"Kau terlalu sering menonton opera sabun, Kevin!""Tidak perlu berpura-pura di hadapanku, Karel. Tak perlu malu juga. Aku tahu, jauh di lubuk hatimu, kau masih menyimpan nama Xela dengan rapi," oceh Kevin, tak menggubris kedongkolan Karel. "Akui saja! Jika memang masih cinta, kejar dan perjuangkan dia! Jangan sampai kau menyesal!""Keviiin, apa perlu aku menyumpal mulutmu dengan kaus kaki busuk?"Kevin kehabisan kata.Menasihati seseorang yang hatinya telah diselimuti kabut dendam tak ubahnya seperti mencampurkan minyak dengan air. Selamanya tak akan menyatu."Oke. Terserah kau saja. Andai suatu hari kau menyesal, jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu."Karel mendengkus. "Tidak akan!"Kevin menatap sayu pada punggung Karel yang beranjak keluar rumah.'Dia bahkan tak menyadari perasaan sendiri,' batin Kevin.Karel memacu langkahnya menuju rumah sederhana yang baru selesai direnovasi. Entah kenapa kali ini ia lebih memilih untuk melewati pintu depan.Matanya menyipit melihat s
"Wow! Ternyata kacung juga berani makan malam di sini. Bawa cewek lagi. Yakin bisa bayar?" ejek seorang pria dengan suara cukup keras.Karel tak memedulikan tatapan aneh dari para pengunjung yang tertarik dengan perkataan lelaki itu.Ia terus saja menikmati makanannya, seolah-olah hinaan lelaki itu hanyalah dengungan seekor lalat.Brak!Lelaki itu menggebrak meja, menyebabkan peralatan makan di atas meja itu terangkat. Air minum Karel bahkan sampai tumpah.Karel terdiam sesaat. Setelah kembali tenang, ia melanjutkan lagi makannya.Hal itu membuat si lelaki pengacau murka. Ia meraih gelas milik Elina. Perlahan ia menuangkan minuman dalam gelas itu ke kepala Karel.Kali ini Karel menghentikan aktivitasnya. Selera makannya hilang total. Ia melirik sinis pada lelaki pengganggu itu.'Kenapa dunia begitu sempit?' rutuk Karel dalam hati.Lelaki yang berdiri di sampingnya itu adalah orang yang paling tidak ingin dilihatnya. Dia tidak mengerti mengapa Lewis selalu mencari gara-gara dengannya.
"Tetaplah di dalam mobil!" titah Karel. "Jika situasi terlihat tidak memungkinkan bagimu untuk menungguku, pergilah! Selamatkan dirimu!""T–tapi, Tuan—""Dengarkan kata-kataku dan lakukan!"Karel turun dari mobil setelah mengode Elina untuk menggantikan posisinya, duduk di belakang roda kemudi.Lima lelaki berbadan kekar dengan sorot mata setajam belati mengayun langkah pelan, mendekati Karel.'Mereka pasti anak buah Lewis,' pikir Karel, mengukur kekuatan lima lelaki itu melalui postur tubuh mereka."Kenapa bukan Lewis langsung yang datang menemuiku? Apa dia takut?" tanya Karel, dengan nada mengejek."Jaga ucapanmu, Gembel!" hardik lelaki yang diperkirakan berusia paling tua di antara mereka. "Jangan sebut nama bos kami dengan mulut kotormu itu. Najis! Gara-gara melihatmu di restoran itu, bos kami jadi batal makan.""Cih! Najis teriak najis!"Bantahan Karel berhasil memprovokasi lima lelaki bertampang preman itu. Mereka serentak memasang kuda-kuda."Pengecut! Beraninya keroyokan!" led
Ckiit!Decit rem melengking tinggi ketika Kevin terpaksa mengikuti keinginan Karel."Jalan!" titah Karel, dengan nada datar."Apa?! Kau mempermainkan aku?" keki Kevin.Dia baru saja berhasil menghentikan laju kendaraan secara mendadak, tetapi hanya dalam hitungan detik Karel memintanya untuk menginjak gas kembali."Responsmu terlalu lamban!" sungut Karel."Kau melindur sebelum tertidur?"Rasanya ingin sekali Kevin menggampar kepala Karel. Kesal lantaran menghadirkan candaan yang membahayakan nyawa.Karel cuma diam. Ia juga jengkel karena Kevin tidak langsung berhenti saat ia memberi perintah. Alhasil, ia jadi kehilangan jejak seseorang.'Siapa dia?' Karel bertanya-tanya dalam hati.Hampir pukul sepuluh malam ketika Karel menjejakkan kaki di kamarnya. Ia melepas jaket, lalu membersihkan diri di kamar mandi. Kepalanya terasa lengket akibat minuman jus buah milik Elina, yang diguyurkan oleh Lewis.Sekarang target dendam Karel bertambah satu, yaitu Lewis. Dia harus memberi pelajaran kepad
"Tuan, ada polisi menunggu di ruang tamu," lapor Lewis."Polisi?" Kening Tuan De Groot mengerut. "Apa telah terjadi sesuatu di rumah ini?""Sebaiknya Anda segera turun, Tuan."Didorong oleh rasa penasaran, Tuan De Groot meninggalkan meja kerjanya, dengan tumpukan dokumen yang masih menggunung. Selama ia menjalani perawatan, banyak pekerjaan yang tertunda."Selamat siang, Tuan! Kami dari pihak kepolisian datang dengan membawa surat perintah penangkapan untuk Nyonya Lauren Dekker.""Penangkapan?" Tuan De Groot terkejut. "Tunggu! Mungkin ada kesalahpahaman di sini. Bagaimana mungkin ... Lauren ditangkap?""Maaf, Tuan. Kami hanya menjalankan tugas. Untuk lebih jelasnya, silakan datang ke kantor polisi," sahut salah satu dari aparat kepolisian itu. Kumis tebalnya memberi kesan tegas dan tak terbantah."Tapi ... Lauren ... sedang tidak di rumah.""Kapan Nyonya Dekker pulang, Tuan?"Belum sempat Tuan De Groot membuka mulut untuk memberikan jawaban, terdengar deru mesin mobil memasuki pekaran
"Urusan dengan Profesor Jansen sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu!""Baiklah. Terima kasih."Begitu sambungan berakhir, Karel memasukkan ponsel ke saku.Jay bertindak sesuai dengan permintaannya. Lelaki itu menyerahkan nasib Tuan De Groot di tangannya.Hukuman penjara terlalu ringan untuk Tuan De Groot. Dia bisa saja bebas dengan bersyarat. Jadi, Karel lebih memilih untuk menghukum Tuan De Groot dengan caranya.Akan tetapi, tidak ada salahnya memberikan sedikit guncangan kecil kepada Tuan De Groot.Seringai iblis terbit di wajah Karel. Ponsel yang bersembunyi di saku, kini telah berada dalam genggamannya.Jempol Karel menari lincah, mengetik pesan.[Apa kabar, Tuan?][Anda menyukai kejutan yang kuberikan?][Giliran Anda akan segera tiba]Satu detik.Dua detik.Sepuluh detik kemudian, sebuah pesan balasan masuk ke nomor khusus Karel.[Siapa kau?! Pengecut!][Jangan main-main denganku][Kau akan menyesal pernah terlahir ke dunia]Karel menyeringai. Targetnya ternyata sangat keras kepal
Dugh!"Ah, maafkan saya, Nona!" seru Tuan Jaffan setelah balik badan.Ia sedikit membungkuk. Benar-benar merasa bersalah pada seorang perempuan yang tak sengaja ditabraknya saat bergeser ke samping.Sehelai kemeja pria terlepas dari tangan wanita itu. Ia pun memungutnya."A–Ayah ...."Wanita itu berseru kaget. Cepat-cepat ia berdiri. Menatap lekat wajah Tuan Jaffan.Tuan Jaffan menelengkan kepala. Matanya menyipit. Berusaha mengenali wajah perempuan di hadapannya itu."I–ini aku, Ayah. Xela!" ujar Xela, dengan dada berdebar-debar.Setelah beberapa detik berpikir, Tuan Jaffan bersorak sembari tersenyum lebar, "Ah, aku ingat ... Xela ... menantuku?""I–iya, Ayah."Perasaan aneh menyelimuti hati Xela kala Tuan Jaffan menyebutnya menantu."Apa kabar, Ayah?" tanya Xela, mulai berbasa-basi. Ia celingukan, mencari keberadaan Karel. "Ayah ... sendirian?"Xela tahu pasti Tuan Jaffan datang bersama Karel. Dia sengaja bertanya agar tak dicurigai bahwa dia menguntit mereka.Begitu Karel memisahka
Hosh! Hosh!Xela mengembuskan napas kencang seraya mengipas-ngipas leher dengan dua tangan.Bersembunyi di antara pakaian yang bergantungan sembari menahan napas sungguh membuat dada terasa sesak dan gerah."Nona! Syukurlah akhirnya saya menemukan Anda," seru Nyonya Beth, buru-buru mendekap Xela. "Masa ditinggal ke toilet sebentar Anda menghilang, Nona! Hampir saja saya terkena serangan jantung, saking paniknya mencari Anda.""Ssssst!" Xela menyilangkan jari telunjuk di bibir. "Sekarang sudah ketemu, kan? Diamlah!"Bola mata Xela bergerak liar, menyapu orang-orang yang berlalu lalang, keluar masuk toko."Ada apa, Nona?" tanya Nyonya Beth. "Anda ... bertemu dengan mantan suami Anda?"Xela mengangguk lemah. "Ayo kita pulang! Aku tidak mau dia memergoki kita."Nyonya Beth mengernyit. "Bukannya sudah bertemu?""Dengan ayahnya," tukas Xela. "Aku belum siap bertemu dengan Karel sekarang."Nyonya Beth mafhum. "Baiklah. Saya mengerti, Nona. Mari! Lewat sini saja!"Sebelum masuk ke toko, tempa
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua