Mark berlari masuk ke gua yang menjadi camp mereka dengan napas tersengal-sengal.
Seorang lelaki paruh baya, dengan seragam putih khas dokter, keluar dari ceruk gua bersama seorang pria berkemeja warna army.Usia mereka terlihat tak jauh berbeda."Kami menemukan orang di tengah di hutan," lapor Mark. "Dia masih hidup, tapi nadinya sangat lemah.""Taruh dia di atas batu itu!" Sang profesor menunjuk sebuah batu ceper seukuran ranjang bujang."Mana Dave?" tanya lelaki berkemeja warna army."D–dia ... masih bertarung melawan beruang.""Apa?! Itu bahaya," seru lelaki itu. "Jay! Ben! Cepat susul Dave!""Siap, Instruktur!"Mark terlihat cemas. "Instruktur Lennon, beruang itu sangat besar!""Bawa amunisi obat bius lebih banyak!"Setelah Jay dan Ben pergi, Instruktur Lennon dan Mark mengelilingi Karel."Luka-luka di tubuhnya bukan akibat serangan beruang. Apa yang terjadi padanya?" tanya Profesor Jansen sambil membuka kancing baju Karel."Bukan?" Instruktur Lennon ikut memeriksa kondisi Karel.Melihat pemandangan penuh darah di depan mata, Mark menghilang, kemudian kembali dengan membawa sebaskom air hangat. Ia menaruh baskom berisi air itu di samping kaki Karel."God! Siapa yang tega menyiksa manusia sekejam ini?!" tanya sang profesor dengan napas tertahan.Sejenak Instruktur Lennon kembali memindai sekujur tubuh Karel dan mengamatinya lekat."Anak ini korban kekerasan karena kebencian.""Instruktur Lennon, Anda memiliki mata yang sangat tajam! Kukira dia korban perampokan.""Profesor Jansen, aku terbiasa melihat tubuh yang berdarah-darah. Tidak seperti ini siksa yang diterima seseorang jika dia hanya dirampok."Lagi pula, rampok mana yang beraksi di tengah hutan yang jarang dimasuki orang, kecuali peneliti gila seperti Anda?"Ini lebih serius dari kelihatannya. Siapa pun yang menyiksa anak ini, orang itu ingin dia mati, atau paling tidak, cacat seumur hidup.""Kejam! Sungguh kejam!" gumam Profesor Jansen. Ia bahkan tidak tersinggung dikatai sebagai peneliti gila oleh Instruktur Lennon. "Mark, tolong bersihkan anak ini! Utamakan bagian tangannya lebih dulu!"Melihat luka menganga pada punggung tangan kanan Karel, Mark memilih membersihkan tangan kiri. Begitu tangan kiri Karel tak lagi menyisakan noda darah, Profesor Jansen segera memasang jarum IV.Hampir satu jam Mark berkutat dengan waslap dan air hangat. Menghilangkan jejak gumpalan darah kering dari setiap goresan luka di badan Karel."Selesai, Prof!" lapor Mark, membiarkan Karel tanpa ditutupi sehelai benang, kecuali pada bagian yang memalukan untuk dilihat umum.Profesor Jansen memeriksa kondisi kesehatan Karel dengan teliti sekali lagi. Ia mengernyit."Ada apa, Prof?" tanya Instruktur Lennon."Ini membingungkan! Dia menerima siksaan kejam, tapi anak malang ini juga mendapatkan setitik harapan hidup."Baiklah, aku akan mengabulkan harapan yang terakhir itu."Profesor Jansen melakukan tindakan khusus terhadap Karel. Dia mulai memasukkan cairan penetral racun."Dia juga diracun?" Mata Instruktur Lennon menyipit.Ia membungkuk, meraih jemari Karel, lalu mengamati kukunya. Kuku Karel tampak menghitam."Sadis! Orang itu tidak cukup hanya dengan menyiksanya, tapi juga meracuninya," geram Instruktur Lennon. "Anak ini terlihat polos. Apa dosanya hingga mendapat siksa begini kejam?""Instruktur Lennon, apa Anda lupa? Sebagian orang justru merasa ketakutan saat bertemu dengan orang-orang polos."Anak ini kelihatannya juga keras kepala. Kepolosan dan sikap keras kepala merupakan perpaduan kepribadian yang membahayakan bagi orang-orang yang berjiwa gelap."Membiarkan anak seperti ini di sekitar mereka, sama saja dengan melempar bumerang. Suatu saat kepolosan anak ini akan mencelakai diri mereka.""Masuk akal!"Profesor Jansen tak lagi mengoceh. Konsentrasinya terpusat untuk menjahit luka-luka Karel yang cukup lebar dan dalam.Setelah mengobati pasien dadakannya, Profesor Jansen menyeka peluh."Apa dia akan baik-baik saja, Prof?" tanya Mark, satu-satunya murid yang dibawa Profesor Jansen untuk membantunya melakukan penelitian."Racun yang masuk ke tubuhnya bukan hanya jenis racun pelumpuh saraf, tapi juga pelemah organ vital. Jika tidak ditangani tepat waktu, dia akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia, tapi racun jenis ini bisa juga menjadi jalan untuk menyelamatkan seseorang.""Menyelamatkan bagaimana, Prof? Yang namanya racun, bukankah bersifat membunuh?"Pengetahuan Mark belum sampai pada kedalaman ilmu sang profesor."Dalam hitungan detik setelah mengonsumsi racun ini, reaksi yang muncul pada jantung sama seperti bersin. Jantung akan berhenti berdetak. Orang-orang jahat itu akan mengira dia sudah mati, lalu menyingkirkannya."Mark manggut-manggut. Sekarang ia paham kenapa sosok pemuda itu dibuang ke hutan. Komplotan penjahat itu pasti mengira dia sudah mati dan mereka ingin menghilangkan jejak.Profesor Jansen menghela napas panjang. "Aku tidak tahu sudah berapa lama racun itu mengendap di tubuhnya, tapi ... mari sama-sama berdoa semoga usaha kita untuk menyelamatkan nyawanya belum terlambat.""Profesor, aku akan kembali menjelajahi hutan!" beritahu Mark."Tapi Mark ... bagaimana kalau Profesor Jansen membutuhkan tenagamu untuk merawat pemuda itu?" protes Instruktur Lennon. "Jay dan Ben telah menyusul Dave. Tetaplah di sini!""Beruang itu sangat ganas, Instruktur. Tak masalah jika Dave baik-baik sebelum Jay dan Ben menemukannya, tapi bagaimana kalau dia terluka menjelang mereka tiba?""Ini salahku. Aku tidak pernah berpikir kita akan menghadapi situasi seperti ini. Kalau tahu, aku akan membawa murid lebih banyak," keluh Profesor Jansen. "Pergilah, Mark! Aku bisa menangani anak ini sendiri.""Tapi Profesor—""Instruktur Lennon, mereka mungkin akan lebih membutuhkan bantuan Mark daripada aku."Profesor Jansen membutuhkan tanaman herbal tertentu untuk penelitian. Oleh karena itu, Mark dan Dave harus bergerak cepat untuk menemukannya.Akan tetapi, jika dihadapkan pada pilihan antara menyelamatkan nyawa orang lain dan ambisi pribadinya, Profesor Jansen lebih memilih untuk mengor
Dua bulan telah berlalu sejak perkenalan Karel dengan Profesor Jansen dan orang-orangnya.Kini ia sibuk beradu laga dengan Instruktur Lennon. Mengembalikan kebugaran tubuh dan membentuk ototnya.Instruktur Lennon meninggalkan arena latihan. Membiarkan Karel mengasah kemampuan bertarungnya seorang diri.Ia ikut duduk di samping Profesor Jansen, yang sedari tadi setia menonton Karel mengikuti sesi latihan."Pemuda malang itu benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan putra Anda, Prof!" komentar Instruktur Lennon sambil menyeka peluh di lengannya dengan sehelai handuk kecil.Tatapannya tak lepas dari memandangi sosok Karel yang sedang berlatih bela diri tanpa mengenal lelah.Anak itu bahkan tak peduli dengan sebagian lukanya yang belum sembuh total."Ayo tinggalkan hutan sunyi ini dalam waktu tiga hari!"Sungguh percakapan dua arah dengan saluran yang berbeda."Kenapa mendadak sekali?" Instruktur Lennon mengernyit."Anak itu harus kembali ke bangku kuliah!""Apa?! Yang benar saja, Pro
Mark kaget. Ia sangat terobsesi dengan perburuan tanaman herbal, tapi kini Profesor Jansen mengajak mereka semua untuk pulang."Yaaah, padahal aku mulai jatuh cinta pada kemisteriusan hutan ini," keluh Dave, sama kecewanya dengan Mark."Dia harus melanjutkan hidup dan kembali ke kampus," tegas Profesor Jansen, melirik Karel yang masih sibuk berlatih bela diri."Karena dia?" Mark dan Dave kehabisan kata untuk mendebat Profesor Jansen.Di tengah area bersih yang tak begitu luas, Karel seperti orang kesetanan memukuli Mok Yan Jong.Pukulan demi pukulan seakan merupakan pelampiasan dari kemarahannya yang terpendam.Semakin jelas bayang wajah Tuan De Groot bercokol pada puncak Mok Yan Jong itu, bertambah besar pula tenaga yang ia kerahkan pada pukulannya."Hiyaaa!"Tanpa diduga, seseorang menyergap Karel dari belakang.Bugh!"Aaakh!"Karel menggaruk kepalanya setelah sang penyergap mendarat di tanah. Rasa bersalah menggulung jiwanya melihat Dave terkapar."Maaf! Aku tidak tahu itu kau." Ka
"Aku berubah pikiran, Mark!" tegas Profesor Jansen. "Karel harus mempersiapkan masa depannya. Ben juga membutuhkan pemeriksaan kesehatan lebih lanjut."Semua mata tertuju pada kaki Ben. Lelaki berusia dua puluh delapan tahun itu mendapatkan cedera yang lumayan parah saat berhadapan dengan beruang demi menyelamatkan Dave. Jalannya sekarang sedikit pincang.Karel mendekati Ben, meremas pundaknya dengan hangat. "Aku tidak akan melupakan pengorbananmu, Ben. Kalau bukan karena Dave dan Mark ingin menyelamatkan nyawaku, kau tidak akan menjadi cacat."Utang emas bisa diganti, tapi utang budi dibawa mati. Seumur hidup ia berutang nyawa pada murid Profesor Jansen dan Instruktur Lennon.Karel telah membuat dan menyimpan catatan khusus dalam hatinya. Enam orang pria yang saat ini bersamanya adalah orang-orang penting yang akan menjadi prioritas hidupnya kelak.Tak peduli sesibuk apa pun dia setelah sukses nanti, dia akan selalu meluangkan waktu jika ada di antara mereka yang membutuhkan bantuanny
"Tempat apa ini, Ayah?"Karel mengedarkan pandangan, menyapu setiap sudut ruang bawah tanah kediaman Profesor Jansen dengan rasa ingin tahu tingkat dewa."Ini laboratorium pribadiku. Tempat di mana aku melakukan berbagai penelitian rahasia dan mengembangkan penemuan baru.""Pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.""Memang, tapi hasilnya sebanding dengan keuntungan dan kepuasan yang akan kau dapatkan jika penelitianmu berhasil."Profesor Jansen terus menggiring Karel ke sudut yang lain. Memasuki sebuah ruangan yang lebih kecil.Begitu Profesor Jansen menekan tombol remot di genggamannya, tirai yang menggantung di tengah ruangan terangkat. Tampak sebuah peti kaca.Sesosok tubuh terbaring kaku di dalam kotak kaca itu. Berselimutkan gumpalan kabut putih.Bagai ditarik oleh sebuah magnet berkekuatan besar, kaki Karel bergerak maju.Ia mengucek mata berulang kali setelah melihat rupa sosok yang terbujur kaku itu."A–Ayah, s–siapa dia? K–kenapa d–dia sangat mirip denganku?"Kerongkongan
Pasak bumi kokoh menjulang di kejauhan. Memamerkan puncak runcing yang mulai berselimut kabut musim semi.Terik mentari perlahan kehilangan kegarangannya seiring dengan jarak senja yang kian mendekat.Tok! Tok!Pintu kamar Karel diketuk hati-hati, seakan si pengetuk merasa takut suara ketukannya akan mengganggu sang penghuni kamar."Masuk!"Karel berteriak tanpa mengalihkan pandangan dari keyboard macbook, di mana jemarinya masih terbuai dengan tarian sibuk.Pintu kamar itu tak dikunci. Seorang lelaki berusia awal tiga puluhan melangkah masuk. Ia langsung duduk di atas sofa yang berada di sisi kiri Karel. Meletakkan berkas yang dibawanya di atas meja."Kepulanganmu membuatku terlihat buruk," keluh lelaki itu, menyilangkan kaki sembari bersandar, seakan-akan pundaknya berisi beban berat.Karel menjauhkan tangannya dari keyboard. "Aku tahu kau sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggumu.""Cih, seperti orang lain saja!" Lelaki itu menurunkan kakinya, duduk lurus. "Karel, tak peduli hujan
Di pengujung senja yang bertabur gerimis, Xela pulang dari menikmati liburan bersama teman-temannya. Merayakan kelulusan sekaligus bersiap menyambut status baru sebagai mahasiswa."Anak kurang ajar!" umpat Tuan De Groot, menyeret dengan kasar lengan Xela begitu gadis itu menginjakkan kaki di ruang tamu."Akh! Ayah, sakit!""Kau pantas mendapatkan siksa yang lebih pedih dari ini! Kau mencoreng wajahku!"Plak!Tamparan Tuan De Groot meninggalkan cap lima jari pada pipi Xela yang berkulit cerah, juga jejak luka pada hatinya yang berdenyut perih."A–apa salahku, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?""Kau! Masih tidak mengetahui kesalahanmu, hah?!" Tuan De Groot melotot geram. "Aku mengizinkanmu pergi dengan teman-temanmu untuk menikmati liburan, tapi apa yang kau lakukan, hah?! Kau menikah dengan laki-laki tak berguna!"Xela merasakan suhu di ruangan itu turun ke titik minus. Membuat tubuhnya menggigil dan aliran darahnya membeku. Lidahnya mendadak kelu.Tuan De Groot terus menyeret Xela. Mening
"Tuan, ada mobil yang mengikuti kita dari tadi," lapor sopir yang mengendarai kendaraan milik Tuan De Groot.Sorot matanya beriak cemas, melirik spion samping berulang kali."Kau pikir ini jalan pribadiku?" sentak Tuan De Groot, merasa kesal lantaran niatnya untuk memejamkan mata terganggu."Tapi ini mencurigakan, Tuan. Saya telah mengedipkan lampu dan menepi agar mereka bisa mendahului, tapi mereka justru memperlambat setelah berhasil menyejajari kendaraan kita.""John, kau berpikir terlalu jauh. Apa ini untuk pertama kalinya kau menempuh perjalanan jarak jauh?"Sebagai sopir, bukankah seharusnya kau tahu bahwa lebih baik mengurangi kecepatan daripada mengambil risiko beradu kambing dengan lawan dari arah depan?"Sudahlah! Berkendara saja dengan baik! Jangan ganggu aku! Aku ingin istirahat!"Ckiiit!John membanting setir ke kiri dan menginjak pedal rem dengan kuat."John! Kau ingin mati, hah?!"Tuan De Groot meledak. Baru saja ia berpesan pada sang sopir untuk membiarkannya beristira
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua