"Akan kukatakan kalau kau berjanji untuk menyanggupinya."Elina berkeringat dingin. Jemarinya refleks saling remas.Karel mengamati bahasa tubuh Elina dengan teliti, dan ia semakin yakin bahwa gadis itu sedikit bermasalah dengan kepribadiannya.Jika hal seperti itu terus berlanjut, ia akan menjadi korban perundungan dengan sangat mudah. Lebih parahnya lagi, perkembangan kariernya bisa terhambat."Pak Allen, berapa usia putrimu? Kenapa dia tidak berani mengemukakan pendapat? Apa Anda sering menindasnya?""T–tidak! A–Ayah saya s–sangat baik," sanggah Elina, tak rela ayahnya merasa terpojok oleh pertanyaan Karel.Allen sangat mengenal putrinya. Ia juga memiliki kekhawatiran yang sama dengan Karel."Elina memang agak pemalu, tapi dia belum pernah terlihat segugup ini," timpal Allen, menatap prihatin pada sang putri.Karel mengangguk ringan. "Jadi, bagaimana? Kau bersedia menyanggupi persyaratan yang akan kuajukan, Elina?"Elina menarik napas panjang seraya mengerling pada ayahnya sesaat,
"A–Ayah ... aku ... a–aku—""Sudahlah, Elina!" potong Allen. "Aku ayahmu. Aku sangat mengenal dirimu. Sebelum perasaanmu tumbuh subur dan semakin liar, lupakan dia!"Nasib baik dia mau membantu mencarikan pekerjaan untukmu. Jangan pernah mengharapkan sesuatu, lebih dari apa yang pantas untuk kau dapatkan! Hal itu hanya akan membuat hatimu kecewa dan terluka."Mata Elina merngerjap cepat. Ia tak percaya ayahnya akan menelanjangi isi hatinya secara terbuka.Dia bahkan belum sempat berjuang untuk mengejar cintanya, tapi ayahnya telah memasang tembok tinggi dan menolak untuk merestui dirinya.Hatsyim!Berjalan menyusuri koridor Rumah Sakit sepi, Karel menggosok hidungnya yang disapu bersin. Perasaannya mendadak tidak enak. Ia menoleh ke segala arah.'Kok aku merasa ada orang yang mengawasiku? Atau seseorang sedang membicarakan aku?'Ia membatin seraya mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Diam-diam ia menyelinap ke balik tembok di persimpangan koridor.Sebelah tangannya menjulurkan kame
"Apa istimewanya nama Red Scorpion, hingga aku harus tunduk? Itu hanya sejenis kalajengking beracun, yang bahkan di tanah ini pun seharusnya tidak pernah ada."Kalaupun ada, pastilah hasil selundupan dari kawasan seputar India sana. Tidak ada yang patut dibanggakan dari barang ilegal."Cemooh bernada datar, yang mengudara dari bibir Karel, terdengar lebih menusuk hati daripada kemarahan yang meluap-luap.Lelaki berewok itu mengeritkan gigi. Bertahun-tahun malang melintang menjelajahi dunia bawah yang berkedok tim keamanan, tidak ada seorang pun yang berani merendahkan nama besarnya."Bedebah! Kau terlalu angkuh! Apa kau lupa? Masih ada langit di atas langit. Bersiaplah untuk menerima keruntuhanmu! Hiyaaa!"Si berewok tidak mengerahkan anak buahnya untuk menyerang Karel. Dia sendiri yang memberi contoh, dan anak buahnya melakukan hal yang sama, tanpa perlu diperintah.Begitulah seharusnya seorang pemimpin sejati. Selalu berada di garda depan untuk memberi teladan. Bukan hanya mengacung
"Berhentilah memungut biaya retribusi ilegal dari para pedagang kecil!" tegas Karel dengan nada penuh penekanan."Apa?! I–itu ... uang jaminan keamanan.""Benarkah? Bukankah selama ini justru kalian sendiri yang membuat kekacauan? Lalu, jaminan keamanan seperti apa yang kalian janjikan?"Glek!Pimpinan komplotan Red Scorpion meneguk ludah. Ia tak berkutik. Komplotannya memang menjanjikan jaminan keamanan bagi para pedagang kecil yang taat membayar iuran wajib kepada mereka.Masalahnya, dia juga tak membatasi anggota organisasinya untuk melakukan tindak kekerasan bila ada orang yang menyewa jasa mereka.Mereka hanya melindungi para pedagang itu dari gangguan orang luar yang ingin menginvansi wilayah mereka."K–kami tidak bisa hanya menggantungkan hidup dari uang yang disetorkan oleh para pedagang," ujar lelaki itu membela diri."Oooh, jadi kalian rela menindas mereka demi menuruti manusia-manusia serakah? Manusia yang tidak memikirkan bagaimana masyarakat kelas bawah dapat melanjutkan
"Akhirnya ... thanks, God!" Kevin mengembuskan napas lega kala melihat kemunculan Karel dari gedung tua. "Semua aman terkendali, kan?""Aku tidak akan mati sebelum misiku selesai," sahut Karel, langsung membuka pintu mobil. "Ayo! Mau menemani mereka?""Aish! Sembarangan!" Cepat-cepat Kevin berjalan mengitari bagian depan mobil begitu melihat sekumpulan bayangan hitam bergerak keluar dari gedung yang terbengkalai itu."Ada apa?" tanya Kevin dengan kening berkerut saat dilihatnya Karel tak kunjung masuk ke mobil.Sahabatnya itu justru sibuk tolah-toleh ke segala arah, padahal sebelumnya, Karel-lah yang ingin bergegas pergi dari tempat itu.Mata tajam Karel mendarat di beberapa titik, tetapi yang ditemukannya hanya kegelapan.Karel mengedikkan bahu. "Bukan apa-apa! Mungkin hanya perasaanku saja."Karel masuk ke mobil setelah sekali lagi melempar pandang, menembus kegelapan lengang."Informasi darimu sangat berguna," ujar Karel, melirik Kevin melalui kaca spion."Hooo ... jelas! Keviin ..
"Anda tidak perlu ragu, Dokter J. Pilih saja apa yang Anda inginkan!" tegas Sir Collin, mengira Karel segan untuk menentukan pilihan.Karel tersenyum tipis, kemudian menggeleng seraya mendorong gambar yang terkembang di atas meja ke arah Sir Collin."Saat ini, saya belum membutuhkan apa yang ada dalam gambar itu.""Tapi ... bukankah Anda bilang bahwa Anda bersedia menerima hadiah dari saya?" tanya Sir Collin dengan alis mengerut, bingung."Iya, tapi bukan salah satu dari barang-barang itu," ujar Karel, mengusir semburat kecewa yang sempat menyelimuti raut bingung Sir Collin."Aah, saya kira Anda berubah pikiran," kekeh Sir Collin, sedikit canggung. "Katakan saja apa yang Anda butuhkan, Dokter J!""Sir Collin, saya dengar ... Anda berasal dari Distrik Penna. Apa itu benar?""Benar sekali! Anda ingin berlibur ke sana?" Sir Collin tampak antusias mengetahui Karel tertarik dengan daerahnya."Kebetulan, dalam waktu dekat, saya ada keperluan ke sana.""Aah, urusan tempat tinggal, Anda tenan
Karel dan Profesor Jansen bergerak kembali ke rumah."Aku sedang berpikir, kenapa seorang pejabat seperti Sir Collin mau bersusah payah untuk menemuiku dan ingin memberi hadiah," sahut Karel. "Bukankah aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai dokter?"Karel mengempaskan bokong di atas sofa. Begitu pula dengan Profesor Jansen. Ia sangat lelah setelah seharian bergumul dengan rutinitas di laboratorium."Hanya ada dua alasan. Pertama, dia tidak menganggap apa yang kau lakukan pada anaknya sekadar kewajiban dokter, melainkan utang budi."Atau ... bisa jadi, dia menginginkan hubungan antara orang tua pasien dan dokter bisa berkembang menjadi persahabatan untuk jangka panjang."Profesor Jansen tersenyum samar. "Aku rasa, berteman dengan Sir Collin akan menjadi investasi yang bagus untukmu. Dia paham betul pentingnya prinsip take and give dalam suatu relasi."Bayangkan saja kalau kau terus-terusan berada dalam posisi memberi, entah itu memberi bantuan ... tenaga, nasihat, ataupun sekadar pe
Buk! Buk! Buk!Lewis menghantam samsak dengan membabi buta. Melampiaskan kebenciannya perhadap Karel pada benda yang tak bersalah itu.Hosh! Hosh!Napasnya tersengal-sengal kala ia memagut samsak dengan lengan letihnya yang bermandi peluh."Ketua, daripada terus menahan diri, kenapa tak Anda lampiaskan saja kemarahan Anda pada orangnya?" tanya salah satu dari anak buah Lewis yang sedari tadi setia menonton pertunjukan sang bos. "Hari ini dia sudah masuk kerja, 'kan?""Iya, Ketua. Kami siap membantu Anda untuk melumpuhkannya," sambung anak buahnya yang lain.Lewis menoleh ke belakang, melempar tatapan garang pada anak buahnya yang melontarkan kalimat provokasi."Apa kalian lupa bagaimana monster itu melumpuhkan teman-teman kalian dan juga aku?" hardik Lewis. "Aku tidak akan pernah melupakan rasa sakit dan bagaimana dia mempermalukan aku! Aku akan membalasnya, tapi tidak sekarang.""Ketua, setelah kejadian itu, Anda berlatih keras tanpa kenal lelah dan batas waktu. Apa itu belum cukup?"
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua