"Tuan Jaffan, apa maksud Anda bertanya begitu? Apakah Anda meragukan kasih sayang saya terhadap putra Anda?"Profesor Jansen merasa sedikit tersinggung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Tuan Jaffan."Sejak pertama kali saya bertemu dengan Karel, saya tidak pernah menganggapnya orang lain. Bagi saya, Karel adalah putra saya.""Saya tahu. Saya sama sekali tidak meragukan kasih sayang Anda pada Karel. Saya dapat melihatnya dengan sangat jelas.""Lalu?""Sesuai dengan makna tersurat dari pertanyaan saya."Tuan Jaffan merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Perasaannya saat ini serupa dengan saat ia menunggu jawaban atas pernyataan cintanya pada mendiang istrinya dulu. Harap-harap cemas."Saya tidak mengerti maksud Anda, Tuan Jaffan," ujar Profesor Jansen. "Tapi, saya bisa pastikan bahwa apa pun yang terjadi, bagi saya ... Anda adalah saudara. Anda adalah seseorang yang sangat berarti bagi Karel. Saya sangat berterima kasih karena Anda telah mengikhlaskan Karel menyandang nama saya."
"Anda suaminya?" tanya sang perawat yang mendampingi dokter.Tuan Jaffan ingin berkata bukan, tetapi melihat dokter menggeleng pada perawat setelah memeriksa Nyonya Shopia, ia hanya bisa mengangguk."Tolong, tanda tangani berkas ini, Tuan!" pinta sang perawat. "Istri Anda harus segera dioperasi."Demi keselamatan Nyonya Shopia dan bayinya, tanpa ragu Tuan Jaffan membubuhkan tangan.Malam itu, tepat pukul satu, perawat mengizinkan Tuan Jaffan memasuki ruang operasi."Selamat, Tuan. Istri Anda melahirkan putra kembar, dengan selisih waktu lima belas menit, tapi ...."Gulungan rasa cemas menghantam nurani Tuan Jaffan. Apakah Nyonya Sophia mengalami nasib yang sama dengan istrinya? Tidak! Jangan sampai hal buruk itu terjadi juga pada Nyonya Sophia. Bisa-bisa dia yang akan disalahkan oleh suami Nyonya Sophia."Tapi, apa, Nurse?""Tanggal ulang tahun putra Anda berbeda. Yang sulung lahir lima menit menjelang tengah malam, sementara adiknya ... lahir lima belas menit kemudian.""Syukurlah. I
Profesor Jansen tak mampu berkata-kata."J–jadi ... aku ... bukan putra kandung Ayah?""Karel!""Karel!"Tuan Jaffan dan Profesor Jansen serentak berseru kaget dan menoleh pada Karel yang mendatangi mereka dengan langkah berat.Tatapan Karel menghunjam lekat pada Tuan Jaffan."Katakan, Ayah! Apa benar yang kudengar? Aku bukan putra kandungmu?"Mengetahui bahwa diri dibohongi selama bertahun-tahun sungguh terasa sangat menyesakkan dada."Nak, itu ... tidak seperti yang kau pikirkan," ujar Tuan Jaffan, merasa serba salah."Memangnya Ayah tahu apa yang kupikirkan?" Langkah Karel semakin dekat dengan Tuan Jaffan."Aku salah karena merahasiakan hal ini darimu, tapi percayalah ... tidak ada niat di hatiku untuk menyembunyikan siapa orang tua kandungmu.""Begitukah?"Karel tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini. Haruskah ia senang setelah mengetahui Profesor Jansen adalah ayah kandungnya? Ataukah ia harus marah dan mengutuk takdir karena telah dibohongi dan tak pernah mengenal seperti apa
"Lepaskan kakiku, Ayah!""Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kau berjanji untuk tidak akan meninggalkan aku."Karel memejamkan mata. Nuraninya terluka. Ia ingin menendang Profesor Jansen untuk melampiaskan kemarahannya, tapi ia takut dosa.Profesor Jansen adalah ayah kandungnya. Tanpa benih darinya, ia tidak akan pernah terlahir ke dunia dan tumbuh dewasa dengan sempurna."Kalau Ayah bersikeras untuk tidak melepaskan aku, aku benar-benar akan pergi dari hidup Ayah!" gertak Karel."Jangan!""Jangan!"Profesor Jansen dan Tuan Jaffan kompak berteriak. Serta merta pagutan lengan Profesor Jansen pada kaki Karel terlepas.Kesempatan itu dimanfaatkan Karel untuk berbalik, meninggalkan kamar Profesor Jansen."Nak!" panggil Profesor Jansen, terdengar putus asa.Tuan Jaffan menggeleng. "Biarkan dia pergi! Dia butuh waktu untuk menenangkan diri."Tuan Jaffan sangat mengenal watak Karel. Apa pun yang terjadi, anak lelakinya itu tidak akan pernah membenci mereka berdua.Karel hanya butuh w
"Bagaimana ini? Gerbangnya dikunci," bisik Profesor Jansen, mencoba mendorong pintu gerbang rumah Karel.Tuan Jaffan celingukan mencari sosok penjaga pintu gerbang itu."Ah, sial! Saat terdesak begini, penjaganya malah menghilang!" gerutu Tuan Jaffan."Masa kita harus memanjat?" sungut Profesor Jansen, menyipit menatap pagar dengan ketinggian dua meter."Boleh juga dicoba," ujar Tuan Jaffan. "Ayo!""Jangan gila, Tuan Jaffan! Kita bisa dilaporkan warga karena dikira maling.""Tetap di sini pun sudah tidak nyaman. Karel tak menginginkan kita lagi. Untuk apa kita bertahan?" timpal Tuan Jaffan. "Dia pasti sangat membenci kita sekarang.""Apa aku pernah mengatakan hal seperti itu?" tanya Karel, membuat Tuan Jaffan dan Profesor Jansen terkesiap.Tuan Jaffan terus memainkan sandiwaranya. "Kami dapat merasakannya, Nak. Kami ikhlas meninggalkan rumah ini daripada keberadaan kami merusak kebahagiaanmu.""Ayah, kenapa pikiran kalian sempit sekali? Aku bukan anak kecil lagi, Yah," balas Karel. "A
"Nyonya Dekker, ada tamu untuk Anda!" beritahu seorang sipir kepada Nyonya Dekker.Wanita berkacamata tebal itu bergegas keluar dari sel tahanan menuju ruang khusus untuk menerima tamu.Matanya menyipit kala melihat sosok yang duduk di seberang dinding kaca. Lelaki itu terlihat asing.Ragu-ragu Nyonya Dekker meraih gagang telepon."Bagaimana rasanya berada di balik jeruji besi, Nyonya?" tanya sosok lelaki yang mengunjungi Nyonya Dekker tanpa basa-basi."Kalau kedatangan Anda hanya untuk menghinaku, pergilah! Aku tidak mengenal Anda," sentak Nyonya Dekker. "Oh, jangan-jangan Anda yang membuatku terdampar di tempat terkutuk ini.""Itu tidak penting! Saya senang akhirnya Anda berakhir di penjara.""Siapa kamu?!" Nyonya Dekker tak lagi menggunakan sapaan sopan. "Mengapa kamu seakan menaruh dendam padaku, hah?""Cih, bahkan di tempat seperti ini pun Anda masih bersikap angkuh."Tatapan tajam sosok tamu itu menembus dinding kaca yang membatasi keduanya."Anda yakin tidak mengenali saya, Nyo
"Ha–hantuuuu!"Nyonya Dekker berteriak histeris. Saat ia tersadar, hal pertama yang melintas di ingatannya adalah wajah pucat dan mata Karel yang menakutkan."Diam! Berisik!" hardik sipir penjara yang menunggui Nyonya Dekker di klinik kesehatan rumah tahanan itu.Setelah dokter memeriksa kondisi Nyonya Dekker dan wanita itu dinyatakan baik-baik saja, sang sipir perempuan membawa kembali Nyonya Dekker ke ruang tahanan."Tidak! Aku tidak mau kembali ke sana!" jerit Nyonya Dekker, berusaha melepaskan diri dari cekalan sipir. "Aku tidak mau melihat hantu itu lagi!"Sipir tersebut tak menghiraukan jeritan dan penolakan Nyonya Dekker. Ia terus menyeret wanita itu tanpa rasa belas kasihan.Sudah terlalu banyak tahanan yang berpura-pura gila untuk mengecoh petugas. Pengalaman adalah guru terbaik. Ia tidak akan tertipu dengan trik murahan itu.Nyonya Dekker terus diseret masuk ke ruang tahanan.Dari kejauhan, Karel menyaksikan adegan itu dengan seringai sinis. Baru setelah itu ia masuk ke mobi
Uhuk!Karel tersedak air liurnya sendiri.Walau ia sudah menebak arah pembicaraan Tuan De Groot, tetap saja ia merasa kaget. Tak menyangka bahwa mantan mertuanya itu akan begitu frontal mengajukan pertanyaan."Um, saya sih bagaimana perasaan putri Anda saja, Tuan," sahut Karel dengan wajah sedikit bersemu.Sungguh akting yang sangat bagus.Merasa mendapat lampu hijau dari Karel, Tuan De Groot tersenyum semringah."Putri saya sangat beruntung bisa mendapatkan Anda, Dokter.""Maksud Anda ... Anda akan—""Ya. Saya akan menjodohkan putri saya dengan Anda, Dokter," potong Tuan De Groot.Manik mata Karel memancarkan kilat misterius yang luput dari pantauan Tuan De Groot."Um, Tuan ... saya tidak ingin putri Anda merasa terpaksa.""Dokter, saya belum akan memintanya untuk menikahi Anda dalam waktu dekat. Anda dapat melakukan pendekatan terlebih dahulu. Saya yakin, setelah mengenali dan merasakan kebaikan Anda, putri saya akan luluh pada pesona Anda. Bagaimana?"Tentu saja Karel tak menolak t
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua