"Karel, segerombolan orang mengobrak-obrik kediaman ayahmu.""Apa?! Siapa mereka?""Aku belum tahu. Aku baru saja kembali dari luar negeri dan disambut dengan laporan tentang pengacau itu. Apa perlu aku memberi mereka sedikit pelajaran?"Karel terdiam sesaat.'Apa Tuan De Groot mulai bertindak?' batin Karel, mencemaskan ayahnya yang berada dalam bahaya. 'Sial! Aku lupa pada tugas yang diberikan Tuan De Groot!'Karel menepuk kening dengan kesal. Jelas-jelas Tuan De Groot telah memintanya untuk menemukan dan memberi teguran keras pada dirinya sendiri.Entah bagaimana nasibnya kalau sang mantan mertua yang kejam itu mengetahui identitas aslinya.Ini benar-benar merepotkan. Kasus satu belum selesai, muncul lagi masalah baru. Karel gundah ketika dihadapkan pada dua pilihan—menolong Nyonya Nilam atau melindungi ayahnya."Karel, kau masih di sana?"Pertanyaan bernada cemas dari ujung telepon menyentak lamunan Karel. "Ah, i–iya. Kau bilang apa tadi?""Aku butuh arahan," sahut si penelepon. "A
"Astagfirullah, Nyonya Beth! Anda seperti dikejar hantu!" seru Karel, melihat aliran keringat membasuh wajah resah Nyonya Beth. "Apa yang terjadi?""Syukurlah Anda akhirnya datang." Nyonya Beth bergelayut pada lengan Karel dengan napas ngos-ngosan."Sebaiknya Anda duduk dulu, Nyonya!"Karel memapah wanita yang terlihat cemas itu untuk masuk ke kamar Xela. Hanya ruangan itu yang menyediakan kursi dalam jarak dekat.Sebuah kulkas mini berbentuk beruang lucu tetap tersenyum menyaksikan kegaduhan kecil itu. Tak merasakan kegundahan wanita yang selama ini telaten merawat kebersihannya, sehingga selalu tampak kinclong.Karel mengeluarkan sebotol minuman dari kulkas yang tak berempati itu, lalu menyerahkannya kepada Nyonya Beth.Setelah Nyonya Beth menghabiskan separuh minumannya dan tampak tenang, Karel bertanya, "Kelihatannya Anda sangat cemas. Apa terjadi sesuatu yang buruk pada Nona De Groot?""Ah, saya lupa!" Tersadar akan sesuatu, Nyonya Beth meletakkan botol yang dipegangnya ke atas m
'Mampuslah kau, Xela! Mati!'Karel menambah kekuatan cekikannya pada leher Xela. Membuat gadis itu kelojotan dan menggelepar seperti ikan yang terdampar di daratan.Mata Karel melotot merah, merefleksikan api dendam yang membara."Tuan Deon, kenapa Anda masih menenteng tasnya? Itu lumayan berat lo," tegur Nyonya Beth, menatap heran pada Karel yang tegak mematung. Memandang tak berkedip pada Xela.Sebelum ke ruangan Xela, wanita itu mampir di apotek, membeli tisu basah untuk membersihkan tubuh sang nona muda.Karel tersentak oleh seruan kaget Nyonya Beth. Imajinasi gelapnya hancur berantakan, menjadi serpihan debu ilusi yang menghilang seiring dengan kembalinya kesadaran dirinya akan keadaan sekitar."Oh, saya ... sedikit terkesima oleh rasa tak percaya melihat kondisi Nona De Groot," sahut Karel, berjuang menekan rasa gugupnya.Ia menghindari kontak mata dengan Nyonya Beth ketika wanita itu mengambil alih tas berisi pakaian Xela dari tangannya.'Cih! Ternyata cuma angan,' maki Karel d
Mentari telah bergulir ke Barat. Menghadirkan pendar keemasan yang tak lagi garang. Kelopak mata Xela terbuka perlahan."Akh!" Xela spontan melenguh kala merasakan perih akibat cahaya lampu yang menerobos retina matanya."Kau sudah sadar?" tanya Karel, yang terjaga lantaran Xela menarik spontan tangannya untuk melindungi mata."D–Deon?""Maaf, aku hanya menggantikan Nyonya Beth untuk menjaga Anda." Deon menyahut kikuk. Jantungnya deg-degan memikirkan bahwa keheningan telah membuatnya jatuh tertidur sambil menggengam jemari Xela."Sejak kapan kamu di sini?" Xela merasa risi berada dalam satu ruangan hanya berdua dengan lelaki yang bukan keluarganya."Um, sejak pagi."Xela ternganga sembari memeras otak, mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya hingga berakhir di Rumah Sakit.Hal terakhir yang ia ingat adalah kemarin malam dia menangis tergugu, menyesali perbuatan buruknya pada Karel di masa lalu.Tiba-tiba dadanya sesak. Setelah itu ia tidak ingat apa-apa lagi."Tetaplah ber
Tiga hari sudah waktu berlalu. Selama itu pula Karel setia mendampingi Xela. Ia hanya meninggalkan gadis itu untuk melakukan visit pada Tuan Julian."Deon," panggil Xela, agak ragu."Ya?" Karel menghentikan kesibukannya membantu Nyonya Beth yang sedang membereskan barang pribadi Xela. Hari ini Xela sudah boleh pulang."Tidak jadi. Aku lupa mau bilang apa."Xela menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sambil sebelah kakinya meraba-raba, mencari pasangan sandalnya.Karel sigap menjangkau sebelah sandal Xela yang bersembunyi di kolong ranjang. Tanpa permisi, ia memasangkan sandal itu ke kaki Xela.Badan Xela panas dingin menerima perlakuan romantis dari Karel."Nona, Anda sangat beruntung memiliki Tuan Deon di sisi Anda," ucap Nyonya Beth sambil menyisir rambut Xela.Begitu tiba di rumah tadi, gadis itu bergegas mandi dan keramas. Ia tak menanggapi perkataan Nyonya Beth."Selama Anda tidak sadarkan diri, dia terlihat sangat mencemaskan Anda," imbuh Nyonya Beth. "Sepertinya perasaan An
Karel dan Nyonya Beth terkesiap dengan reaksi Xela yang tahu-tahu sudah berdiri di dekat pintu."Maaf, Nona. Akan kuingat. Permisi." Karel melangkah pergi."Nona, kenapa berkata begitu?" protes Nyonya Beth, tidak setuju dengan perlakuan Xela terhadap Karel. "Tuan Deon sudah berbaik hati menunjukkan kepeduliannya pada kita.""Aku tidak memintanya!" Xela mengentak menuju ranjang.Dia bukannya tidak menghargai kebaikan Karel. Ia hanya takut hatinya benar-benar luluh pada lelaki itu.Wanita mana yang tidak akan terlena bila terus-terusan dihujani dengan perhatian lembut? Terlebih selama ini Xela merasakan kurangnya kasih sayang dari orang tua.Ayahnya lebih mementingkan urusan bisnis sehingga Xela juga mencari kesibukan dengan membuka toko kue sendiri untuk mengusir kebosanan dan perasaan sepi yang menyelimuti hatinya.Nyonya Beth tidak ingin mendebat Xela. Perasaan Nona mudanya itu belakangan ini lebih sensitif dan gampang sekali marah-marah."Nona mau makan sekarang?" tawar Nyonya Beth
"Lihat itu!" seru Dave, menunjuk jalan buntu di depannya dengan bibir monyong."Ya Tuhan, dia bahkan memakai trik ini untuk mengelabui orang asing?" balas Karel, setengah tak percaya dengan penglihatannya.Belukar yang semula menutupi jalan terangkat perlahan, seperti palang pintu.Sebuah jalan menurun dengan kerikil-kerikil kecil terbentang di depan mata.Dave menginjak pedal gas. Sementara Karel asyik menikmati pemandangan tebing di kiri dan kanan jalan. Tebing tersebut dipenuhi rerumputan hijau yang tertata rapi."Ya Tuhan! Apa lagi ini?" Karel mulai meningkatkan kewaspadaannya.Dave mengedikkan bahu.Jalanan menurun itu menghilang, ditelan mulut sebuah lorong gelap.Ketika mobil yang dikendarai Dave telah sepenuhnya menyatu dengan kegelapan lorong, ujung jalan yang berbatasan dengan mulut lorong terangkat tanpa mereka sadari.Lenyap sudah tebing tinggi nan menghijau. Berganti warna pekat dan kemilau permukaan air, beberapa meter di bawah sana.Mobil menikung ke kiri, lalu berhenti
Mata Karel melotot dan menyala merah. Ia berjuang bangkit seraya memegangi dada yang terasa nyeri.Uhuk!Seteguk darah segar muncrat dari mulut Karel."Haha ... menyerahlah, Bocah! Aku tak ingin mengotori tanganku lebih jauh lagi!"Gigi Karel bergemeletuk. Ia merasa terhina oleh ejekan Yuu."Hiyaaa!" Karel melompat, menerkam Yuu.Ia menyalurkan tenaga dua kali lipat dari awal serangannya."Jangan salahkan aku kalau kau mati di tanganku, Bocah! Kau sendiri yang memintanya!"Bugh! Bugh!Dua kaki beradu ditingkahi pukulan tangan beruntun.Karel merasa lawannya bukan lagi sekadar menguji, tetapi seperti benar-benar berniat untuk melumpuhkannya.Tak perlu sungkan lagi untuk menyerang lawan. Pepatah 'Anda sopan, kami pun segan' sepertinya tidak berlaku di tempat itu.Buktinya, Karel merasa dirinya dan Dave tak sekali pun melakukan hal yang sekiranya mengotori tempat itu, tapi nyatanya mereka disambut dengan serangan, bukan sikap segan.Tidak! Lebih tepatnya, hanya Karel yang diserang. Entah
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua