Jauh dari Desa Kembang Ilalang, tersembunyi di balik kabut tebal yang menyelimuti Gunung Merbabu, terdapat markas besar para bandit yang telah lama menjadi momok bagi penduduk desa di sekitarnya.
Markas ini bukan sekadar tempat persembunyian biasa; ini adalah benteng alami yang terlindung oleh tebing curam dan hutan lebat, menjadikannya hampir tidak bisa ditembus oleh siapa pun yang tidak tahu jalan masuknya.
Di dalamnya, ratusan bandit berkumpul, hidup dari hasil rampasan yang mereka ambil dengan kekuatan dan kekejaman.
Di salah satu ruangan besar yang berfungsi sebagai ruang pertemuan, beberapa bandit yang selamat dari pertempuran di Desa Kembang Ilalang kini berdiri dengan wajah penuh ketakutan dan rasa malu. Mereka tahu bahwa berita yang akan mereka sampaikan kepada pemimpin mereka bukanlah kabar baik.
Pagi itu, udara di Desa Kembang Ilalang terasa sejuk dan segar. Burung-burung bernyanyi riang di antara pepohonan, dan sinar matahari pagi memancar lembut di atas ladang-ladang yang mulai menguning.Di sebuah lapangan terbuka di pinggiran desa, Roro dan Jaka Tandingan sedang berlatih dengan tekun. Di sisi lapangan, Gema duduk dengan ekspresi serius, berusaha mengikuti instruksi yang diberikan Jaka, meski kesulitan terus menerus menghalangi usahanya.Roro, meskipun baru berusia 11 tahun, menunjukkan ketekunan dan semangat yang luar biasa. Di depannya, Jaka berdiri dengan sikap penuh perhatian, mengamati setiap gerakan adiknya. “Roro, ingat untuk menjaga keseimbangan. Teknik ini membutuhkan ketenangan dan ketepatan. Jangan terburu-buru.”Roro mengangguk, mencoba menenangkan napasnya. Dia memusatkan p
Mentari semakin naik di cakrawala, memberikan semburat cahaya keemasan pada Desa Kembang Ilalang. Penduduk desa yang masih terlelap mulai terbangun oleh suara-suara alam yang biasa, tanpa mengetahui bahwa hari ini akan berbeda dari biasanya—bahwa kedamaian yang baru saja mereka rasakan akan segera hancur oleh teriakan dan suara dentingan senjata.Jauh di bukit yang menghadap desa, seratus bandit bersiap untuk melancarkan serangan mereka. Dipimpin oleh Rakyan Tumenggung yang penuh dendam, kelompok bandit ini bergerak dengan disiplin dan kekejaman yang telah mereka latih selama bertahun-tahun. Mereka tidak datang hanya untuk menjarah; mereka datang untuk membalas dendam, untuk menghancurkan desa dan membunuh siapa saja yang berani menentang mereka.Rakyan Tumenggun
Di tengah pertempuran yang semakin sengit, suara dentingan pedang dan teriakan menggema di seluruh Desa Kembang Ilalang. Desa yang tadinya tenang kini berubah menjadi medan pertempuran berdarah, di mana penduduk desa yang tersisa berusaha mati-matian melawan serangan para bandit. Di pusat kekacauan itu, Rakyan Tumenggung berdiri dengan angkuh, menghadapi Jaka Tandingan dengan senyum penuh kesombongan di wajahnya.Jaka, meskipun lelah dan terluka, tetap berdiri teguh dengan pedang di tangannya. Matanya menatap Rakyan Tumenggung dengan tekad yang tidak goyah, meskipun dia tahu bahwa musuh yang dihadapinya jauh lebih kuat dari yang bisa dia bayangkan.Rakyan Tumenggung tertawa kecil, suara tawa yang penuh dengan kesombongan dan ejekan. “Kau pikir kau bisa mengalahkanku, anak muda?” katanya dengan suara yan
Matahari hampir di atas kepala, memancarkan sinarnya yang panas di atas Desa Kembang Ilalang. Pertempuran antara Jaka Tandingan dan Rakyan Tumenggung semakin memanas, udara di sekitar mereka bergetar karena benturan energi besar yang terus menerus terjadi. Desa yang tadinya tenang kini berubah menjadi medan pertempuran yang mencekam, dengan suara dentingan pedang dan teriakan yang menggema di udara.Jaka tahu bahwa kultivasinya berada tiga tingkat di bawah Rakyan Tumenggung. Lawannya telah mencapai tingkat Penggabungan, sementara Jaka masih berada di tingkat Pencerahan. Ini adalah perbedaan yang sangat signifikan, dan dalam kondisi normal, Jaka tidak akan memiliki peluang untuk menang. Namun, dia juga ta
Kematian Rakyan Tumenggung seharusnya menjadi akhir dari pertempuran di Desa Kembang Ilalang, tetapi sebaliknya, itu malah memicu kemarahan yang tak terbendung dari para bandit yang tersisa. Melihat pemimpin mereka tergeletak tak bernyawa di tanah, para bandit yang sebelumnya diliputi ketakutan kini dipenuhi dengan kebencian yang mendalam. Teriakan dan sumpah serapah mereka menggema di udara, memenuhi suasana dengan rasa benci yang pekat."Dia membunuh Rakyan Tumenggung!" teriak salah satu bandit dengan suara yang bergetar karena amarah. "Kita tidak bisa membiarkan mereka lolos hidup-hidup!"Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, para bandit itu mulai bergerak, mengelilingi Jaka, Gema, dan Roro dengan cepat. Mata mereka memancarkan kebencian yang membara, senjata mereka terangkat tinggi, siap untuk menghabisi siapa
Dalam kegelapan yang tak berujung, Gema merasa tubuhnya melayang tanpa arah, seolah-olah terjebak dalam ruang hampa yang tidak memiliki batas. Kesadaran yang biasanya penuh dengan kegelisahan kini terselimuti oleh rasa tenang yang aneh, tetapi di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang mengintai—sesuatu yang sangat tidak menyenangkan.Tiba-tiba, Gema merasakan dirinya ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, dan sebelum dia bisa mengerti apa yang sedang terjadi, dia menemukan dirinya berdiri di tengah sebuah ruang yang sangat luas. Ruangan itu gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup yang berasal dari sumber yang tidak jelas. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan bayangan-bayangan yang bergerak, seolah-olah mereka adalah makhluk yang hidup namun tidak memiliki bentuk yang pasti.
Gema terbangun dengan keringat dingin yang membasahi tubuhnya. Matahari pagi baru saja mulai menyentuh langit timur, mengusir sisa-sisa kegelapan malam. Namun, di dalam dirinya, kegelapan itu masih bertahan, menghantui setiap sudut hatinya. Dia terdiam, duduk di atas alas tidur yang tipis, matanya terpaku pada Medali Nusantara yang tergantung di dadanya.Medali itu, yang selama ini menjadi sumber kekuatan yang menyelamatkannya dari berbagai situasi berbahaya, kini tampak mati. Cahaya yang biasanya memancar lembut dari medali itu kini benar-benar padam, seolah-olah tidak ada energi yang tersisa di dalamnya. Gema merasakan kekosongan yang mendalam, tidak hanya dari medali itu, tetapi juga dari dirinya sendiri.Kata-kata kasar yang diucapkan oleh sosok misterius dalam mim
Setelah perenungannya yang mendalam, Gema memutuskan untuk mengurung diri di dalam sebuah ruangan kecil di rumah yang mereka tempati di desa itu. Dia telah memutuskan untuk mulai melatih dirinya, meskipun dia tidak tahu harus memulai dari mana. Yang dia tahu hanyalah bahwa dia tidak bisa lagi bergantung pada Medali Nusantara atau kekuatan orang lain. Dia harus menemukan kekuatan dalam dirinya sendiri.Ruangan itu sederhana, hanya ada tikar dan sebuah lampu minyak yang menyala redup, memberikan cahaya yang cukup untuk membuatnya merasa tenang. Dinding-dinding kayu di sekitarnya terasa sejuk, memberikan kesan kedamaian yang kontras dengan gejolak yang ada di dalam hati Gema.Dia duduk di atas tikar, mencoba menenangkan pikirannya. Mengikuti petunjuk dasar yang pernah dia dengar dari Jaka, Gema mulai memusatkan pikira
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema