Tangan Bayu sangat ingin terangkat untuk melambai, niat itu terkubur saat Bayu sadar dirinya kini berada di tengah sesuatu yang cukup mengerikan, tekanan dari para senior.
Bayu seketika menundukkan pandangannya seperti yang lain sebelum dirinya menarik perhatian para senior, tapi sudah terlambat
Murid lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya kini berdiri tepat di samping bangkunya, pandangannya menukik ke arah Bayu.
Menyadari hal itu, perlahan Bayu mengangkat kepalanya, menoleh ke arah seniornya saat mendengar suara berdehem.
Senior itu sedikit menggerakkan kepalanya ke kiri saat Bayu menatapnya, memberi isyarat agar Bayu maju ke depan.
Perlahan Bayu berdiri, berjalan ragu-ragu. Bagaimana tidak, Bayu harus berdiri di depan ruangan penuh orang-orang yang belum dikenalnya. Entah apa yang akan dilakukan para senior terhadapnya.
Yuri tersenyum menatap Bayu, meskipun ia tak mendapat balasan sebab Bayu tidak melihat senyumannya yang begitu indah.
Kini Bayu berdiri di depan, pandangan para murid kini tertuju padanya, korban pertama di ruangan itu. Sungguh sial harinya.
Bayu tak mampu mengangkat kepalanya, perasaannya bercampur aduk.
"Hidungnya mancung, aku ingin sepuluh murid menjepit hidungnya dengar jari-jari lalu menariknya." Senior yang memilih Bayu kini menunjuk 10 murid sebagai eksekutor.
10 siswa terpilih satu-persatu maju untuk melakukan aksinya, semuanya murid laki-laki.
Bayu hanya pasrah dengan apa yang mereka lakukan. Mata Bayu berkaca-kaca, bukan karena ingin menangis tetapi memang saat hidung dijepit dan ditarik, sedikit air mata akan keluar.
Ujung hidung Bayu yang tadinya putih kini memerah. Bayu tak berani bergerak sedikit pun bahkan untuk sekilas menyentuh hidungnya.
"Aku butuh 10 lagi_."
"Aku pengen dengar dia bernyanyi!" Yuri memotong perkataan senior yang masih berniat menambah hukuman untuk Bayu.
"Pagi ceria, benarkan?" Yuri menepuk tangan lalu menunjuk ke arah para juniornya untuk mencari pembenaran.
"Benar, Kak!" Suara yang serentak menggema seisi ruangan.
Akhirnya Bayu mulai mengangkat kepalanya, menoleh ke arah Yuri yang sedang bersiap mendengarkan Bayu bernyanyi. Senyuman Yuri membangkitkan kepercayaan dirinya. Sekali lagi Yuri menjadi malaikat penyelamat baginya.
Bayu menatap Yuri kemudian menundukkan kepalanya, sebuah penghormatan sebelum ia bernyanyi.
Lagu berjudul "Ongkona Arungpone" (sebuah lagu daerah bugis) menjadi pilihan Bayu.
Bayu bernyanyi penuh penghayatan, meskipun suaranya tidak terlalu merdu tetapi setiap nadanya pas
Sampailah Bayu pada bagian penutup lagu dengan lirik
"Iyapa upettu rennu alla, iyapa upettu rennu alla."
"Usapupi mesangna."
Yuri tersenyum puas, memberi isyarat pada Bayu agar kembali ke bangkunya.
Beberapa murid bergantian untuk bernyanyi setelahnya, kebanyakan dari mereka mengajukan diri untuk ikut tampil.
Ketegangan pada awal kemunculan para senior seketika musnah di ruangan tersebut, menjelma menjadi taman kanak-kanak dadakan di bawah bimbingan Yuri.
Empat orang senior lainnya tampak bosan, mereka lebih senang menyiksa para juniornya. Tapi entah kenapa tak ada yang berani menentang Yuri.
Suasana ceria berlangsung hingga waktu istirahat tiba saat siang. Yuri berjalan ke arah Bayu.
"Ke kantin enggak?" Yuri menopang dagunya di atas meja Bayu.
"Iya, Kak." Mata Yuri melotot.
"Eh, Yu." Pandangan mata Bayu berpaling.
"Yuk, bareng!" Yuri menarik tangan Bayu dan menyeretnya sambil tersenyum.
Jalur sempit di antara bangku kelas membuat Bayu terpaksa berjalan di belakang Yuri.
Saat di depan kelas barulah Yuri melepaskan tangan Bayu. Berjalan menuju salah satu kantin sekolah.
Mereka memesan dua menu yang sama.
"Selera kita sama, ya." Mungkin hanya satu ini yang sama, atau kecocokan memang ada antara mereka.
"Habis istirahat kamu di kelompok 4 kan, Yu." Seorang siswa meletakkan makanan pesanannya di atas meja mereka lalu duduk di samping Yuri.
"Iya." Yuri menjawab tanpa menoleh, ia tahu persis suara itu.
"Kamu siapa?" Matanya begitu tajam menatap Bayu.
"Ba_
"Dia Bayu, adik sepupu aku." Tiba-tiba Bayu batuk kecil, ia segera meraih minumannya.
"Oh, sepupu kamu. Kenalin, aku Abu." Tatapannya kini sedikit ramah.
"Bayu, Kak." Bayu masih kaget dengan pernyataan Yuri
Entah apa alasan Yuri mengklaim Bayu sebagai adik sepunya.
"Ya udah, aku duluan, baru ingat kalo ada urusan." Abu beranjak meninggalkan mereka, makanannya masih tersisa banyak.
Bayu terdiam menatap Yuri, sebuah pertanyaan ingin ia lontarkan, tapi Abu yang sedang membayar makanannya masih berdiri di dekat mereka.
"Punya kalian udah ku bayarin." Abu berhenti sejenak di depan mereka sebelum beranjak keluar.
"Makasih, Kak." Bayu mengawasi kepergian Abu.
"Kalau ada yang nanya kamu apanya Yuri, jawab aja adik sepupunya." Yuri sedikit membungkuk ke arah Bayu di seberang meja.
"Tapi kenapa?"
"Pokoknya jawab gitu aja." Masih terlalu dini bagi Bayu untuk berdebat dengan Yuri.
"Iya deh."
"Janji?" Yuri mengacungkan kelingkingnya.
"Tapi sampai kapan? nanti juga pasti bakal ketahuan." Bayu hanya menatap jemari kecil Yuri.
"Janji enggak?" Yuri semakin mendekatkan tangannya pada Bayu.
"Iya, janji." Bayu bersandar lemas pada kursinya.
Yuri berdiri lalu berjalan ke arah Bayu dengan mengitari meja, meraih tangan Bayu lalu menyilangkan kelingking jari mereka.
Yuri tersenyum manis, sementara Bayu hanya duduk lemas, ia pasrah saja. Sedikit pun Bayu tidak berniat untuk berjanji, sepertinya dia akan ingkar dalam waktu dekat.
Yuri mengajaknya untuk pergi, tangan mereka sebagai simbol perjanjian belum terlepas.
Yuri melepaskan tangan Bayu saat tiba di depan ruangan kelompok 3. Bayu masuk dan duduk di bangkunya, sementara Yuri berjalan menuju ruangan sebelahnya, ruangan Kelompok 4.
Rasa mengantuk setelah makan siang memaksa Bayu meletakkan kepalanya di atas meja. Berusaha menahan matanya agar tidak tertutup dengan memainkan jari-jarinya di depan matanya, mengetuk-ngetuk meja dengan sebuah irama.
Beberapa siswa yang masih di luar kelas berlarian masuk saat lima orang senior datang ke ruangan mereka.
Kelompok itu kembali suram. jika saja ini dalam film maka sebuah soundtrack menegangkan akan mengiringi adegan ini.
Meskipun senior dilarang melakukan kekerasan fisik yang dapat melukai siswa baru, tetap saja para junior merasa begitu ketakutan, menatap wajah senior saja tidak ada yg berani.
Tapi Bayu tak lagi merasa ketakutan, suasana menegangkan tak lagi ia rasakan. Puncak dari ketegangannya telah ia rasakan pagi tadi, perlahan perasaan itu mulai menurun.
Seorang senior berdiri di depan bangku paling pojok, sambil bersiul ia membuka bungkus sebuah permen stik.
Senior itu melumat permennya lalu mengeluarkan dari mulutnya kemudian memberikan pada siswa yang duduk di depannya.
Para murid baru itu di minta mencicipi permen tersebut satu-persatu secara bergantian, mulai dari barisan paling depan sampai ke barisan bangku paling belakang.
"Huh?" Bayu yang duduk di barisan Bangku paling belakang mulai merasa ngeri.
Senior yang lain terlihat memegang sebuah gelas berisi air putih, ia berkumur dengan air itu lalu menuangkan kembali ke dalam gelas.
Sama seperti kasus permen sebelumnya, gelas yang berisi air bekas kumuran senior tersebut juga akan masuk ke setiap mulut siswa baru.
Bayu yang belum mendapat gilirannya untuk mencicipi permen mulai merasa kalau semua makan siangnya tadi akan keluar dari perutnya.
***
Akhirnya, permen berlumuran itu tiba di tangan Bayu, ukurannya kini lebih kecil, setengah ukuran awalnya.Bayu menatap permen itu, kemudian memasukkan ke dalam mulutnya secara perlahan, wajahnya terlihat seakan sedang menelan bara api, matanya terpejam dan hidung yang masih sedikit merah terangkat.Bayu berusaha keras agar permennya tak bersentuhan dengan bibir, lidah dan langit-langit mulutnya, sedikit kecurangan.Bayu mengeluarkan permen itu dari mulutnya dengan begitu cepat, lalu memberikan pada siswa selanjutnya di bangku sebelahnya.Hanya berselang beberapa detik, dari sebelah kiri Bayu, seorang murid menjulurkan gelas yang berisi air, perlahan Bayu meraihnya.Bayu menatap isi gelas itu, tampak air di dalamnya sudah tak bening lagi. Bayu harus berkumur dengan air bekas kumuran teman satu kelompok.Mau tak mau Bayu harus melakukan apa yang diperintahkan seniornya, kali ini Bayu tak dapat melakukan kecurangan.Sambil menutup mulut dengan
Terkadang, saat sepasang anak manusia sedang berputar dalam zona keindahan, maka mereka akan merasa bahwa waktu hanya akan berlalu di sekitar mereka. Seperti apa yang dialami Bayu dan Yuri saat itu.Andai ribuan titik air tidak menetes pada ujung rambutnya, maka mungkin Bayu dan Yuri tidak akan sadar jika hanya tinggal mereka berdua yang belum pulang."Gerimis," ucap Yuri yang mengangkat kedua telapak tangannya.Mereka berlarian untuk berteduh di bawah sebuah pohon asam pinggir jalan, menunggu sampai sebuah mobil penumpang lewat. Akhirnya, Yuri melambai untuk menghentikan mikrolet yang mengarah ke rumahnya."Aku duluan." Yuri pamit kemudian berlari kecil menyeberangi jalan raya.Yuri duduk lalu membuka pintu kaca jendela mobil itu, mengeluarkan tangannya untuk melambai pada Bayu saat mobil mulai berjalan. Bayu kini menunggu sendiri.Sebelumnya, seorang pengendara motor yang mengenal Bayu berhenti dan menawarkan tumpangan, tapi Bayu menolak dengan
"Dari pelukis keindahan wajahmu.Bayu Sonaf.Aku mampu menyusun huruf menjadi sebuah kata, tapi aku tak mampu merangkai kata hingga berjejer sebuah kalimat yang menarik untuk menyampaikan kesanku pada seorang senior idamanku. Maafkan aku untuk itu, sebab aku hanya pelukis amatir.Bagiku, lukisan adalah sebuah karya yang selalu memiliki keindahannya sendiri, bahkan untuk karya terburuk sekalipun.Setiap lukisan selalu hanya ada satu, tidak akan duanya. Bahkan lukisan yang sama persis tetap memiliki perbedaan, kanvas, cat, dan waktu pembuatannya akan berbeda.Dalam pandanganku, Yuri merupakan sebuah maha karya lukisan hati."Perasaan Yuri begitu bahagia setelah membaca setiap barisan kalimat dalam surat dari Bayu, hatinya bagaikan mahkota bunga yang meledak.Yuri belum gila meskipun ia tersenyum sendiri dalam kamarnya sambil menyelipkan secarik kertas dari Bayu itu di antara lembaran buku hariannya.Yuri berbaring di tempat tidurnya b
Waktu, material hampa yang melekat pada setiap sisi kehidupan, tidak tersentuh tapi terasa, seperti keinginan akan sesuatu. Tumbuh, salah bagian dari masa yang tidak akan bisa dihindari setiap anak manusia. Saat pertengahan tahun ajaran pertama, suara Bayu mulai berubah, terdengar lebih kasar dan sedikit berat. Beberapa hari sebelumnya, ia juga mengalami mimpi yang aneh, mimpi mutlak bagi anak lelaki sebagai gerbang menuju kedewasaan. Sebuah mimpi yang begitu dalam, hingga terasa oleh tubuhnya yang nyata. Selama enam bulan lebih, Bayu telah belajar dalam ruangan yang sama dengan orang-orang yang sama setiap enam hari dalam seminggu. Namun, hanya setengah dari mereka yang cukup akrab dengan Bayu. Bayu menjadi murid di kelasnya yang terlihat cemerlang oleh guru. Guru kesenian bahkan pernah tak percaya jika gambar Bayu adalah hasil karyanya sendiri, itu sebelum guru tersebut melihat secara langsung proses Bayu membangun lukisan pa
2A, kelas yang menjadi target Bayu berhasil ia raih setelah setahun perjuangan.Bayu dan Kiki, hanya kedua murid kelas 1C itu yang berhasil menembus kelas yang diisi oleh murid-murid cerdas, kebanyakan berasal dari kelas 1A, termasuk Ima, rival Bayu di SD dulu.Dari 150 lebih siswa seangkatan Bayu, hanya 26 siswa yang berhasil masuk kelas 2A dengan 10 murid lelaki termasuk Bayu.Untuk pertama kalinya, Bayu masuk ke dalam kelas barunya, mencari bangku kosong yang belum terisi.Susunan bangku dalam kelas itu berbeda dari sebelumnya. Disisi kiri kelas ditempatkan 24 bangku yang di atur menjadi 3 tiga kelompok, masing-masing terdiri dari 4 bangku.Begitu pun dengan sisi kanan kelas tersebut, 24 bangku tersebut saling berhadapan, menyisakan ruang kosong di antaranya tepat di depan papan tulis.2 bangku sisanya di tempatkan pada dinding belakang, hanya dua bangku itu yang menghadap ke depan dan hanya keduanya yang masih kosong, Bayu
Pagi itu, awan mendung menghalau sinar hangat mentari pagi, daun yang masih basah memantul naik saat titik air menetes pada ujungnya yang runcing.Hari itu Senin, tepat tanggal 2, tahun 2006 bulan paling awal, Januari.Dalam kelasnya, Bayu melepaskan jaket tebal berwarna coklat yang ia kenakan untuk menghangatkan tubuhnya, melipat jaket itu dan menaruh ke dalam laci mejanya kemudian bergegas menuju lapangan sekolah.Hari itu adalah giliran kelas Bayu yang bertugas sebagai anggota pelaksana upacara. Bayu sendiri di tunjuk untuk bertindak sebagai pemimpin upacara, tak ada rasa gugup atau malu di dadanya, Bayu terbiasa akan hal itu. Sejak kelas satu Bayu selalu mengambil posisi sebagai pemimpin upacara apabila tiba giliran kelasnya.Wajahnya yang manis akan berubah tegas, suaranya yang pelan seketika lantang, seakan Bayu menjadi orang lain saat mengembang tugasnya.Dia atas rumput basah tanah lapang, upacara pagi itu berlangsung singkat. Tak ada pidat
Saat kembali dari kantin, Bayu diseret enam orang gadis, semuanya adalah teman-temannya di pramuka, beberapa adalah teman sekelasnya. Bayu dituntun ke belakang kelasnya.Di sana Eka yang ditemani Kiki telah menunggu. Eka terlihat gugup dengan kedua tangan saling bertautan.Wajah Eka merah pucat saat Bayu berdiri tepat di hadapannya, kemudian Kiki bergeser dari samping Eka.Pandangan Bayu mengikuti langkah Kiki yang berjalan menuju enam orang gadis yang berdiri di belakan Bayu, Bayu berbalik sekilas lalu kembali memusatkan pandangannya pada Eka.Bayu tahu apa yang Eka lakukan, Bayu tahu apa yang akan Eka katakan, tapi Bayu tidak tahu apa yang akan ia katakan.Bayu menyadari tekad Eka saat itu lebih kuat dari biasanya, rasa gugup yang terpancar dari matanya menunjukkan keseriusan yang bulat. Baru pertama kali Bayu melihat Eka segugup itu.Semakin kuat rasa sebuah keinginan maka semakin kuat pula rasa keraguan yang muncul, lalu ra
"Rin, besok udah tanggal 14, ih ...." Eka memeluk bantal gulingnya, memejamkan erat matanya. Kata itu telah berulang kali ia ucapkan."Tidurlah, udah larut." Suara Rina terdengar lirih, ia tak lagi sanggup menahan rada mengantuknya, ia tak mampu lagi mendengarkan ocehan dari keponakannya itu, Rina terlelap.Eka, ia belum juga bisa tertidur, tubuhnya terus mencari posisi yang pas agar matanya bisa tertutup.Kisah khayalan tentang hari esok terus muncul dalam bayangan imajinasi nakalnya, tentang hari paling yang ia nantikan.Beberapa adegan tercipta dalam angannya, menyalin peristiwa romantis dari film percintaan yang pernah ia tonton.Semakin dekat, semakin melambat pula putaran waktunya. Rasa tak sabarnya seakan ingin melompati waktu seketika itu juga.Namun, akhirnya Eka tetap tertidur saat tubuhnya tak lagi mampu mengimbangi semangat jiwanya.***Eka berulang kali menguap saat kegiatan belajar sedang berlangsung.
Setelah liburan selama 2 minggu, Bayu kembali masuk sekolah sebagai murid kelas tiga. Bayu masih menempati kelas A dengan beberapa murid yang berbeda, tapi sebagian besar masih teman satu kelasnya di kelas 2 dulu. Prestasi yang berhasil Bayu raih saat duduk di kelas 2 cukup membanggakan. Begitu juga untuk kegiatan ekstrakurikuler, ditambah jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, meskipun yang lebih cocok menjadi ketua OSIS adalah dirinya. Semua karena Bayu sendiri yang tidak ingin menerima jabatan itu. Padahal Bayu mendapatkan 65% suara dari tiga kandidat saat pemilihan. Bayu bahkan tidak tahu jika dirinya akan menjadi salah satu calon ketua OSIS, ia baru tahu saat pemilihan dimulai. Bayu cemerlang dalam urusan sekolah, tapi tidak dengan urusan hati. Bayangan tentang Yuri terus melekat erat dalam benaknya, terutama segala kenangan saat liburan. sedikit rasa penyesalan juga turut menyiksa batinya. Bayu sangat menyesalkan kebodohan dan kepol
Beberapa jam setelah meninggalkan Bira, rombongan mereka akhirnya tiba di benteng Somba Opo yang letaknya tidak jauh dari pantai Losari. Bayu dan yang lainnya mulai berkeliling di area benteng yang membungkus erat sejuta sejarah itu. Benteng yang dibangun tahun 1545 jika di lihat dari atas akan tampak seperti seekor penyu yang siap merangkak turun ke lautan yang terbentang di hadapannya. Bentuk benteng itu menjelaskan tentang filosofi kerajaan Gowa yang dapat hidup di darat dan di laut sebagai pelaut ulung dimasanya. Bayu berkeliling seorang diri, ia sengaja karena ingin lebih fokus untuk mendalami setiap kisah sejarah yang di pamerkan dalam setiap ruangan tua itu. Bayu selalu tertarik dengan sesuatu yang baru, apalagi jika menyangkut hal-hal yang akan sulit ia jangkau seperti sejarah dan hamparan semesta di luar sana. Bayu yang pertama kali menginjak tempat itu begitu terkesima saat melihat sebuah lukisan kapal pinisi y
Yuri membangunkan Bayu sebenarnya masih sadar dan tak pernah tertidur. Setelah duduk sejenak, mereka kemudian menuju lapangan sekolah di mana bus yang mereka nantikan parkir di sana, terlihat biasa saja tanpa rasa bersalah sedikit pun. Yuri, Bayu, Leila Iis dan para sahabat Bayu kemudian masuk le dalam bus satu persatu. Mereka duduk di kursi yang saling berdekatan. Leila duduk dengan Iis, dan Yuri duduk di dekat jendela berdampingan dengan Bayu. Setelah semua murid mendapatkan tempat duduk, ketiga bus itu pun berangkat merangkak mengikuti sorotan cahaya lampu depannya yang menyusuri gelapnya malam itu. Tak ada sorakan kegembiraan di dalam bus seperti biasanya saat sebuah kelompok wisata telah berangkat. Melihat ke balik jendela untuk menikmati pemandangan juga percuma, sebab yang terlihat hanya kegelapan dan beberapa kilauan cahaya lampu rumah yang tidak begitu padat. Beberapa murid mulai tertidur setelah mereka
"Geser dikit dong, aku pengen duduk deket Yayang aku." Iis memberi isyarat pada Reski agar bergeser sedikit. "Leila, duduk sini." Yuri menawarkan tempat kosong yang ada di antara dirinya dan Idul. Nafas Idul berhenti sejenak saat Leila benar-benar duduk di tempat itu, sekujur tubuhnya mulai kaku. "Dul, jangan lupa bernafas," tegur Bayu yang duduk di ujung bangku, tepat di samping Yuri. "Mungkin dia mati, tubuhnya tidak bergerak," ledek Ahyar. Serentak semuanya tertawa, kecuali Idul yang begitu gugup duduk berdampingan dengan Leila. "Menurut kalian, kami cocok gak?" Idul semakin merasa dikekang oleh kebahagiaan0 saat Leila meminta pendapat pada yang lainnya. "Cocok banget!" Semuanya mengucapkan kata yang sama. "Idul, jangan jadi patung terus! ajakin Leila ngobrol tuh," tutur Iis. "Huh ... eh, hmmm, Anu, kalian kenapa ke sini?" Akhirnya Idul berhasil bangkit dari kematian. "Kalian juga, tumb
Eka terus memikirkan saran dari Bayu, ia menganggap itu merupakan suatu isyarat agar dirinya segera melupakan Bayu dengan menerima Rahmat sebagai pacarnya. Hal itu juga berarti bahwa Bayu tak lagi ingin kembali padanya, begitulah menurut Eka. Meskipun sebenarnya maksud Bayu bukan demikian. Rahmat yang tak pernah menyerah kembali menyatakan perasaannya pada Eka keesokan harinya. Dan benar, Eka menerimanya dengan senyuman. "Beneran kan? Eka gak main-main kan?" Dengan gembira rahmat merasa tidak percaya dengan jawaban Eka. "Ya udah kalo gak percaya, gak jadi aja," ancam Eka. "Ok, ok, aku percaya." Rahmat melompat kegirangan. Setelah kembali ke kelasnya, Eka menceritakan hal tersebut pada Bayu. "Huh...? Beneran? jadi sekarang kamu udah pacaran dengan Rahmat?" Bayu sama tidak percayanya dengan Rahmat. "Loh, Bayu kok kaget? bukannya kemarin Bayu sendiri yang nyaranin aku buat nerima rahmat biar dia gak pernah n
Terkadang, apa yang dilihat oleh mata dan didengar oleh telinga tidak selalu menjadi petunjuk akan sebuah kebenaran yang ada di baliknya. Saat seperti itu pikiran akan menciptakan sebuah pendapat yang berdasar pada apa yang dilihat, tapi hati akan berbisik kala itu juga, bisikan yang terlalu kecil hingga terlalu sulit untuk didengarkan. Saat Eka menyatakan kejadian yang bertentangan dengan apa yang Bayu ketahui, hati bayu sekilas berbicara padanya. "Sudah kukatakan, tidak mungkin Eka akan berkhianat." Dalam benak Bayu. Kata hati memang tak pernah berbohong, meskipun seseorang mengucapkan sebuah kebohongan, dalam hatinya ia tetap sadar akan kebohongan itu. Peringatan itu telah diberikan kepada Bayu, tapi ia tak mendengarkan atau mungkin sengaja tak menghiraukannya. Bayu tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan ketika melihat Eka yang diliputi kesedihan menangis deras di hadapannya. Meski bukan hanya Eka yang merasa
"Leni, aku minta maaf," pinta Bayu dengan tulus. "Ada apa, Kak? kenapa tiba-tiba minta maaf?" Leni tak melihat kesalahan yang dilakukan oleh Bayu. "Sebenarnya, satu minggu kemarin ada banyak cowok yang minta aku untuk nyampein salam mereka ke Leni, tapi tidak aku lakukan," jelas Bayu yang merasa tindakannya itu adalah sebuah kesalahan. "Gak papa, Kak. Lagian Leni juga gak bakalan terima mereka, itu udah pasti," tutur Leni penuh keyakinan. "Tetap saja aku ini egois, tapi itu aku lakuin karena aku punya alasan sendiri." Pegangan tangan Bayu semakin erat. "Alasan Kakak apa?" tanya Leni. Bayu menatap Leni dalam-dalam. "Itu karena ... aku gak mau Leni jadi milik mereka, aku maunya Leni jadi milik aku. Sejak liburan kemarin, aku terus memikirkan Leni dan gak sabar untuk cepat-cepat ungkapin perasaan aku le Leni," ucap Bayu penuh percaya diri. Mendengar penjelasan dari Bayu, mata Leni perlahan melebar, dadanya s
Kedekatan Bayu dan Eka terlihat mulai merenggang, sebab Bayu tak lagi berkeliaran bersama Eka yang biasanya selalu bersamanya. Sebuah perubahan besar terjadi pada diri Bayu tanpa ia sadari. Meski Bayu merasa perlakuannya terhadap Eka sama seperti biasanya. Namun, sikapnya yang seakaan menjauhkan diri dari Eka sangat jelas dirasakan oleh Eka. Bahkan dalam sehari Bayu tak pernah berbicara sekalipun pada Eka. Rasa sayang yang memudar adalah penyebab perubahan sikapnya. Sadar arau tidak, rasa bosan akan sesuatu akan mendorong manusia untuk bertindak sebaliknya. Perasaan yang sangat kuat bahkan bisa luntur bila tak dijaga, begitulah yang Bayu alami pada pengalaman perasaan pertamanya yang mungkin kelak akan memberinya sebuah pejajaran. Eka tak pernah meminta penjelasan pada Bayu, ia tak berani melakukan itu, meskipun teman-temannya menyarankan untuk malukan hal tersebut. Eka hanya diam, ocehan cerewetnya menghilan
"Pasti Bayu mau putusin aku, trus pacaran ama Leni," ringis Eka sembari mencubit lengan Bayu. "Aduh ... Sakit." Bayu berusaha menjauhkan tangan Eka. "Beneran?" Eka menunjuk wajah Bayu. "Iya ... Beneran, baru juga beberapa hari masa langsung bubaran," jelas Bayu. "Tapi kalo kita udah putus, ya mungkin aja aku bakalan pacaran ama Leni," canda Bayu yang sengaja memancing kemarahan Eka. "Tuh, kan ...," pekik Eka. "hahahaha." Bayu tertawa. "Pacaran aja terus, anggap aja aku haya batu di sini," protes Idul yang diabaikan. "Maaf, Kak. Makanya jangan kelamaan jomblo," ledek Eka sambil menutup mulutnya yang tersenyum kecil. Idul hanya sanggup membalas ucapan Eka dengan wajah kesal. Lalu, mereka kembali melanjutkan latihan sore itu. Bayu tidak begitu memikirkan perihal pernyataan Leni, Eka pun perlahan melupakannya. Idul juga terpaksa mengubur harapannya yang ingin memiliki Leni sebab akan sanga