Tak terasa waktu bergulir begitu cepat, perpisahan yang terjadi antara aku dan Mas Dito, tidak hanya menyisakan luka untukku tapi juga untuk Naira, putri kami.Setelah perceraian, atas bantuan Ibu dan Tuhan, aku bisa melalui hari-hari berat dalam hidupku ini, tapi tidak dengan putri kecilku.Setelah empat tahun, aku selalu berusaha menjadi Ayah serta Ibu yang terbaik untuk Naira. Namun ternyata, itu saja tidak cukup untuk Naira. Sempat terbesit dalam pikiranku untuk berumah tangga lagi, agar Naira bisa mendapatkan kasih sayang yang utuh seperti teman-temannya. Akan tetapi, rasa takut dan kecewa akan kegagalan berumah tangga itu kembali menghantuiku.Aku takut suatu hari nanti, suamiku akan meninggalkanku kembali, dengan alasan ketidak kesempurnaanku sebagai seorang wanita. Ketidakmampuanku memberikannya pelita hati."Bunda, mana ayah? Kenapa Naila tidak pelnah lihat ayah? Ayah Tasya setiap sole pulang ke lumah, kenapa ayah Naila tidak pelnah pulang ke lumah? Bunda, apa benal kata Tasy
Setelah perbincangan dengan Ibu siang tadi, aku memutuskan untuk pergi. Hari libur yang seharusnya kuhabiskan dengan keluarga, tapi justru aku habiskan untuk mengurus resto. Aku butuh pelampiasan untuk meredakan kegelisahan hati ini. Melakukan apa saja yang dapat membuat aku sedikit melupakannya sejenak.Dengan langkah gontai, aku berjalan ke arah dapur. Aku langsung menggunakan apronku. fikiranku sekarang bercabang-cabang, antara di rumah dan resto. Sejak Naira menanyakan keberadaan tentang ayahnya, gadis kecilku itu menjadi sedikit pendiam dan murung. Makannya yang biasa lahap, sekarang menjadi enggan. Padahal menu yang kumasak adalah menu yang paling ia suka, ia tidak pernah makan sedikit saat aku memasakkan menu itu. Namun, kali ini ia berbeda.Aku menghela napas, dengan cepat membantu Dita menyiapkan makanan pesanan pengunjung. Biasanya hari Senin, seperti biasa resto tidak terlalu ramai dengan pengunjung, itu sebabnya aku selalu libur pada hari ini, agar pegawai yang lain tid
Seperti biasa setiap jam makan siang, aku harus menyajikan makanan untuk Mas Arman, dan tempat yang ia pilih selalu di gazebo ini. Sudah hampir empat tahun waktu berlalu, selama itu pula aku selalu menemani ia setiap jam makan siang maupun makan malam.Menyiapkan dan melayaninya saat ia makan, terkadang aku berpikir, kenapa pria di hadapanku ini tidak menikah lagi saja. Agar ada yang meladeni dan melayaninya sebagai suami.Bukaannya hilir mudik dari kantor ke resto, toh ... Resto ini juga aku yang urus. Ia hanya sekedar memantau saja, apa harus di lakukan setiap hari seperti ini?"Sebenarnya ada masalah apa, Indah?" tanya Mas Arman. Aku menyodorkan piringnya yang sudah aku isi nasi dan lauk-pauk. Sepertinya lelaki ini masih belum puas jika tak mendapat jawaban dariku.Aku menautkan alis. "Maksud Mas, apa? Aku tidak mengerti." Pura-pura bodoh adalah senjata andalanku kini saat menghindari sesuatu. Mas Arman m
Sesampainya kami di rumah sakit aku langsung berlari ke arah resepsionis, menanyakan di mana putriku di rawat. Setelah mendapatkan informasi, aku dan Mas Arman langsung berjalan menuju ruangan tersebut. Dari kejauhan aku melihat ibuku berbicara dengan seorang Dokter."Ibu, bagaimana dengan Naira?" tanyaku, sambil mengatur deru napasku yang tersengal-sengal karena jalan terlalu cepat, bahkan hampir bisa dikatakan setengah berlari."Apa kalian berdua adalah orang tua, Naira?" ujar dokter padaku, membuat aku menoleh ke arahnya.Bukannya Ibu yang menjawab pertanyaanku, justru Dokter yang mengenakan name tag Ibrahim itu yang justru bertanya balik padaku."Betul dok, saya Bundanya Naira. Bagaimana keadaan putri saya Dok?" tanyaku.Dokter Ibrahim menatap aku dan Mas Arman secara bergantian. "Sebenarnya putri kalian tidak sakit, tapi batinnya yang sakit," jawab dokter itu ambigu. Membuatku bingung, apa maksud dari perkataannya. "Maksud dokter?" "Maaf, sebe
Aku keluar membiarkan Naira dan Mas Arman berdua di dalam. Melihat kondisi putriku yang berangsur membaik, membuat hatiku lega, aku memilih duduk di bangku panjang depan kamar inap Naira seorang diri, aku ingin menghirup udara sebentar sambil mengontrol gemuruh hati ini.Ada perasaan senang dan sedih yang bercampur menjadi satu, saat melihat Naira begitu dekat dengan Mas Arman.Di sini aku duduk sendiri, karena Ibu sudah pulang lebih dulu menggunakan taksi. Aku sempat menawarkan diri untuk mengantarkan, tapi, ibuku itu menolak. Ia bilang 'kasihan Naira, nanti gadis kecilku itu nyariin aku, jika ia melihat Mamanya tak ada'.Saat sedang duduk melamun seorang diri, aku melihat pintu kamar inap nomor dua di sebelah kananku terbuka. Degh.Aku langsung tersentak, dan berdiri saat melihat siapa yang keluar dari balik pintu itu."Retno?" ucapku tanpa sadar. Ingin rasanya aku memukul mulutku sendiri, yang tak sadar memanggil nama wanita itu. Walaupun pelan, tapi sepertinya telinga wanita it
Untuk sejenak Retno terdiam sambil memegang pipinya yang memerah, mungkin ia masih syok. Tapi setelah itu, dengan cepat tangannya berayun ke arah wajahku. Membalas apa yang aku lakukan adanya.Aku menangkap tangannya, dan meremasnya kuat. Membuat Retno meringis menahan sakit. Ia salah jika mengira aku hanya akan diam saja seperti dulu."Lepaskan tangan Istriku, wanita sialan!" hardik Dito. Pria itu marah dan mendekat, membantu istrinya.Aku menyeringai kecut, dengan amarah yang masih membuncah, Kulepas tangan Retno lalu mendorong tubuhnya dengan kasar ke arah suaminya. Aku menatap kedua pasangan serasi itu dengan nyalang."Berani sekali kamu, Indah! Kamu pikir, kamu siapa, hah?! Lancang sekali kamu menampar kami berdua!" teriak Retno tak terima. Tentu saja ia tak terima di tampar di depan orang banyak, secara tidak langsung aku telah menjatuhkan harga dirinya.Dengan santai aku menepuk-nepuk tanganku seolah baru saja habis memegang sesuatu yang kotor. Dari sudut mata kulihat Dito me
Pov. DitoSial! Benar-benar sial! Setelah sekian lama tak bertemu dengan mantan istriku itu, kini ia justru tampak lebih cantik dan modis. Membuat jantungku kembali berpacu. Awalnya aku ingin menyapa, tapi entah mengapa mulutku justru mengatakan hal-hal yang justru menghinanya. Indah Savitri—wanita yang aku talak empat tahun yang lalu, kini muncul bak bidadari. Kulit kuning langsat yang bersih dan terawat, wajah putih yang bersemu merah muda membuat ia tampak awet muda dan cantik jelita. Sangat berbeda sekali dengan dirinya dulu, saat masih bersamaku. Membuat debaran di hatiku yang dulu hilang kini timbul kembali, seperti saat masa-masa kami pacaran dulu.Panasnya tamparan di pipiku ternyata tidak sepanas hatiku saat melihat ia bersama seorang lelaki yang mengaku sebagai calon suaminya. Tidak! Aku tak rela Indah yang cantik jatuh ke tangan pria itu. Apalagi sekarang aku sudah punya putra laki-laki dari Retno, jadi tak ada salahnya rujuk dengan mantan istri. Aku yakin dengan mendek
Aku kembali ke rumah sakit menemui Retno serta putraku Bagas yang masih dirawat. Isi kepalaku di penuhi dengan wajah cantik Indah dan bagaimana cara mendapatkannya kembali. Indah yang kini sedikit berbeda dari Indah yang aku kenal dulu. Selain lebih berkelas, sikapnya pun juga lebih berani padaku. Ceklekkk!Aku membuka pintu dan menghampiri Retno yang sedang menyuapi putra kecilku yang manja. Bagas baru berumur dua tahun, tapi tubuhnya yang besar tinggi membuatnya terlihat seperti bocah berumur empat tahun. Sebagai putraku satu-satunya, anak yang begitu aku dambakan. Aku dan Retno memang sangat manjakannya. Tak kubiarkan seujung ranting kecil menggores tubuhnya. Walau akibat dari semua itu, putraku menjadi sangat manja pada kami. Ia keras kepala dan tak pernah berhenti merengek jika keinginannya tak terpenuhi. Walau terkadang keinginannya cukup menguras kantongku yang kian hari kian menipis. "Bagaimana keadaan
pov. NinaAku menatap kebahagiaan dua anak manusia dari balik jendela. Awalnya aku ingin masuk, tapi melihat kebahagian dan keromantisan mereka berdua membuatku mengurungkan niat.Dari balik jendela ini aku melihat gurat-gurat bahagia itu begitu terpancar dari wajah Arman. Tentu saja ia bahagia, penantian panjangnya akan cinta Indah membuahkan hasil serta hadirnya seorang putra diantara mereka. Arman mengecup kening Indah lembut, penuh sayang.Membuat rasa iri ini kembali hadir di kalbu. Andai aku juga bisa seperti itu bersama Mas Rio. Namun sayangnya hanya bisa berandai, karena kenyatannya kini. Suamiku sedang berbahagia bersama istri mudanya. Tak kuat melihat kemesraan yang di tunjukkan mereka berdua, aku memilih pergi. Mungkin aku akan menemui Indah dan bayinya besok saja, setelah hati ini sudah mulai tenang.Jam batu menunjukkan jam sepuluh malam. Namun, lorong rumah sakit ini tampak begitu lenggang, bukan berarti tak ada orang
Perutku mulai terasa pedih, apa lagi efek obat bius yang mulai menghilang. Aku meringis menahan sakit saat jempol ini bergeser saja sakitnya sudah terasa sampai keubun-ubun. Dengan lembut Mas Arman memperbaiki letak bantal yang ada di punggungku. Tiba-tiba bayi yang ada di dalam box menangis kencang. Lengkingannya memekak telinga, Mas Arman meraih bayinya. Mencoba menenangkan.Aku merentangkan tanganku menyambutnya. "Sini, Mas! Mungkin dia haus, aku akan menyusuinya,""Apa kamu baik-baik saja, sayang. Perutnya masih nyeri?" tanyanya khawatir."Gak apa-apa, Mas. Mungkin dengan menyusuinya rasa nyeriku dapat sedikit berkurang. Kasihan dia, pasti sudah lapar," Ragu-ragu Mas Arman menghampiriku, Lalu menyerahkan bayi merah yang sedang menangis itu. Setelah terlebih dahulu mencium pipi anaknya dengan sayang.Aku mengambil alih bayi mungil itu, memasukkan puting susuku ke dalam mulut kecilnya. Mas Arman beralih duduk di seb
Aku memarkirkan taksiku di parkiran khusus rumah sakit. Rumah sakit Citra Medika, rumah sakit bersalin terbaik di kota ini. Aku tidak tahu kenapa aku membuntuti mobil mereka hingga sampai di sini.Perlu waktu yang lama untukku menimbang dan memutuskan untuk turun atau pulang. Aku merasa aku tak punya hak untuk datang ke sini. Tapi di sini lain, hati kecil ini begitu ingin menemuinya di saat-saat seperti ini.Dengan langkah gontai aku masuk kedalam rumah sakit, menanyakan ruangan Indah pada resepsionis. Setelah mendapatkan informasi aku langsung menuju ke tempat yang di beritahukan padaku.Setelah melewati 2 kali belokan dan lorong panjang, akhirnya kau sampai di tempat yang di tunjukan perawat tadi. Dari kejauhan aku melihat Arman dan Nina yang menunggu di depan ruangan. Mata Arman menatap kedatanganku dengan nanar. Ku kuatkan tekad untuk melangkah. Apapun yang terjadi, aku hanya ingin meliat Indah dan bayinya baik-baik saja. Lalu pergi.
Matahari mulai meredup dan senja mulai menunjukkan kekuasaannya. Lelah tubuh ini belum juga terbayarkan dengan lembaran rupiah yang memadai. Seharian aku bekerja, baru dua pelanggan yang pakai jasaku. Dari pada melamun, aku putuskan untuk pulang saja."Taksi!" teriak seorang wanita yang berdiri di pinggir jalan. Akhirnya, di penghujung hari aku mendapatkan satu orang pelanggan lagi, lumayan.Aku menghentikan mobilku tepat di depan mobilnya. Sepertinya mobil mereka mogok. Lama aku menunggu, tapi wanita tadi tidak juga masuk kedalam mobil. Kulirik sedikit kebelakang, pantas saja lama. Ternyata mereka berdua tampak kerepotan dengan banyaknya belanjaan di bagasi belakang. Dasar wanita kaya, menghambur-hamburkan uang saja kerjanya. Sangat berbeda dengan, Indahku. Entah mengapa akhir-akhir ini aku merindukan wanita yang telah aku sakiti itu.Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sejak pertemuan terakhir, yang menyebabkan aku kecel
Kata orang pamali berbelanja perlengkapan bayi jika usia kandungan belum memasuki tujuh bulan. Itu sebabnya aku menginjakkan kaki di toko baby shop ini saat usia kandunganku sudah masuk bukan ke-delapan. Walau sebenarnya dari bulan-bulan yang lalu aku sudah tak tahan ingin sekali membeli baju-baju yang lucu untuk bayiku. Namun kata orang tua, walaupun hanya mitos, tidak baik diabaikan, kan?"Indah coba lihat ini? Lucu banget kan, aku suka ini. Ambil ini saja, Ya!" pinta Nina sambil menunjukkan gaun kecil berwarna peach. Ia tampak antusias sekali menemaniku berbelanja perlengkapan bayiku. Karena Mas Arman sedang sibuk jadi dia tidak ikut menemani, hanya aku dan Nina saja yang pergi.Selama beberapa bulan terakhir ini, aku sudah terbiasa bersama Nina saat Mas Arman tak dapat menemaniku.Nina juga sekarang, sudah banyak berubah. Ia jadi sangat penyayang dan perhatian. Membuatku seakan memiliki saudara perempuan saja. Apa lagi, kali i
Pagi-pagi rintik hujan sudah turun deras membasahi bumi. Aku berdiri di dekat jendela, menikmati dinginnya udara pagi. Memikirkan segala masalah yang terjadi. Aku masih berada di rumah Mama. Tidak seperti biasanya, di hari senin kami masih berada di sini. Semua karena keributan tadi malam, membuat kami batal untuk pulang dan melanjutkan menginap di sini.Aku terkejut, saat merasakan sepasang tangan memelukku dari belakang. "Kamu lagi mikirin apa, sayang? Bumil dilarang mikir yang berat-berat! Kasihan sama yang di dalam perut," ujar Mas Arman. Ia mengeratkan pelukannya, meletakkan dagu di atas bahuku. Aku menyenderkan punggungku di dada lebarnya, menghirup wangi sabun yang menguar dari tubuhnya. Harum dan menenangkan. Sejak hamil aku menyukai semua aroma yang keluar dari tubuhnya. Bahkan aroma keringat ia habis pulang kantor yang kata orang asam, justru tercium wangi di Indra penciumanku. "Aku hanya mengingat kejadian semala
"Mungkin Mbak Indah benar, aku serakah! Tapi semuanya sudah terjadi, Mbak. Aku janji aku akan bersikap adil terhadap keduanya." jawab Mas Rio. Terdengar meyakinkan, tapi apakah ia mampu menciptakan kata 'adil' itu dalam rumah tangganya? Tanpa ada satu pun yang tersakiti."Berusaha adil seperti apa, Rio? Dengan membawa istri keduamu kerumah ini saja, kamu sudah bersikap tidak adil." timpal Mama tiba-tiba. Aku yakin Mama juga tidak setuju dengan sikap Mas Rio."Ma, Ambar juga menantu Mama. Jadi tidak ada salahnya jika ia datang kerumah ini. Biar Aisyah juga bisa mengenal Oma dari sebelah ayahnya juga." jawab Mas Rio. Entah kenapa, aku jadi hilang respect padanya. Kata-katanya santai tapi begitu menyakitkan. Nina masih tergugu menangis di pelukanku. Ia tak mampu lagi berkata walau sepatah katapun. "Nina mungkin memang salah, tapi yang lebih bersalah lagi itu adalah kamu, Rio! Kamu telah gagal sebagai seorang
"Indah! Hey ... Indah! Kenapa kamu melamun?" ujar Dinda."Siapa juga yang melamun, Dinda. Aku lagi malas ngomong. Lihat nih! Mulutku sedang sariawan! Perih kalau dipakai ngomong." Jawabku. Aku menunjuk ke arah pipiku, agar Dinda tahu jika mulutku ini penuh dengan sariawan. Apalagi perempuan ini sedari tadi berceloteh, membahas kakak kelas yang tampan. Dasar perempuan ganjen. Aku dan Dinda sekarang sedang duduk di bangku, di bawah pohon rindang dekat lapangan yang ada di depan kelas kami. Lapangan multifungsi ini berada di tengah, di kelilingi bangunan kelas dua tingkat yang membentuk huruf U. Kelasku berhadapan dengan kelas 2 Ips 2, sedangkan kelas 1 di lantai atas dekat kelas 3."Din," aku mencolek bahu Dinda. Wanita itu sedang asik mengunyah tela-tela balado yang kami beli di kantin tadi."Apa sih, In? Pakai colek-colek segala, kamu pikir aku sabun colek," jawabnya lebay."Itu, kamu lihat perempuan dengan
"Cepat katakan, Ayah! Jangan buat bunda penasaran. Ramuan apa?" cercaku. Aku begitu penasaran, dari pada aku tak bisa tidur malam ini. Iya, kan?"Tapi Bunda janji jangan marah, ya! Aku cuma takut Bunda tersinggung.""Iya, cepat katakan, buat istri penasaran itu dosa loh, Yah!" sahutku cepat. Entah dalil dari mana membuat istri penasaran itu dosa'. Bodoh amat lah, yang penting suamiku mau cerita."Bunda, ingat ramuan yang setiap minggu Mama berikan pada, Bunda?" Aku mengangguk, bagaimana aku bisa lupa. Jamu pahit, yang pahitnya mengalahkan pahit Brotowali itu. Belum lagi bau langu Yaang di campur sedikit asam, pokoknya nano-nano rasanya. Aku memegang tenggorokanku sambil bergidik ngeri. Baru membayangkannya saja, rasa pahit itu langsung terasa di tenggorokanku. Namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu."Ehh ... tunggu dulu, Yah. Tumben hari ini, Mama tidak memberi Bunda jamu itu? Biasanya kalau Bunda datang, Mama langsung meny