tanggal terbaik untuk kita menikah. Apa pesan yang akan pendeta katakan untuk pernikahan kedua kita nantinya, Minaki. Agar keraguan yang ada di hatimu juga hilang." Aku menggigit bibir dengan perasaan bingung tak karuan karena ucapan Jayka. "Sekarang, ayo kita masuk. Kamu mau 'kan?" Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba saja ada suara bisik-bisik dan derap langkah kaki yang tidak biasa di belakangku. Begitu tatapan Jayka mengarah ke belakangku dengan se
POV MINAKI Terowongan berbentuk hati warna merah yang membentang indah dengan beragam gantungan kayu bertuliskan nama para nama pasangan yang ingin hubungannya diberkahi sepanjang pernikahan ketika akan menuju Kuil Aoshima seakan menambah kesan tak kira di dalam hati. Ketika Jayka mendorong kursi rodaku perlahan-lahan, aku segera memejamkan kedua mata lalu membayangkan wajahnya dan Mayka sembari memohon pada para dewa agar hubungan kami dilanggengkan. Kalaupun kami menemui rintangan dalam rumah tangga, semoga baik aku dan Jayka sama-sama diberi kekuatan untuk melewatinya. Juga, semoga tidak ada perselingkuhan diantara kami. Dan aku kuat menghadapi ujian apapun ke depannya setelah Jayka kembali mengambil sumpahnya menjadikanku satu-satunya istri. "Sudah," bisik Jayka ketika aku merasakan kursi rodaku berhenti didorong. Begitu membuka mata, benar saja jika aku sudah usai melewati terowongan berbentuk hati itu. Lalu Jayka kembali mendorong kursi rodaku menuju Chozuya, sebuah batu b
POV MINAKI Niat Jayka untuk menikahiku lagi mendapat beragam tanggapan dari para fans dan netizen. Ada yang memuji kerendahan hatinya karena mau meminang perempuan tidak sempurna sepertiku. Bahkan ada yang menganggap aku menggunakan ancaman untuk membuat Jayka bertekuk lutut. Hasilnya, aku sendiri yang merasa sakit hati karena membaca beragam komentar dan pemberitaan tentang kami. Dan jalan satu-satunya adalah tidak memegang ponsel sama sekali untuk sementara waktu. Kini, aku sudah bersiap dengan pakaian musim semi dan make up natural yang menghiasi wajah. Begitu juga dengan Mayka, sudah terlihat manis dengan pakaian barunya yang dibelikan Jayka hampir satu koper banyaknya. “Kenapa aku begitu cemas, Kak?” tanyaku pada Kak Yamada. “Wajar.” Rencananya hari ini, kami akan pergi ke Kuil Shinto yang ada di Aoshima. Itu adalah Kuil Shinto kuno di pulau kecil yang rimbun dengan patung Dewa Buddha yang indah. Aku masih belum tahu mengapa Jayka memilih kuil itu sebagai tempat pernikahan