“Siapa?” ulang Rangga meyakinkan dirinya.
“Vivian Setiadi.”
Rangga bergegas meninggalkan aula.
“Siapa yang datang?” tanya Maura pada Wina.
“Maaf, Bu. Saya kurang tahu. Mari, saya kenalkan Ibu dengan kepala bagian yang sudah hadir.”
Maura terpaksa mengikuti acara yang sudah Rangga atur untuknya. Antusias yang hadir membuatnya mengabaikan Rangga yang tak kunjung kembali. Saat Maura meletakkan piring kosong bekas makannya, Rangga baru kembali dengan wajah cemberut.
“Mau aku ambilkan makan?” sambut Maura.
“Tidak, nafsu makanku hilang. Sebaiknya kita segera pulang setelah kau selesai.”
Beberapa kepala bagian datang mendekat, berbasa-basi dengan presdir sebelum berpamitan kembali ke tempat masing-masing.
“Siapa yang datang menemuimu?”
“Seseorang dari masa lalu. Ayo, kita pulang.” Rangga meraih tangan Maura dan melangkah kelua
“Kamu terlalu gegabah. Kamu sangat mengenal Rangga, dia bukan orang yang mudah dibujuk atau berbelas kasihan. Apa kamu kira dengan membawa Yuki, dia akan iba padamu?” Reno membuang napas kasar.“Maafkan aku, Kak. Tapi aku bingung harus pergi ke mana.”Reno tahu betul, itu hanya alasan yang Vivian siapkan. “Bingung? Kamu tahu dengan pasti alamat apartemenku. Dan jangan kamu kira aku tidak tahu bahwa kamu sengaja mengelabui anak buahku agar tidak melihatmu di bandara.”“Mama, kenapa Paman ini marah padamu?”Vivian segera meraih Yuki dalam peluknya. “Tidak, dia tidak marah. Hanya kecewa karena tidak bisa menemukan kita di bandara.”“Apa dia teman lama yang kamu sebutkan?” selidik Yuki.“Tidak, dia bukan teman lama. Dia adalah saudara jauhku, kau bisa memanggilnya Paman Reno.”“Kalau begitu, pria yang kita temui di hotel tadi teman lamamu?”
Suara monitor jantung membuat bulu kuduk Rissa meremang. Pasalnya, sudah tiga jam Elena tak sadarkan diri sejak pertama kali ia ditemukan tergeletak di lantai ruang tengah rumahnya. Ben memasang wajah muram sambil terus menggenggam tangan istrinya. “Hubungi kakakmu, suruh dia cepat kemari.” Tak ada nada ramah seperti biasa, hanya amarah dan kekecewaan. Rissa mengangguk, merogoh sakunya mengambil ponsel dan menghubungi Evan. “Kak, kamu di mana?” [Aku di apartemen. Kenapa?] sahut Evan dari seberang. “Datanglah ke Rumah Sakit, Mama pingsan.” [Apa?! Ya, aku segera ke sana.] Sambungan terputus. “Apa katanya?” “Dia di apartemen, sedang menuju kemari,” sahut Rissa lirih. Selang beberapa saat, Evan membuka pintu kamar perawatan dengan tergesa. “Mama!” serunya melintasi kamar hanya dengan tiga langkah lebar. Plakk. Tamparan Ben menyambut kedatangan Evan. “Pa, tolong jangan bertengkar dengan Kak Ev
Rangga meraih lengan Maura dan menariknya, membuat tubuh lembut itu beradu dengan otot dadanya yang liat. “Aku simpulkan, kau sudah bersedia membuka hati dan menerimaku.”Maura mengangkat jari manis yang dihiasi cincin pemberian Rangga. “Dengan memakai ini, aku rasa cukup untuk menegaskan simpulanmu.”Sejak mendengar Rangga berbicara di depan kamera tentangnya, Maura sudah memantapkan hati bahwa ia akan belajar mencintai Rangga yang pastinya tidak akan sesulit menyelesaikan masalah hotel.Sudut bibir Rangga tertarik ke samping bersamaan, menampilkan senyuman paling menawan yang pernah Maura lihat. Wajah tampan itu makin merapat mendekat seiring detak jantung Maura yang berlarian. Mengikuti nalurinya, Maura memejamkan mata saat hidung mereka bersentuhan.“Kau tidak sedang mempermainkanku ‘kan?” tanya Rangga tepat di depan bibir Maura.“Tidak,” jawab Maura yakin.Maura merasakan satu tangan
Rangga mengernyit heran. “Pinjamkan Reno, untuk?” “Untuk kebahagiaanmu.” “Maksudnya? Katakan dengan jelas.” “Bang, selama ini Reno tidak pernah pisah denganmu. Menurut mama, itu akan mengganggu perkembangan hubunganmu dengan Maura. Bukannya dia masih menutup hati untuk cintamu?” Rangga tertegun sejenak memikirkan kata-kata Alina. ‘Benar juga kata Alina. Lagi pula, aku bisa sekalian menjaga jarak dengan Reno sementara waktu sampai dia selesaikan masalah Vivian.’ “Oke.” “Semudah itu?” giliran Alina yang tercengang. “Ya, kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?” ucap Rangga mengutip perkataan Maura. “Oke, aku pamit dulu kalau begitu.” “Sudah mau pulang, Al?” “Iya, Kak. Aku tidak mengganggu kalian lagi.” Alina melambaikan tangan dan berbalik menuju pintu. “Aku sudah menyiapkan baju gantimu. Aku taruh di ranjang.” Maura melangkah menuju pantry. “Bantu aku berpakaian,” goda Rangg
Resor Ranggapati, KarangasemMaura dan Alina duduk lemas di sebuah sofa panjang yang tersedia di ruang tunggu resor. Entah karena terlalu bersemangat atau karena melewatkan sarapan, dua wanita itu kompak mabuk udara bersamaan.“Ada apa dengan kalian? Bukannya tadi sangat antusias saat pesawat akan mengudara? Kenapa sekarang lemes begini? Mabuk?”“Sudahlah, Bang. Jangan terlalu banyak bicara. Omelanmu membuat perutku mual.” Alina makin meringkuk malas.“Astaga, lemah sekali.” Rangga sedikit menekuk lututnya, menyusupkan dua lengannya di bawah lutut dan tengkuk Maura. “Ren, kau urus Alina!” perintahnya seraya menggendong Maura menuju buggy car yang akan mengantar ke kamar mereka di tepi pantai.Tubuh mungil itu menempel bak koala pada induknya. Duduk di pangkuan Rangga dengan patuh dan mata terpejam.“Apa rasanya sangat tidak nyaman?” bisik Rangga pelan.“Pening
Setelah anggukan kepalanya, Maura tak lagi bisa mengingat apa saja yang Rangga lakukan padanya. Satu hal yang ia tahu, rasanya seperti sedang berselancar di tengah lautan lepas dengan ombak besar melambungkannya ke puncak dan kemudian melemparnya ke dasar. Saat jemari pria itu mulai menyusup ke balik baju, Maura mencekal pergelangan tangannya dengan cepat. Ingatan tentang peristiwa itu berkelebat dalam otaknya. “Buka matamu, Ra. Lihat aku.” Rangga mengusap peluh di kening Maura dan memberinya ciuman menenangkan. “Lihat aku baik-baik. Terima semuanya, jangan menolakku.” Mata cantik Maura terbuka, menatap Rangga dengan pancaran gairah dan ketakutan. “Aku teringat malam itu,” bisiknya lirih. Maura menggigit bibir bawahnya, membuat Rangga makin gemas. “Jangan tutup matamu, lihat aku baik-baik.” Dengan sigap, Rangga memindahkan tubuh Maura ke ranjang. Memenjarakan tubuh molek dengan tubuh maskulin, membuat gadis itu tidak sempat berpikir dan memper
Sinar jingga kemerahan menghias langit sore, menyuguhkan keindahan yang berhasil membuat Maura menatap kagum. Berbeda dengan Rangga yang duduk di depannya, pria itu menekuk mukanya.“Jadi ini yang kamu maksud dengan ‘melakukan sesuatu untukku’ sambil menyungging senyum menggoda? Belajar dari mana kamu?” gerutu Rangga karena merasa Maura mempermainkannya.“He’em.” Maura bahkan tidak repot memandang Rangga, matanya masih menikmati benda setengah lingkaran yang bersinar kemerahan seolah masuk ke dalam lautan.Sret.Rangga berdiri menjulang di depan Maura, menghalangi gadis itu menangkap detik terakhir laut menelan matahari.“Ish! Awas, Kak!” serunya seraya mendorong tubuh Rangga ke samping. “Haish, lenyap sudah!” omelnya kesal.Melihat Rangga masih mematung, Maura mendongak. “Kenapa masih diam di situ?”Alih-alih menjawab, Rangga berbalik memunggungi Maura meng
Melihat Vivian berdiri di depan pintunya, membuat emosi Rangga naik ke ubun-ubun. Suara Maura yang bertanya dari dalam, makin membuatnya marah. Rangga menutup pintu tak kalah keras dari sebelumnya dan berbalik menatap Maura. “Siapa, Kak? Kenapa kasar sekali menutup pintunya?” “Maaf, ada hal tidak mengenakkan yang harus aku urus. Aku akan keluar sebentar, tidak lama. Kalau kamu masih lelah, tidurlah dulu.” Tanpa menunggu Maura selesai mengangguk, Rangga sudah menghilang di balik pintu. “Apa yang terjadi?” heran Maura. **** “Sial! Ke mana perginya Vivian?!” Reno mengumpat kesal ketika operator menjawab panggilan teleponnya. Sore tadi, saat ia dan rombongan baru mendarat di bandara, Vivian mengirim pesan padanya memintanya bertemu. Reno menyanggupinya bukan untuk memberikan Vivian kesempatan menemui bosnya, tapi untuk membujuk wanita itu segera kembali ke Jakarta. Namun, niat baiknya disalahgunakan. Vivian tidak datang ke tempat y
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s