Lewat tengah malam.Olivia terengah-engah setelah beberapa kali mengayunkan kayu ke arah kaki Lily hingga Lily sudah pingsan.Pintu rumah segera terbuka.Pria suruhan Olivia itu masuk dan mendekatinya."Kau gila? Kau sudah membunuhnya?" tanya pria itu dengan meremas rambutnya frustasi."Kan sudah kubilang kalau aku ingin menikmati tubuhnya dulu..."Wajah Olivia nampak datar dan tenang. Sama sekali tidak ada raut wajah penyesalan atau apapun itu. "Dia hanya pingsan," ujarnya setelah membuang balok kayu yang juga sudah berlumuran darah."Aku akan menyerahkan sisanya kepadamu, Ben." Olivia menepuk sisi bahu Benny lalu berlalu pergi.Benny masih terdiam, menatap kosong pada Lily yang sudah pingsan dengan berlumuran darah."Kalau begini kan aku jadi tidak bisa menikmatinya lagi," keluh Benny dengan kesal.Padahal Benny sudah pusing karena tidak menuntaskan hasratnya pada seorang wanita beberapa hari ini. Sekarang dia sudah ada seorang wanita tapi tetap juga tidak bisa menyalurkannya.Baga
Setelah berjalan beberapa langkah dari rumah usang, Max dan para polisi hutan mendengar suara berisik dan angin dari kejauhan.Mereka saling menatap dan berpikir ada sesuatu yang sedang datang ke arah mereka.Tak lama dari itu, muncul seseorang yang keluar dari pepohonan."Tuan Max!" Rupanya yang keluar adalah Andri. Di belakangnya terdapat beberapa petugas polisi yang mengikutinya.Melihat itu, Max bisa bernapas lega.Pikirnya, pasti Andri telah meminta bantuan pada polisi untuk menyelamatkannya dan yang lain."Untung Anda sudah selamat, Tuan." Lalu melirik Lily yang berada di gendongan Max dengan tatapan mengernyit."Apa yang terjadi pada Nona Lily?" tanyanya."Dia terluka parah dan harus segera mendapatkan penanganan. Apa ada transportasi yang lebih cepat untuk membawanya ke rumah sakit?"Tepat setelah Max bertanya, angin kencang yang diikuti suara berisik mendekat ke arah mereka.Begitu Max mendongak, itu adalah helikopter pribadi yang sedang berusaha untuk parkir, tak jauh dari t
Saat matahari akan terbit, Olivia yang baru saja menginjakkan kakinya ke apartemen memilih untuk menuju ke kamar mandi.Bau keringat yang bercampur dengan bau anyir darah membuatnya tak nyaman jika langsung menuju ke kasur untuk beristirahat.Setelah melepaskan semua pakaian, dia segera menuju ke bathtub yang sudah berisi air hangat dan juga sabun wangi aroma bunga-bunga.Untuk melepas rasa penat, dia mulai menenggelamkan diri ke air sabun dan menggosok badannya dengan perlahan.Terpikirkan dengan kerjaan Benny, Olivia pun mengambil ponsel yang dia letakkan di sisi bathtub.Olivia langsung menelepon Benny.Namun sudah beberapa saat Benny tak segera menjawab panggilannya.Mengabaikan Benny, Olivia meletakkan ponsel dan kembali menggosok tubuhnya.Sepuluh menit setelah itu, Olivia keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe.Saat dia menyibak gorden, matahari sudah terbit dengan sempurna.Ini adalah saat yang tepat untuk merebahkan diri di atas kasur.Setelah mengganti bathrobe d
Dua hari kemudian.Lily yang tadinya masih terbaring di atas ranjang dan belum sadar, kini mulai menampakkan kesadaran dengan menggerakkan jari-jari tangannya.Seorang perawat yang sedang menjenguknya pun terkejut lalu dia segera berlari keluar untuk memanggil seorang dokter.Lily membuka kedua matanya perlahan dan merasa seluruh badannya terasa sakit.Sorot lampu berwarna putih membuat matanya menyipit dan terasa sangat berat untuk dibuka.Tepat setelah itu seorang dokter membuka pintu dan langsung masuk ke dalam ruangan. Dia memasang stetoskop dan memeriksa keadaan Lily.Setelah memeriksa, dokter itu melepas stetoskopnya dan bertanya dengan pelan, "Nona Lily? Apa Anda bisa mendengar saya?" Mendengar itu, Lily hanya terdiam dengan kedua mata yang masih terasa berat untuk terbuka lebar. Entah mengapa tubuhnya terasa lemah dan dia tidak memiliki tenaga untuk menjawab. Terlebih ada alat bantu oksigen yang membuatnya kesusahan untuk menjawab."Anda bisa menjawab saya dengan anggukan kep
Keesokan harinya.Lily mulai tersadar dan ingatannya sebelum pingsan perlahan menghantam benaknya yang masih lemah.Tetesan air mata membasahi pipinya. Bukan karena kesedihan melainkan karena terharu dia masih diberi kesempatan untuk tetap hidup meski kedua kakinya telah patah dan pergelangan tangannya mengalami luka berat.Tadi dokter berkata jika dia telah kehilangan banyak darah hingga mendapat transfusi darah sebanyak tujuh kantong.Ditambah dia telah menjalani operasi patah tulang yang membuat tubuh Lily terasa lemas saat bangun.Jika tidak dibantu dengan suntikan pereda nyeri, pasti Lily akan berkali-kali pingsan karena merasakan kesakitan yang luar biasa.Saat ini Inda yang menemani Lily di rumah sakit. Dengan telaten Inda menyuapi Lily yang sudah diperbolehkan oleh dokter untuk makan.Selain itu, Inda juga terlihat sabar menangani kebutuhan Lily yang lain seperti buang air kecil dan buang air besar.Sesekali terlihat oleh Lily, Inda mengusap sudut matanya yang memerah dan juga
Lily mendengarkan cerita Wina dengan seksama.Seketika pikirannya menjadi kosong dan juga bingung dengan kenyataan yang baru saja diterimanya.Melihat ekspresi itu, Wina segera berujar, "Mama tahu kamu pasti terkejut dengan semua ini karena fakta ini datang secara tiba-tiba. Tapi Mama memang sudah tidak sabar untuk kembali bersatu denganmu, Nak..." Setetes air mata membasahi pipi Wina. Tangannya membelai lembut puncak rambut Lily untuk pertama kalinya. Terdapat sorot mata sendu yang tersirat. Maklum saja, dia sudah menahan kesedihan selama bertahun-tahun dan telah menganggap putri satu-satunya itu telah meninggal."Mama?" lirih Lily bergumam.Kedua matanya mulai berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat. Selama ini Lily hanya mengetahui kalau ibunya telah meninggal sejak dia berusia sepuluh tahun.Siapa sangka sekarang dia kembali memiliki ibu namun dengan fakta yang berbeda.Tetesan air mata mulai menetes perlahan ke pipinya yang putih pucat. Fakta yang mengejutkan itu segera mengh
Lily melihat Max menggeser tubuhnya, tak lama dari itu Fernita terlihat muncul dan menatap Lily dengan tatapan canggung.Setelahnya pintu tertutup, mereka berdua saling bertatapan sebelum akhirnya berjalan mendekat ke arah Lily.Sedang Lily menatap mereka dengan mengernyit. Saat Lily hendak bangun, Fernita segera berkata, "Berbaring saja, tidak perlu bangun... kau kan lagi sakit."Lily tidak jadi bangun, malah menatap aneh pada Fernita yang sikapnya tiba-tiba berubah.Apa barusan dia mendengar Fernita berkata lembut padanya?Pasti sesuatu telah terjadi padanya."Apa kau sudah baikan?" tanya Fernita lembut namun matanya tak berani langsung menatap ke arah Lily.Bukannya menjawab, Lily malah menoleh ke arah Max yang membuang muka.Sebenarnya ada apa dengan anak dan ibu di depannya ini?"Saya sudah baikan, Nyonya. Kalau tidak ada Max yang menyelamatkan saya, pasti saya sudah mati mengenaskan di tengah hutan sana." Lily sudah mendengar kalau Max menyelamatkan dirinya meski pergelangan k
Dengan tergagap Max menjawab, "I-iya, saya suaminya."Perawat itu tersenyum lalu mulai merobek kemasan berisi jarum suntik baru. "Dokter sudah meresepkan untuk istri Anda beberapa obat, salah satunya obat tidur melalui suntikan.""Baik, Sus."Setelah itu perawat memberi suntikan pada Lily lewat jarum infus. Tak butuh lama, perawat sudah selesai lalu mengemas barangnya dan berpamitan pergi.Fernita juga masih ada di dalam ruangan, bedanya dia terduduk di atas sofa."Sebaiknya ibu pulang dulu saja," ujar Max tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Tapi-"Brak!!Ucapan Fernita terpotong oleh suara pintu yang dibuka dengan keras.Fernita terkejut begitupun dengan Max.Seseorang yang membuka pintu dengan keras itu adalah Finley.Dia menatap Max dengan tajam lalu berjalan cepat ke arahnya dan melayangkan tinju ke wajah Max yang tidak sempat untuk menghindar. Alhasil, tubuhnya tersungkur di atas lantai."Max!!" jerit Fernita karena terkejut."Brengsek kau!" umpat Finley penuh amarah dan m
Di tengah terpaan angin sepoi malam yang dingin. Vina memegang erat cangkir mug yang berisi susu cokelat hangat.Vina sendiri merasa heran, sejak kapan dirinya jadi menyukai segelas susu rasa cokelat sedang dulunya dia lebih menyukai kopi susu yang diberi es batu di dalamnya.Mungkin sejak dirinya diberitahu dokter untuk tidak mengonsumsi minuman yang mengandung alkohol dan kafein. Vina jadi lebih memperhatikan minuman yang akan dia minum.Sebuah senyuman tipis terbit di wajahnya yang manis sambil mengelus perutnya yang masih rata."Meskipun nanti kau lahir dari keluarga yang tidak lengkap, tapi aku pastikan kasih sayang untukmu tidak akan pernah kurang," ucapnya pada janinnya yang berada di dalam rahim.Vina belum bisa menerima kehamilannya, sampai seminggu yang lalu dia memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan melihat janin kecil yang tumbuh dengan menakjubkan.Suara detak jantung janin yang teratur dan pernyataan dokter kalau janinnya berkembang sehat dan baik membuat pe
"Apa? Hamil?" Lily hampir berteriak jika tidak mengingat kalau dirinya ada di sebuah acara penting."Finley, kau becanda kan?" bisik Lily takut ada seseorang yang mendengar.Helaan napas keluar dari mulut Finley. "Aku tahu ini terdengar seperti lelucon. Tapi aku berkata jujur, kami tak sengaja melakukan..."Finley ikut memelankan suaranya. "...hubungan intim saat kami mabuk."Lily tidak tahu lagi apa yang harus dia katakan karena saat ini dia benar-benar terkejut.Vina dan Finley? Berhubungan intim? Terdengar tidak masuk akal."Aku tahu kamu pasti kaget, tapi ini benar adanya. Aku hanya khawatir padanya karena beberapa hari ini dia tidak bisa dihubungi. Dia bahkan bersembunyi, seolah tidak mau diajak bertemu." Raut wajah Finley nampak muram membuat Lily sedikit merasa kasihan.Keheningan terjadi sesaat."Kamu datang ke acara ini berharap aku bisa memberi informasi soal Vina?" tanya Lily yang dijawab Finley dengan anggukan kepala."Sayangnya aku sudah lama tidak menghubunginya," ujar L
"Lily?"Suara dari arah belakang yang memanggil membuat Lily menoleh. Kedua matanya terbelalak lebar mendapati Finley berjalan perlahan ke arahnya."Finley?" serunya yang membuat orang-orang disekitarnya terheran-heran."Ah, Tuan Finley. Kau sudah bersedia datang ke acaraku. Sungguh suatu kehormatan untukku." Arneth dan Samantha mendekati Finley yang membuatnya menghentikan langkah.Finley menoleh ke arah mereka berdua dan berkata, "Oh, Nyonya Arneth? Kau sudah sembuh? Ku dengar kau sehabis mengalami cidera di pergelangan tangan setelah bermain golf."Arneth tersenyum senang mendengar Finley sedikit perhatian padanya. "Benar, tapi sudah sembuh berkat putri saya yang telaten mengurus."Beberapa keponakan Kenneth memutar kedua bola matanya malas. Semua orang yang melihat pasti bisa menduga kalau Arneth sedang mempromosikan putrinya di depan Finley."Apa Tuan sedang mencari sesuatu?" tanya Samantha dengan memegang lengan Finley. Berada dekat dengan Finley adalah suatu kebanggan. Ketampan
"Dia adalah putriku, Laura Owen," jelas Kenneth sambil memperhatikan reaksi dari anggota keluarga besarnya.Beberapa dari mereka nampak terkejut hingga tidak bersuara tapi ada juga yang tertawa sinis seperti Samantha."Paman Kenneth, apa karena saking putus asa nya Paman sampai menganggap wanita murahan itu sebagai Laura?" Kenneth menatap tajam ke arah Samantha yang lagi-lagi bermulut tajam."Jangan marah dulu, Paman. Itu karena ucapan Paman terdengar mengada-ada." Ucapan Samantha dibenarkan oleh anggota keluarga yang lain."Samantha benar, Ken. Ucapanmu terdengar mengada-ada. Mana mungkin Laura yang dulunya sudah dinyatakan meninggal malah tiba-tiba muncul sebagai wanita yang sehat? Aku yakin dia pasti sudah menipumu!"Wina nampak panik, tetapi tidak dengan Lily. Dia yakin kalau Kenneth telah menyiapkan semuanya untuk menjelaskan kebenaran pada anggota keluarganya sendiri."Usir dia sekarang, Ken! Aku tidak sudi kalau dia mengotori hariku yang bahagia!" seru Arneth memojokkan Wina,
Sama seperti dirinya, Wina mengenakan gaun buatan Lily yang nampak mewah.Gaun panjang berwarna hijau emerald yang sudah lama Lily buat akhirnya dia pakai sekarang. Warna gaun itu menjadikan kulit Wina nampak lebih putih dan bersih. Meski gaun tersebut memiliki potongan yang sederhana, tetapi hiasan berupa berlian putih dua karat yang berada di sekeliling gaun menjadikannya nampak mewah dan istimewa.Lily menatap bangga pada hasil buatannya sendiri. Terlebih aura old money yang terpancar dari tubuh Wina menjadikan gaun itu melekat sempurna ditubuhnya."Mama juga nampak luar biasa," ujar Lily tersenyum bangga."Berkat karyamu yang sangat luar biasa, Sayang."Wina juga merasa begitu bangga mengenakan gaun buatan putrinya sendiri. Apalagi saat bercermin, Wina seperti merasa tidak mengenali diri sendiri.Bahkan perias yang memoles wajahnya tadi sempat terkejut dan menatapnya kagum dengan gaun yang nampak mewah."Anda terlihat sepuluh tahun lebih muda, Nyonya," puji si perias tadi tanpa di
"Nona, lihat apa?" Suara Grace memecah lamunan Lily.Helaan napas lega keluar dari mulut Lily saat melihat ke arah jalanan. Sudah tak lagi terlihat mobil milik Max yang baru saja meninggalkan rumahnya lewat jalan yang berlawanan arah dari Grace barusan.Tadinya Lily sudah hendak menyuruh Max pergi karena takut Grace melihat, tapi untungnya Max pergi sebelum Lily mengusirnya setelah menerima telepon yang Lily sendiri tidak tahu itu dari siapa.Wajah Max nampak khawatir dan juga marah saat menerima telepon tadi."Nona tidak apa-apa?" Grace kembali bertanya karena tak kunjung mendapat jawaban dari Lily.Lily menggeleng lemah. "Tidak apa-apa, aku hanya mengkhawatirkan mu tadi karena kamu tidak kunjung datang.""Maaf, Nona. Tadi jalanan cukup padat dan sempat macet." Grace menyeka keningnya yang sedikit berkeringat sambil menghela napas terlihat lelah. "Aku bahkan hampir pingsan karena cuaca yang cukup terik di luar," lanjutnya dengan mengeluh.Bibir Lily mengulas senyuman tipis dan menat
Max mendongak. Matanya tak sengaja melihat ke arah belakang Arsan--tepatnya yang berdiri di depan pintu.Max berdiri perlahan dan tertegun melihat kedatangan Lily yang secara tiba-tiba.Lily yang ditatap lama seperti itu menjadi salah tingkah hingga dia tak tahu harus menatap ke arah mana.Inda yang seolah paham pun berjalan mundur ke arah dapur. Dia ingin membiarkan ruang untuk kedua mantan majikannya itu bertemu.Berjalan perlahan, tatapan Max tak beralih dari Lily. Degupnya tiba-tiba berdebar lebih kencang. Tubuh Lily nampak lebih kurus dari terakhir kali bertemu.Untungnya luka-luka yang dulu pernah Max lihat sudah memudar, hanya menyisakan kulit putih yang bersih dan sehat.Tepat berada di depan Lily, Max bersuara, "Hai, apa kabar?" Lily sedikit terkejut, lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh ke belakang telinganya. Entah mengapa dia begitu canggung berhadapan dengan Max. Rasa kecewa dan sakit di hatinya pada Max dulu entah menguap kemana."Kabarku baik," jawab Lily singkat."
Vina sedikit terkejut namun beberapa saat kemudian dia menyadari kalau lambat laun ibunya akan mengetahui soal kehamilannya.Tangan Vina memegang perutnya yang masih rata sambil bertanya, "Bagaimana Mama bisa tahu?"Sandra memegang keningnya yang berdenyut nyeri. "Ternyata itu benar," ujarnya lirih.Kemudian Sandra duduk di atas sofa panjang yang letaknya tak jauh dari ranjang Vina."Dokter yang memeriksa mengambil darahmu untuk cek lab. Dari sana Mama tahu kalau kamu hamil," lanjutnya.Dari ranjangnya, Vina menatap ibunya dengan rasa bersalah. Dapat dia rasakan betapa kecewanya sang ibu, melihat dari gerak-geriknya."Maafkan aku, Ma."Sandra menatap putri satu-satunya tersebut dengan sorot mata serius."Katakan pada Mama, siapa ayah dari janin itu? Mama tidak pernah tahu kamu pernah dekat dengan seseorang."Vina menggigit bibir bawahnya dengan resah."Itu-"Ucapan Vina terhenti oleh suara pintu yang dibuka dengan keras."Vina, apa benar kalau kamu hamil?" tanya Ayahnya, nampak marah
"Ku rasa insiden di masa lalu tidak perlu kita ungkit lagi, Ma." Lily menatap ibunya penuh kelembutan. kedua bola matanya nampak berkaca-kaca jika mengingat pernikahannya di masa lalu."Aku sudah bercerai dengan Max dan tidak ingin berhubungan apa-apa lagi dengannya," lanjutnya lirih.Grace yang sudah mendengar soal pernikahan Lily dengan Max pun menyentuh bahu Lily dan mengusapnya lembut."Nona benar. Untuk apa masih memikirkan masa lalu? Lebih baik mengikhlaskan kejadian buruk di masa lalu dan memilih melanjutkan kehidupan kini dengan sebaik-baiknya," tutur Grace memberi nasehat. Lily hanya tersenyum menanggapi itu."Sepertinya kamu sudah benar-benar ikhlas. Padahal Mama sudah menyiapkan rencana kalau kamu memang ingin membalaskan dendammu pada Max," ucap Wina.Lily menggigit bibir bawahnya. "Bukannya dia telah menyelamatkanku sewaktu penculikan kemarin terjadi? Anggap saja dia telah menebus kesalahannya di masa pernikahan kita dulu."Wina menatap Lily cukup lama sebelum akhirnya m