Fawaz melirik kedatangan Kirana yang sudah rapi dengan gaun selutut berwarna biru muda. Seperti biasanya wanita itu tampak menawan.
"Lho, Kirana mau ke mana? Kok sudah rapi?" tanya Laras saat Kirana duduk di sebelahnya.
"Mau ke rumah sakit, Tan."
"Lho? Kenapa?"
"Ngga pa-pa. Cuma perlu konsultasi sama dokter."
"O ... yaudah kamu sarapan dulu."
"Baik, Tante. Terima kasih."
Suasana ruang makan terasa tidak canggung. Mengingat Laras yang membuka topik pembicaraan tentang berbagai macam hal. Terkadang dia bicara pada menantunya, kadang juga pada Kirana. Hingga kedua wanita itu merasa nyaman.
Namun, hal itu tentu saja berbeda dengan apa yang dirasakan Fawaz. Sedari tadi laki-laki itu tampak gelisah, meski masih bisa dia tutupi dengan baik. Sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.
"Kamu ke rumah sakit sama siapa?" Laras menuang air putih dalam gelas.
"Diantar Kak Fawaz. Soalnya semalam Kak Fawaz sudah bilang mau ngantar. I
"Nglamun aja!" Yuli menepuk pelan bahu Aara, hingga wanita itu terkejut."Eh–kenapa, Mbak?""Kamu lagi mikirin apa? Sejak tadi ditanya ngga jawab."Aara menggeleng, "ngga mikirin apa-apa, Mbak. Mau tanya apa?"Yuli menunjuk kue nastar yang telah ditata rapi dalam toples. "Mau dimasukkan kardus sekarang?""Iya, Mbak. Tolong ya."Yuli mengangguk. Wanita dengan tubuh berisi itu segera melaksanakan tugas Aara. Dalam hati dia berdoa semoga Aara baik-baik saja. Karena dia paham, percuma saja menyuruh wanita itu bercerita.Aara tetaplah Aara. Wanita yang lebih suka menyimpan segala masalahnya sendiri.Menutup pintu, setelah memastikan kurirnya berangkat mengantar pesanan yang tadi dia siapkan. Aara beranjak menuju kamar setelah terdengar dering ponselnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Gimana kabarnya?""Baik, Ros. Kamu sendiri gimana?""Baik. Main ke rumah dong. Bosen nih, tiap hari di r
Fawaz melirik sang istri dari kaca spion depan. Tampak wanita cantik itu tengah bersandar, dengan pandangan lurus menatap ke samping. Pada pemandangan jalan raya.Tadi ada sedikit perdebatan kecil antara dirinya dan Rosi, kala di sampai di rumah wanita itu. Sahabat istrinya itu melarang dia membawa Aara. Bahkan mengatakan kalau dia lah yang akan mengantar Aara.Terlihat jelas Rosi kesan dengan kedatangan Kirana. Wanita yang tadi dia minta menunggu di mobil, malah ikut bersamanya.Untung saja Aara dengan penuh pengertian, meredam amarah sang sahabat. Sekaligus memberi pengertian kalau dia tidak masalah jika harus satu mobil dengan Kirana."Mampir di warung soto Pak Min dulu, ya, Kak?"Fawaz membagi sebentar perhatiannya pada Kirana. "Mau apa?""Mau makan lah, Kak. Emang kakak ngga pingin? Itu kan warung favorit kakak."Berdeham sebentar, untuk menetralkan rasa canggung yang tiba-tiba menyerang. Kemudia Fawaz membalas kalimat Kirana. "E
Dari arah pintu, Fawaz menatap istrinya yang tengah membereskan barang-barang mereka. Seketika hatinya diliputi rasa bersalah.Sementara itu Aara tersenyum tipis, melihat barangnya yang sudah tertata rapi. Menoleh ke samping karena menyadari kehadiran seseorang."Mas aku sudah selesai. Besok kita jadi pulang kan?"Senyum lembut Aara terasa menikam sudut hatinya. Haruskah kali ini dia menghilangkan senyum itu? Membuat istrinya kembali merasakan kekecewaan untuk kesekian kalinya.Berjalan mendekat, dia mendekap tubuh istrinya. Tidak ada kalimat yang keluar dari mulutnya. Karena dia sadar jika dia bicara, hanya luka lah yang akan didapatkan sang istri.Aara mencoba melepaskan pelukan suaminya. Dia tahu ada yang aneh. Terus berusaha, tapi tidak berhasil. Akhirnya membuat Aara menyerah."Kita jadi pulang 'kan?" tanyanya lirih. Sungguh, dia berharap suaminya akan menyetujui permintaannya kali ini."Maaf."Cukup! Dengan satu kata itu
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.