Penthouse
Maura baru saja keluar dari kamar mandi, ketika bel pintu berbunyi. Mimiknya berubah kaku saat dilihatnya bibir Rangga bergerak mengatakan ‘papa’ tanpa suara, sebelum membuka pintu. Tanpa sadar, tangannya mengeratkan tali bathrobe yang membungkus tubuhnya.
“Mana Maura?!” tanya Armand dengan nada marah.
Rangga tidak repot menjawab, hanya bergerak menepi, memberikan ruang untuk Armand dan istrinya lewat.
“Apa maksudmu dengan semua ini?!” tanya Armand saat melihat Maura mematung.
“Mas, kita duduk dulu.” Soraya menarik lengan Armand dengan tangannya yang gemetar.
“Maura, jawab Papa!”
“Maaf, Pa. Maura hanya melakukan apa yang harus Maura lakukan,” sahut Maura singkat.
“Memasukkan kakakmu ke penjara? Itu yang kamu sebut dengan hal yang harus kamu lakukan? Kamu ini kenapa sebenarnya?! Amel itu saudaramu, Ra!”
“Saudara tidak akan mencelakai ssaudaranya, Pa.” Maura tetap berkeras.
“Pa,
Kediaman Armand“Mas, bagaimana ini? Tolong selamatkan Amelia. Masa depannya akan hancur kalau dia punya catatan kriminal. Tolong, Mas.”Armand hanya diam, tidak menggubris perkataan istrinya. Ia begitu marah pada Amelia dan kehilangan mukanya di depan anak kandung dan menantu barunya. Armand begitu marah pada Maura saat mendapatkan telepon dari kantor polisi yang mengabarkan bahwa Amel sedang ditahan karena laporan Maura.Namun ternyata, Amelia yang sejatinya akan dia bela, malah melemparkan kotoran ke wajahnya. Anak tirinya itu telah mengakui perbuatannya pada Maura dalam rekaman video yang Rangga tunjukkan padanya. Kini, apapun yang Armand lakukan, tidak akan bisa menyelamatkan Orion dan nama baik keluarganya.“Mas, kenapa diam saja? Jawab aku, Mas Armand.” Soraya mengguncang lengan suaminya yang masih saja diam.“Apa yang kamu ingin aku lakukan? Mengorbankan Maura lagi? Kamu sudah melihat sendiri rekaman tadi. Amel
Sidney, Australia“Selamat pagi.” Seorang gadis kecil menyapa dengan wajah berbinar, berlari menuju meja makan.“Hai, Sayang. Selamat pagi.”“Ma, mana Papa?”“Papa sudah pergi ke kantor, Sayang. Hari ini Yuki pergi ke sekolah diantar sopir, ya.”Gadis kecil dengan ekor kuda itu mengangguk patuh. “Apa semalam kalian bertengkar lagi?” Yuki menatap ibunya dengan mata bulatnya.Vivian berhenti mengunyah roti di mulutnya. “Bertengkar? Tidak, kami tidak bertengkar semalam. Apa kamu dengar sesuatu?”“Emmm, tidak. Mungkin aku hanya bermimpi,” elaknya cepat ketika matanya melihat sorot khawatir di mata ibunya. “Ayo, kita makan lagi.”‘Sayang, maaf. Mama terpaksa bohong padamu.’Beberapa bulan belakangan ini, Vivian memang sering bertengkar dengan Damian. Kondisi perusahaan suaminya yang sedang di ujung tanduk, membuat emosi
Setelah Rissa pulang, Maura berbalik menatap Rangga sambil bersedekap, menuntut penjelasan. “Ada yang ingin kamu jelaskan, Kak?” “Duduklah, kasihan leherku bila mendongak dalam waktu yang lama.” Maura mengikuti kata-kata Rangga, duduk di sofa seberang berhadapan dengan suaminya. “Katakan apa yang belum aku tahu.” “Ini adalah cara yang aku dan Reno gunakan untuk menyelamatkan Orion. Yaitu dengan mengekspos berita penggelapan dana operasional untuk mengaburkan kasus pidana yang sedang Amel hadapi. Dengan begitu, saham Orion tidak akan terjun bebas.” “Aku juga sengaja memberitakan tentang keguguranmu untuk mengalihkan perhatian direksi dari kasus Amel. Dan sampai kondisi Orion stabil, Reno yang akan menggantikanmu.” “Lalu, aku?” “Diam di rumah, belajar menerimaku menjadi suamimu.” Wajah Maura memanas karena kalimat Rangga. ‘Bisa-bisanya pria ini membahas tentang hal sensitif dengan wajah datar.’ Maura segera berdehem untuk mengata
Reno duduk di balkon luar apartemennya, menikmati semilir angin ibukota sambil mengisap batang tembakau yang tersisa di sela jarinya. Matanya menerawang langit malam. Pikirannya gelisah sejak mendapat telepon dari nomor tidak dikenal beberapa hari lalu. Dia harus segera menemukan cara yang tepat menyelesaikan masalahnya sebelum berubah makin besar dan rumit untuk ditangani. Cerita cinta masa lalu yang hadir kembali, seperti bom waktu yang akan menghancurkan masa sekarang bila ia salah melakukan penanganan. **** Alarm berbunyi nyaring saat jarum menunjuk tepat pukul enam pagi. Vivian segera turun dari ranjang dan membenahi selimut Yuki yang berantakan di bawah kaki kecilnya. Putrinya itu masih tertidur lelap sambil memeluk boneka jerapah kesayangannya. Vivian bergegas ke dapur, menyiapkan sarapan dan bekal untuk Yuki ke sekolah. Rumah masih sepi, Damian jarang pulang sejak bertengkar dengannya minggu lalu, memperlebar jarak antara mereka. Beberapa kali
Maura turun dari ranjang dengan tergesa. Semalam, ia gelisah dan tidak bisa tidur karena pertama kalinya tidur satu ranjang dengan Rangga. Ranjang dan pria yang sama dengan malam itu, minus kejadian memalukannya. Entah bagaimana, akhirnya ia tertidur bahkan sampai kesiangan.Suasana sepi, tidak ada suara orang beraktivitas. Maura bergegas memeriksa kamar mandi dan ruang kerja, kosong.ketika berbalik hendak kembali ke kamar, matanya menangkap sesuatu tersaji di meja lengkap dengan secarik kertas terselip di bawah nampan.[Pagi, Ra. Ini aku buatkan sandwich dan segelas susu untuk mengganjal perutmu. Aku berangkat ke kantor.] Begitu bunyi pesannya.Maura menarik kursi dan duduk, mengamati dua tangkap sandwich dan segelas susu di depannya. Matanya basah. Teringat mendiang ibunya yang selalu menyediakan sarapan seperti yang Rangga siapkan untuknya, sederhana namun bermakna.Tangannya meraih ponsel di samping gelas dan menekan nomor suaminya.
“Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu memasang CCTV di dalam kamar?” “Tidak, penthouse adalah satu-satunya blind spot di gedung ini. Aku hanya menebak dari bibirmu yang cemberut.” “Apa semua wanita yang pernah bersamamu juga melakukan hal yang sama sepertiku?” Tangan Rangga yang memegang pena, berhenti seketika. “Tidak.” “Berapa banyak wanita yang bangun kesiangan dan ketahuan oleh pegawaimu saat keluar dari lift khusus milikmu?” Rangga tertegun. ‘Apa maksudnya dia bertanya seperti ini?’ “Kenapa diam, Kak?” “Apa yang pegawaiku lakukan padamu hingga kamu bertingkah begini?” “Tidak ada, mereka hanya memandangku dengan tatapan sinis dan merendahkan. Mungkin mereka mengira aku adalah teman wanitamu yang ke sekian. Maka aku tanya begitu padamu.” Nada ketus Maura membuat Rangga keluar dari balik meja, meraih lengan Maura dan menariknya keluar dari ruang kerja presdir. “Kak, apa yang kamu lakuka
“Siapa?” ulang Rangga meyakinkan dirinya.“Vivian Setiadi.”Rangga bergegas meninggalkan aula.“Siapa yang datang?” tanya Maura pada Wina.“Maaf, Bu. Saya kurang tahu. Mari, saya kenalkan Ibu dengan kepala bagian yang sudah hadir.”Maura terpaksa mengikuti acara yang sudah Rangga atur untuknya. Antusias yang hadir membuatnya mengabaikan Rangga yang tak kunjung kembali. Saat Maura meletakkan piring kosong bekas makannya, Rangga baru kembali dengan wajah cemberut.“Mau aku ambilkan makan?” sambut Maura.“Tidak, nafsu makanku hilang. Sebaiknya kita segera pulang setelah kau selesai.”Beberapa kepala bagian datang mendekat, berbasa-basi dengan presdir sebelum berpamitan kembali ke tempat masing-masing.“Siapa yang datang menemuimu?”“Seseorang dari masa lalu. Ayo, kita pulang.” Rangga meraih tangan Maura dan melangkah kelua
“Kamu terlalu gegabah. Kamu sangat mengenal Rangga, dia bukan orang yang mudah dibujuk atau berbelas kasihan. Apa kamu kira dengan membawa Yuki, dia akan iba padamu?” Reno membuang napas kasar.“Maafkan aku, Kak. Tapi aku bingung harus pergi ke mana.”Reno tahu betul, itu hanya alasan yang Vivian siapkan. “Bingung? Kamu tahu dengan pasti alamat apartemenku. Dan jangan kamu kira aku tidak tahu bahwa kamu sengaja mengelabui anak buahku agar tidak melihatmu di bandara.”“Mama, kenapa Paman ini marah padamu?”Vivian segera meraih Yuki dalam peluknya. “Tidak, dia tidak marah. Hanya kecewa karena tidak bisa menemukan kita di bandara.”“Apa dia teman lama yang kamu sebutkan?” selidik Yuki.“Tidak, dia bukan teman lama. Dia adalah saudara jauhku, kau bisa memanggilnya Paman Reno.”“Kalau begitu, pria yang kita temui di hotel tadi teman lamamu?”
Vila Danutirta, Bandung“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.Jelita melambaikan tangannya denga
Rangga sedang iseng mengintip isi kantong belanjaan yang tergeletak di atas ranjang manakala telinganya mendengar seruan panik dari dalam kamar mandi. Rangga bergegas ke kamar mandi, melihat Maura sedang berdiri berpegang erat pada pinggiran wastafel, tapi mimiknya tidak menyiratkan kesakitan, membuat Rangga menurunkan kewaspadaannya.“Ada apa?” tanya Rangga tenang.“Balonnya meletus,” ucap Maura bingung.Rangga mengedarkan pandangan ke arah langit-langit, mencari bohlam yang pecah. “Mana? Gak ada yang pecah, kok.”“Ini, yang di sini.” Maura menunjuk ke bawah kakinya.“Astaga! Ini balon apa yang pecah, kok isinya air keruh?!” panik Rangga. “Jangan-jangan ... ini ketuban, ya?” tebak Rangga sambil menatap Maura meminta penjelasan.“Sepertinya begitu.”Rangga bergegas mengangkat Maura, membawanya keluar dan membaringkannya di ranjang.“Jangan
“Hoek, hoek!” Maura bersandar lemas di depan pantry dengan kran menyala deras. Di sampingnya, Alina dengan telaten memijat lembut tengkuknya. “Maura kenapa, Al?” Rangga yang penuh keringat setelah bermain tenis bersama Kirman terlihat cemas. “Entahlah, sejak tadi pagi sudah begini.” Alina meraih selembar tisu untuk mengusap peluh yang membasahi leher dan dahi Maura. “Sini, biar aku saja.” Rangga menggantikan Alina, memijit tengkuk dan mengusap peluh. “Masih mau muntah?” tanyanya lembut. Maura menggeleng. “Aku mau duduk, Kak.” Rangga dengan sigap menggendong Maura, membawanya ke kursi goyang kayu kesayangan eyang kakungnya. “Duduk sini dulu, aku ambilkan minum.” “Aku mau teh lemon madu hangat,” sahut Maura cepat. “Oke, segera datang.” Rangga melesat kembali ke dapur bersih dan sibuk menyiapkan teh yang Maura minta. “Kak, apa masih ingin muntah? Perlu aku ambilkan baskom kecil?” tanya Alina seraya mendekat.
Rangga, Hanna dan Galih kompak mengernyit jijik melihat isi gelas yang Jelita sodorkan ke depan Maura. Sedangkan wanita hamil itu, dengan mata membeliak, mengintip ke dalam gelas dan penasaran pada isinya.“Sudah, jangan intip-intip. Minum!” desak Jelita lagi.Maura memasang wajah memelas. “Eyang, boleh tidak kita lewati saja tradisi yang ini?”Jelita menggeleng.“Kalau minumnya setelah makan?” tawar Maura lagi.“Bisa-bisa kamu makin eneg dan muntah nanti,” celetuk Rangga, membayangkan dirinya yang meminum ramuan Jelita.Maura mendelik marah ke arah Rangga yang memasang wajah tanpa dosa. “Kalau begitu, biar dia saja yang mewakili Maura, Eyang!” ketus Maura sambil terus menatap Rangga kesal.“Hush! Yang hamil kamu, yang lahiran kamu, masa’ iya yang minum jamu Rangga?” Jelita tersenyum memahami kekesalan Maura, tapi gelas di tangannya tetap teguh di depan waja
Jelita tersentak melihat Maura berdiri di tengah ruangan dengan lengan menggamit Rangga dan tangan lainnya menggandeng Yuki. Di belakangnya, ada Hanna dan Galih. “Lho, kalian?” heran Jelita sampai tidak bisa berkata-kata. Warsih yang pertama kali tanggap, menarik lengan Kirman dan Barno untuk membawa koper tamunya masuk. “Ayo, kopernya diurus dulu,” bisiknya memberi perintah. “Trus, urusan cacing ini gimana, Mbak?” protes Barno. “Tahan dulu!” hardik Warsih sambil melotot kesal. “Ehhem! Kalian ke belakang dulu, buatkan Maura minuman hangat.” Kumpulan abdi dalem itu pun membubarkan diri dengan wajah penasaran tentang apa yang terjadi pada majikannya. Jelita berdiri, mempersilakan tamunya duduk di sofa tengah. Sikapnya kaku dan canggung, membuat Galih dan lainnya merasa makin bersalah. “Kenapa tiba-tiba datang tanpa kasih tahu dulu? Ada apa?” tanya Jelita datar. Galih dan Hanna duduk mengapit Jelita. “Bu, kami datang untuk
Puri Mangkunegaran 15, Yogyakarta“Sih, Warsih! Ayo, jangan lama-lama. Keburu siang nanti.” Jelita berpaling ke belakang sambil merapikan sanggulnya.Warsih tergopoh-gopoh masuk dari pintu belakang. “Maaf, Ndoro. Saya baru selesai bantu Kirman motong ayam,” ujarnya sambil membenahi kebayanya yang berantakan.“Ya, sudah. Tolong kamu panggilkan Barno, minta dia untuk mengantar kita ke pasar.” Jelita menjinjing tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik warna-warni kesayangannya dan berjalan mendahului Warsih ke teras.Nyatanya, Barno sedang sibuk mengelap mobil kuno warna hijau pastel yang bagian atasnya berbentuk lengkung. Melihat majikannya mendekat, Barno bergegas membuka pintu penumpang.“Sudah selesai bersih-bersihnya?” tanya Jelita seraya memeriksa hasil kerja abdinya.“Sampun, Ndoro.” Barno memeras kanebo sebelum memasukkannya ke dalam kotak plastik warna k
“Kenapa? Gak suka aku temani? Atau aku ganggu momen kamu ketemuan sama mantan pacar?” goda Rangga dengan wajah serius.“Kamu becanda apa beneran, sih? Kok serius banget mukanya?” panik Maura. “Aku ketemuan sama Rissa, bukan Evan, itupun karena gak sengaja. Dan Evan bukan mantan pacarku, Kak.”Rangga tergelak. “Oke, percaya. Masih mau ngobrol atau kita pulang sekarang?” tawar Rangga seraya bangkit dari kursi. Ekor matanya menangkap sososk Evan sedang mencari mereka.“Pulang.” Maura meraih tasnya dan mencium pipi Rissa sekilas. “Kapan-kapan kita sambung lagi,” pamitnya.Sret.Sejurus kemudian, Maura sudah berada dalam dekapan lengan kokoh Rangga. Kedua matanya melebar seolah bertanya apa yang sedang Rangga lakukan.“Biar lebih cepat!” sahut Rangga singkat. “Mang, tolong belanjaannya, ya.”Jajang keluar dari balik pilar besar dan mengangguk sa
Ibu jari Galih berhenti bergerak, diam terpaku di tulang pipi Hanna. Jelas sekali bahwa dia terkejut mendengar berita perihal kepulangan Jelita.“Ibu pulang? Kapan? Kenapa?”“Pagi tadi, kata Jajang. Alasan pastinya aku tidak tahu, tapi dari nada bicaranya saat menelfonku pagi ini, sepertinya ibu kecewa pada kita.” Hanna tertunduk sedih. “Selama lebih tiga puluh tahun menjadi menantunya, belum pernah aku dengar nada kecewanya terlontar untukku.”“Han, lihat aku.” Galih menarik dagu Hanna naik. “Kita tidak bisa selalu memuaskan orang lain. Tidak apa-apa terkadang salah dan mengecewakan, kita manusia.”Hanna tahu, suaminya berusaha menghiburnya, tapi kata-katanya makin membuat Hanna terbebani. “Apa kamu tahu salah kita di mana, Mas? Apa karena kita tidak memberitahunya tentang Alina? Aku tidak menyangka ibu akan begitu kecewa, padahal—.”“Stt, sudah. Jangan terus memik
Ruang VVIPAlina sudah kembali ke ruang perawatan. Dua jam di dalam ruang tindakan, membuat Maura menggigil karena terpaan AC dan ingatan masa lalu yang menghantuinya tanpa henti. Hanna tampak cemas melihat anak dan menantunya sama-sama pucat.“Ra, apa perlu mama minta Tante Siska buka satu kamar buat kamu?” Hanna meremas jemari Maura yang dingin.“Tidak perlu, Ma. Sebentar lagi juga mendingan,” kilah Maura sambil memasang senyum.“Ren, Reno!” Hanna meninggikan suaranya agar Reno terbangun.“Ehh, ya? Ada apa, Ma?” gagap Reno.“Ada apa gimana, sih? Tolong kamu jaga Alina, ini Maura kedinginan.” Hanna kesal dengan sikap menantunya.Reno bergegas menghampiri ranjang dan memeriksa keadaan istrinya. Sesekali menutup mulutnya yang tidak berhenti menguap.Beruntung Rangga datang dan mengambil alih perawatan Maura, meringankan kecemasan Hanna. Ketika dua pasang anak mantunya s