Cahaya redup dari lilin-lilin yang menyala di kamar Raja Jayabaya hanya menerangi sebagian kecil ruangan megah itu. Di sudut, tubuh sang raja terbaring tak bergerak di lantai dingin, napasnya terengah-engah dan pelan. Pandangan matanya kosong, hampir tak ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa. Sang raja, yang selama ini dikenal sebagai simbol kekuatan dan ramalan masa depan, kini tampak seperti bayangan dari sosok agung yang pernah ia wujudkan.
Pintu kamar raja berderit pelan, dan dari celahnya, sebuah sosok elegan melangkah masuk. Dewi Sekarwangi. Dengan pakaian sutra berwarna merah gelap yang melambangkan kekuasaan dan kecantikan, dia berjalan tanpa suara mendekati tubuh lemah Jayabaya. Tatapannya dingin, penuh dengan niat yang terselubung di balik senyum tipis yang menghiasi wajahnya.
“Oh, Yang Mulia... lihat dirimu sekarang,” gumamnya dengan nada penuh ejekan. “Sang peramal besar yang bisa melihat masa depan, tapi gagal melihat kematiannya sendiri
Di dalam ruangan megah dengan hiasan emas dan permata yang menandakan kemewahan kerajaan, Pangeran Arjuna duduk di kursi besar, menghadap jendela besar yang memperlihatkan pemandangan ibukota dari ketinggian. Wajahnya yang tampan, namun keras dan penuh ambisi, menunjukkan betapa dalam pikirannya berkecamuk dengan rencana-rencana besar.Di sisi lain, Putri Saraswati, duduk dengan anggun di sampingnya, memandangi kitab-kitab suci sihir yang tertumpuk di hadapannya. Mata cemerlangnya menyiratkan kecerdasan dan liciknya seorang ahli sihir cahaya, namun saat ini yang dia pikirkan bukanlah kedamaian melainkan kekuasaan.Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan pelan, menandakan kedatangan seseorang. Sosok Dewi Sekarwangi melangkah masuk dengan anggun, pakaian sutranya yang berwarna merah darah berayun seiring langkahnya. Senyum penuh tipu muslihat terukir di wajahnya, dan pandangannya langsung tertuju pada kedua anak kerajaan itu.“Waktunya hampir tiba,” uc
Keesokan harinya, matahari baru saja muncul di atas cakrawala, mencurahkan sinarnya yang keemasan ke seluruh wilayah Kerajaan Langit Timur. Namun, suasana di dalam istana tampak tidak sesuai dengan keindahan yang terlihat di luar.Para penjaga, pelayan, dan pejabat istana bergerak dengan wajah tegang, ada yang berbisik-bisik di antara mereka, tak berani mengangkat kepala terlalu tinggi. Berita bahwa Raja Jayabaya sedang sakit telah menyebar, namun tak ada yang tahu bahwa raja mereka kini terbaring dalam kondisi mati suri yang tak dapat disembuhkan.Di dalam ruang singgasana yang megah, dengan ukiran naga dan burung phoenix yang menghiasi pilar-pilar tinggi, suasana semakin terasa ganjil. Di atas takhta kerajaan, yang biasanya hanya diduduki oleh sang raja sendiri, kini tampak seorang pria muda dengan sorot mata tajam dan sikap penuh keangkuhan.Pangeran Arjuna, dengan baju zirah keemasan yang dikenakan seolah sedang bersiap memimpin perang, duduk dengan angkuh d
Suasana di dalam istana Kerajaan Langit Timur berubah drastis. Aroma ketidakpastian menyelimuti setiap sudutnya, seperti kabut yang enggan beranjak di pagi hari. Para pejabat, pelayan, dan penjaga istana kini mulai merasakan ketegangan yang tak pernah mereka rasakan sebelumnya. Ketidakhadiran Raja Jayabaya yang biasanya mengendalikan segalanya, memberi ruang bagi ambisi-ambisi tersembunyi untuk mulai menunjukkan dirinya.Di dalam sebuah ruangan besar, Pangeran Arjuna duduk dengan angkuh di atas kursi megah, memerintah seolah-olah tahta kerajaan sudah resmi menjadi miliknya. Ia memandangi para pejabat dan pengawal yang berdiri di hadapannya dengan tatapan penuh kemenangan, seolah semuanya sudah berada di bawah kendalinya."Lapor, Yang Mulia Pangeran Arjuna," salah satu pejabat muda, bernama Ki Sudarsana, menghadap dengan sikap penuh hormat. "Kami telah menerima laporan dari perbatasan. Pasukan Benua Barat telah mundur untuk sementara, namun tampaknya mereka sedang menyu
Para prajurit berkumpul di alun-alun, berbaris dengan rapi dan menunggu perintah dari atasan mereka. Namun, suasana yang biasanya dipenuhi rasa hormat dan kekaguman kini berubah menjadi keraguan dan ketidakpastian. Para prajurit saling bertukar pandang, berbisik tentang perintah yang baru saja dikeluarkan oleh Pangeran Arjuna.Di tengah alun-alun itu, Jaka Tandingan berdiri tegak, wajahnya tak menunjukkan emosi meski ada kegetiran yang menghantui setiap sudut hatinya. Beberapa prajurit yang dulunya berlatih dan bertempur di sampingnya, kini berdiri dengan tatapan kaku, menunggunya untuk ditangkap."Jaka Tandingan!" terdengar suara lantang seorang perwira dari kejauhan. "Atas perintah Yang Mulia Pangeran Arjuna, kau ditahan dengan tuduhan pengkhianatan dan menjadi mata-mata musuh!"Bisikan mulai terdengar di antara para prajurit. Tuduhan itu begitu tak masuk akal, namun tidak ada yang berani berbicara menentang perintah pangeran. Mereka tahu betapa keras dan semb
Suasana di Ruang Tahta Utama terasa berat dan tegang. Pilar-pilar besar yang biasanya megah kini terasa seperti menekan siapa saja yang ada di dalam ruangan itu. Di atas singgasana, Pangeran Arjuna duduk dengan angkuh, mengenakan jubah kerajaan yang terlalu besar untuk kesombongannya. Di sampingnya, Putri Saraswati berdiri dengan tenang, wajahnya dingin, penuh perhitungan. Keduanya menatap tiga orang yang baru saja masuk ke dalam ruangan.Gema, Roro, dan Putri Sri Ayu berdiri di hadapan mereka. Wajah Gema tegang, matanya menyala dengan kemarahan yang coba ia kendalikan. Di sampingnya, Roro tampak waspada, siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Sementara itu, Putri Sri Ayu tampak bingung dan cemas, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan yang jelas, terutama karena dua kakaknya berdiri di hadapannya dengan aura yang mengintimidasi."Kalian tahu mengapa kalian dipanggil?" Pangeran Arjuna memulai, suaranya penuh dengan kesombongan yang mengalir dari bibirnya. Dia mena
Setelah Gema, Roro, dan Putri Sri Ayu meninggalkan ruang tahta, suasana yang tersisa begitu mencekam. Hanya Pangeran Arjuna dan Putri Saraswati yang berada di ruangan tersebut. Wajah Arjuna memerah karena marah. Pangeran itu terlihat berusaha menenangkan dirinya, tapi kebencian yang membara di hatinya terhadap Gema tidak dapat disembunyikan."Beraninya mereka!" Arjuna memukul meja yang ada di samping tahtanya dengan keras. "Anak kecil itu! Gema harus segera diajar. Dia terlalu berani mempertanyakan otoritasku!"Saraswati, yang berdiri di sebelahnya, hanya memandang dengan dingin. "Tenang, Kak. Kita tidak bisa membiarkan emosimu menguasai dirimu sekarang. Ayah mungkin sedang tidak berdaya, tapi kita harus memainkan peran ini dengan cerdik. Jangan sampai Gema justru mendapatkan dukungan lebih banyak dari orang-orang karena langkah bodoh."Arjuna mengepalkan tinjunya, matanya menyipit penuh kebencian. "Apa yang kau usulkan, Saraswati? Bagaimana aku bisa membiarkan
Malam tiba di Kerajaan Langit Timur. Langit tampak tenang, bintang-bintang bersinar terang seperti malam-malam biasanya. Namun, di balik kedamaian itu, intrik kotor tengah berlangsung. Dewa Sekarwangi melangkah dengan anggun di antara lorong-lorong gelap yang menuju penjara bawah tanah. Jubah hitamnya berkibar pelan, menyatu dengan bayangan, membuat sosoknya nyaris tak terlihat. Dengan kekuatan ilusi yang ia miliki, tidak ada satu pun prajurit yang mampu menyadari keberadaannya.Penjara tahanan perang ini terletak jauh di bawah istana, tempat yang dianggap paling aman dan dijaga ketat oleh para prajurit kerajaan. Namun, Dewa Sekarwangi memiliki caranya sendiri untuk menyusup tanpa diketahui. Tiba di depan gerbang baja besar yang mengurung Patih Kartanegara dan Arya Wisesa, dia berhenti sejenak, menatap kedua tahanan yang duduk dengan ekspresi dingin dan marah."Ah, sudah saatnya kalian berdua mendapatkan sedikit kebebasan," ucap Sekarwangi dengan senyuman licik di waja
Malam menjelang fajar, dan suasana di dalam istana Kerajaan Langit Timur terasa lebih sunyi dari biasanya. Keheningan yang merayap melalui lorong-lorong istana tidak memberikan ketenangan, melainkan membawa beban berat yang tak kasatmata. Di tengah ketenangan ini, Gema Pratama melangkah dengan cepat dan hati-hati. Wajahnya terlihat lebih tegas, matanya menatap lurus ke depan. Ada banyak hal yang menghantui pikirannya setelah pertemuan dengan Pangeran Arjuna dan Putri Saraswati di ruang tahta.Meskipun tampaknya dia masih memiliki kendali, Gema tahu bahwa dia semakin dikelilingi oleh musuh. Dewi Sekarwangi, Arjuna, dan Saraswati sedang menenun jaring pengkhianatan yang bisa menjeratnya kapan saja. Namun, ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan—keyakinan bahwa keadilan pada akhirnya akan menang. Kali ini, dia harus lebih cerdik. Tidak ada ruang untuk kesalahan.Saat dia mendekati perpustakaan istana, Gema memperlambat langkahnya. Dia ingat sesuatu yang penting. Perpustakaan adalah
Langkah Gema, Roro, dan Jaka semakin pelan ketika mereka memasuki Hutan Mistik Es, sebuah kawasan yang penuh misteri dan bahaya. Suasana di dalam hutan itu begitu sunyi, hanya desau angin dingin yang menghembus di antara pepohonan beku, membuat daun-daun es bergetar pelan. Meski tampak tenang di luar, ada sesuatu yang terasa aneh dan menekan. Ketiganya merasakan kegelisahan yang sama, seolah-olah mereka sedang diawasi oleh sesuatu yang tidak tampak.Hutan itu dipenuhi pepohonan raksasa yang batangnya menjulang tinggi, seluruhnya tertutupi lapisan es yang tebal. Setiap langkah mereka menghasilkan suara renyah dari salju yang terinjak, namun setiap suara kecil itu bergema dengan cara yang aneh, seolah ada gema dari suara lain yang mengikuti di belakang mereka.“Rasanya… seperti kita tidak sendiri di sini,” gumam Roro dengan nada cemas, matanya mengamati sekeliling dengan hati-hati. Tangan halusnya sudah siap meraih jarum-jarum akupunktur, jika ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari bali
Badai salju terus menderu, namun di tengah kegelapan dan dinginnya angin, Gema, Jaka, dan Roro berdiri tegak, memancarkan aura yang berbeda dari sebelumnya. Napas mereka teratur, meski suhu menggigit setiap inci tubuh mereka. Mata Gema menyala dengan kepercayaan diri yang semakin kuat, seolah-olah badai dan makhluk-makhluk es yang menghadang mereka hanyalah ujian kecil yang harus mereka lewati.Di sekitar mereka, Cheetah Es yang tersisa terus bergerak dengan kecepatan luar biasa, mengepung dari segala arah. Namun, kali ini Gema dan kedua kawannya sudah siap. Kekuatan yang telah mereka latih selama dua tahun di benua utara ini akhirnya mencapai puncaknya.“Sudah cukup,” gumam Gema pelan, namun penuh tekad. “Saatnya kita tunjukkan apa yang sebenarnya kita pelajari selama ini.”Jaka mengangguk, menatap musuh-musuh di depan mereka dengan senyuman penuh percaya diri. “Aku sudah menunggu saat ini. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita.”Roro yang berada di sebelah mereka, meskipun dingi
Angin menderu hebat, membawa butiran salju yang terasa seperti ribuan jarum tajam menghantam kulit. Udara yang sedingin es menggigit tubuh mereka, meskipun pakaian tebal dari kulit hewan yang diberikan oleh Suku Wanuara cukup melindungi mereka dari hawa dingin yang menusuk. Pegunungan Utara tampak menjulang di kejauhan, puncaknya seolah menyentuh langit, diselimuti oleh kabut tipis yang menyatu dengan badai salju.Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga melangkah maju dengan susah payah, kaki mereka tenggelam dalam salju setinggi lutut. Napas mereka terlihat dalam bentuk embusan uap di udara dingin. Mata mereka terus waspada, namun badai salju yang semakin deras membuat jarak pandang terbatas. Hanya siluet-siluet gelap dari bebatuan besar dan pohon-pohon kerdil yang terlihat samar di kejauhan."Aku tidak menyangka cuacanya akan seburuk ini," gumam Roro, suaranya hampir tenggelam dalam raungan badai. "Aku bisa merasakan energi dingin ini mengalir langsung ke tulang-tulangku."Jaka, yang
Awan di atas desa Suku Wanuara terlihat lebih cerah dari biasanya. Meski udara dingin pegunungan masih menusuk tulang, sinar matahari yang terpantul dari salju memberikan sedikit kehangatan yang aneh. Gema, Jaka Tandingan, dan Roro Kenanga bersiap untuk perjalanan mereka menuju Pegunungan Utara. Mereka tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan bahaya, tapi tekad mereka sudah bulat.Di sekitar desa, para anggota suku telah berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ketiga tamu yang telah tinggal bersama mereka selama dua tahun. Di tengah kerumunan, Nyi Gandari berdiri dengan penuh wibawa, ditemani oleh Anggarajaya, Raksayudha, dan beberapa pemimpin suku lainnya.Gema memandang tumpukan perbekalan yang sudah disiapkan untuk mereka. Para tetua suku memberi mereka makanan, pakaian hangat, serta senjata yang bisa berguna untuk bertahan hidup di pegunungan yang keras. Ransel kulit berisi ramuan penghangat tubuh, beberapa buah kering, dan daging kering terikat dengan kuat. Sel
Di tengah dinginnya udara pegunungan utara yang menusuk tulang, Gema terbaring di dalam tendanya, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya justru melayang ke masa lalu. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan, kenangan tentang seseorang yang sangat penting dalam hidupnya—Raden Jayabaya, sang guru, seorang bijak dari Benua Timur yang tak hanya mengajarinya seni bela diri dan sihir, tetapi juga rahasia-rahasia dunia yang tersembunyi.Saat malam semakin larut, Gema semakin sulit untuk tidur. Dia duduk dan mengamati api unggun yang berkedip-kedip di luar tendanya. Pikirannya kembali pada percakapan terakhirnya dengan Raden Jayabaya sebelum dia pergi meninggalkan Benua Timur, sebuah percakapan yang kini terasa semakin relevan."Ada sesuatu yang harus kau cari di masa depan, Gema," Raden Jayabaya pernah berkata sambil menatap langit, matanya tampak jauh memandang ke cakrawala. "Sebuah artefak kuno, tersembunyi di tempat yang tidak mudah dijangkau. Namun jika kau menemukannya, kekuatanmu ak
Setelah perburuan yang penuh tantangan melawan para Mammoth Raksasa, Gema, Jaka, dan Roro akhirnya berjalan kembali menuju desa Suku Wanuara. Mereka ditemani oleh Anggarajaya dan beberapa anggota suku lainnya, termasuk para pemburu berpengalaman yang ikut serta dalam perburuan. Matahari terbenam di cakrawala, menciptakan pemandangan langit merah keemasan yang memantulkan sinarnya ke atas hamparan es yang luas. Hembusan angin dingin yang menusuk tulang kini terasa lebih akrab, seolah menjadi sahabat lama bagi mereka yang telah bertahan di lingkungan keras ini.Setelah beberapa jam berjalan, mereka mulai melihat tanda-tanda desa suku di kejauhan. Tenda-tenda besar yang terbuat dari kulit binatang berjajar rapi, asap tipis mengepul dari perapian di tengah desa, dan suara-suara tawa serta obrolan hangat terdengar samar di udara. Ada rasa hangat yang langsung menyelimuti hati mereka begitu desa mulai terlihat. Meskipun mereka adalah pendatang di sini, Suku Wanuara telah menjadi seperti kel
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang terpancar lemah di atas bentangan es Benua Utara, memantulkan kilauan pada permukaan kristal salju yang memutih. Suhu yang beku di bawah nol tidak lagi menjadi musuh bagi Gema, Jaka, dan Roro. Setelah dua tahun beradaptasi dengan lingkungan keras ini, mereka telah belajar untuk tidak hanya bertahan hidup tetapi juga menjadi bagian dari kekuatan alam yang dingin dan ganas ini.Hari ini, perburuan terakhir mereka akan menjadi yang paling menantang. Anggarajaya memimpin kelompok suku Wanuara ke dataran beku yang disebut “Tanah Bersalju Tak Berujung,” di mana gerombolan Mammoth Raksasa berkeliaran. Makhluk-makhluk ini bukan hanya besar, tetapi juga sangat berbahaya dengan taring gading yang mampu menghancurkan benteng dan kulit tebal yang nyaris tak tertembus.“Perburuan hari ini berbeda,” ujar Anggarajaya dengan suara dalam. “Mammoth Raksasa adalah hewan yang langka di benua ini. Mereka kuat, cepat, dan tidak mudah diprediksi. Kalian harus me
Langit kelabu membentang di atas dataran es yang luas, seolah-olah menutupi dunia dalam selimut dingin abadi. Salju turun dengan lembut, menyelimuti permukaan bumi yang sudah beku, namun di bawah tenangnya lanskap ini, ketegangan menggantung di udara. Anggarajaya, Gema, Jaka, Roro, dan beberapa anggota Suku Wanuara lainnya berkumpul di tepi lembah yang dipenuhi es yang memantulkan cahaya samar dari langit. Hari ini, perburuan mereka bukanlah beruang kutub, melainkan makhluk yang lebih cepat, lebih berbahaya, dan jauh lebih mematikan: sekelompok Cheetah Es."Perburuan ini akan menjadi ujian terakhir kalian," kata Anggarajaya dengan nada tegas, tatapan matanya tajam seperti elang. "Cheetah Es terkenal dengan kecepatannya yang bisa membekukan aliran darah. Satu gigitan dari mereka, dan kau akan mati dalam hitungan detik."Gema mendengar peringatan itu dengan tenang. Di dalam dirinya, ada sesuatu yang terus membara—kekuatan yang telah ia latih selama dua tahun terakhir di Benua Utara ini.
Es dan salju membentang sejauh mata memandang di dataran beku Benua Utara. Udara dingin menusuk tulang, dan setiap langkah di permukaan putih itu meninggalkan jejak yang cepat terhapus oleh angin kencang. Gema, Jaka, Roro, dan anggota Suku Wanuara kini bergerak di tengah alam liar yang lebih ganas dari sebelumnya. Kali ini, perburuan mereka bukanlah rusa yang damai, melainkan makhluk yang jauh lebih berbahaya: sekelompok beruang kutub besar yang menguasai wilayah ini.Anggarajaya, sang pemimpin perburuan kali ini, memberikan isyarat agar mereka berhenti. Di depan mereka, melalui kabut salju yang berputar, terlihat bayangan besar dari seekor beruang kutub. Ukurannya jauh lebih besar dari beruang biasa, dengan bulu putih tebal yang nyaris menyatu dengan lanskap sekitarnya. Hewan itu sedang merobek bangkai ikan besar di dekat sebuah sungai beku."Kita harus hati-hati," bisik Anggarajaya. "Beruang-beruang ini sangat kuat, dan mereka bergerak dalam kelompok. Kita tidak boleh gegabah."Gema