"Bukankah Anda pernah bilang kalau Nona Lily adalah seorang desainer baju?" tanya Grace yang dijawab anggukan kepala oleh Wina."Nah, pertama-tama yang bisa Nyonya lakukan adalah melakukan pendekatan melalui apa yang disukai Nona Lily, yaitu soal merancang baju."Tiba-tiba wajah Wina menjadi tercerahkan setelah mendengar usulan Grace.Dia tak pernah terpikirkan soal hal itu sebelumnya. Maklum saja, saat sudah berada dekat dengan Lily, dia justru menjadi canggung untuk melakukan pendekatan sebagai ibu dan anak.Dengan mengajak sesuatu yang disukai Lily, Wina yakin kalau Lily akan lebih tertarik untuk mendekat padanya."Ide bagus, Grace. Aku sangat yakin Lily akan semakin bersemangat kalau aku membicarakan sesuatu yang dia sukai." Lanjutnya, "Siapkan ruangan yang memadai untuknya lalu carikan seseorang yang tahu soal penataan ruang dan barang-barang yang dibutuhkan untuk seorang desainer pakaian.""Baik, Nyonya.""Lakukan segera dan cepat, Grace. Aku tidak sabar untuk melakukan kegiatan
Kenneth menghadap Leni dengan tatapan menelisik. "Kau terlihat tidak senang kalau sepupumu masih hidup," duganya.Sesaat Leni menegang, namun itu hanya sebentar karena setelah itu dia tertawa kecil sambil bertanya, "Apa maksudmu, Paman? Aku kan hanya bertanya.""Siapa saja yang mendengar kabar itu pasti akan sama terkejutnya sepertiku. Anak paman yang dikabarkan meninggal dari bayi, tiba-tiba hidup kembali? Bukankah itu terdengar tidak masuk akal?" lanjutnya memberikan alibi.Leni dan Kenneth masih ada hubungan saudara. Ayah Leni bernama Jauhari Prima merupakan adik tiri Kenneth. Jauhari memiliki tiga anak yang semuanya memiliki kedudukan penting di perusahaan Kenneth.Selama ini Kenneth tidak menolak karyawan dari saudaranya sendiri selama mereka dapat bekerja dengan baik.Sejauh ini, Leni dan kedua adiknya telah menunjukkan kinerja yang baik di mata Kenneth.Kenneth menghela napasnya singkat. "Kau benar. Siapapun yang mendengar pasti tidak akan percaya, terutama keluarga kita."Leni
Satu bulan kemudian.Di kediaman Prajaya.Vina menatap testpack yang berada di atas wastafel dengan perasaan gelisah.Kedua tangannya terlipat di depan dada dan sesekali ujung jarinya mengetuk-ngetuk di siku tangannya. Pandangan Vina tak lepas dari testpack yang baru saja dia celupkan ujungnya di cairan urinenya pagi hari ini. Sudah seminggu lebih Vina tidak mendapat menstruasi di bulan ini yang seharusnya datang tepat waktu seperti biasanya. Vina menatap pantulan wajahnya yang nampak pucat di depan cermin kamar mandi. Berawal dari lima hari yang lalu, saat dia hendak makan sarapannya, dia merasa mual hanya karena tak suka mencium aroma nasi yang baru saja matang.Awalnya dia tidak terlalu mempedulikannya. Tetapi asisten rumah tangganya yang tadi pagi melihat Vina mual-mual pun berkata dengan nada becanda, "Nona Vina sakitnya seperti orang hamil saja, mual-mual pas di pagi hari."Setelah mendengar itupun dia segera keluar dari rumah dan membeli testpack di apotek terdekat yang letak
Saat berada di hadapan Vina, Finley berusaha menarik kursi dengan hati-hati lalu duduk dengan tenang. Dia tidak ingin mengganggu Vina yang nampak lelah.kedua tangannya menyangga wajah di atas meja, tatapannya lurus ke arah Vina.Finley memikirkan bagaimana mungkin takdir malah membawanya ke seorang gadis yang merupakan sahabat dari wanita yang pernah dia sukai?Saat pandangannya menuju ke arah bibir Vina, dia kembali menjadi teringat awal mula malam petaka itu terjadi.Salah satu sudut bibirnya terangkat naik.'Harus aku akui kalau ciuman darinya terus membuatku terngiang-ngiang,' batinnya.Meskipun ciuman itu tidak begitu lihai, tapi entah mengapa Finley selalu mengingatnya setelah kejadian itu."Kapan kamu datang?"Suara yang berasal dari depannya itu membuatnya langsung tersentak. "Sudah bangun?" tanyanya.Vina mengangkat kedua tangannya untuk meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku, lalu menegakkan punggung."Siapa kira kalau ingin bertemu denganmu harus menunggu selama lebih d
Hari-hari berlalu, Lily telah menghabiskan banyak waktu menyendiri di ruangan khusus yang dibuat oleh Wina untuknya.Lily merasa nyaman dan bisa sedikit melupakan perasaan emosional menumpuk yang membuatnya depresi belakangan ini.Dari arah jendela ruangan, dia tak memperhatikan Kenneth dan Wina yang berdiri menatapnya dengan tatapan senang. "Apa tidak bisa kau mengajaknya keluar rumah? Aku sudah tanya ke dokter Ari barusan. Kondisi kejiwaan Lily jadi semakin membaik berkat usulanmu untuk menekuni hobinya membuat desain gaun. Sepertinya dia bisa kita ajak keluar rumah besok," ujarnya pada Wina.Wina nampak berpikir sejenak. Pandangannya sama sekali tak beralih dari Lily yang nampak fokus."Pergi kemana memangnya? Aku masih belum tahu dia sukanya pergi kemana."Dia baru saja mengenal Lily selama kurang lebih satu bulanan ini. Tentu dia belum mengetahui soal apa-apa saja yang Lily sukai."Kau bisa bertanya dulu padanya. Barangkali dia ingin berkunjung ke suatu tempat, turuti saja selag
Awalnya Lily merasa tidak niat. Terlalu lama berada di dalam rumah membuatnya tak punya keinginan untuk keluar dari rumah.Kegiatannya yang sedang membuat sketsa dan merancang gaun membuat pikirannya menjadi tenang. Kegiatan itu seperti memulihkan jiwanya yang sempat terguncang.Apalagi selama ini, Lily tidak disibukkan oleh pekerjaan maupun pemikiran lainnya.Dia benar-benar dimanjakan oleh Wina dan Kenneth agar perasaannya lebih rileks dan tidak stres.Grace terlihat ikut masuk ke dalam mobil."Bu Grace juga ikut?" tanya Lily.Wajah Grace nampak berseri-seri. "Iya, Nona. Tuan hanya akan mengizinkan Nona dan Nyonya keluar rumah kalau saya ikut bersama.""Kenapa harus begitu? Kalau Bu Grace selalu ikut bersama, kapan Bu Grace punya waktu luang untuk berlibur?" Pertanyaan Lily membuat Bu Grace tersenyum senang.Itu tandanya Lily peduli dengannya selama ini."Sebenarnya tidak ada yang memaksa, Nona. Tuan memang menyuruh saya menemani Nona, tetapi juga memberi saya pilihan untuk ambil ha
Pandangan Lily mengarah ke gaun pengantin itu. Pikirannya menerawang pada ingatan masa lalu, masa dimana dia pernah mendambakan mengenakan gaun pengantin.Dia pernah menikah tetapi tidak mengenakan gaun pengantin yang selama ini dia impikan.Apalagi kini pernikahannya sudah berakhir.Mengingat soal Max, hatinya menjadi sedih.Pasalnya pria itu tidak pernah menemuinya. Padahal dia ingin mengucapkan terima kasih sekaligus bertanya-tanya soal alasan dia yang masih peduli dengannya.Inda pernah bercerita kalau Max lah yang menyelamatkan dirinya dari insiden penculikan beberapa waktu lalu.Meski dirinya tidak terlalu mengingat, memang samar-samar dia mendengar suara Max yang begitu dekat."Nona?"Panggilan dari Grace membuat lamunan Lily buyar. "Ah, iya?""Nona tidak apa-apa? Wajah Nona terlihat pucat. Apa perlu kita pulang saja?" tanya Grace menatap penuh khawatir.Lily menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit lelah. Lebih baik kita sudahi saja belanjanya dan berpindah t
Wina melirik ke arah Grace. Mereka saling berpandangan seolah-olah sedang bertukar pikiran.Saat kembali beralih menatap Lily, tatapannya begitu teduh. "Ada. Tetapi Papa mu tidak memberikan izin pada siapapun untuk masuk menemuimu. Demi kesembuhanmu katanya."Lily sedikit terkejut, tak menyangka kalau memang selama ini ada seseorang yang ingin menemuinya. "Siapa yang ingin menemuiku, Ma?" "Banyak, salah satunya teman dekatmu seperti Vina.""Selain Vina?" tanya Lily sedikit mendesak.Perbincangan mereka terhenti sesaat karena tiba-tiba seorang pelayan datang, membawakan minuman serta makanan yang telah dipesan oleh Wina sebelumnya.Setelah pelayan selesai menyajikan, Wina menyuruh Lily untuk makan terlebih dahulu.Tak lupa Wina juga menyuruh Grace untuk ikut makan.Sebuah menu utama berupa hokkaido melting chees beef nampak menggoda dengan kepulan asap yang meliuk-liuk di atasnya.Akhirnya Lily melupakan sejenak pertanyaannya tadi yang belum dijawab Wina. Dia pun mengisi perut dengan
"Adik, Nona?" Kedua alis si sopir saling menyatu. "Kayaknya gak ada siapapun yang keluar lewat sini, Nona. Dari tadi saya duduk di kursi teras ini kok."Pikiran Lily langsung kacau. Arsan bukanlah anak yang suka keluar dan bertemu dengan orang. Kalau sampai Arsan panik dan tantrum di jalan, itu bisa membahayakan dirinya sendiri. Apalagi jalanan sangat ramai oleh kendaraan pribadi.Lily memutuskan untuk mengecek seluruh isi rumah sekali lagi. Setelahnya dia baru sadar kalau Arsan keluar melalui pintu belakang, tepatnya yang menjadi penghubung antara teras belakang dengan dapur. "Kemana kamu, Arsan?" gumam Lily penuh khawatir.Karena Lily tidak tahu harus mencari dimana, Lily mengajak sang sopir untuk mencari Arsan dengan mobil. "Mau dicari kemana, Nona?" tanya si sopir."Kemana aja, Pak. Asal adik saya bisa ketemu.""Tapi, Non. Kata Nyonya Wina, Anda harus segera pulang. Kalau saya gak bisa nganterin Nona pulang tepat waktu, bisa-bisa saya yang akan kena omel nantinya.""Gak usah kha
Lily tersentak dan menjadi canggung. "Mmm... baru saja," jawabnya sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Seketika dia tersadar atas apa yang dilakukannya. Dia pun kembali meluruskan anak rambutnya.Max tersenyum lebar. Rasanya dia sudah lama tidak melihat Lily. Wajahnya nampak lebih segar dan pipinya semakin bulat. Jika dia pikir-pikir, keadaan Lily jauh berbeda dibanding saat menikah dengannya dulu."Mau ketemu dengan Arsan? Kebetulan aku mau pulang karena ada urusan, jadi aku bisa menitipkannya padamu sebentar," ucap Max."Memangnya Inda kemana? Kenapa dia menitipkannya padamu?""Tadi pagi dia ditelepon kalau ada saudaranya yang meninggal. Jadi dia harus pulang selama sehari semalam. Mungkin besok pagi dia baru pulang."Kening Lily mengerut dalam. "Kok dia gak ngabarin aku? Malah ngasih tahu kamu?"Max mengangkat kedua bahunya. "Entah. Mungkin karena kamu sulit untuk dihubungi? Ini bukan pertama kalinya kok. Dia juga pernah menitipkan Arsan padaku selama dua hari.""Dua
Di tengah keramaian kafe, Lily melihat Vina yang duduk di salah satu kursi sendirian di antara banyaknya pengunjung. Dia sudah menghubungi Vina untuk bertemu di kafe saja.Mata Lily berkilat senang, pasalnya sudah lama dia tidak bertemu dengan sahabatnya itu. Tangannya segera terangkat untuk melambai dan memanggil namanya. Sahabatnya itu segera menoleh dan senyuman lebar langsung merekah di wajahnya."Lily!" teriaknya sambil berdiri menyambut kedatangan Lily.Mereka berdua pun saling berpelukan erat."Bagaimana kabarmu?" tanya Vina begitu pelukan mereka sudah terlepas."Aku baik. Bahkan lebih baik."Vina bernapas lega, ada perasaan senang melihat wajah Lily yang nampak lebih cantik dan segar. "Syukurlah... apa Tuan Kenneth dan Nyonya Wina memperlakukanmu dengan baik?""Tentu saja. Mereka orang tua kandungku, tidak mungkin mereka menyia-nyiakan anak yang telah lama mereka kira sudah meninggal." Lily meneliti wajah Vina yang nampak kusam dan juga letih. "Lalu bagaimana denganmu? Kuden
Vina menatap ke arah halaman rumah dari jendela kaca kamar. Mobil Finley sudah menghilang dari pandangan, segera dia menutup kembali tirai jendela.Sandra membuka pintu kamar dan berjalan menghampiri Vina. "Maafkan Mama karena sudah membukakan pintu."Vina memaksakan senyumannya sambil duduk di tepi ranjang. "Tidak apa-apa, bukan salah Mama."Melihat senyuman Vina, Sandra semakin merasa bersalah. Dia pun ikut duduk di samping Vina dan berkata, "Kulihat dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Kenapa kamu gak sepertinya tidak percaya padanya?""Menikah bukan perkara mudah, Ma. Apalagi aku dan Finley tidak saling mencintai. Biarlah aku mengurus anakku sendirian tanpa harus melibatkannya," jawab Vina sambil mengelus perutnya."Mengandung dan melahirkan anak sendirian itu terasa berat, Vina. Mama rasa akan lebih mudah kalau kamu menerima Finley untuk bertanggungjawab."Vina memegang kedua lututnya erat. "Bukannya ada Mama dan Papa yang akan membantuku? Aku tidak mencintai Finley, Ma. Men
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di