"Ehem!" Xela mendeham. "Kalau tidak jadi belanja, aku akan pulang!"Dehaman Xela mengembalikan perputaran waktu yang sempat terhenti antara Karel dan si nona pirang."Ah, i–iya, Nona! Silakan lihat-lihat dulu!" sahut Karel, sedikit gugup.Entah kenapa ia merasa tatapan Xela agak berbeda. Karel garuk-garuk kepala. Merasa serba salah.Dua wanita cantik yang berada di dekatnya saat ini ternyata mampu mencuri kewarasan pikirannya.Begitu Xela dan si nona pirang berpindah dari satu etalase ke etalase lainnya, Karel berbisik pada Kevin, "Apa kalian sempat kenalan?""Astaga, Bro! Tanpa kenalan pun, seluruh kota ini tentu sangat mengenal Nona De Groot!""Bukan dia!""Oh, si rambut pirang?"Karel mengangguk.Kevin terkekeh. "Kau tidak mengenalinya?""Jangan meledekku, Kevin!""Astaga! Kau sangat ketinggalan berita!" Kevin meninggalkan Karel, menyusul si nona pirang."Kevin!" teriak Karel, menahan dongkol dengan mengeritkan gigi.Beberapa detik kemudian sebuah pesan masuk ke ponsel Karel.[Cari
"Kota ini semakin tidak aman sekarang!" keluh salah satu pelanggan Sheira Jewels. "Lihatlah! Toko kelas atas seperti ini pun bisa kecolongan. Jangan kasih ampun, Pak!""Benar! Patahkan saja tangannya!"Ujaran kebencian pada Karel terus bersahutan."Lepaskan aku!" Sekali lagi Karel mengempaskan tangan dua orang petugas keamanan yang ingin menyeret paksa dirinya. "Jangan coba-coba melawan!" hardik salah satu dari petugas keamanan itu. "Hukumanmu bisa saja bertambah berat.""Aku bukan pencopet! Berapa kali harus kujelaskan? Lelaki itu memfitnahku!""Alah! Penjahat pintar berkelit," celetuk salah satu pengunjung. "Jangan percaya, Pak! Bawa saja dia!""Tunggu! Aku akan menghubungi teman-temanku. Mereka masih di ruangan VIP."Hening seketika.Semua orang saling lirik. Detik berikutnya, mereka kompak meledakkan tawa menghina."Hahaha ....""Kalian dengar dia bilang apa?" ejek lelaki asing, yang menjadi biang kerok nasib sial Karel. "Temannya di ruangan VIP. Pffft!"Kembali terdengar sembura
"Aku tidak mencopet! Kalian yang asal tuduh!"Rasanya Karel sudah kenyang menerima perlakuan buruk hari ini. Ia ingin memuntahkan semua kekesalannya."Apa kalian punya bukti? Tunjukkan padaku?" Nada tenang Karel penuh tekanan."Bagaimana kami bisa punya bukti, heh? Kamu mengelak saat dua petugas keamanan itu akan menggeledahmu!" sengit si muka kotak."Cukup!" sentak sang manajer. "Tuan ini tidak mungkin melakukan tindakan serendah itu!""Pak, Anda jangan terus-terusan membela penjahat! Zaman kini banyak orang yang ingin kaya dengan cara instan. Salah satunya dengan merampas hak milik orang lain." Si muka kotak keukeh memojokkan Karel.Mata Karel menyipit membaca raut muka lelaki itu. "Berapa kau dibayar?""A–apa maksudmu?" Si muka kotak gelagapan.Karel tersenyum mengejek. "Aku tahu kau bekerja untuk seseorang. Kau dibayar untuk menjebakku. Bukankah begitu?"Karel tak melepaskan pandangan dari si muka kotak. Ia hanya menebak, tetapi reaksi yang ditunjukkan oleh lelaki itu mengungkap s
Karel menghela napas panjang. 'Kasihan sekali wanita itu!'Setelah kartu hitam miliknya berpindah tangan, Karel berbalik. Menghampiri si mata bulat.Wanita itu sedang memungut isi tasnya yang berserakan dengan air mata berlinang.Saat semua orang berlalu meninggalkan dirinya, ia tak mampu membendung air mata lantaran patah hati.Terlepas siapa pun yang mengucapkan kata putus, berakhirnya jalinan cinta tetap saja meninggalkan jejak luka pada kedua belah pihak.Karel membantu wanita itu mengumpulkan barang yang tercecer. "Wanita sebaik Anda berhak mendapatkan lelaki yang lebih baik," hibur Karel seraya memasukkan sebuah jepit rambut ke dalam tas.Hatinya terenyuh saat menyaksikan wanita itu menyeka bulir air mata yang jatuh ke pipi."Mari!" Karel mengulurkan tangan untuk membantu wanita itu berdiri."Aku bukan orang jahat," ujar Karel meyakinkan saat dilihatnya wanita itu ragu-ragu menerima uluran tangannya.Melihat pancaran ketulusan di mata Karel, wanita itu akhirnya menerima uluran ta
"Hehe ... sering-sering saja menugaskan aku untuk belanja, Bro!" kekeh Kevin. "Lumayan dapat barang gratisan!"Belum sempat Karel menyahuti guyonan Kevin, Xela dan si nona pirang telah mencegat langkahnya sembari menadahkan tangan.Karel mengulurkan paper bag yang ditentengnya. "Ini, Nona!"Kevin melakukan hal sama pada si nona pirang. Sementara sang manajer menyerahkan barang milik wanita bermata bulat.Tiga mobil meninggalkan pelataran parkir Sheira Jewels secara beriringan, kemudian berpisah ketika tiba di persimpangan.Berkali-kali Karel curi-curi pandang pada Xela dari pantulan kaca spion tengah. Wanita itu duduk termangu dengan tatapan kosong."Lagi ada masalah, Nona? Dari tadi kok bengong terus?" goda Karel, tersenyum nakal.Xela tak mendengar candaan Karel. Tatapannya masih fokus pada jalanan yang seakan berlari mengejar mereka."Hati-hati, Nona! Tidak baik sering melamun. Ayam tetangga saya mati lo gara-gara bengong." Karel terus berusaha mengajak Xela bicara.Tiba-tiba Xela
"Tuan, apa yang terjadi dengan nona muda?""Di mana kamarnya?" Karel balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan wanita paruh baya itu."Sini! Sini!"Karel mengekori wanita paruh baya yang menuntun langkahnya, naik ke lantai dua. Tiba di kamar Xela, ia membaringkan gadis itu perlahan-lahan."Tuan, nona muda kenapa?""Nyonya Beth, dia tidak apa-apa. Hanya tadi sempat ketiduran dan sepertinya masih sangat mengantuk," sahut Karel setelah meraba kening Xela. "Oh ya, badannya juga agak panas. Kompres saja dan biarkan dia istirahat! Apa akhir-akhir ini dia kurang tidur? Dia terlihat seperti kekurangan darah.""Nona memang sering mengalami gangguan tidur semenjak ...." Nyonya Beth terdiam, tak meneruskan kata-katanya."Sejak kapan?""Oh, anu ... saya lupa persisnya, Tuan."Karel tahu Nyonya Beth sedang menyembunyikan sesuatu, tapi sudahlah, dia tidak berhak memaksa wanita paruh baya itu untuk menceritakan segala hal tentang Xela."Saya pamit, Nyonya.""I–iya. Terima kasih, Tuan.""Tidak perlu b
"Tapi apa?" Xela menunggu kelanjutan kata-kata Karel.Karel deg-degan. Detak jantungnya tak berirama dan kian menggila seiring terciptanya keheningan di antara mereka.Setelah cukup lama bergulat dengan kebimbangan, Karel memberanikan diri untuk meraih jemari Xela. "Xela, saat ini aku hanya mampu memberikan batu tak berharga ini padamu, tapi ... aku janji, suatu saat nanti, aku akan memberimu batu permata yang asli."Xela tertawa renyah. "Memangnya bisa? Permata itu mahal lo. Ini saja sudah cukup kok. Aku senang, karena kamu yang memberikannya!"Ego Karel sebagai lelaki tertantang mendengar candaan Xela. "Bisa! Aku akan bekerja keras untuk itu!"Karel menghela napas panjang dan dalam. Ada nyeri yang berdenyut di hatinya. Kenangan itu membuat kelopak matanya terpejam.Dia telah membuktikan janjinya pada Xela, tetapi semua itu sia-sia. Permata biru yang ia berikan pada Xela hancur di tangan orang lain.Sama seperti cintanya yang lebur di tangan Tuan De Groot. Tanpa terasa, dua bulir hang
Karel merapikan penampilannya sejenak, sebelum melangkah masuk ke gedung tempat berlangsungnya acara."Pelayan! Sini!" panggil seorang lelaki muda, melambai pada Karel.Merasa dirinya bukan pelayan, Karel mengabaikan panggilan itu. Matanya jelalatan mencari keberadaan Dave dan Joe."Heh, Pelayan! Kamu budek ya? Dari tadi dipanggil, bukannya datang, malah bersikap tak acuh. Kamu mau dipecat?"Karel masih sibuk mencari sosok Dave dan Joe di antara wajah-wajah asing dalam ruangan itu.Bugh!Tiba-tiba sebuah bogem mentah menghantam perutnya, setelah tubuhnya lebih dulu diputar ke belakang.Karel meringis. Mencoba mengontrol rasa sakit di perutnya, lalu menatap nyalang pada lelaki yang menyerangnya."Apa Anda tidak tahu tempat apa ini? Aku tidak mengenal Anda, kenapa Anda menyerangku secara membabi buta?""Sampah! Kamu mengabaikan panggilanku, tapi masih merasa tak bersalah, hah?! Cuma jadi pelayan rendahan saja sombong!"Karel tersenyum miring. "Anda salah paham. Aku bukan pelayan. Aku ju
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua