Lengkukup terdiam mendengar sosok yang menyerupai dirinya secara terang-terangan menawarkan diri untuk membantu Lengkukup dalam membalaskan dendam.
Namun belum sempat Lengkukup menjawab, tiba-tiba pandangan Lengkukup kembali seperti semula dengan Kencana Emas yang sedang bermeditasi didepannya, “Sukurlah kau tidak apa-apa!” ucap Kencana.
Dengan cepat Kencana memeluk erat Lengkukup yang membuatnya sedikit tersedak karena nafas yang tersangkut. Kencana benar-benar merasa hawatir dengan keadaan Lengkukup sekarang yang belum bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Kencana menyadari jika cepat atau lambat hati iblis akan segera mengusai tubuh Lengkukup, dengan kejadian itu Kencana tidak akan tinggal diam dan akan segera menemukan cara yang tepat untuk membuat penangkal sementara waktu.
“Sudah berapa lama aku tertidur paman?” ucap Lengkukup ketika mendapatkan kesadarannya kembali. “Aku rasa
Lengkukup sedikit terkejut mendengar pertanyaan Kencana yang seakan menuduhnya mencuri jurus yang telah dia peregakan sebelumnya. Dengan penuh keraguan Lengkukup menjelaskan jika dirinya merupakan anak yang mempunyai kemampuan husus, terlebih dia menjadi korban hinaan bagi kebanyakan orang yang merasa iri hati kepada dirinya. Mendengar jawaban dari Lengkukup membuat Kencana bertambah penasaran sekaligus antusias, akan tetapi Kencana tidak sepenuhnya percaya dengan pernyataan yang Lengkukup berikan sebelum dia mencobanya sendiri. “Benarkah demikian, coba kau perhatikan…!!” ujar Kencana seraya memainkan jurus pedang miliknya. Dengan lincah Kencana memainkan pedang pusaka miliknya, hingga membuat Lengkukup terperanga, tidak hanya satu jurus, Kencana bahkan memainkan tiga jurus sekaligus lalu mengakhirinya dengan berseru lantang, “Badai Menerpa…” Dari jurus yang dilakukan Kencana membentuk
Hutan ilusi ialah tempat terkuburnya para siluman yang merasakan penderitaan selama hidupnya, tempat itu dijadikan sebagai tempat terakhir mereka yang sudah tidak ingin menjalani hidup sebagai siluman. Banyak hal yang menyebabkan siluman tidak lagi ingin hidup, salah satunya ialah penindasan yang dilakukan siluman tingkat tinggi. Mereka yang berada di hutan ilusi akan mendapatkan kebahagian sesaat yang tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Sebagai gantinya jiwa mereka akan dimakan oleh penguasa hutan ilusi yang dikuasasi oleh 2 siluman akar . Siluman akar termasuk salah satu siluman tinggkat tinggi yang dapat berubah bentuk sesuai selera mereka. Ketika memasuki hutan ilusi Lengkukup merasakan ada yang aneh ditempat itu, sekilas tempat itu tidak asing baginya, ada begitu banyak orang, serta keramaian yang sangat akrab bagi Lengkukup. “Benarkah aku telah kembali…” batin Lengkukup.
Kencana semakin waspada menyadari Lengkukup kini benar-benar kehilangan kendali dirinya, dengan cepat Kencana mempersiapkan diri dengan segel kutukan ditangannya, akan tetapi gerakan Kencana tidak begitu cepat sehingga dapat dibaca dengan mudah oleh Manggala. Dengan secepat kilat Manggala menangkap leher Kencana tanpa bisa menghindari terlebih dahulu. Manggala kemudian berkata, “Belum saatnya!!”. Kencana berusaha melepaskan diri dengan menggunakan segel kutukan yang membuat Manggala tersenyum sebelum hilang dan kembali pada diri Lengkukup. Kencana sempat berfikir kenapa Manggala tidak membunuh dirinya namun pikiran itu segera ditepis oleh Kencana yang merasa itu tidaklah penting. Kencana Emas memijat lehernya beberapa kali, yang masih terasa sakit karena cengkraman yang begitu kuat melingkar dileher Kencana sebelumnya. “Jika terlambat sedikit saja, nyawaku bisa dalam ba
Lengkukup menatap Kencana penuh arti ketika mendengar nama Tetua Enjio, didalam pikiran Lengkukup mungkin Tetua Enjio adalah sosok yang sangat menarik dan dapat memberikannya pelajaran yang berarti. Namun Kencana seolah tidak setuju dan memilih mengakhiri ceritanya, melihat Lengkukup yang seolah merasa curiga. Karena merasa perjalanan sudah cukup jauh Kencana mengajak Lengkukup untuk mengisi perut mereka sebelum melanjutkan perjalanan kembali. “Kita akan beristirahat sejenak, tenaga adalah hal terpenting…” ucap Kencana. Lengkukup hanya bisa menyetujui, terlebih dia juga merasakan hal yang sama yaitu lapar. Untuk menghindari terik matahari Kencana memilih tempat yang sedikit teduh, tepat dibawah pohon yang cukup rindang. Kencana kemudian menyuruh Lengkukup untuk membuka bungkusan daun yang berisi daging silum yang sebelumnya mereka bawa. Sedangkan Kencana mengambil ranting kering untuk menyalakan api.
Mendengar ucapan dari Fines membuat Kencana mendapatkan informasi yang sangat berguna, terlebih mengenai keempat kaisar siluman yang masih-masing memegan potongan Kitab Surgawi. Tetapi masalahnya Kencana masih akan hidup atau tidak, dengan Fines yang masih mencoba membunu Kencana. Tidak hanya itu, masalah berikutnya ialah jika Kencana berhasil selamat tentu yang menjadi pokok utama adalah mengalahkan keempat kaisar siluman yang Kencana ketahui mereka sangat kuat. Kencana bahkan sempat melupakan keberadaan Lengkukup yang tidak tau entah berada dimana namun pikiran Kencana itu secepat mungkin ditepisnya melihat Fines yang sudah bergerak kearahnya. “Lambat…” ucapnya ketika menyerang Kencana. Melihat kecepatan Fines yang sangat lincah membuat Kencana mengambil tindakan dengan cara melompat kebelakang seraya menebaskan pedang pusaka miliknya, “Tebasan 7 Bintang…” Kencana memekik menggunakan tenaga
Sesaat sebelum Kencana menebaskan pedangnya dengan jurus Tebasan 7 Bintang, Fines merasa dapat mengatasi serangan itu dengan mudah, akan tetapi Fines sudah sangat keliru. Dirinya tidak menduga bahkan mata Fines sempat terbelalak ketika ratusan pedang angin mengarah tepat kearahnya. Fines sempat berdecak beberapa kali sebelum dirinya hendak menghindari serangan dari Kencana dengan cara melompat kesamping. Namun sesaat dirinya hendak melangkah, tiba-tiba Fines merasakan ada sesuatu yang aneh dengan dirinya yang tidak bisa bergerak. Rupanya serangan dari jurus Tapak Kencana memberikan luka dalam yang sangat berarti sehingga Fines terpaksa menerima ratusan pedang angin milik Kencana yang kini menghantam tubuhnya. “Keparat, tunggu pembalasanku mahluk rendahan…” Fines memekik, menandakan amarah yang sangat meluap. Suara ledakan menggema mengisi udara, dari jurus Kencana menimbulkan kepu
Mendengar ucapan siluman rubah yang menyebutkan tentang gurunya, membuat Lengkukup naik pitam, tawaran yang semula terlihat menarik kini berubah menjadi kemerahan yang meluap-luap. Lengkukup tidak ingin lagi mendengarkan ucapan siluman yang berada tepat didekatnya Karena merasa telah salah berucap siluman rubah ingin memperbaikinya dengan cara meminta maaf, akan tetapi sebelum kalimatnya selasai, Lengkukup memilih tindakan dengan cara memukul wajah siluman rubah yang berada didepannya. Meski siluman rubah itu seorang wanita, hal itu tidak membuat Lengkukup merasa peduli atau merasa iba sedikitpun. Setelah memberikan satu pukulan diwajah siluman rubah, Lengkukup berucap dengan nada yang tinggi, “Kau boleh menghinaku, tapi tidak dengan guruku…” ucap Lengkukup.”Aku pikir tawaranmu cukup menarik, ternyata tidak!” Lengkukup menambahkan. Karena merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Lengkukup meninggalkan si
Dilain sisi, siluman rubah sedang melihat dari kejauhan pertarungan yang dihadapi Lengkukup dengan Fines, meskipun seolah tidak peduli namun siluman rubah sempat beberapa kali melangkahkan kakinya ketika melihat Lengkukup kesulitan menghadapi Fines yang saat ini belum menyerang. Kencana bahkan kebingungan dengan tindakan Fines yang tidak ingin menghabisi mereka dengan cepat, mengingat kemampuan mereka yang terpaut jauh. Harapan satu-satunya bagi mereka untuk menghadapi Fines sekarang ialah Lengkukup seorang. Namun tiba-tiba langkah kaki Fines berubah, dirinya terlihat ingin mengabaikan Lengkukup dan menuju Kencana yang kini bertambah bingung. Dari arah berlawanan Kencana tersenyum menatap Fines seraya menghunuskan pedangnya kearah Fines berada, tindakan itu tidak lain karena Kencana merasa Fines akan membunuhnya lebih dulu. “Badai Menerpa!” Kencana berseru lantang ketika jarak mereka tinggal beberapa meter. Namun s
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya