Harris berjalan dengan cepat ke arah Anin yang tergeletak di lantai, tangan kekarnya mengangkat tubuh kurus itu kembali ke atas ranjang. Suster memasang jarum yang terlepas di tangan kiri Anin sedang rekan suster tersebut memanggil dokter, Haris sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari Anin.
“Bagaimana keadaannya, Dokter?”
“Kondisi pasien semakin lemah, kami akan memantau keadaannya lebih intens lagi. Saya harap Bapak lebih mengawasi istri Bapak agar hal serupa tak terjadi kembali,” ujar sang Dokter. Harris menganggukkan kepalanya dengan cepat.
Usai mengatakan hal tersebut, dokter dan suster keluar dari ruang rawat kelas VIP itu. Kini tinggal Harris berdua dengan wanita yang terlelap di hadapannya. Harris menatap Anin lekat-lekat, merasa familiar dengan wajah cantik wanita itu. "Mengapa aku merasa pernah bertemu denganmu?" batin Harris sambil memegangi kepalanya yang mulai berdenyut sakit.
Perhatian Harris teralih pada ponselnya yang berdering panjang, ia segera meraih gawai yang berada di saku jas hitamnya. Sebuah nama tertera jelas di layar, sang Ayah menghubunginya namun Harris memilih untuk mengabaikannya.
Ponselnya kembali berbunyi, kali ini sang Asisten yang menelponnya. Dengan malas Harris menjawab panggilan tersebut.
“Ada apa?” tanya Harris singkat setelah benda pipih itu melekat di samping telinganya.
“Maaf pak, ada masalah di bagian keuangan juga beberapa file yang hilang.”
“Bagaimana bisa ada file hilang?” ucap Harris tak habis pikir.
“Saya juga masih menyelidiki penyebabnya. Saya menduga ada oknum yang menyelundup, di perusahaan Pak.”
Pria itu dirundung kegelisahan, ia harus memilih menyelamatkan perusahaan atau tetap di rumah sakit dan menjaga Anin. Setelah terdiam beberapa saat Haris pun memutuskan untuk pergi ke perusahaannya dan menyelesaikan masalah yang ada. Terlebih ia adalah seorang ceo perusahaan keluarganya.
“Saya akan ke sana!” Dengan berat hati Harris pergi meninggalkan Anin, lelaki itu menitipkan Anin kepada para suster. Kaki jenjang pria itu melangkah lebar menuju area parkir, mobil mewah berwarna merah itu tampak mencolok dibandingkan mobil lainnya.
Harris masuk ke dalam kemudi, tak lama mobilnya melaju meninggalkan gedung bertingkat tersebut. Harris menekan pedal gasnya dalam-dalam, ia memangkas jarak tempuh yang seharusnya 30 menit menjadi sepuluh menit saja.
Setibanya di tempat parkir, Harris segera melangkah menuju lift yang terletak di sudut kanan. Jarinya menekan tombol lift berulang kali agar pintu cepat terbuka.
“Boss,” sapa asistennya yang berjalan cepat menghampiri lelaki itu setelah keluar dari lift. Harris menangkap guratan sesal di wajah pria yang sudah bekerja dengannya selama lima tahun.
Harris mempercepat langkahnya menuju ke ruang kerja pemilik perusahaan terkenal itu. Sang asisten hanya bisa mengekor sembari berharap tak ada sesuatu yang buruk terjadi pada kedua petinggi tersebut.
“Ayah,” panggil Harris dengan nada tinggi. Pria paruh baya itu seketika menoleh ke arah putra semata wayangnya. Netra keduanya beradu untuk beberapa saat.
“Di mana sopan santunmu? Kau senang mempermalukan ayah dan ibumu seperti tadi?”
“Aku sudah berulang kali mengatakan kalau aku tak mau menikah. Ayah tak bisa memaksaku menikah dengan wanita itu atau siapapun,” tutur Harris nada bicaranya semakin tinggi. Sang asisten yang berdiri di sudut ruangan hanya bisa menutup matanya.
“Kau tahu ini bukan perihal mau dan tidak mau. Ini perihal –“
“Perusahaan dan nama baik keluarga? Yang aku tahu …” Harris menjeda ucapannya, mata elangnya menatap lurus ke arah pria yang ia sapa Ayah. “Nama baik keluarga Adijaya sudah rusak sejak kehadiran wanita itu," lanjut pria itu.
“Maka dari itu menikahlah dengan Clara, hanya dengan cara itu nama keluarga ini akan kembali baik!” sahut pria paruh baya yang rambutnya mulai memutih itu.
Harris tersenyum sinis. “Ayah tahu sendiri mengembalikan citra perusahaan saja sulit, apalagi nama baik keluarga Setya Adijaya yang jelas-jelas sudah hancur lebur. Semua itu ulah siapa? Ulah Ayah dan Ibu, bukan?”
Sebelum ada kejadian yang lebih buruk lagi di antara dirinya dan sang Ayah, Harris membalik tubuhnya ia tak mau berdebat dengan pria keras kepala yang duduk di singgasananya. Ia menatap ke arah asistennya seakan memberi kode untuk membukakan pintu.
“Berani kau melangkah dari ruangan ini maka kau bukan lagi pemimpin perusahaan ini,” ancam pria itu. Tentu saja hal itu berhasil membuat Harris kembali menatap pria paruh baya itu.
“Ayah mengancamku?” ujar Harris mendengus kesal.
“Kenapa?” tanya Tuan Setya santai. “Kau tak mau kehilangan pekerjaanmu, bukan? Nikahi Clara dan semua urusan kita selesai.”
“Aku tidak mencintainya. Aku tidak akan pernah bisa mencintai wanita itu.”
“Persetan dengan kata cinta, Harris. Kau tahu bukan, aku dan ibumu menikah tanpa ikatan cinta. Tetapi nyatanya pernikahan kami terjaga sampai sekarang dan kami bahagia.”
Harris menggelengkan kepalanya seolah tak setuju dengan perkataan pria itu. “Tentu saja kalian bahagia. Karena ayah dan ibu mencari kesenangan kalian sendiri. Sudahlah Ayah, aku lelah berdebat denganmu. Damar, cepat buka pintunya!” ujarnya sembari mengalihkan pandangannya ke arah asisten pribadinya.
Lelaki yang bernama Damar tak berani bergerak dari posisinya, ia bingung harus menuruti sang Atasan atau ayah dari atasannya yang menatap dirinya tajam.
“Damar‼” pekik Harris membuat Damar terlonjak kaget, baru kali ini bosnya bersikap demikian padanya.
“Maaf Tuan Besar, saya harus membuka pintunya,” ujar Damar sembari menundukkan kepalanya, tangannya meraih pegangan pintu lalu menariknya ke dalam, pintu terbuka lebar. Di saat yang bersamaan munculah sekretaris Tuan Setya, wanita muda itu memberitahu bahwa ada tamu yang mencari beliau.
Kesempatan itu digunakan Harris untuk segera pergi dari ruangan itu. Tuan Setya hanya bisa menatap punggung putranya kesal, tamunya datang di saat yang tak tepat.
Harris membanting pintu kaca ruang kerjanya, ia meminta Damar untuk duduk di dekatnya. Pria itu menunduk malu karena sudah tahu apa yang akan bosnya katakan padanya.
“Maaf Boss, aku hanya mengikuti perintah Tuan Besar,” katanya dengan suara pelan. Harris hanya diam saja, ia tak berniat merespon ucapan asistennya itu. Karena tak ada reaksi dari Harris, Damar menaikkan kepalanya secara perlahan. Matanya melihat sang Atasan yang terlihat memikirkan sesuatu.
“Damar, carikan aku informasi sebanyak mungkin tentang seseorang,” titah Harris.
“Siapa, Bos??
“Anindia Paramastri.” Harris menyebutkan nama yang terasa asing untuk Damar. Pria itu hendak bertanya siapa sosok wanita yang membuat bosnya menyelidiki tentang wanita itu namun, ia tak sampai hati mengutarakan isi kepalanya. Pria itu justru mengangguk dan bergegas keluar dari ruangan Harris.
Di lain tempat, Anin baru saja mengerjapkan matanya, rasa pusing dan kebas mendera tubuh wanita berusia 22 tahun itu. Ia mengedarkan netranya menatap sekeliling ruangan yang didominasi dengan warna putih, ia menatap punggung tangannya yang terdapat dua jarum suntik dengan warna yang berbeda.
“Ibu sudah sadar?” sapa seorang perawat di ambang pintu kamar rawatnya. “Ibu mencari Pak Harris? Suami ibu sedang pergi ke kantor, katanya ada urusan mendadak. Ia berpesan akan segera kembali sebelum malam tiba.”
“Pak Harris? Suamiku?”
Kening wanita yang memakai seragam putih itu berkerut dan menatap Anin bingung. “Iya bu. Pak Harris suami ibu, kan?”
“Maaf sus tetapi … Pak Haris bu –““Kamu sudah sadar?” potong Harris berdiri di ambang pintu ruangan Anin.Suster itu menunduk dan berjalan menjauhi ranjang Anin, ia melangkahkan kaki keluar membawa nampan berisi obat-obatan. Harris menggeser sedikit tubuhnya memberi ruang agar pekerja medis itu dapat keluar.Setelah kepergian suster itu, Harris berjalan menghampiri ranjang Anin. Ia melihat wanita itu menatapnya dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Ada apa? Apa ada yang salah?”“Tentu.” Anin berkata dengan singkat dan datar.Kerutan halus tercetak di kening pria berjas hitam itu. “Apa?”“Kedatanganmu, maksudnya kenapa kamu datang lagi?”Bukannya menjawab, Harris justru tertawa membuat matanya menyipit. “Rasa kemanusiaan … mungkin.”Anin memutar bola matanya malas. Ia memilih untuk diam dan tak membalas ucapan pria itu, yang Anin lakukan justru mengubah posisi tidurnya, ia memunggungi Harris dan bersikap seolah tak ada pria itu di sana. Karena merasa diabaikan, Harris memilih untuk
“Mas!” panggilnya sekali lagi. Harris mencoba menetralkan air mukanya. “Mas kok di sini? Mas lagi sakit? Atau mas ke –““Saya tidak papa,” jawab Harris singkat tanpa menatap lawan bicaranya.Wanita yang memakai pakaian seksi dan dandanan menor itu tampak mengerucutkan bibirnya. “Kapan sih mas bisa menerima kehadiran aku di sini? Kita sebentar lagi akan menikah, kenapa Mas Harris selalu dingin denganku?” tanyanya dengan wajah memelas.Harris menyunggingkan senyum sinis, ia tak sedikitpun berniat menatap wanita seksi di depannya. “Sampai kapanpun saya tidak akan menikahimu.”“Tetapi kata Om Setya kita akan menikah bulan depan, Mas.”“Kalau begitu nikah saja dengan dia. Saya tak pernah menyetujui usulan perjodohan bodoh ini.” Harris kembali melangkahkan kakinya menjauhi wanita itu.“Mas, mas bisa saja jauhin atau bersikap dingin denganku. Tetapi bukan Clara kalau gak bisa mendapatkan apa yang dia mau,” pekik wanita bernama Clara membuat langkah Harris terhenti.Pria itu menoleh dan mena
Harris membaca guratan sedih dan bingung di wajah Anin, ia curiga jika Anin adalah korban pemerkosaan. “Aku tak punya suami.” Untuk sepersekian detik, Harris tercengang mendengar jawaban Anin, otaknya yang cerdas mendadak hilang fungsi. “Maksudnya?” “Aku bilang, aku tidak punya suami.” ucap Anin sambil meyakinkan lelaki yang ada di hadapannya sekali lagi. “Iya aku tahu, maksudku ke mana suamimu? Kalian bercerai?” Anin menghela napas panjang, ia awalnya hanya ingin mengacuhkan pertanyaan dari Harris, namun dirinya tak enak hati untuk menutup diri dari pria yang telah menyelamatkan dia dan kedua bayinya itu. “Tidak. Aku hamil karena jebakan temanku. Ajakan dia berakhir menjadi keperawananku yang direnggut oleh pria yang bahkan tak pernah aku kenal hingga sekarang.” urai Anin mulai menceritakan sedikit kejadian malam itu. Hatinya tertusuk ngilu kala harus mengingat kejadian yang tak pernah terbayang olehnya, malam kelabu yang mengubah kehidupannya. “Seharusnya aku bisa menolak ajaka
“Apa?” tanya Anin menatap pria di depannya bingung.“Menikah denganku!” jawab Harris kesal karena wanita di depannya ini berpura-pura tak mendengar.“Bukan maksudku, apa kau sedang melamarku?”Harris tampak berpikir sejenak. “Bisa dibilang begitu. Mungkin lebih tepatnya membuat kerja sama?”“Maaf aku tak bisa!” jawab Anin cepat, kala mendengar maksud Harris.“Dengar dulu! Aku mengajakmu menikah demi kebaikan baby twin. Dia butuh kehadiran seorang ayah bukan?” Anin tampak berpikir sejenak kala mendengar ucapan Harris. “Kalau begitu, aku akan jadi ayahnya. Dan baby twin tidak akan kekurangan kasih sayang ataupun kebutuhan lainnya.”“Maksudmu aku tak bisa menghidupi anakku sendiri?” tanya Anin, air mukanya tampak kesal mendengar penjabaran pria kaya di depannya. “Walau saat ini aku masih mencari pekerjaan tetapi aku yakin, aku bisa menafkahinya.”“Dengan cara?”“Bekerja!” sahut Anin cepat.“Lantas siapa yang menjaga anakmu?” Pertanyaan Harris berhasil membungkam Anin, wanita itu termenun
Anin terus teringat ucapan Harris, ia tak menyangkal ucapan pria itu. Karena pada kenyataannya ia tak mungkin membiayai pengobatan putranya seorang diri. Batin dan otaknya berperang hebat, ia harus memutuskan secepat mungkin karena nyawa putranya berada pada pria yang kini tengah duduk di sofa kamarnya.Berulang kali, Anin menghela napas berat. “Tidak usah dipikirkan terlalu berat,” ujar Harris yang sedari tadi mengawasi pergerakan wanita berpakaian khas pasien rumah sakit.“Apa kau sengaja menjebakku dalam situasi ini?” Pertanyaan Anin mengintrupsi pria itu bangkit dari duduknya.Pria itu mengendikkan bahunya dan menyeret kursi ke samping ranjang Anin. “Bisa dibilang iya, bisa dibilang tidak. Bergantung kamu mau melihat dari sudut pandang yang mana.”“Mengapa harus begini?” tanya Anin lirih, tak ada sorot mata tajam tak ada wajah sinis yang ia tunjukka
"Anggap saja sebagai latihan sebelum kita menikah.” Anin memutar bola mata malas, ia tak tahu kenapa pria di depannya ini memaksa ia menikah.Ruangan yang di dominasi dengan warna putih itu kembali hening, Anin memilih untuk tidur sedangkan Harris memikirkan cara agar Anin mau menerima perjanjiannya. Ia sendiri tak tahu kenapa begitu yakin jika Anin adalah wanita yang tepat. Mungkin karena sikap yang wanita itu tunjukkan, di antara semua wanita yang pernah ia temui tak ada satupun yang melempar tatapan tajam dan dingin. Semua wanita menatapnya terpesona dan berebut mencari perhatiannya.Kicauan burung dan sinaran matahari yang menelusup melalui kaca jendela rumah sakit, menyilaukan penglihatan Anin. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, dia melirik ke arah sofa di mana seorang pria tengah tertidur dengan berselimut jasnya.Ia melirik ke nakas di samping kasurnya, tangannya yang lentik terulur hendak meraih gelas tersebut. “Ah‼” pekik Anin kala tangannya tak sengaja menyenggol
Ucapan pria itu mengingatkan Anin pada jam tangan yang dikenakannya tempo hari. “Jam tanganmu ke … mana?” tanya Anin melenceng jauh dari pernyatan Harris.“Anin ….” Harris nyaris tak percaya dengan respon yang wanita itu berikan. “Bagaimana jika aku ayah baby twin?” ulang pria itu karena Anin tak merespon ucapannya.“Jawab aku dulu.”Harris menoleh dan melangkah kaki mendekati kursi roda Anin. “Kenapa? Kenapa dengan jam itu?”“Jawab saja, kenapa sih?” tanya Anin meninggikan volume suaranya.Harris menghela napas, ia lantas mengeluarkan jam tangan dari saku celananya. Pria itu sengaja melepasnya karena ia terlalu buru-buru. Anin mengamati jam tangan itu, manik matanya membulat sempurna. Wanita muda itu bahkan menjatuhkan jam berharga puluhan juta ke tanah berumput di bawahnya.
"Kenapa? Anakku!” teriak Anin kala Harris tak melanjutkan ucapannya. Pria itu menghela napas. “Anakmu … membutuhkan perawatan lebih intensif.” Anin memejamkan mata, dunianya seketika itu juga hancur. Ia hanya diam menatap kosong Harris. “Kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membawa Bhama ke rumah sakit besar dan berusaha menyembuhkannya.” “Tidak perlu,” jawab Anin dingin. “Karena aku tahu niatmu tidak tulus, kamu memanfaatkan sakitnya anakku agar aku mau menerima perjanjian bodoh itu ‘kan? Lebih baik tidak usah.” “Kamu mau melihat dia terus menderita begitu? Tidak cukupkan kamu membuatnya menderita saat di dalam kandungan‼” bentak Harris karena kesal dengan keras kepala Anin. Anin tersenyum sinis. “Anda ini tahu apa? ANDA TAHU APA TENTANG HIDUP SAYA‼!” balas Anin tak kalah tinggi. “JAWAB! KENAPA HANYA DIAM‼” Harris menghela napas, ia lantas bangkit dan masuk ke dalam kamar mandi. Dari luar, Anin mendengar suara kucuran air. Anin berusaha tenang, ia memikirkan cara agar putranya da
Di tempat yang sama Anin juga sedang menatap cincin yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Ia kembali bersabar untuk meresmikan hubungannya dengan Harris. “Tenang saja sayang, aku masih bersabar menantikan hari bahagia kita,” batinnya. Seakan ia mendengar suara hati Harris di kantornya.Suara Bhima mengalihkan pandangan Anin, ia tersadar ada bayi mungil yang harus diurusnya sekarang. Ternyata diapers bayi laki-laki itu penuh, dengan telaten Anin menggantinya, menghilang ruam di kaki anaknya. Setelah itu ia kembali menyusui Bhima, anaknya itu terlihat masih mengantuk.Tak hanya Bhima saja yang mengantuk, sang kakek juga merasakan yang sama. Ia hampir menabrak kendaraan lain karena tiba-tiba merasakan kantuk yang hebat. Perjalanannya menuju rumah kekasihnya terpaksa terhenti, ia harus menepi di rest area sebentar.“Aku bisa kecelakaan jika diteruskan,” gumamnya. Lelaki paruh baya itu akhirnya mencari rest area terdekat di jalan tol tersebut. Untungnya lokasi tempat peristirahatan
“Sejak kapan Ibu ada di situ?” tanya Harris yang terkejut melihat Ibunya berdiri di depan kamarnya.“Baru saja, memangnya kenapa?” tanya wanita paruh baya itu balik padanya. Harris menggelengkan kepalanya cepat. Tak percaya dengan anaknya, Nyonya Besar itu merangsek masuk. Ia hendak bertanya pada Anin. Tetapi melihat Anin yang tertidur, wanita itu lantas membatalkannya.“Ibu mau bicara dengan Anin?” tanya Harris.“Tidak, biarkan dia tidur. Kasian Anin lelah mengurus Bhima,” ujarnya. Sebenarnya Anin terbangun karena mendengar percakapan Harris dan Ibunya. Ia ingin membalikkan tubuhnya tetapi diurungkan ketika mendengar Ibu Haris tak ingin berbicara dengannya. Anin lantas berpura-pura tidur.“Ada sesuatu yang ingin Ibu tanyakan padaku? Maksud Harris, ada apa ibu ke kamar kami,” tanya Harris pada ibunya.“Ibu hanya ingin melihat Bhima saja, soalnya tadi dia menangis begitu kencang. Ibu takut terjadi sesuatu padanya,” jawab sang Ibu.“Bhima baik-baik saja kok Bu, terima kasih ya sudah men
“Benar Bu. Karena kami belum menikah secara hukum,” jawab Harris, di dalam hatinya ia merasa bingung dengan nada bicara ibunya. Namun ia tak menunjukkannya di depan Anin, lelaki itu takut moment bahagia yang sedang mereka rasakan menjadi hilang. “Ada apa Bu?”“Pernikahan akan digelar dalam waktu dekat ini?”“Tentu tidak Bu, kami akan laksanakan setelah situasinya membaik,” ujar Harris, ia kini tahu kenapa sang Ibu bersikap demikian. Harris juga sadar akan situasi yang terjadi pada orangtuanya begitu pula pada Anin.Sang Ibu menyuruh mereka untuk segera pulang karena Bhima terus menangisi mencari ibunya. Anin menjadi khawatir, ia ingin cepat-cepat bertemu dengan anaknya. Beruntungnya Anin, karena Harris tahu jalan alternatif yang lebih dekat dan tidak terkena macet. Ditambah lagi dengan kemampuan mengendarai mobil lelaki itu yang baik.Tak ada percakapan diantara keduanya selama perjalanan tersebut, Harris fokus mengemudi karena jalur yang mereka lewati berbatu dan banyak belokan. Teta
“Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Mas?” tanya Anin, ia mencurigai Harris yang tersenyum sembari mengendarai mobilnya. “Mas ...”“Kenapa sih sayang?” tanya Harris pura-pura tak tahu.“Kamu yang kenapa, Mas? Dari tadi senyum-senyum sendiri,” jawab Anin, suara berubah. Harris merasa jik Anin sudah mulai kesal dengannya. Ia pun mencoba menjelaskan jika alasan tersenyum untuk menutupi rasa gugupnya.“Kamu merasa gugup ‘kan sayang? Tanpa alasan yang jelas,” sahut Harris. Anin mengiyakan apa kata lelaki itu, ia juga sempat merasakan gugup tadi. “Aku menutupi rasa gugupku dengan memikirkan hal-hal lucu, sayang.”Tak terasa mereka sampai di tempat tujuan, Harris mencari tempat parkir yang pas. Lelaki itu turun lebih dahulu untuk membuka pintu mobil untuk Anin. Kini kedua orang di mabuk cinta itu mulai masuk ke dalam restoran yang sudah Harris booking tersebutPramusaji mengarahkan keduanya menuju sebuah ruang privat, Anin terkejut karena mereka makan di ruangan yang tertutup. “Kita makan di
Anin beranjak dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju pintu. Ia penasaran siapa yang mengetuk pintu kamarnya seperti itu. Tangan kurusnya memegang gagang pintu stainless tersebut lalu menariknya ke dalam. Perlahan pintu terbuka dan terlihat jelas siapa yang berdiri di depan Anin sekarang.“Ayah ...” gumam Anin, ia terkejut melihat lelaki paruh baya itu menemuinya. “Ada perlu apa ayah ke mari?” tanya Anin.“Aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” jawab Tuan Besar. “Kau pernah melihatku pergi dengan seseorang bukan,” imbuhnya.Degh!Anin tercekat mendengar hal tersebut, ia tak menyangka jika ayah Harris ternyata melihat dirinya menguntit mereka. Namun Anin memilih untuk berbohong, ia bepura-pura tak mengetahui hal tersebut.“Kenapa diam saja? Jawab aku!”“Anin tak mengerti maksud ayah,” ujar Anin mulai menjalankan aktingnya. Tuan Besar itu memutar bola matanya malas, ia tahu jika Anin berbohong padanya.“Jangan bohong, katakan saja sejujurnya padaku,” titahnya. Ada penekanan di setiap k
“Mas Harris mendadak diam begini, pasti hatinya kembali sakit,” gumam Anin. Ia berniat untuk menghibur Harris lagi setelah lelaki itu keluar dari kamar mandi, Sembari menunggu Harris keluar, Anin mempersiapkan baju kerja untuknya. Pagi ini Anin akan mendadani Harris dengan pakaian serba cokelat.Tak butuh ama untuk Anin menemukan padu padan yang pas. Ia berharap lelaki yang dicintainya itu suka dengan baju pilihannya. Anin kembali lagi ke ranjangnya, ia mendengar suara shower sudah berhenti, tu artinya Harris sudah selesai mandi.“Kamu menyiapkan baju untukku, sayang?” tanya Harris.“Iya sayang, kamu tidak suka ya? Mau pakai warna lain?” ujar Anin, ia lega karena Haris melihat dan bereaksi atas baju pilihannya.“Tidak, aku suka kok. Terima kasih ya sayang,” kata Harris. Ia akan memakai apapun yang disediakan olehj perempuan yang dicintainya itu. Harris lantas beralih menuju cermin yang sangat besar, ia ingin mematsikan semua benda yang diberikan oleh Anin padanya.“Ternyata aku tampa
Tuan Setya mengembalikan kertas tersebut ke tempatnya semula. Pagi ini ia sudah memantapkan hatinya untuk memberikan sebuah pengumuman penting terkait rumah tangganya dengan sang istri. Ia pergi ke lantai bawah, ada istrinya dan Anin di meja makan.“Kamu dari kamar, Mas?” tanya sang istri. Harris yang baru masuk ke dalam rumah usai memeriksa mobilnya terkejut mendengar pertanyaan sang Ibu namun ia lebih kaget lagi ketika melihat ayahnya menganggukkan kepalanya.“Ayah sembunyi di mana? Kenapa aku tak melihatnya tadi,” batin Harris.Tuan Setya langsung duduk di kursi yang biasa ditempatinya itu, ia menyadari perubahan wajah Harris namun lelaki itu mencoba bersikap tenang. Anin merasakan ketegangan di meja makan tersebut, apalagi saat ia melihat ke arah Harris. Rasanya ada hal yang ingin dikatakn olehnya.“Mari sarapan meskipun tak ada dari kita yang mandi,” ajak Nyonya Besar itu, ia mencoba mencairkan suasana. Perempuan itu paling tak suka jika ada keributan di meja makan. Anin mencoba
Jika Harris sibuk memikirkan cara untuk menikahi Anin sedangkan ayahnya baru saja pulang dari kantor pengacara. Tekadnya sudah bulat untuk berpisah dengan istrinya. Alasannya sudah ia sampaikan pada ahli hukum tersebut.Malam ini ia akan pulang ke rumah untuk menyiapkan berkas-beras yang diperlukan. Sepanjang perjalanan pulang, Pria paruh baya itu mencari cara agar bisa mempersiapkan berkas yang dibutuhkan tanpa ketahuan oleh anggota keluarganya.Jawabannya belum berhasil ditemukan tetapi pintu gerbang rumahnya sudah terlihat . “Aku akan pikirkan lagi nanti,” katanya sembari memarkirkan mobil. Ia melirik ke arah mobil Harris yang bermasalah pagi tadi Pemilik mobil mewah tersebut sedang tidur di kamarnya. Selimut yang dipakainya tadi sudah tak lagi menempel di tubuhnya. Harris jatuh tertidur ketika memikirkan hal tersebut.Rumah mewahnya tampak sepi ketika sang Tuan Besar sampai di rumahnya. Bahkan untuk masuk ke dalam, ia harus melewati taman samping. Akses yang dibuka hanyaah pintu
Tuan Setya segera turun dari lantai dua kemudian berjalan cepat menuju pintu rumahnya. Ia membukanya lalu keluar begitu saja. Tuan Besar itu bergerak ke arah mobilnya yang terparkir di halaman depan. Mesin mobil mewah tersebut sudah menyala, tanda jika pemiliknya akan pergi. Tuan Besar sepertinya akan pergi ke suatu tempat, ia mengetikkan sebuah alamat di ponselnya dan petunjuk jalan pun mulai menuntunnya. Kendaraan roda empat tersebut mulai keluar gerbang rumahnya. Tak butuh lama baginya untuk bergabung dengan kendaraan lain menambah kemacetan jalan raya saat ini. Pria paruh baya itu meuju ke suatu arah yang tak pernah dilewatinya. Butuh waktu 1,5 jam perjalanan untuk sampai di tempat tujuannya. Jika Tuan Setya membutuhkan waktu selama itu untuk sampai ke tempat tersebut. Sebaliknya sang istri hanya memerlukan waktu selama satu jam untuk membuat makanan pengganti menu makan malam. Bahkan tanpa dibantu oleh Anin atau dua asistennya yang lain, hanya dirinya dan simbok saja. “Apa yan