"Menurut Anda, kenapa saya melakukan itu?" Karel sudah menduga pertanyaan tersebut akan muncul dan sengaja melempar balik pertanyaan yang diajukan jurnalis pria, dengan kacamata yang cukup tebal."Sebelumnya ... kami sempat mengira bahwa Anda, maaf, mungkin malu menunjukkan wajah Anda karena ... ya ... kami yakin Anda bisa menebak apa yang kami pikirkan."Karel manggut-manggut dengan seulas senyum yang sukses membuat para wanita menahan napas."Saya paham, tapi bukan itu yang menjadi alasan saya," sahut Karel. "Jika saya tak menyembunyikan identitas saya, orang-orang akan cenderung mengaitkan diri saya dengan ayah saya."Karel melirik Profesor Jansen. Lelaki sepuh itu tersenyum tipis dan mengangguk ringan.Karel melanjutkan penjelasannya, "Saya tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang nama besar orang lain, walaupun orang itu adalah ayah saya. Saya ingin masyarakat mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena menyegani nama besar seorang Profesor Jansen."Mata para awak media ki
"Xela, cepat buka pintu!" titah Tuan De Groot kala bel berbunyi nyaring."Nyonya Beth, to—""Aku memerintahmu, Xela! Bukan Nyonya Beth!""Aku belum selesai, Ayah!"Jawaban Xela memaksa Tuan De Groot meninggalkan pintu kamar sang putri. Daripada membiarkan Nyonya Beth yang membukakan pintu, lebih baik dia sendiri."Selamat malam, Tuan!" sapa Karel begitu wajah Tuan De Groot muncul dari balik pintu."Dokter J!" seru Tuan De Groot girang. "Selamat datang! Mari masuk!"Tuan De Groot langsung menuntun Karel menuju ruang makan. Ia bahkan tak segan menarikkan kursi untuk Karel."Terima kasih, Tuan! Anda tidak perlu bersikap terlalu sopan," ujar Karel, merendah. "Saya jauh lebih muda daripada Anda. Tak pantas mendapatkan perlakuan istimewa. Justru saya yang seharusnya melayani Anda."Tuan De Groot terkekeh senang. "Tidak perlu sungkan, Dokter J. Anda adalah tamu spesial keluarga kami malam ini. Sudah selayaknya saya menghormati Anda, tak peduli berapa pun usia Anda."'Ck! Ternyata pandai juga
"Memiliki pendamping hidup bukan hanya menyatukan cinta dari dua insan yang berbeda, Tuan, tapi juga restu dari dua keluarga," kata Karel. "Apalah artinya sebuah pernikahan bila tanpa restu orang tua? Semua hanya akan berakhir dengan derita dan air mata."Uhuk!Tuan De Groot tersedak. Cepat-cepat ia menyesap air putih.Kata-kata yang diucapkan Karel dengan nada santai itu bak tikaman belati menusuk jantungnya."Anda tidak apa-apa, Tuan?" tanya Karel, memasang wajah khawatir."Saya ... saya baik-baik saja," tukas Tuan De Groot. "Saya hanya kaget mengetahui Anda memiliki pemikiran yang sangat dalam. Jarang sekali orang muda yang berpikir seperti Anda."'Kaget atau merasa tersindir?' cibir Karel dalam hati."Itu karena saya tidak terlahir dengan sendok emas di mulut saya, Tuan. Peliknya lika-liku kehidupan memaksa saya untuk dewasa lebih cepat.""Oh ya?" Tuan De Groot tak percaya begitu saja dengan ucapan Karel. "Bukankah Anda putra Profesor Jansen yang terkenal itu? Setahu saya, Profeso
"Apa kau ingin kembali mempermalukan aku?" bentak Tuan De Groot. "Jawab, Xela! Iya?!"Xela tergugu. Rasanya sakit sekali menyadari bahwa diri tak juga dimengerti oleh orang tua sendiri.Bukankah setiap orang tua menginginkan kebahagiaan untuk putri mereka? Akan tetapi, Xela tak menemukan kebenaran dari anggapan itu pada ayahnya.Sebaliknya, sang ayah selalu memaksakan kehendak tanpa memikirkan perasaannya."Ayah, tidak bisakah sekali saja Ayah mempertimbangkan perasaanku?" lirih Xela dengan tatapan sendu. Matanya bahkan berkaca-kaca."Justru aku sangat memikirkan kebahagiaanmu, Xela! Kalau kau menikah dengan Dokter J, kehidupanmu akan terjamin. Kau juga akan menjadi sorotan dan disegani oleh banyak orang. Apa lagi yang kau inginkan?""Tapi, aku tidak mencintainya, Ayah. Dia juga belum tentu menyukaiku."Xela berusaha membuka pemikiran ayahnya akan perasaan cinta yang tak bisa dipaksa.Cinta adalah rasa hati yang rumit. Ia datang tanpa diduga, tetapi ia selalu tahu di mana harus berlab
"Tuan Jaffan, apa maksud Anda bertanya begitu? Apakah Anda meragukan kasih sayang saya terhadap putra Anda?"Profesor Jansen merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Tuan Jaffan."Sejak pertama kali saya bertemu dengan Karel, saya tidak pernah menganggapnya orang lain. Bagi saya, Karel adalah putra saya.""Saya tahu. Saya sama sekali tidak meragukan kasih sayang Anda pada Karel. Saya dapat melihatnya dengan sangat jelas.""Lalu?""Sesuai dengan makna tersurat dari pertanyaan saya."Tuan Jaffan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya saat ini serupa dengan saat ia menunggu jawaban atas pernyataan cintanya pada mendiang istrinya dulu. Harap-harap cemas."Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan Jaffan," ujar Profesor Jansen. "Tapi, saya bisa pastikan bahwa apa pun yang terjadi, bagi saya ... Anda adalah saudara. Anda adalah seseorang yang sangat berarti bagi Karel. Saya sangat berterima kasih karena Anda telah mengikhlaskan Karel menyandang nama saya."
"Anda suaminya?" tanya sang perawat yang mendampingi dokter.Tuan Jaffan ingin berkata bukan, tetapi melihat dokter menggeleng pada perawat setelah memeriksa Nyonya Shopia, ia hanya bisa mengangguk."Tolong, tanda tangani berkas ini, Tuan!" pinta sang perawat. "Istri Anda harus segera dioperasi."Demi keselamatan Nyonya Shopia dan bayinya, tanpa ragu Tuan Jaffan membubuhkan tangan.Malam itu, tepat pukul satu, perawat mengizinkan Tuan Jaffan memasuki ruang operasi."Selamat, Tuan. Istri Anda melahirkan putra kembar, dengan selisih waktu lima belas menit, tapi ...."Gulungan rasa cemas menghantam nurani Tuan Jaffan. Apakah Nyonya Sophia mengalami nasib yang sama dengan istrinya? Tidak! Jangan sampai hal buruk itu terjadi juga pada Nyonya Sophia. Bisa-bisa dia yang akan disalahkan oleh suami Nyonya Sophia."Tapi, apa, Nurse?""Tanggal ulang tahun putra Anda berbeda. Yang sulung lahir lima menit menjelang tengah malam, sementara adiknya ... lahir lima belas menit kemudian.""Syukurlah. I
Profesor Jansen tak mampu berkata-kata."J–jadi ... aku ... bukan putra kandung Ayah?""Karel!""Karel!"Tuan Jaffan dan Profesor Jansen serentak berseru kaget dan menoleh pada Karel yang mendatangi mereka dengan langkah berat.Tatapan Karel menghunjam lekat pada Tuan Jaffan."Katakan, Ayah! Apa benar yang kudengar? Aku bukan putra kandungmu?"Mengetahui bahwa diri dibohongi selama bertahun-tahun sungguh terasa sangat menyesakkan dada."Nak, itu ... tidak seperti yang kau pikirkan," ujar Tuan Jaffan, merasa serba salah."Memangnya Ayah tahu apa yang kupikirkan?" Langkah Karel semakin dekat dengan Tuan Jaffan."Aku salah karena merahasiakan hal ini darimu, tapi percayalah ... tidak ada niat di hatiku untuk menyembunyikan siapa orang tua kandungmu.""Begitukah?"Karel tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah ia senang setelah mengetahui Profesor Jansen adalah ayah kandungnya? Ataukah ia harus marah dan mengutuk takdir karena telah dibohongi dan tak pernah mengenal seperti apa
"Lepaskan kakiku, Ayah!""Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau berjanji untuk tidak akan meninggalkan aku."Karel memejamkan mata. Nuraninya terluka. Ia ingin menendang Profesor Jansen untuk melampiaskan kemarahannya, tapi ia takut dosa.Profesor Jansen adalah ayah kandungnya. Tanpa benih darinya, ia tidak akan pernah terlahir ke dunia dan tumbuh dewasa dengan sempurna."Kalau Ayah bersikeras untuk tidak melepaskan aku, aku benar-benar akan pergi dari hidup Ayah!" gertak Karel."Jangan!""Jangan!"Profesor Jansen dan Tuan Jaffan kompak berteriak. Serta merta pagutan lengan Profesor Jansen pada kaki Karel terlepas.Kesempatan itu dimanfaatkan Karel untuk berbalik, meninggalkan kamar Profesor Jansen."Nak!" panggil Profesor Jansen, terdengar putus asa.Tuan Jaffan menggeleng. "Biarkan dia pergi! Dia butuh waktu untuk menenangkan diri."Tuan Jaffan sangat mengenal watak Karel. Apa pun yang terjadi, anak lelakinya itu tidak akan pernah membenci mereka berdua.Karel hanya butuh w
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua