Hosh! Hosh!Napas Karel tersengal-sengal setelah berhasil menjatuhkan diri seraya menendang lepas salah satu senjata lawan.Belati itu menancap di tanah, nyaris menimpa kening Karel. Untung saja ia tidak terlambat berguling ke samping."Kurang ajar!" umpat sang pemilik belati seraya mencabut senjata andalannya dan berniat untuk kembali menyerang Karel.Sementara si bos memanfaatkan kondisi Karel yang masih berguling dengan melancarkan injakan beruntun.Karel terus berguling menghindar hingga ia mendapatkan celah untuk menangkap kaki lawan, lalu mendorong kuat hingga lelaki itu terpaksa bersalto demi mencegah tubuhnya agar tak terempas.Secepat kilat Karel melentingkan badan, tegak dengan posisi siap bertahan atau menyerang.Sebagian darah dari luka gores di dadanya mulai mengering."Cukup main-mainnya!" sentak lelaki yang memimpin gerombolan itu. "Katakan keinginan terakhirmu sebelum aku mengirimmu ke neraka!"Belati di tangan lelaki itu telah berganti dengan cambuk.Ingatan Karel tib
Dua pasang mata saling menyorot tajam dan dalam. Dua tangan pun saling bertahan, menarik ujung cambuk yang berbeda.Keringat membanjiri wajah keduanya.Ya! Karel dan si telinga runcing tak ada yang mau mengalah, melepaskan ujung cambuk dalam genggaman mereka. Kekuatan mereka tampak imbang.Perlahan, tapi pasti, Karel mulai menunjukkan taringnya. Ia menggulung ujung cambuk dengan menggerakkan pergelangan tangannya.Si telinga runcing ternganga seraya berjuang mati-matian agar senjata andalannya tak jatuh ke tangan Karel.Keduanya terus adu kekuatan saling tarik, hingga posisi mereka bergerak dan membentuk jejak lingkaran dari tetesan keringat yang menimpa trotoar.Karel membetot ujung cambuk, membuat si telinga runcing selangkah maju."Jangan mimpi untuk bisa mengalahkan aku!" ejek si telinga runcing, menambah daya tariknya untuk menjatuhkan Karel."Aku bukan bocah dua belas tahun yang lalu!"Tiba-tiba Karel melepaskan cengkeramannya dari cambuk. Seketika si telinga runcing terjajar ke
"Dave, aku sudah memutuskan!""Oh ya? Kuharap keputusanmu tidak mengecewakanku, Little Bro!"Karel menghela napas panjang, lalu berkata, "Kau benar, Dave! Aku tidak bisa menunda lagi.""Apa itu artinya kau siap bertemu dengannya?""Ya. Kirim lokasinya! Aku akan memulainya malam ini!"Dave terkekeh. "Bagus! Sampai jumpa, Little Bro!"Tut!Panggilan telepon terputus.Karel mengerutkan kening seraya bergumam sendiri, "Sampai jumpa? Apa dia juga akan berguru?"Terserahlah! Kalaupun Dave ikut berlatih bersamanya, bukankah itu bagus? Setidaknya dia bisa menghadapi lawan hidup secara langsung.Cuaca di pengujung musim semi terasa lebih hangat. Matahari pagi bersinar lebih terang. Selepas menelepon Dave, Karel bergegas meninggalkan kamarnya menuju lorong rahasia. Berniat menyambangi toko Allen karena kemarin rencananya tertunda gara-gara kemunculan kaki tangan Tuan De Groot."Selamat pagi, Pak!" sapa Karel, mengejutkan Allen yang sedang menggantung kantong rajut berisi buah leci."Halo, Nak!
Karel meraih keranjang kosong, mulai mengitari rak untuk memilih sayuran dan buah yang ia butuhkan.Allen mengiringi langkah Karel."Aku tidak benar-benar pergi, Pak!" ujar Karel, memilih sebongkah kubis ungu berukuran sedang. "Aku hanya tidak bisa datang secara rutin ke sini pada akhir pekan. Entah sampai kapan.""Aku mengerti. Apa pun yang kau lakukan, aku berdoa yang terbaik untukmu.""Terima kasih, Pak." Karel melanjutkan berbelanja tanpa didampingi Allen karena pengunjung mulai ramai.Setelah Karel membayar belanjaannya dan pergi, Elina keluar. Membawa secangkir kopi yang mulai dingin."Kau mendengarnya, bukan?" tanya Allen, tak mengalihkan pandangan dari sosok Karel yang memutar sepedanya. "Lupakan dia!"Elina mengembuskan napas kencang. Hatinya justru semakin penasaran dan tertantang untuk menjadikan Karel miliknya."Tidak semudah itu membunuh perasaan, Ayah.""Aku tahu, tapi ... ekspektasi yang terlalu tinggi hanya akan mengempaskanmu pada rasa kecewa. Sesuatu yang tidak ditak
Karel mengamati perubahan raut wajah Sir Collin yang tak meneruskan kata-katanya.Sir Collin memijat pelipisnya. Kepalanya mendadak pusing.Saat berkunjung ke panti, Nyonya Nilam memakai masker. Tatapannya juga tertuju pada Almira, bukan pada wanita itu."Saya tahu ini tidak mudah bagi Anda, Sir," hibur Karel. "Saya menyerahkan hasil tes itu tidak bermaksud untuk menambah beban pikiran Anda, tapi ... semata-mata karena rasa penasaran untuk membuktikan sebuah kebenaran. Selain itu, hati saya terketuk setelah menyimak kisah hidup Nyonya Nilam dan Almira dari Bibi Merry."Saat melihat mereka, saya berpikir ... jika mereka keluarga Anda, bukankah tidak adil mereka hidup dalam penderitaan sementara Anda ... maaf, justru menikmati hidup dalam kondisi sebaliknya?"Sir Collin merasa tertohok mendengar pendapat Karel."Saya ... ah, ini membingungkan." keluh Sir Collin. "Brianna, istriku bernama Brianna. Tidak mungkin ada dua Brianna yang sama persis, bukan? Lagi pula, bukankah ibu kandung Almi
"Dokter Smith, aku—""Tolong, Dokter J!" potong Dokter Smith. "Tidak ada dokter yang dapat menangani kasus ini sebaik Anda!"Hening.Karel memikirkan kesepakatannya dengan Dave. Di sisi lain, nurani Karel tak sampai hati menolak permintaan Dokter Smith.Tugas seorang dokter adalah mengupayakan yang terbaik untuk menyelamatkan nyawa pasien."Baiklah. Aku akan segera ke sana." Akhirnya Karel mengalah.Urusan janji dengan Dave bisa dibicarakan belakangan. Yang terpenting menolong orang lain lebih dulu, sesuai dengan sumpah jabatan sebagai seorang dokter."Terima kasih, Dokter J! Terima kasih!" seru Dokter Smith, merasa lega. "Saya akan menyiapkan ruangan sebelum Anda tiba."Karel segera mengenakan seragam dokter yang selalu tersedia di mobilnya, kemudian memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.Saat Karel keluar dari mobil, Dokter Smith bergegas menyongsong kedatangannya. Lelaki itu telah menunggu dengan gelisah di depan pintu ruang IGD.Tanpa Kata, Karel mengikuti
"Huh?! Di mana maskerku?" Kening Karel berkerut.Di pelataran parkir, ia sibuk memeriksa kantongnya. Baru sadar bahwa ia lupa mengganti masker medis menjelang keluar dari rumah sakit. Sialnya, sekarang masker yang biasa dia pakai tidak ada dalam saku.Cepat-cepat Karel menghubungi Dokter Smith."Maaf, Dokter Smith ... apa Anda melihat maskerku tertinggal di ruangan Anda?" tanya Karel tembak langsung.Ia memang sempat mampir ke ruangan Dokter Smith untuk pamit, tapi dokter senior tersebut malah bersikeras untuk mengantarnya hingga ke lobi."Masker? Sebentar, saya cek dulu!"Selama beberapa waktu Karel sabar menunggu tanpa mematikan sambungan telepon."Maaf, Dokter J. Saya tidak menemukan masker Anda.""Oh, ya sudah. Tidak apa-apa. Terima kasih. Maaf telah mengganggu waktu Anda, Dokter Smith."Karel tercenung. Mengingat-ingat di mana ia menaruh masker tersebut. 'Tidak mungkin aku menjatuhkan masker itu di ruang operasi, kan?'Ah, sudahlah. Cuma sehelai masker. Di rumah dia punya banyak
"Hei! Minggir! Biarkan para doktek itu lewat!"Entah siapa yang berteriak. Yang jelas, suara lantang itu berhasil menghalau segerombolan orang yang menghalangi jalan.Karel mengayun langkah panjang dan cepat, mengikuti Dave. Menyibak kerumunan yang kembali menyatu.Karel merasa miris menyaksikan pemandangan di depan mata.Jembatan itu baru saja selesai dibangun, tetapi roboh sebelum sempat diresmikan. Menurut jadwal, besok pagi jembatan baru itu akan diresmikan.Beberapa mobil terjebak di tengah patahan jembatan yang membentuk huruf V. Tim penyelamat mengulurkan tali dari kedua sisi jembatan, menjadi tangga bagi korban yang masih memiliki kekuatan untuk berjuang menyelamatkan diri setelah berhasil keluar dari mobil.Setiap gerakan dilakukan dengan sangat pelan dan hati-hati. Khawatir jembatan itu akan semakin runtuh.Tak ada bantuan dari udara, tapi beberapa kapal kecil beserta tim SAR siaga dari kedua sisi sungai. Sebagian dari mereka memanjat patahan jembatan untuk menyelamatkan kor
"Bukankah kamu merasa puas setelah berhasil melampiaskan dendammu?" balas Xela, dengan suara yang juga bergetar.Bohong bila ia mengatakan membenci Karel dan tak lagi mencintainya.Karel melepaskan dekapannya, lalu memutar badan Xela."Tatap mataku!" pinta Karel. "Apa kau menemukan kepuasan di sana?"Xela memberanikan diri menantang netra kelam Karel. Yang ia temukan adalah secarik luka dan penyesalan yang mendalam.Entah kenapa Xela merasakan hatinya tersentuh dan tak tega melihat semburat derita yang bersemayam dalam manik mata Karel.Haruskah ia memberi kesempatan kedua kepada Karel?Allah saja Maha Pemaaf. Tidak sepatutnya ia menolak permintaan maaf yang tulus dari Karel.Karel tidak berselingkuh. Lagi pula, lelaki itu memperlakukannya dengan kasar karena ada alasan yang kuat. Andai dia yang berada di posisi Karel, mungkin dia akan melakukan hal yang lebih kejam dari itu.Dia mungkin tidak akan bersedia menyelamatkan mantan mertua yang telah menyiksanya.Berpikir bahwa masih ada ha
"Anda baru saja kembali, Nona. Sekarang, mau pergi lagi. Tidak bisakah tinggal lebih lama?" rayu Bibi Lizzy, berdiri di depan pintu seraya menggenggam erat jemari Xela. Enggan untuk melepaskannya.Xela tersenyum tipis. "Bibi, hanya untuk beberapa hari. Aku akan kembali."Sungguh Xela juga enggan untuk beranjak dari desa nan bebas polusi itu, tapi apa daya, ia tidak ingin mengambil risiko jika nanti yang mencarinya ternyata benar-benar Karel.Ia belum siap untuk bertemu dengan lelaki yang masih mengisi relung hatinya itu. Bukan karena benci, bukan. Dia malu pada diri sendiri.Rasa bencinya pada lelaki itu atas perlakuan kasar yang diterimanya menguap setelah mengetahui kejahatan ayahnya.Rasa sakit yang ia derita sungguh belum seujung kukunya penderitaan Karel.Jiwanya bergetar setiap kali membayangkan Karel disiksa, lalu dibuang ke tengah belantara dalam kondisi sekarat.Belum lagi kejahatan lain yang ditujukan ayahnya untuk Karel dan keluarganya. Bahkan, Karel harus kehilangan saudar
"Bersiaplah untuk menyambut kematian keduamu, Dokter! Ah, tidak, Karel! Panggilan 'Dokter' terlalu mewah untukmu. Cuih!" Lewis meludah jijik."Huh! Coba saja!" tantang Karel seraya mengayunkan rantai di tangan kirinya, melibas anak buah Lewis yang mulai menyerang.Enggan terlalu lama bermain tarik rantai dengan Lewis, Karel membetot kuat. Seketika suara gerincing memekakkan telinga.Di tangan Karel, dua rantai tersebut berubah menjadi senjata sakti yang meliuk di udara bak dua ekor kobra sedang menari.Jerit kesakitan melengking tinggi setiap kali rantai itu berhasil menghantam dan melilit tubuh lawan, lalu membantingnya dengan kuat.Sungguh Karel tak ingin berlama-lama menghabiskan waktu di ruang bawah tanah itu. Ia ingin menyudahi pertarungan tersebut secepatnya.Karel mengamuk seperti orang gila. Tak memberi kesempatan kepada lawan untuk menyentuh tubuhnya.Tas! Tas!Bunyi tebasan yang berpadu dengan gerincing rantai menjadi musik horror bagi Lewis dan anak buahnya. Satu per satu m
"Heh, bangun!"Setengah sadar, Karel merasakan tamparan keras di pipinya, diikuti kalimat makian."Dasar lemah!"Karel berjuang membuka kelopak matanya yang terasa berat. Samar netranya menangkap cahaya temaram."Di mana ini?" lirih Karel dengan suara lemah."Bagus! Akhirnya kau sadar. Aku tidak suka bermain-main saat kau pingsan. Tidak asyik!"Kepingan ingatan Karel telah sepenuhnya menyatu, melukis gambaran peristiwa yang ia alami sebelum tak sadarkan diri.Darahnya seketika mendidih, teringat kecurangan yang dilakukan komplotan Lewis dalam pertarungan.Cuih!Karel meludahi wajah Lewis yang tersenyum mengejek."Pengecut! Kau menjijikkan!""Hahaha ... ya, ya ... terserah apa katamu." Lewis mencengkeram dagu Karel. "Bagiku, kau bodoh! Sama seperti keledai."Keledai terkenal sebagai simbol kebodohan lantaran masuk ke lubang yang sama sampai dua kali.Manusia yang cerdas akan belajar dari kesalahan dan pengalaman pahitnya. Sementara si bijak akan memetik hikmah dari pengalaman orang lai
"Saya telah menemukan jejak istri Anda, Bos.""Katakan!"Netra kelam Karel berbinar penuh harapan. Tak sia-sia ia meminta bantuan Red."Istri Anda terbang ke Belanda. Di—""Terima kasih. Aku akan segera mentransfer bayaranmu," potong Karel, tak butuh penjelasan lebih panjang.Pikirannya hanya tertuju untuk menyusul Xela.Sebuah tas sandang cukup untuk memuat beberapa potong pakaian yang akan dibawanya.Agar lebih cepat tiba di Bandara, Karel memacu motornya.Ckiit!Decit rem membelah sunyi.Sebuah mobil SUV berwarna silver menggunting laju motor Karel, tepat di daerah sawangan."Mau kabur dariku? Dalam mimpi!" hardik suara yang sangat akrab di telinga Karel.Merasa keselamatannya terancam, Karel segera turun dari motor seraya menyingkirkan helm yang melindungi kepalanya."Aku tidak ada urusan denganmu! Kenapa kau selalu menggangguku?" balas Karel dengan nada dingin."Kau, lelaki berengsek yang membuat hidup Xela-ku menderita. Kali ini aku tidak akan mengalah lagi!"Plok! Plok!Karel be
"Di mana istriku?" tanya Karel setelah mempersilakan Herds untuk duduk."Saya tidak tahu," sahut Herds, mulai mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya."Kau ke sini atas perintahnya, 'kan? Tentu berkomunikasi dengannya. Apa masuk akal kau tidak mengetehui keberadaannya?""Saya mengatakan yang sebenarnya, Dokter," timpal Herds, terlihat tak terpengaruh dengan kemarahan Karel. "Nona De Groot memang menemui saya untuk menyerahkan berkas gugatan cerai untuk Anda. Sayangnya, saya tidak berpikir bahwa di saat yang sama, dia juga meninggalkan rumah Anda." Herds menyodorkan berkas perceraian tersebut kepada Karel. "Tolong tanda tangani, Dokter!"Karel memeriksa kelengkapan berkas yang disodorkan oleh Herds. Matanya membelalak melihat fotokopi buku nikah yang terlampir. Seketika ia membanting berkas tersebut ke atas meja, kemudian berlari ke kamar.Karel memeriksa laci nakas dan mengobrak-abrik isinya."Berkas itu ... Ya Tuhan!"Karel mengusap mukanya dengan kasar kala tak lagi menemukan kumpula
"Anda jangan main-main, Nyonya! Xela pergi dengan membawa koper. Ke mana lagi dia pergi bila tidak kembali ke sini?" sergah Karel, mengira Nyonya Beth sengaja merahasiakan keberadaan Xela dari dirinya."Sungguh, Dokter J. Saya tidak bohong," sanggah Nyonya Beth. "Semenjak datang terakhir kali menemui Tuan De Groot, Nona Muda tidak pernah ke sini lagi."Karel menyelami manik mata Nyonya Beth dengan tatapan lekat. Tak ada kebohongan yang ia temukan. Sebaliknya, riak kecemasan terpatri jelas di sana."Lalu, ke mana perginya Xela?" gumam Karel, seakan berbicara pada diri sendiri.Nyonya Beth juga terdiam. Sesaat kemudian ia berkata dengan nada bimbang, "Apa mungkin ... Nona Muda ... pergi membesuk Tuan De Groot?""Huh? Bukankah baru seminggu yang lalu ayah mertuaku keluar dari rumah sakit? Kenapa dia bisa kambuh?""B–bukan itu, Dokter. Kesehatan Tuan De Groot baik-baik saja. Tuan ... Tuan ... ah, saya juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi," kata Nyonya Beth, terbata-bata.Karel
"Aaargh!" Karel mendengkus kesal. "Xela tidak ada di rumah Clara. Ke mana dia? Apa mungkin pulang ke rumah ayahnya?"Tak ingin kehilangan jejak Xela, Karel pun memacu motornya menuju kediaman Tuan De Groot.Namun, baru saja turun dari motor, sebuah tendangan membuatnya terjatuh. Motor pun ikut roboh."Berengsek! Masih berani kau menginjakkan kaki di rumah ini!" umpat Lewis.Matanya yang penuh kebencian menyala-nyala terbakar amarah.Karel bangkit seraya menepis debu dan kotoran yang melekat di tubuhnya. Abai akan motor yang masih tergolek."Ini rumah mertuaku. Kapan pun aku bisa datang ke sini.""Banyak bacot!" geram Lewis, kembali menyerang Karel.Karel yang masih kacau memikirkan Xela bereaksi lambat. Tak khayal serangan itu mendarat di dadanya. Seketika ia terjengkang. Untung kerimbunan tanaman hias menahan punggungnya."Jangan pernah bertingkah sok suci di hadapanku!" hardik Lewis. "Aku tahu siapa kau. Di balik nama besarmu, kau hanyalah seekor rubah licik!"Karel menyeringai. "Ba
"Pergi kau dari sini dan jangan pernah kembali lagi!" Karel menyeret kasar lengan Xela, turun dari teras rumah kayu milik ayahnya."Akh!" Xela menjerit kesakitan.Karel mengempaskannya hingga tersungkur ke tanah."Simpan air mata buayamu itu! Aku tidak akan tertipu," sentak Karel dengan nada dingin. "Percuma kau mengarang cerita pada temanmu. Aku tidak akan percaya!"Xela tergugu."Apa salahku padamu?" tanya Xela. Suaranya terdengar parau."Banyak! Dan aku membencimu hingga ke sum-sum tulangku. Enyah!"Tes! Tes!"Aish! Hujan lagi!" gerutu Karel, melindungi kepalanya dari terpaan hujan dengan telapak tangan sambil berlari menuju rumah ayahnya.Ternyata segala luapan emosinya terhadap Xela hanyalah angan dalam lamunan."Sayang sekali kau terlambat, Nak!" kata Tuan Jaffan begitu Karel melangkah masuk setelah melepas kemejanya yang basah dan memerasnya."Dia baru saja pergi," imbuh Tuan Jaffan."Dia? Siapa?" tanya Karel, terbayang siluet sosok wanita yang mirip dengan Xela melangkah kelua