Ada perasaan senang, saat aku lihat Pak Ibnu menatapku berjalan ke arah kantor Pak Johan dengan pandangan melongo.
Lebih puas lagi karena aku bisa mendengar Pak Ibnu dan beberapa orang lain mengikutiku dan melihat bagaimana aku menyapa Yolanda.
Dan Yolanda menjawab sambil mengedipkan sebelah matanya, "Buruan masuk Dewi, Pak Johan sudah menunggu cukup lama."
Aku bisa mendengar nafas mereka yang menonton di kejauhan tersentak.
"Terimakasih banyak ya Mbak …," ucapku tulus benar-benar dari lubuk hati yang terdalam.
Gara-gara aku, gaji Yolanda kena potong, tapi dia tidak menyalahkan aku. Saat aku keluar dari perusahaan ini pun, Yolanda adalah salah satu dari mereka yang sedih karena kepergianku. Dan saat aku kemba
Pak Johan bukan Lucifer dan aku bukan Nabi Isa. Godaan harta mungkin tidak terlalu menggoda, tapi bayangan akan ketenaran, petualangan, dan penghargaan yang akan kulihat dari sorot mata mereka yang mendengar petualanganku, sulit untuk kutolak.Pak Johan berkeras untuk mengikatku dengan kontrak panjang, yang akan membuatku bekerja untuk perusahaannya selama bertahun-tahun.Dia memilih kontrak kerja yang mengikat dan mencegahku untuk bergabung dengan perusahaan lain, sepanjang masa kontrak itu berlaku, daripada mengangkatku sebagai karyawan tetap.Sebagai gantinya, dia siap memberikan gaji dan tunjangan yang besar.Akhirnya kami berdua sepakat dengan masa kontrak kerja 5 tahun, untuk jumlah gaji dan tunjangan yang dia berikan. Jumlahnya tidak sebesar yang aku bayangkan, ta
Saat kami sampai di gedung kantor kami, perasaan itu hilang dan aku pun dengan cepat melupakannya.Namun sore hari itu, ketika aku berjalan menuju halte bus seperti biasa, perasaan itu kembali muncul.Aku berjalan sambil diam-diam memperhatikan sekelilingku. Lewat jendela kendaraan yang lewat, atau jendela etalase toko dan resto sepanjang jalan.Sengaja aku memilih halte yang lebih jauh dari biasanya, karena ingin memastikan perasaanku itu.Setelah cukup lama mengamati, akhirnya aku menemukan satu orang yang berulang kali kutangkap berada tak jauh dariku. Tidak terlalu dekat, tapi masih dalam jangkauan pengamatan mata.'Hanya satu orang
Pernahkah kau bermimpi, seakan-akan ada sesuatu yang tak terlihat berada tepat di belakang punggungmu.Kau ingin menoleh, tapi terlalu takut untuk menoleh.Seluruh bulu kudukmu berdiri dan kau ingin lari, tapi kakimu tak mau digerakkan.Mirip seperti itu yang aku rasakan saat ini.Bedanya aku tak bisa menoleh dan harus berjalan seperti biasa, meskipun aku bisa mendengar suara langkah kaki yang ringan mengikuti di belakangku.Semakin lama suara itu semakin dekat.Aku berpikir, 'Harus menunggu saat yang tepat. Ketika dia bergerak, aku harus cepat mengelak.
Kuat, liar, tak mau ditolak, tapi juga lembut dan berhati-hati agar tidak menyakitiku. Itu yang kurasakan dari ciumannya. Saat bibir kami bertemu, seperti ada sebuah bom Molotov yang meledak dalam kepalaku, kesadaranku menghilang, entah berapa lamanya. Hanya ada dirinya dan diriku. Hanya Ada bibirnya dan bibirku yang saling lumat, bertaut dan bergumul. Ketika bibirnya berpindah dan menciumi sepanjang garis rahang dan leherku, ketika dia membenamkannya tepat di lekukan bawah telingaku, tanpa bisa kutahan aku mengerang, nikmat. Dia semakin liar bergerak, ketika kejantanannya dengan kuat bergerak menekan dan menggesek daerah kewanitaanku, secercah kesadaran menggugahku bangun dari selimut nafsu. Dinginnya udara malam
“Dewi, kau merahasiakan sesuatu dariku,” ujar Nyonya Burhan tegas, sorot matanya tajam menatapku. Dia mengatakan itu dengan dua tangan bersilang di depan dada, punggung tegak dan tatapan matanya seperti berusaha menusuk masuk menembus kepalaku. 'Aku punya hak untuk menyembunyikan rahasia darimu. Seingatku waktu kita sepakat supaya aku tinggal di rumah ini, tidak ada perjanjian yang mengharuskan aku melaporkan semuanya padamu.' Dalam hati aku menjawabnya seketus itu. Namun aku tak tega hendak mengucapkannya. Aku hanya menghela nafas panjang-panjang untuk melonggarkan dada yang terasa mau meledak. “Tante, aku beran
Mata Nyonya Burhan menatap layar TV lekat-lekat. Tangan dan mulutnya bergerak tanpa henti, mengambil dan mengunyah popcorn yang aku beli dalam perjalanan pulang. Sesekali dia berseru melepaskan emosi.Aku sudah tahu apa yang akan ditayangkan, karena aku jadi bagian dari tim produksi yang menyiapkan episode Shana Devi malam ini.Jadi buatku tayangan malam ini, tidak semenarik memperhatikan reaksi Nyonya Burhan saat menontonnya. Setiap kali aku melihat Nyonya Burhan bereaksi dengan penuh emosi, hatiku jadi mengembang oleh rasa bangga. Tidak heran, video yang merekam reaksi orang menonton sesuatu bisa jadi konsumsi yang laris dilahap oleh netizen.Ketika akhirnya tayangan itu berakhir, Nyonya Burhan menatapku seakan baru saja mengenalku untuk pertama kalinya.“Itu sem
Sejak percakapanku dengan Nyonya Burhan malam itu, aku jadi lebih waspada pada gejolak hatiku sendiri.Kenyataan bahwa aku bisa jatuh cinta pada seseorang yang kemungkinan terlibat dalam tindakan kriminal berat, membuat aku mencemaskan akal sehatku sendiri. Biasanya aku cukup bangga dengan akal sehatku, tapi tidak kali ini. Kutilik dari berbagai sudut pandang, aku tidak melihat pilihan yang lebih baik daripada pilihan untuk melaporkan keberadaan Harvey ke Mas Khosali.Masalahnya hatiku menolak untuk melakukan hal itu.Benar-benar keras kepala dia ini, aku sudah berargumen macam-macam, tapi hatiku tetap berkata agar aku percaya pada laki-laki misterius itu.Dia juga pandai berargumen, misalnya tentang pertarungan kami malam itu. Faktanya dia jauh lebih kuat dariku, jika d
“Apa Pak Johan bisa memberi saya waktu untuk menyelidiki lebih jauh tentang pria yang menyamar itu?” tanyaku berharap.“Tidak.” Pak Johan menjawab dengan pendek dan tegas.Aku menghela nafas, kalah, “Baiklah Pak, kalau begitu saya memilih melanjutkan penyelidikan saya dalam kasus ini, lewat medali batu itu.”Pak Johan tersenyum, terlihat puas dengan jawabanku itu, “Bagus, dalam waktu satu minggu aku berharap mendengar kabar baik darimu.Kalau tidak ….”Tanpa sadar aku menggigit bibir menahan kesal, apa dikira mudah menyelidiki sesuatu? Bagaimana mungkin dia memberiku waktu hanya satu minggu? Butuh beberapa lama sebelum akhirnya aku bisa menjawab, “Baik Pak, saya men
"Dewi, kau harus menyimpan baik-baik medali batu itu." Yolanda berpesan dengan sungguh-sungguh.Saat kami berdua berjalan kembali ke kamar kami, untuk kesekian kalinya Yolanda mengingatkan tentang medali itu padaku. Perasaanku jadi tak tenang mendengarnya, dalam hati aku berpikir akan aku ceritakan saja kebenarannya, tapi lidahku terasa kelu. Aku hanya mengangguk sambil bergumam tak jelas.Saat kami menjalani perawatan tubuh, Yolanda berhenti membicarakan tentang penyelidikan kami dan medali itu, tapi aku bisa merasakan pandangannya yang seperti berusaha menjenguk isi hatiku.Ah, Mbak Yolanda sudah curiga, pikirku dalam hati.Dua sampai tiga jam yang seharusnya menyegarkan badan dan pikiran, jadi tidak bisa kunikmati dengan
"Medali itu sepertinya semacam penanda untuk membuktikan kebenaran dokumen di masa itu," jawabku."Jadi apa hubungan-nya dengan Prabu Jayabaya? Apakah medali itu penanda miliknya?" tanya Yolanda menebak-nebak."Benar dan lebih dari itu, beberapa kalimat yang terukir di medali itu yang sama dengan kalimat pembuka pada ramalan Jayabaya." Aku menyambung, memberikan lebih banyak petunjuk pada Yolanda."Artinya medali itu membuktikan bahwa ramalan itu benar-benar ditulisa oleh Prabu Jayabaya!" seru Yolanda bersemangat."Ya dan bukan cuma itu saja. Masih ada fakta lain lagi tentang medali itu," sambungku penuh misteri."Apa itu?" Badan Yolanda semakin condong saja ke arahku."Bab-bab ya
Kupijit-pijit mataku sambil menyandarkan tubuh di sofa, ketika pintu kamar hotel dibuka dan Yolanda muncul sambil berkacak pinggang."Katanya tadi mau nyusul?" tanya Yolanda tak suka."Maaf Mbak, ini baru aja selesai," ucapku dengan senyum kelelahan."Huuh… sudah kuduga," kata Yolanda dengan tangan dilipat di depan dada."Tapi sekarang sudah selesai kan?" tanyanya kemudian dengan mata berkilat nakal."Iyaa … sudah, kayaknya ada rencana nih?" Melihat kilat di matanya aku bertanya curiga."Heehee, waktu aku lagi jalan ke tempat spa, aku mulai berpikir kau bakalan lama deh baca bukunya. Jadi kupikir-pikir lagi, aku akhirnya memutuskan untuk nggak ke spa dulu, samp
"Haah? Takut kenapa Mbak? Siang-siang begini hantu masih pada sembunyi kok." Aku menatap Yolanda bingung.Kulihat dia benar-benar ketakutan, jadi aku berusaha membuatnya tertawa dengan sedikit becanda."Dewi …, coba kau katakan lagi, bagaimana kau tadi bisa menemukan catatan-catatan yang tepat?" Yolanda bertanya dengan hati-hati."Uhm … karena aku berpikir medali itu ada hubungannya dengan almarhum suamiku." Aku samar-samar bisa meraba ke mana arah pertanyaan Yolanda, meski masih sedikit ragu."Kemudian ternyata instingmu benar, artinya kemungkinan besar memang medali ini ada hubungannya dengan almarhum suamimu.Hal itu juga menjelaskan bagaimana dr. Satya … alma
"Mbak, buku yang itu jangan ditaruh di situ, tempatnya di rak yang di sisi barat sana." Kami berdua berada di ruang perpustakaan pribadi Almarhum Mas Bambang, dari ujung mataku kulihat Yolanda hendak meletakkan catatan yang baru dia periksa di rak yang salah."Eh …, salah ya?" gumam Yolanda, tak lupa mengembalikan catatan itu di tempat yang benar.Aku hanya bisa menggelengkan kepala saja, "Mbak… makanya nyarinya yang urut gitu. Jangan lompat-lompat, nanti bingung sendiri."“Banyak banget sih Dewi … kali-kali aja kalau pas feeling-ku bener bisa langsung dapat yang cocok,” jawab Yolanda, rambutnya acak-acakan terlihat lelah dengan pencarian kami.Penampilan Yolanda membuatku ingin tertawa, tapi mengingat usahanya untuk membantuku, sebisa mu
Sampai aku dan Yolanda sudah berada di bandara dengan dua tas besar berisi keperluan kami selama nantinya berada di Malang, belum juga ada kabar dari Harvey."Dewi … Dewiii.... Kau dengar nggak?" Yolanda dengan setengah berteriak, bertanya padaku."Eh, maaf Mbak, sorry … sorry …. Mbak nanya apa tadi?" Aku tergagap saat menyadari Yolanda sejak tadi menanyakan sesuatu padaku."Duh … ini anak, ngelamun aja dari tadi. Ada apa sih Dewi?Kayaknya kamu jadi beda deh sejak kemarin. Apa mikirin almarhum suamimu, karena ini kita mau pulang ke rumahmu yang dulu?" Kata-kata Yolanda membuatku sedikit merasa bersalah, karena justru laki-laki lain yang saat ini membuatku melamun."Uhm, iya Mbak, sedikit," jawabku
"Dewi, aku tidak tahu siapa Harvey itu dan sejauh apa hubunganmu dengannya.Tapi kupikir tidak bijak bila kau membagikan hasil penyelidikanmu dengannya.Bagaimana kalau dia menjual beritamu pada media lain?" Nyonya Burhan langsung membuka percakapan kami dengan keras, tanpa berbasa-basi lagi."Tante, kuharap Tante menghormatiku sebagai seorang dewasa yang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri," jawabku dengan alis berkerut."Aku tidak punya hak untuk ikut campur dengan kehidupan pribadimu, tapi aku yang merekomendasikanmu pada Johan.Aku punya kewajiban pada Johan. Aku hanya mengingatkan, apa yang kau lakukan ini bisa merugikan perusahaan tempatmu bekerja."Mendengar penje
Kami berdua menghela nafas lega berbarengan, saat aku akhirnya menutup pintu kamar di belakang kami. Saling berpandangan, kami tertawa geli ketika menyadari bahwa kami sama-sama tertekan di bawah tatapan mata Nyonya Burhan.Seperti dua orang anak kecil nakal sedang berada di bawah pengawasan gurunya.Harvey menarikku ke dalam pelukannya dan menciumku dengan hangat."Ibu kostmu menakutkan juga," ujarnya setengah berbisik, sambil tertawa kecil."Itu karena kita menyembunyikan sesuatu darinya," ujarku menjawab.“Yah… mau bagaimana lagi?” kata Harvey sambil mengangkat bahu.“Bagaimana kalau misalnya kau ceritakan ke Tante Burhan tentang pekerjaanmu yang sebena
"Haah ?" seruku terkejut."Benar, organisasi rahasia itu sangat tertarik dengan situs arkeologi yang sedang diteliti oleh mendiang suamimu.Setelah kecelakaan itu terjadi, perhatian mereka beralih ke dirimu.Diam-diam aku pun memutuskan untuk membayangi dirimu," jawabnya dengan lancar."Jadi saat itu kau sedang membayangiku, bukan membuntuti dr. Satya?" Aku ingin memastikan pendengaranku."Uhm… tidak juga." Dia terlihat ragu saat menjawab."Nah, sekarang kau yang membuatku bingung," ujarku sambil mengerutkan alis."Sebelum kejadian itu, ayahku …, dr. Satya..., saat itu aku tidak tahu kalau itu dia.