"Oh ya, Karel ... selama aku tinggal di sini, aku tidak pernah melihat istrimu. Ke mana dia? Apa kalian bertengkar?"Uhuk!Karel tersedak. Cepat-cepat Karel menyambar segelas air putih. Makanan yang terhidang di atas meja tiba-tiba tak lagi menggugah selera.Bagaimana dia harus menjelaskan pada ayahnya tentang Xela? Karel bingung. Ayahnya sangat menyayangi Xela dan memperlakukan wanita itu seperti putri kandung sendiri.Tuan Jaffan mengamati wajah Karel dengan tatapan menyelidik."Ada apa? Kalau terjadi kesalahpahaman di antara kalian, selesaikan! Bicarakan dengan kepala dingin," imbuh Tuan Jaffan.Suasana makan malam yang semula hangat, perlahan menjadi canggung."Tidak ada apa-apa, Ayah," sahut Karel, setelah berusaha mengendalikan riak wajahnya. "Ayah Xela belum lama ini menjalani pembedahan otak. Dia harus merawat ayahnya."Karel tidak sepenuhnya berbohong. Untung saja akalnya cepat mengingat musibah yang dialami oleh Tuan De Groot, sehingga kejadian itu dapat dijadikan alasan yan
"Ayah, jangan coba-coba melarikan diri setelah aku pergi!"Glek!Tuan Jaffan tercekat."Apa yang kau bicarakan, Nak?" sahut Tuan Jaffan, berusaha bersikap normal. "Kau tahu aku tak mungkin pulang ke Terrariant tanpa persetujuan darimu."Karel mengamati penampilan ayahnya. Entah kenapa hatinya menaruh curiga pada ayahnya semenjak di mall kemarin siang."Apa ada yang aneh dengan penampilanku?" tanya Tuan Jaffan. "Huh! Apa seleraku seburuk itu?"Tuan Jaffan, ikut melabuhkan pandangan pada pakaian yang dikenakannya.Sebenarnya, Tuan Jaffan dapat merasakan kecurigaan Karel. Namun, dia bersikap seolah tatapan menyelidik yang dilayangkan putranya itu hanyalah sebuah bentuk perasaan aneh Karel terhadap penampilannya."Tidak terlalu buruk," sahut Karel. "Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan! Aku pergi, Ayah.""Ya. Hati-hati!" teriak Tuan Jaffan, melambaikan tangan pada Karel yang nyaris mencapai pintu.Cepat sekali Karel melesat dari hadapannya.Tuan Jaffan mengulum senyum kala mendengar deru m
"Apa yang harus kuketahui?""Err, tidak ada. Sepertinya saya salah bicara."Karena pikiran Karel sedang tertuju pada ayah angkatnya, ia tak lagi memperpanjang obrolan yang tidak jelas itu."Dokter Smith, setelah makan siang, aku ada urusan penting yang tidak dapat diwakilkan," kata Karel. "Jadi, aku tidak akan menerima pasien."Dokter Smith melihat keseriusan pada tatapan Karel. "Baiklah. Saya tidak akan mengganggu waktu Anda, Dokter J.""Terima kasih."Karel merasa senang Dokter Smith tidak menanyakan detail urusannya."Oh ya, Kelihatannya, Anda sengaja menungguku. Ada apa?"Dokter Smith ingin mengonfirmasi berita yang beredar di jagat maya. Akan tetapi, menyadari Karel tidak tahu apa-apa tentang berita tersebut, ia mengurungkan niatnya."Ah, tidak ada yang spesial. Saya hanya mengkhawatirkan Anda. Tidak biasanya Anda datang terlambat," kilah Dokter Smith. "Saya ingin memastikan bahwa Anda baik-baik saja."Karel merasa sungkan mengetahui Dokter Smith begitu memperhatikan dirinya."Te
"Sial! Mereka belum menyerah!""Memangnya siapa mereka?""Pemburu berita."Karel menurunkan kecepatan.Para awak media itu berkerumun seperti sekawanan lebah. Karel tak menyangka mereka begitu keras kepala dan tak mau menyerah. Bahkan, mereka diam-diam membuntutinya."Apa mereka memburumu?" tanya Profesor Jansen tanpa melepaskan pandangan dari orang-orang yang terus berlarian, menyongsong mobil Karel."Ini karena aku sedikit lengah."Profesor Jansen meneleng, menatap Karel dengan kening berkerut."Jangan bilang mereka mengenali wajahmu!"Karel menghela napas panjang seraya menginjak rem. Jika tidak, akan ada yang menjadi korban kecelakaan lalu lintas.Profesor Jansen segera paham. "Mungkin memang sudah saatnya kau memperlihatkan wajah aslimu pada dunia," kata Profesor Jansen."Ayah yakin ini saat yang tepat?" tanya Karel. "Jika itu terjadi, mereka juga akan memburu Ayah.""Aku sudah tua, Karel. Sudah waktunya bagiku untuk pensiun dan menikmati hari tua dengan hidup tenang. Kini gilira
"Nyonya Harioth, aku di sini dan tidak ke mana-mana! Apa maksudmu mengatakan aku belum pulang? Mau memfitnahku dan membuatku terlihat jelek di mata putraku?"Nyonya Harioth membeku. Jelas-jelas setelah Karel pergi, Tuan Jaffan juga meninggalkan rumah dengan menaiki sebuah taksi. Kenapa bisa tiba-tiba muncul dari ruang tengah?"T–Tuan ... s–saya ...." Nyonya Harioth membungkuk sembilan puluh derajat. "M–maafkan saya, Tuan. M–mungkin saya salah lihat."Ingatan Nyonya Harioth tak pernah keliru. Dia belum pikun. Masih tersimpan dalam memori otaknya permintaan Tuan Jaffan sebelum lelaki itu pergi."Ingat, Nyonya! Rahasiakan kepergianku dari putraku!" tegas Tuan Jaffan. "Kalau dia menelepon dan menanyakan aku, jangan katakan apa pun.""Tapi, Tuan ... bagaimana kalau Dokter J terus mendesak?""Gunakan akalmu untuk menciptakan alasan yang masuk akal!"Nyonya Harioth hanya bisa mendesah pasrah. Tuan Jaffan lumayan licik."Sudahlah, Nyonya Harioth. Anda tidak perlu merasa bersalah. Lanjutkan sa
"Ayah angkatmu benar-benar Profesor Jansen yang itu?" tanya Tuan Jaffan, menunjuk ke arah pintu kamar Profesor Jansen.Walau ia menyeret Karel cukup jauh, ia masih saja berbicara dengan nada berbisik."Iya. Memangnya kenapa, Yah? Ayah tidak percaya padaku?"Tuan Jaffan jadi salah tingkah. "B–bukan begitu," sanggahnya, dengan tatapan gusar.Bola matanya bergerak liar, takut kalau Profesor Jansen tiba-tiba keluar dari kamar."Ada apa, Yah? Ayah mengetahui sesuatu tentang Ayah Jansen?""Entahlah." Tuan Jaffan menunduk, mengembuskan napas tak pasti.'Bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau bukan dia? Tapi, kalau itu benar-benar dia, apa yang harus kulakukan?'Beragam tanya berkelindan di benak Tuan Jaffan. Perlahan ia merasakan jemarinya tremor. Cepat-cepat ia menyimpan tangannya ke dalam saku celana.Butiran keringat memancar dari pori-pori kulit pelipis dan punggungnya."Ayah, Ayah baik-baik saja?" tanya Karel, mulai dirasuki rasa cemas.Tuan Jaffan tampak berbeda dari biasanya. Kare
"Dokter J, bisakah Anda menjelaskan kepada Kami mengapa Anda menyembunyikan identitas Anda selama ini?""Apakah Anda punya trauma di masa lalu?""Sehari sebelumnya, video amatir Anda tersebar di dunia maya. Apakah hal itu yang mendorong Anda untuk mengadakan jumpa pers hari ini?"Kilatan blitz tak henti menyoroti wajah Karel. Dia baru saja memasuki lobi hotel, tetapi beberapa jurnalis telah memberondongnya dengan pertanyaan."Kalau kalian begitu tidak sabar, lebih baik batalkan saja jumpa pers hari ini."Karel mengeluarkan ponsel, bersiap untuk menghubungi seseorang.Perkataan dan aksi Karel sukses membuat wajah sekumpulan kecil dari wartawan itu memucat.Serentak mereka mengbungkukkan badan. "Tolong, maafkan kami, Dokter J! Kami hanya sangat antusias untuk mengetahui wajah asli Anda."Mereka sadar telah melakukan kesalahan besar. Bila sumber berita utama melarikan diri, mereka akan menerima konsekuensi berat. Nama mereka akan masuk blacklist dunia jurnalistik."Iya. Kami tidak bermak
"Menurut Anda, kenapa saya melakukan itu?" Karel sudah menduga pertanyaan tersebut akan muncul dan sengaja melempar balik pertanyaan yang diajukan jurnalis pria, dengan kacamata yang cukup tebal."Sebelumnya ... kami sempat mengira bahwa Anda, maaf, mungkin malu menunjukkan wajah Anda karena ... ya ... kami yakin Anda bisa menebak apa yang kami pikirkan."Karel manggut-manggut dengan seulas senyum yang sukses membuat para wanita menahan napas."Saya paham, tapi bukan itu yang menjadi alasan saya," sahut Karel. "Jika saya tak menyembunyikan identitas saya, orang-orang akan cenderung mengaitkan diri saya dengan ayah saya."Karel melirik Profesor Jansen. Lelaki sepuh itu tersenyum tipis dan mengangguk ringan.Karel melanjutkan penjelasannya, "Saya tidak ingin hidup di bawah bayang-bayang nama besar orang lain, walaupun orang itu adalah ayah saya. Saya ingin masyarakat mengenal saya karena kemampuan saya, bukan karena menyegani nama besar seorang Profesor Jansen."Mata para awak media ki
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua