"Yakin gak pa-pa?" tanya Fawaz pada istrinya, untuk yang kesekian kali.
"Gak pa-pak kok. Mas tenang aja."
Fawaz menghela napas, sebelah tangannya dia gunakan untuk mengusap kepala sang istri, sebelum kembali memegang stir mobil.
Setengah jam lalu, ketika dia baru saja akan bersiap untuk tidur. Kelvin menelponnya. Awalnya dia tidak ingin mengangkatnya, karena entah mengapa dia seperti tahu kalau apa yang akan dibicarakan sahabatnya itu, adalah sesuatu yang baruk.
Ya, benar dugaannya. Sahabatnya itu meminta tolong agar dia bisa menemani Kirana. Tentu saja dia menolak. Oke, ini bukan tentang dia yang tidak peduli pada Kirana, tapi statusnya berbeda dengan dulu. Dia tidak bisa lagi seenaknya menemui wanita itu.
Namun, Aara yang saat itu berada di sebelahnya, menyuruh dia menyetujui permintaan itu. Dengan satu syarat, istrinya ingin ikut bersamanya.
Hal yang tentu saja langsung disetujui Fawaz. Setidaknya dengan begitu perasaannya bisa tenang. Di
"Ingat, ya, kalau butuh apa-apa jangan sungkan."Kirana yang baru saja menaruh tasnya di atas ranjang, tersenyum pada wanita paruh baya yang tengah menatapnya."Iya, Tante.""Oke, kalau begitu tante tinggal dulu."Laras, wanita itu memutar tubuhnya menuju pintu. Karena dia harus segera ke toko. Baru saja pegawainya menelpon, katanya ada pelanggan yang ingin bertemu dengannya."Aku juga permisi, Mbak." Aara tersenyum tipis pada tamunya."Tunggu!"Kening Aara berkerut mendengar nada perintah itu."Aku serius soal perkataanku di rumah sakit kemarin."Mengerti arah pembicaraan Kirana. Aara tersenyum tipis, "terserah Mbak, silakan mencoba.""Sombong sekali kamu," cibir wanita yang masih terlihat pucat itu. Menyilangkan tangan di atas dada, Kirana tersenyum miring. Menunjukkan betapa dia percaya diri saat ini."Bukannya sombong Mbak, tapi jika Mbak masih terus mencoba merebut. Aku juga terus berusaha mempertahank
Waktu baru menunjukkan pukul tiga pagi. Kala Aara terbangun, dan mendapati tubuhnya direngkuh dari belakang oleh suaminya.Menghela napas lelah, perlahan dia melepaskan kaitan sang suami. Tidak perlu banyak kesulitan. Toh, suaminya tertidur dengan lelap. Hingga dengan mudah terlepas dari kungkungan yang senantiasa memberi rasa nyaman.Berdiri sambil mengamati sang suami. Rasa sakit kembali menyengat hatinya.Perlahan dia mensejajarkan diri dengan posisi laki-laki itu. Mengelus pelan pipi yang sudah tampak bersih, karena kemarin sang suami sudah mencukurnya. Dia berucap lirih, "aku takut Mas. Aku takut kamu memilih pergi."Entah berapa lama, Aara dalam posisi seperti itu. Karena saat dia mencoba berdiri, kakinya sudah kesemutan. Gegas dia berjalan ke kamar mandi saat menyadari waktu subuh akan segera datang.Fawaz memperhatikan istrinya yang sedari tadi berjalan mondar-mandir. Sibuk membersihkan kamar mereka, yang dia rasa memang sudah bersih.
"Maaf Tante, kami pagi-pagi sudah ke sini." Dania menyalami Laras."Ngga pa-pa.""Ini mau ngasih tumis brokoli untuk Mbak Kirana. Soalnya katanya itu bagus untuk penderita asam lambung." Dania meletakkan wadah plastik di atas meja."Makasih, Di." Kirana tersenyum pada wanita yang tampak melirik pada Fawaz. Hingga tanpa sadar dia mendengkus kesal. Ya, bukan rahasia lagi kalau Dania menyukai Fawaz.Namun, sayang. Perasaan wanita itu tidak mendapat balasan. Malah Fawaz terkesan tidak peduli."Mama kalian ke mana? Ngga ikut ke sini?" tanya Laras."Ngga Tante. Tadi mama sudah pergi ke rumah Om kami."Laras mengangguk paham. "Yaudah kalau begitu ayo ikut sarapan sekalian."Serta merta Fawaz melayangkan tatapan protes pada bundanya. Apa-apaan itu tadi? Menawari mereka makan bersama?Bundanya kenapa sih? Apa wanita tersayangnya itu, tidak menyadari aura permusuhan di sini?Sementara itu Laras hanya tersenyum kecil, menyad
"Terima kasih Tante, buat sarapannya." Dania menyalami wanita paruh baya terkenal ramah itu.Benar-benar mertua idaman!"Iya, sama-sama. Kalian sudah mau berangkat kerja?""Iya, tante." Dania beralih menatap Kirana. "Aku pergi dulu, ya, Mbak. Kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bilang." Wanita itu memeluk wanita yang diharapkan bisa segera menikah dengan kakaknya."Iya, terima kasih. Hati-hati berangkatnya.""Iya."Dania beranjak, setelah memberi senyum tipis pada Aara, yang jika tidak diperhatikan dengan teliti, orang akan menganggap wanita itu tidak tersenyum.Ya, senyumnya sangat tipis. Tampak jelas dia terpaksa melakukan itu."Saya juga permisi, terima kasih atas sarapannya." Dafa menyalami Laras dan Kirana.Namun, gerakan tangannya yang akan menyalami Aara terhenti. Dia menggantinya, dengan menangkup kedua telapak tangan di depan dada. Persis yang dilakukan mantan istrinya.Wanita itu benar-benar berubah.
Fawaz melirik kedatangan Kirana yang sudah rapi dengan gaun selutut berwarna biru muda. Seperti biasanya wanita itu tampak menawan."Lho, Kirana mau ke mana? Kok sudah rapi?" tanya Laras saat Kirana duduk di sebelahnya."Mau ke rumah sakit, Tan.""Lho? Kenapa?""Ngga pa-pa. Cuma perlu konsultasi sama dokter.""O ... yaudah kamu sarapan dulu.""Baik, Tante. Terima kasih."Suasana ruang makan terasa tidak canggung. Mengingat Laras yang membuka topik pembicaraan tentang berbagai macam hal. Terkadang dia bicara pada menantunya, kadang juga pada Kirana. Hingga kedua wanita itu merasa nyaman.Namun, hal itu tentu saja berbeda dengan apa yang dirasakan Fawaz. Sedari tadi laki-laki itu tampak gelisah, meski masih bisa dia tutupi dengan baik. Sehingga tidak menimbulkan kecurigaan."Kamu ke rumah sakit sama siapa?" Laras menuang air putih dalam gelas."Diantar Kak Fawaz. Soalnya semalam Kak Fawaz sudah bilang mau ngantar. I
"Nglamun aja!" Yuli menepuk pelan bahu Aara, hingga wanita itu terkejut."Eh–kenapa, Mbak?""Kamu lagi mikirin apa? Sejak tadi ditanya ngga jawab."Aara menggeleng, "ngga mikirin apa-apa, Mbak. Mau tanya apa?"Yuli menunjuk kue nastar yang telah ditata rapi dalam toples. "Mau dimasukkan kardus sekarang?""Iya, Mbak. Tolong ya."Yuli mengangguk. Wanita dengan tubuh berisi itu segera melaksanakan tugas Aara. Dalam hati dia berdoa semoga Aara baik-baik saja. Karena dia paham, percuma saja menyuruh wanita itu bercerita.Aara tetaplah Aara. Wanita yang lebih suka menyimpan segala masalahnya sendiri.Menutup pintu, setelah memastikan kurirnya berangkat mengantar pesanan yang tadi dia siapkan. Aara beranjak menuju kamar setelah terdengar dering ponselnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Gimana kabarnya?""Baik, Ros. Kamu sendiri gimana?""Baik. Main ke rumah dong. Bosen nih, tiap hari di r
Fawaz melirik sang istri dari kaca spion depan. Tampak wanita cantik itu tengah bersandar, dengan pandangan lurus menatap ke samping. Pada pemandangan jalan raya.Tadi ada sedikit perdebatan kecil antara dirinya dan Rosi, kala di sampai di rumah wanita itu. Sahabat istrinya itu melarang dia membawa Aara. Bahkan mengatakan kalau dia lah yang akan mengantar Aara.Terlihat jelas Rosi kesan dengan kedatangan Kirana. Wanita yang tadi dia minta menunggu di mobil, malah ikut bersamanya.Untung saja Aara dengan penuh pengertian, meredam amarah sang sahabat. Sekaligus memberi pengertian kalau dia tidak masalah jika harus satu mobil dengan Kirana."Mampir di warung soto Pak Min dulu, ya, Kak?"Fawaz membagi sebentar perhatiannya pada Kirana. "Mau apa?""Mau makan lah, Kak. Emang kakak ngga pingin? Itu kan warung favorit kakak."Berdeham sebentar, untuk menetralkan rasa canggung yang tiba-tiba menyerang. Kemudia Fawaz membalas kalimat Kirana. "E
Dari arah pintu, Fawaz menatap istrinya yang tengah membereskan barang-barang mereka. Seketika hatinya diliputi rasa bersalah.Sementara itu Aara tersenyum tipis, melihat barangnya yang sudah tertata rapi. Menoleh ke samping karena menyadari kehadiran seseorang."Mas aku sudah selesai. Besok kita jadi pulang kan?"Senyum lembut Aara terasa menikam sudut hatinya. Haruskah kali ini dia menghilangkan senyum itu? Membuat istrinya kembali merasakan kekecewaan untuk kesekian kalinya.Berjalan mendekat, dia mendekap tubuh istrinya. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Karena dia sadar jika dia bicara, hanya luka lah yang akan didapatkan sang istri.Aara mencoba melepaskan pelukan suaminya. Dia tahu ada yang aneh. Terus berusaha, tapi tidak berhasil. Akhirnya membuat Aara menyerah."Kita jadi pulang 'kan?" tanyanya lirih. Sungguh, dia berharap suaminya akan menyetujui permintaannya kali ini."Maaf."Cukup! Dengan satu kata itu
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan