Mendengar ucapan siluman rubah yang menyebutkan tentang gurunya, membuat Lengkukup naik pitam, tawaran yang semula terlihat menarik kini berubah menjadi kemerahan yang meluap-luap. Lengkukup tidak ingin lagi mendengarkan ucapan siluman yang berada tepat didekatnya
Karena merasa telah salah berucap siluman rubah ingin memperbaikinya dengan cara meminta maaf, akan tetapi sebelum kalimatnya selasai, Lengkukup memilih tindakan dengan cara memukul wajah siluman rubah yang berada didepannya.
Meski siluman rubah itu seorang wanita, hal itu tidak membuat Lengkukup merasa peduli atau merasa iba sedikitpun. Setelah memberikan satu pukulan diwajah siluman rubah, Lengkukup berucap dengan nada yang tinggi, “Kau boleh menghinaku, tapi tidak dengan guruku…” ucap Lengkukup.”Aku pikir tawaranmu cukup menarik, ternyata tidak!” Lengkukup menambahkan.
Karena merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Lengkukup meninggalkan si
Dilain sisi, siluman rubah sedang melihat dari kejauhan pertarungan yang dihadapi Lengkukup dengan Fines, meskipun seolah tidak peduli namun siluman rubah sempat beberapa kali melangkahkan kakinya ketika melihat Lengkukup kesulitan menghadapi Fines yang saat ini belum menyerang. Kencana bahkan kebingungan dengan tindakan Fines yang tidak ingin menghabisi mereka dengan cepat, mengingat kemampuan mereka yang terpaut jauh. Harapan satu-satunya bagi mereka untuk menghadapi Fines sekarang ialah Lengkukup seorang. Namun tiba-tiba langkah kaki Fines berubah, dirinya terlihat ingin mengabaikan Lengkukup dan menuju Kencana yang kini bertambah bingung. Dari arah berlawanan Kencana tersenyum menatap Fines seraya menghunuskan pedangnya kearah Fines berada, tindakan itu tidak lain karena Kencana merasa Fines akan membunuhnya lebih dulu. “Badai Menerpa!” Kencana berseru lantang ketika jarak mereka tinggal beberapa meter. Namun s
Ch.22 Sisi Gelap Yang Tersembunyi Fines melesat kearah Lengkukup dan memberikan sebuah serangan yang mematikan, akan tetapi semua serangan Fines dapat dibaca dengan mudah oleh Lengkukup. Fines menggigit bibirnya sendiri sehingga tampak berdarah, ketika sedang berhadapan dengan Lengkukup. Tiba-tiba Lengkukup bereaksi dengan menyerang kedua sayap Fines, menangkapnya, seolah Fines adalah seekor anak burung yang tengah belajar terbang. Fines terperanjat mendapati kedua maskotanya digenggam hanya menggunakan satu tangan Lengkukup saja. “Kalian para siluman, sudah sangat keterlaluan karena berani mempermainkanku.” Ucap Lengkukup dengan suara yang sangat mengerikan. Sebelum Fines sempat membuka mulut, Lengkukup lebih dulu bereaksi dengan mencabik-cabik sayap Fines sehingga membuatnya kesakitan dan mencoba untuk melepaskan diri. Namun semua usaha yang dilakukan Fines seolah sia-sia, kini dirinya tengah mengha
Melihat kedua siluman didepannya sudah tidak berdaya, Lengkukup yang saat ini dalam bentuk iblisnya tertawa lantang seolah menikmati detik detik kematian yang akan segera menjemput mereka. Tiba-tiba Fines ingin menangis, tetapi tidak mungkin dia lakukan didepan adiknya terlebih saat ini Lengkukup tertawa seolah mengejek. Fines sedikit mencoba meraih tangan adiknya dengan harapan bisa memegangnya untuk yang terakhir kali. Tidak jauh halnya dengan Conan yang saat ini pasrah menerima nasibnya sembari mencoba meraih tangan Fines yang masih terlalu jauh untuk ia genggam. Ketika jarak mereka tinggal beberapa meter, Lengkukup berniat menghabisi keduanya dengan satu serangan, Kencana dapat dengan jelas melihatnya dari balik bebatuan. “Maafkan aku…” gumam Fines. Namun takdir mungkin berkata lain, 2 detik tidak, 1 detik ketika Lengkukup akan memberikan serangan kematian, tiba-tiba gerakannya terkunci l
Mendengar ucapan dari Lengkukup membuat mata Kencana sempat berkaca-kaca. Kencana merasa sangat bersyukur mendapati muridnya tidak terluka sedikitpun. Kini yang menjadi masalah tidak hanya persediaan air saja namun saat ini mereka kehabisan persediaan makanan. Makanan yang mereka bawa sebelumnya telah tertinggal, pada saat Fines menyerang Kencana di lereng bukit berbatu. “Syukurlah kau sudah sadar Leng!” ucap Kencana dengan menatap Lengkukup penuh arti. “Aku akan mencari makanan untukmu.” Tambahnya. Lengkukup hanya mengangguk pelan seolah mengerti dengan ucapan dari Kencana yang kini telah beranjak dari tempat duduknya. Namun sesaat Kencana berdiri, dari atas pohon raksasa tempat mereka beristirahat, tampak pohon itu menjatuhkan buah berwarna biru tua. Kencana sempat terkejut dan mengambil posisi waspada ketika buah itu terjatuh karena menyangka jika itu merupak
Dengan cepat Kencana melihat kearah yang ditunjuk oleh Lengkukup dan mendapati sebuah pemandangan yang langka, Kencana sempat membuka matanya lebar seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tampak tanah beserta isinya melayang di udara yang terlihat seperti melawan gravitasi, tidak hanya satu mungkin ada puluhan yang berjejer kearah atas seolah ada tempat asing diatas sana. Kencana hanya menduga jika itu merupakan sebuah fenomena alam yang langka dan tidak begitu penting, sehingga Kencana memalingkan muka setelah melihatnya. Kencana memperhatikan dengan seksama laju perjalanan mereka yang semakin jauh dari awal kepergian mereka, jika dugaan Kencana benar dalam beberapa menit lagi mereka akan segera tiba dilokasi. “Guru, kau mendengarnya?” Lengkukup bertanya kepada Kencana yang sedikit antusias. “Tent saja Leng, aku rasa harapan kita tidak sia-sia.” Kencana menjawab dengan senyum penuh arti. &
Lengkukup sempat melotot kearah Kencana, karena merasa tidak terima dengan perlakuan gurunya tersebut, ia bahkan belum sempat menjawab karena banyaknya air yang tertelan. Namun Kencana sedikitpun tidak memperdulikan terlalu jauh keadaan Lengkukup karena dia tahu sendiri bagaimana kondisi Lengkukup sekarang. Beberapa menit berlalu, Lengkukup sudah bisa menarik nafas lega, ketika berhasil mengeluarkan begitu banyak air yang tertelan, sedangkan Kencana tidak terlihat dilokasi, entah pergi kemana pria paruh baya itu. Lengkukup tidak melihat Kencana pergi, ketika dirinya berusaha sendirian mengeluarkan air dari dalam perutnya. Namun perkiraan Lengkukup tidak jauh berbeda dari kebanyakan yang orang pikir tentang Kencana, dirinya mungkin mencari buah-buahan atau daging siluman untuk dimakan. Karena sudah pasti tidak mungkin Kencana mencari seorang wanita di lembah siluman bukan? Hampir 1 jam Lengkukup menunggu kedatangan
Ketika Manggala berucap, tiba-tiba Lengkukup tersentak lalu bangun dari tidur singkatnya, Lengkukup sempat bingung dengan kondisinya sekarang, karena ketika membuka mata pemandangan pertama yang dilihat ialah langit dan pepohonan yang menjulang tinggi.Kepala yang terasa sangat sakit membuatnya ingin meraba bagian itu, akan tetapi Lengkukup baru sadar jika kedua tangannya sedang terikat oleh sebuah akar. Menyadari ada sesuatu yang aneh Lengkukup mencoba menggerakkan tubuh namun tidak berhasil, dia juga tidak dapat melihat sekeliling karena posisinya sekarang sedang berada diatas sebuah tandu.Karena merasa sedang terancam Lengkukup mencoba memberontak dengan cara menghempaskan tubuh kesegala arah. Namun tiba-tiba tubuh Lengkukup di hempaskan ketanah beserta tandu tempat ia berbaring sebelumnya.“Lepaskan aku…!” ucap Lengkukup memerintah.Namun tidak ada yang menanggapi permintaan L
Lengkukup sempat ingin menolak kenyataan, tetapi tidak sempat ketika pengelihatannya kembali dengan bentuk iblis Manggala, “Akhirnya aku bisa kembali sedikit merasakan kebebasan…” Lengkukup berucap seraya menatap ratusan ribu siluman yang membentang seperti lautan.Beberapa siluman yang berada tidak jauh dengan Lengkukup yang sedang dalam bentuk iblis Manggala, sempat bereaksi dengan cara melarikan diri, akan tetapi hal itu menjadi sia-sia ketika kepala mereka terlepas dari tubuh begitu mudahnya.Pemimpin siluman sempat ingin menghadang Lengkukup namun tiba-tiba dari arah belakang siluman ular naga menjadi waspada, ketika dirinya melihat Lengkukup dengan bentuk iblis yang mungkin dikenalinya.Karena merasa posisinya tidak diuntungkan siluman ular naga langsung memakan pemimpin para siluman lalu pergi begitu saja seolah tidak ingin terlibat. Ratusan ribu siluman tingkat rendah itu sempat ingin berlari n
Ling terdiam dalam keheningan, tatapannya masih terpaku pada tempat di mana sosok berjubah putih itu menghilang. Lengkukup dan En Jio berdiri di sisinya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun, pertanyaan yang menggantung di udara tidak segera menemukan jawaban."Siapa dia?" En Jio akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar lemah. "Penjaga Kuil Tianlong? Aku tidak pernah mendengar tentang sosok seperti itu..."Lengkukup, yang biasanya tenang dan penuh perhitungan, hanya menggelengkan kepala. "Dia muncul tepat saat kita membutuhkannya. Entah siapa atau apa tujuannya, kita sebaiknya bersyukur."Ling menghela napas panjang, tubuhnya masih lelah setelah serangan besar yang hampir menghabisi kekuatannya. "Kita harus segera pergi dari sini. Tempat ini penuh dengan kegelapan, dan aku merasakan sesuatu yang tidak beres."Mereka bertiga mengangkat diri, meskipun tubuh mereka masih t
Sima Yan berdiri tegak di hadapan Ling, Lengkukup, dan En Jio. Aura kegelapan yang memancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar mereka terasa berat. Pedangnya yang besar dan hitam berkilauan dengan cahaya merah yang jahat, menandakan kekuatan yang luar biasa.Ling mengepalkan tangannya lebih kuat di sekitar gagang pedangnya. Napasnya terasa berat, dan dadanya bergemuruh dengan adrenalin. Dia tahu ini bukan hanya pertarungan melawan seorang musuh yang kuat, tapi juga perjuangan untuk tetap hidup."Kita tidak bisa membiarkan dia menang!" desis Ling dengan penuh semangat, meski dia tahu dalam hatinya bahwa mereka mungkin tidak akan bertahan dari pertarungan ini.Lengkukup berdiri di sampingnya, menatap dingin ke arah Sima Yan. "Kita bertarung sampai napas terakhir. Tidak ada pilihan lain."En Jio, yang masih terluka, mengangguk dengan susah payah. Meskipun kondisinya jauh dari ideal, dia tahu tidak ada waktu untuk mundur.
Ketika mereka keluar dari gua, lembah yang dulunya gelap sekarang diterangi cahaya redup matahari yang mulai tenggelam. Udara terasa lebih berat, seolah sesuatu yang jahat menyelimuti mereka dari kejauhan. Langit di atas Gunung Tianfeng mulai berubah menjadi merah darah, pertanda bahwa bahaya semakin dekat.
Suasana di dalam ruangan besar itu mendadak tegang. Pria berjubah hitam yang berdiri di hadapan mereka tampak mengintimidasi, dengan senyum penuh kebencian yang menyiratkan keyakinan mutlak pada kekuatannya. Cahaya dari kristal elemen hijau memantul di zirah hitamnya, mempertegas aura kegelapan yang menyelimuti tubuhnya."Aku adalah pengawal elemen ini," ucap pria itu dengan suara rendah yang bergetar. "Namaku Hei Long, dan kalian tak akan bisa melewati gerbang kehidupan ini."Ling menatap pria itu dengan tajam, mempersiapkan diri. "Kalau begitu, kita tak punya pilihan lain selain melawanmu."Lengkukup dan En Jio mengambil posisi di sebelah Ling. Meskipun mereka tahu bahwa Hei Long adalah lawan yang kuat, mereka tidak punya waktu untuk ragu. Kristal elemen hijau itu adalah kunci untuk melengkapi kekuatan Kitab Dewa Naga, dan mereka harus mendapatkannya, apa pun risikonya."Serahkan saja elemen itu
Malam mulai menyelimuti perbukitan, namun Ling, Lengkukup, dan En Jio terus melangkah. Suasana semakin mencekam saat kabut tipis mulai muncul, menyelimuti jalanan setapak yang semakin sempit. Hutan lebat di kiri dan kanan mereka seolah menjadi dinding kegelapan yang tak tertembus. Hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar di tengah keheningan itu."Kita semakin dekat," kata Lengkukup, matanya terus mengawasi setiap gerakan di sekitar. "Aku bisa merasakan kehadiran sesuatu yang tidak biasa di sini."Ling mengangguk setuju. Dari kitab Dewa Naga yang berada dalam genggamannya, ia bisa merasakan energi yang semakin kuat. "Lembah itu tak jauh lagi. Energi dari elemen berikutnya sangat jelas terpancar dari sana."En Jio, yang biasanya penuh semangat, kali ini tampak lebih tenang. "Apa kalian sudah siap? Kalau pasukan hitam benar-benar menunggu di sana, ini akan menjadi pertempuran yang sulit."
Setelah berhasil mengalahkan Pengawal Bayangan dan mengamankan elemen es, Ling, Lengkukup, dan En Jio melanjutkan perjalanan mereka menuju perbukitan yang lebih rendah, meninggalkan puncak es yang mencekam di belakang. Udara di sini lebih hangat, tapi suasana tegang masih melingkupi mereka. Masing-masing terdiam, merenungkan pertempuran yang baru saja mereka lalui.“Kita sekarang memiliki dua elemen,” kata Lengkukup, memecah keheningan. “Tapi musuh kita pasti semakin sadar dengan keberadaan kita.”Ling mengangguk. “Kita harus bergerak cepat. Mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan kita mengambil semua elemen begitu saja.”En Jio, yang biasanya ceria, kali ini terlihat lebih serius. “Kalau mereka sudah mengirim Pengawal Bayangan, berarti kekuatan besar sedang memantau kita. Kita harus siap menghadapi mereka, kapan pun mereka menyerang.”
Setelah berhasil mendapatkan elemen es dari Puncak Es, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak bisa beristirahat lama. Meski mereka baru saja mengalahkan serigala es yang menjaga elemen tersebut, perasaan cemas tidak pernah benar-benar pergi. Keheningan yang melingkupi pegunungan bersalju seolah menyembunyikan ancaman yang belum terungkap.“Ling,” kata Lengkukup tiba-tiba, matanya tajam menatap ke kejauhan. “Kita sedang diawasi.”Ling yang sedang mengatur napas setelah pertempuran, langsung siaga. Dia mengeluarkan pedangnya dengan gerakan cepat, memfokuskan seluruh indranya untuk mendeteksi ancaman yang disampaikan Lengkukup. Seiring angin dingin yang menusuk, bayangan mulai terlihat di balik kabut tebal.En Jio, yang sebelumnya sedang bercanda untuk menghilangkan ketegangan, kini mengalihkan pandangannya dengan wajah serius. “Sepertinya, penjaga elemen es bukan satu-satunya yang harus kita hadapi.”Dari kabut yang semakin pekat, muncul sosok-sosok berpakaian hitam. Mereka bergerak dengan k
Setelah berhasil mendapatkan elemen api dari Gunung Berapi Hitam, Ling, Lengkukup, dan En Jio tidak memiliki banyak waktu untuk merayakan keberhasilan mereka. Tantangan berikutnya, elemen es, menanti mereka di ujung dunia yang berlawanan, di Puncak Es yang dilapisi salju abadi.“Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” ujar Ling, napasnya masih terengah-engah setelah pertarungan yang menegangkan. “Puncak Es jauh, dan kita tidak tahu apa yang menanti kita di sana.”Lengkukup menyetujui, mengangkat elemen api dengan hati-hati. Cahaya merah yang menyala dari elemen itu berdenyut lembut, memberikan rasa hangat yang kontras dengan suhu yang akan mereka hadapi di perjalanan berikutnya.“Kau benar, Ling,” katanya. “Kita harus segera bergerak. Semakin lama kita menunda, semakin besar kemungkinan musuh kita mengetahui keberadaan elemen ini.”En Jio, yang telah berhasil mengalihkan perhatian naga api, berjalan mendekat. Dia tersenyum puas, meskipun wajahnya dipenuhi keringat. “Aku tidak sabar unt
Dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan yang meningkat, Ling, Lengkukup, dan En Jio meninggalkan pasar malam. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan menjadi salah satu yang paling menantang yang pernah mereka hadapi. Mereka harus mendapatkan dua elemen yang berlawanan, dan langkah pertama adalah menuju Gunung Berapi Hitam.Di jalan, Ling merenungkan kata-kata lelaki tua itu. Kekuatan tidak hanya datang dari kemampuan fisik, tetapi juga dari keputusan yang mereka buat. Perjalanan ini bukan hanya tentang mencari kunci, tetapi juga tentang menemukan diri mereka sendiri dan menguji batasan mereka.Sesampainya di tepi hutan, mereka berhenti sejenak. Ling bisa merasakan perubahan udara, dari segar menjadi panas dan berbau sulfur. “Kita sudah dekat dengan gunung,” ujarnya.“Kau yakin kita siap menghadapi makhluk yang menjaga elemen api?” Lengkukup bertanya, merasakan ketegangan di udara.“Kita harus percaya satu sama lain,” jawab Ling. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya