Tanpa pikir panjang, dia menghampiri pintu itu dan mendapati bahwa terkunci. Namun, itu tidak menghentikannya.
Brak!
Pintu kamar mandi terbuka dengan keras akibat tendangan Yama. Dea, yang tengah mandi di balik tirai shower, terlonjak kaget dan memekik. Segera menutup bagian tubuhnya yang terbuka dengan sebelah tangannya. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Yama?! Apa yang kau lakukan?!" serunya dengan panik, tangannya buru-buru menarik handuk untuk menutupi tubuhnya yang basah.
Namun Yama tidak menjawab. Nafasnya memburu, emosinya menggelegak, dan sebelum Dea sempat berbuat lebih banyak, dia melangkah maju dan meraih dagu gadis itu dengan kasar.
"Kau pikir bisa kembali kepada mantan kekasihmu itu?" suaranya dalam dan sarat emosi. "Di mana harga dirimu, Dea?"
"Lepaskan aku! Kau sudah gila!" Dea meronta, berusaha mendorong Yama
"Sial!" Jean memaki dalam hati. Dia tertangkap lagi oleh Bob. Tubuhnya dipikul di bahu Bob dengan mudah seperti memikul karung goni.Bob, yang masih kesakitan, bangkit dengan cepat. Matanya membara penuh kemarahan. "Kau membuatku benar-benar marah sekarang."Jean melakukan perlawan dengan memukul punggung Bob, kedua matanya mencari sesuatu untuk mempertahankan diri. Jean bisa mendengar dengan jelas, suara Dea di dalam kamar mandi. Temannya juga sedang dilecehkan oleh Yama. Tubuhnya bergetar karena marah!Kebencian Jean berkilat di matanya. Saat Bob menurunkan tubuhnya. Matanya melirik vas bunga di meja sudut. Ia meraihnya dengan cepat dan mengangkatnya tinggi-tinggi."Jangan mendekat, Bob!" ancamnya dengan suara gemetar.Bob menyeringai, lalu melangkah maju. "Dan kalau aku tetap maju? Kau mau apa?"Jean tidak ragu. Dengan sekuat tenaga, ia
Dea memeluk dirinya, terasa nyeri di bagian depan dadanya karena apa yang dilakukan oleh Yama tadi. Dia menyadari betapa terobsesinya pria itu terhadap tubuhnya dan itu sangat menjijikkan serta membuat hatinya terpuruk.Dea terdiam sejenak, sebelum menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca, suaranya terdengar rapuh ketika berbicara. "Tidak..."Suaranya kecil, hampir tidak terdengar."Yama... dia hanya menginginkan tubuhku, tapi saat aku menyerah... saat aku pasrah, dia malah tidak melanjutkan aksinya."Dea merasa dirinya mungkin akan menginginkan sentuhan Yama bila dilakukan dengan cara yang lebih lembut. Pemaksaan seperti itu lebih bisa dinilai sebagai sebuah pelecehan daripada pemuasan gairah dan itu sangat menjengkelkan baginya.Jean mengernyit. "Apa maksud dia?" tanyanya bingung. "Arghhh!" geram Jean."Entah apa yang ada di dalam pikiran para pria itu?"Bayangan Bob yang memaksa mencium serta menindihnya tadi tiba-tiba
"Pergilah mengurusnya! Jadilah anak berbakti, Dea," sahut ibunya tanpa melihat ke arahnya. Fokus utamanya ke layar ponsel berisi foto Leo-sang adik.Ibunya mengibas sebelah tangannya seperti mengusir lalat imajiner, matanya masih berbinar penuh kebanggaan terhadap adik Dea, tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi di hati putri sulungnya. Dia bahkan lupa menanyakan tentang helikopter ambulance yang akan mereka pakai atau bagaimana mereka akan membayar semua itu seolah-olah semua adalah tanggung jawab Dea.Dia merasa tidak perlu memusingkan hal itu.Dengan langkah berat, Dea beranjak menuju ruang administrasi rumah sakit untuk memastikan semua berkas keberangkatan telah siap.Perawat memberikan beberapa dokumen yang perlu ditandatangani, dan ia menandatanganinya dengan tangan yang sedikit gemetar. Semua ini terasa begitu nyata sekarang."Lima ratus juta... " gumam Dea dengan suara kecil seraya mengeluarkan kartu tipis yang diberikan
Ibunya tampak sedikit goyah saat mereka menaiki helikopter, tapi tidak berkata apa-apa. Dea sendiri hanya bisa menatap kosong ke layar ponselnya yang masih berdering sesekali, menunjukkan panggilan terakhir dari Jean. Ia menggenggam ponselnya erat, lalu memasukkannya ke dalam saku jaketnya sebelum melangkah masuk.Saat helikopter mulai lepas landas, Dea menoleh ke samping. Ibunya sibuk dengan ponselnya, mengetik pesan dengan cepat. Sesekali, wanita itu mengambil beberapa foto selfie dengan ekspresi bangga, seolah ini adalah perjalanan wisata bukannya perjalanan penuh kecemasan menuju ketidakpastian.Dea hanya bisa menatap lurus ke depan. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan gejolak emosi yang sejak tadi menghantam dirinya. Ini bukan sekadar perjalanan untuk ayahnya. Ini adalah perjalanan yang akan mengubah segalanya.Di dalam benaknya, nama Yama berkelebat. Pria yang hanya singgah sesaat, j
Mobil sudah sampai di terminal keberangkatan. Dengan kemarahan yang nyaris meledak, Yama melangkah cepat masuk ke dalam terminal VIP bandara yang kini ditutup atas perintahnya.Matanya menyapu sekeliling dengan penuh harapan, namun bayangan Dea sama sekali tidak terlihat. Rasa frustrasi menyelimutinya. Sudah pasti mereka terlambat."Brengsek!" Yama menghempaskan pantatnya dengan kasar di kursi tunggu. Napasnya memburu, dadanya naik-turun menahan amarah yang nyaris meluap. Kedua matanya penuh dengan sklera merah.Yama menyadari sesuatu, Neneknya terlibat dalam hal ini. Atau Meisya! Mereka sengaja mengatur agar Dea segera menghilang dalam kehidupannya, tapi ke Inggris?Yama mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Satu-satunya negara yang belum dia taklukkan! Rencana Nenek secara keseluruhan sudah mulai tercium olehnya.Bob menelan ludah, lalu mencoba meredakan ketegangan. "Kita bisa kejar k
Dea terdiam, akhirnya mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Di luar, langit malam tampak begitu luas dan dingin. Hatinya juga terasa sama—dingin dan penuh ketidakpastian.***Sementara itu, di mansion keluarga Yama, pria tinggi itu melangkah masuk dengan ekspresi gelap. Para pelayan menunduk dalam ketakutan saat melihat wajahnya yang penuh amarah. Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju ruang utama, di mana neneknya sudah menunggu dengan ekspresi dingin."Duduk," perintah wanita tua itu.Yama menahan diri untuk tidak melawan. Dengan rahang mengeras, ia duduk di sofa berhadapan dengan neneknya."Apa yang sedang kau lakukan, Yama?" suara neneknya terdengar tenang, namun penuh tekanan."Menutup bandara hanya untuk mencari seorang wanita tidak berguna? Berita apa lagi yang ingin kau timbulkan untuk membuat saham kita jatuh?""Ak
Yama membaca semua yang tertulis di sana dengan hati yang bergetar hebat bercampur amarah.Yama merasakan sesuatu yang asing dalam dadanya. Bukan sekadar kemarahan, tetapi juga rasa sakit. Selama ini, ia mempercayai Dea, meskipun ia menahannya dalam kendalinya. Ia mengira Dea adalah miliknya, tetapi kenyataan yang terpampang di depannya perlahan meruntuhkan semua keyakinannya."Aku tidak percaya ini," gumamnya lirih, meski suaranya terdengar goyah.Meisya menatapnya penuh simpati. "Aku tahu ini sulit, Yama. Tapi kau harus melihat kenyataan. Kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik."Yama menutup matanya sesaat, mencoba mengendalikan pikirannya yang berkecamuk. Jika semua ini benar, maka perjuangannya selama ini sia-sia. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa lelah. Begitu lelah."Ini, tidak mungkin...," ucapnya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya."Dia hanya
“Jadi, kau baru menyadarinya sekarang?”Suara lembut itu menyusup masuk ke dalam ruangannya seperti angin dingin. Yama tidak menoleh. Bahkan tidak menegadahkan kepalanya. Ia tahu siapa yang berbicara. Meisya, wanita yang selama ini duduk di sisi sang nenek, menatapnya dengan senyum simpati yang penuh arti.“Aku sudah menduganya sejak awal,” lanjut Meisya, berdiri dengan anggun lalu melangkah mendekati Yama dan duduk di sampingnya dengan elegan.“Tapi aku tidak ingin ikut campur. Aku ingin kau sendiri yang menyadari siapa Dea sebenarnya.”"Namun, dari hari ke hari, dia malah semakin menjadi-jadi."Yama diam. Matanya masih terpaku pada bukti-bukti di hadapannya. Meisya bergerak perlahan, lalu dengan lembut mengambil salah satu foto yang ada di meja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Dia tidak pernah benar-benar mencintaimu, Yama,” bisiknya pelan,
Pagi di London masih diselimuti kabut tipis ketika Yama menatap ponselnya dengan wajah dingin. Sejauh ini, Bob belum mendapatkan kabar apa pun tentang Dea. Setiap upaya untuk melacak keberadaannya di Inggris selalu menemui jalan buntu. Sepertinya nenek telah menggunakan kekuasaannya untuk menghalangi mereka mendapatkan informasi. Untuk saat ini, Yama memutuskan untuk fokus penuh pada proyek yang ditugaskan kepadanya.“Masih tidak ada kabar?” Yama bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela suite hotelnya.Bob menggeleng. “Kami sudah mencoba berbagai cara, tapi tidak ada satu pun petunjuk. Sepertinya seseorang telah menutupi semua jejaknya dengan sangat rapi.”Yama menghela napas panjang, lalu merapikan dasinya. “Kalau begitu, kita mainkan dulu permainan ini sesuai aturan mereka.”Sesaat kemudian, Yama tiba di lapangan polo kerajaan dengan penuh persiapan. Ia mengenakan
{Laporkan bahwa kartu itu hilang dan lakukan pencarian terhadap tersangka pencurian kartu.}Beberapa menit kemudian, perintah itu dijalankan. Dea masih berdiri di depan meja kasir saat membayar biaya tambahan untuk ayahnya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara mesin EDC yang berbunyi nyaring."Maaf, kartu Anda ditolak," ujar petugas administrasi dengan ekspresi meminta maaf dan wajah penuh kecurigaan."Apa? Itu tidak mungkin," gumam Dea panik. Dia mengeluarkan kartu itu lagi dan mencobanya sekali lagi, tetapi hasilnya tetap sama. Kartu itu tidak dapat digunakan.Panik mulai menjalari tubuhnya. Dia mencoba menghubungi Meisya, tetapi jawaban dari mesin penjawab membuatnya semakin putus asa.Di saat yang sama, Meisya sedang berada di dalam pesawat ekonomi dan sedang berhadapan dengan beberapa hal yang membuatnya ingin muntah setiap saat."Maaf, Nona. Kartu ini telah dila
Wanita itu bahkan membuang benihnya dengan menelan obat kontrasepsi, serendah itukah moralnya sebagai seorang wanita? Sejijik itukah dia untuk memiliki bayi bersamanya?Yama mendengus dan mengepalkan tangannya erat-erat! Sklera merah pada matanya membuat sorotan tatapannya tajam seperti elang yang hendak membunuh mangsanya. Dia membenci Dea!Setibanya di hotel, Yama langsung masuk ke suite mewahnya tanpa banyak bicara. Ia membuka laptop dan mulai membaca laporan-laporan yang dikirimkan Bob satu hari sebelumnya. Sementara Bob mengekori langkah majikannya sambil berulang kali meniup tangan dan menempelkannya ke telinga untuk mengatasi dengung akibat jetflag yang ia alami dalam setiap penerbangan.Setiap detail tentang proyek ini telah dipersiapkan dengan matang. Da membaca ulang daftar tamu yang akan menghadiri pesta kerajaan. Ada beberapa nama yang menarik perhatiannya—tokoh bisnis, politisi, serta anggota keluarga kerajaan
Bob tidak tahan lagi. Dengan cepat, ia melangkah maju, menarik Jean dari genggaman Ayah tirinya."Hei, kau siapa? Sekuriti!" teriak Ayah tiri Jean mulai marah."Aku pacarnya," kata Bob dengan nada tegas. "Dan kamu hanya ayah tirinya. Kamu tidak punya hak mengurusnya!"Semua orang di ruangan itu terkejut. Termasuk Jean yang kini berada dalam pelukan Bob."Ada apa ini?" Ibu Jean datang menghampiri mereka dan sedikit terkejut melihat keberadaan Bob dalam pesta mereka, "hei, bagaimana kamu bisa masuk kemari?"Ayah tiri Jean menyipitkan mata. "Apa maksudmu? Panggil sekuriti, lepaskan putriku!"Bob menarik napas dalam sebelum mengucapkan kalimat yang membuat ruangan membeku."Kami bahkan sudah tinggal bersama. Kita akan menikah dalam waktu dekat! Jean milikku! Dia bukan putri kecil milikmu lagi, mengerti!? "Suasana mendadak hening.
"Siapkan semua dokumen yang diperlukan untuk perjalanan ke Inggris. Aku ingin kita berangkat dalam tiga hari. Selain itu, selidiki bagaimana cara mendapatkan perhatian dari sang Pangeran dan Ratu. Kita tidak bisa datang begitu saja dan berharap mereka tertarik dengan proyek kita. Kita harus mencari cara yang lebih cerdas."Bob mengangguk, mencatat perintah itu dalam kepalanya. "Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi beberapa kontak di sana dan mencari tahu informasi lebih lanjut.""Bagus. Dan satu hal lagi, pastikan kita mendapatkan akses ke pesta perayaan yang diadakan oleh sang Ratu. Itu akan menjadi langkah pertama kita."Bob tersenyum kecil. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan memastikan undangan itu ada di tangan Anda sebelum keberangkatan kita."Namun sebelum Bob keluar ruangan, ia tampak ragu sejenak. Yama yang peka terhadap perubahan ekspresi orang-orang di sekitarnya segera menyadarinya.
Yama masih menatap Neneknya. Dia tidak percaya sepenuhnya karena dia mengenal kedua wanita beda generasi itu dengan baik. Ada hal lain yang perlu dipastikan sebelum ia benar-benar memutuskan segalanya."Nek, kamu ingin aku segera menyelesaikan proyek di Inggris, bukan?" tanyanya, mencoba menegaskan posisinya dalam keputusan ini.Sang Nenek mengangguk lagi. "Ya, sesudah itu, kalian akan melangsungkan pernikahan. Hal itu sudah kusampaikan dari jauh hari sebelum kamu bertemu dengan Dea si murahan itu."Meisya menahan senyum kemenangan di balik ekspresi datarnya. Ini berjalan lebih lancar dari yang ia bayangkan."Baik," Yama akhirnya berkata. "Aku akan segera berangkat ke Inggris dan menyelesaikan semuanya.""Aku ikut," selak Meisya cepat, nadanya penuh ketegasan.Yama menoleh padanya dengan ekspresi kesal. "Terserah!" sahutnya ketus sebelum beranjak pergi.
“Jadi, kau baru menyadarinya sekarang?”Suara lembut itu menyusup masuk ke dalam ruangannya seperti angin dingin. Yama tidak menoleh. Bahkan tidak menegadahkan kepalanya. Ia tahu siapa yang berbicara. Meisya, wanita yang selama ini duduk di sisi sang nenek, menatapnya dengan senyum simpati yang penuh arti.“Aku sudah menduganya sejak awal,” lanjut Meisya, berdiri dengan anggun lalu melangkah mendekati Yama dan duduk di sampingnya dengan elegan.“Tapi aku tidak ingin ikut campur. Aku ingin kau sendiri yang menyadari siapa Dea sebenarnya.”"Namun, dari hari ke hari, dia malah semakin menjadi-jadi."Yama diam. Matanya masih terpaku pada bukti-bukti di hadapannya. Meisya bergerak perlahan, lalu dengan lembut mengambil salah satu foto yang ada di meja dan menatapnya dengan tatapan menyelidik.“Dia tidak pernah benar-benar mencintaimu, Yama,” bisiknya pelan,
Yama membaca semua yang tertulis di sana dengan hati yang bergetar hebat bercampur amarah.Yama merasakan sesuatu yang asing dalam dadanya. Bukan sekadar kemarahan, tetapi juga rasa sakit. Selama ini, ia mempercayai Dea, meskipun ia menahannya dalam kendalinya. Ia mengira Dea adalah miliknya, tetapi kenyataan yang terpampang di depannya perlahan meruntuhkan semua keyakinannya."Aku tidak percaya ini," gumamnya lirih, meski suaranya terdengar goyah.Meisya menatapnya penuh simpati. "Aku tahu ini sulit, Yama. Tapi kau harus melihat kenyataan. Kau pantas mendapatkan seseorang yang lebih baik."Yama menutup matanya sesaat, mencoba mengendalikan pikirannya yang berkecamuk. Jika semua ini benar, maka perjuangannya selama ini sia-sia. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa lelah. Begitu lelah."Ini, tidak mungkin...," ucapnya dengan suara yang lebih rendah dari biasanya."Dia hanya
Dea terdiam, akhirnya mengalihkan pandangannya kembali ke jendela. Di luar, langit malam tampak begitu luas dan dingin. Hatinya juga terasa sama—dingin dan penuh ketidakpastian.***Sementara itu, di mansion keluarga Yama, pria tinggi itu melangkah masuk dengan ekspresi gelap. Para pelayan menunduk dalam ketakutan saat melihat wajahnya yang penuh amarah. Tanpa membuang waktu, ia langsung menuju ruang utama, di mana neneknya sudah menunggu dengan ekspresi dingin."Duduk," perintah wanita tua itu.Yama menahan diri untuk tidak melawan. Dengan rahang mengeras, ia duduk di sofa berhadapan dengan neneknya."Apa yang sedang kau lakukan, Yama?" suara neneknya terdengar tenang, namun penuh tekanan."Menutup bandara hanya untuk mencari seorang wanita tidak berguna? Berita apa lagi yang ingin kau timbulkan untuk membuat saham kita jatuh?""Ak