"Uhuk uhuk uhuk ...." Acasha tersedak mendengar ucapan Athan.
Sontak Athan menyodorkan segelas air mineral padanya. "Pelan-pelan saja."Gluk gluk gluk.Acasha meneguk minuman dengan cepat."Lebih baik?" tanya Athan dengan alis berkerut khawatir.Acasha mengelap bulir air di sudut bibir. "Iya. Terima kasih," sahutnya lantas bergegas menyuapkan beberapa sendok terakhir ke dalam mulut.Merasa bersalah dengan ajakannya yang mendadak hingga menyebabkan Acasha terkejut, Athan beranjak dari duduknya."Tak perlu terburu-buru. Santai saja. Kalau sudah siap, temui aku di aula depan," ucapnya sebelum berlalu meninggalkan Acasha yang terus menatap punggung lebar sang pria tanpa berkedip."Bukankah hari ini waktu untukku beristirahat? Kenapa dia malah mengajakku jalan-jalan? Memangnya, mau jalan-jalan ke mana di cuaca sedingin ini?" gerutu Acasha berpaling menatap jendela yang terkunci rapat. Salju masih turun meski tidak lebat, namun hawa dinginnya sudah terasa hingga ujDengan cekatan, Athan menangkap tubuh Acasha dan melihat raut keterkejutan di paras cantik sang wanita. Pupil matanya bergetar dan melebar sempurna. Gurat wajahnya tampak tegang, menyiratkan ketidakpercayaan dan ketakutan di saat yang sama."T-Tuan, apa Anda melihatnya?" cetus Acasha tergagap. Pandangannya lurus menatap lukisan sepasang kekasih di hadapannya."Melihat apa?" balas Athan datar. Jarak yang cukup dekat membuat Athan menghidu aroma tubuh Acasha yang memikat."Itu ... matanya ...." Acasha masih menatap lukisan itu dengan wajah tercengang."Bukankah sangat indah?" sahut Athan semakin memangkas jarak. Harum khas tubuh seorang manusia yang diselubungi aroma parfum bunga Gardenia di hadapannya begitu menggoda dan membangkitkan gairah.Kening Acasha berkerut dan mendadak berpaling pada Athan. "Apa Tuan sungguh melihatnya?"Namun, respon yang diperlihatkan Athan justru tidak sesuai dengan harapan Acasha. Bukannya memasang ekspresi terkejut seperti
Jemarinya mengetuk-ketuk kaki sambil terus berpikir. "Tapi, apa, ya? Kalau memang rahasia, seharusnya dia tidak sengaja memancingku untuk mencari tahu. Kalau seperti ini 'kan aku jadi pusing," keluhnya disusul desahan napas panjang."Tapi, yang lebih aneh lagi, kenapa tadi aku pingsan? Mana kepala sakit banget kayak mau pecah." Acasha mendadak terdiam saat berusaha mengingat dan melihat pecahan ingatan abstrak melesat begitu saja di pikirannya. "Ugh ... apaan, sih? Bikin pusing saja," cetusnya menggelengkan kepala dengan cepat.Ia pun kembali termangu sampai tiba-tiba terdengar suara bergemuruh dari dalam perutnya. Acasha mendesah pelan, lalu memegangi perutnya yang mulai merasa lapar. Ia lantas melihat ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjuk pukul satu siang."Haruskah aku ke dapur sekarang? Hah ... tapi aku malas," ujarnya merasa enggan untuk beranjak dari posisi nyamannya itu. Tetapi, lagi-lagi cacing di perutnya menyuarakan protes lebih lantang. "Huft .... Oke,
Acasha menarik fokusnya dari buku. Pandangannya pun berpaling dan mempertajam pendengarannya untuk mencari asal suara tersebut.Hening.Acasha pun berkedip dan mengedikkan bahu. Ia bersiap untuk membaca kembali buku yang sempat ia letakkan di pangkuannya. Namun, baru sebaris kalimat dibacanya, suara itu terdengar lagi, bahkan lebih berisik.Bruk bruk srek bruk.Dengan kerutan di dahi, Acasha bangkit dari duduknya. Ia melangkah pelan menyusuri dinding sekaligus rak buku. Ia mendekati suara berisik tersebut sambil menenteng buku di tangan."Suara apa, sih? Lagi baca juga," batinnya penasaran.Semakin Acasha melangkah mendekati asal suara tersebut, semakin jelas pula suara itu terdengar. Detak jantung Acasha terasa melambat seiring rasa waspada yang semakin kuat.Ia tiba di ujung dinding yang menjadi rak buku tersebut, tapi ia belum melihat apa pun di sana selain beberapa buku yang berserak di lantai. Dengan kerutan yang semakin bertambah, Acasha berj
Brak. Ceklek.Acasha langsung mengunci pintu rapat-rapat setelah membantingnya dengan keras. Napasnya tersengal-sengal, degup jantung memburu, keringatnya bercucuran dan membulir di pelipis setelah berlari secepat mungkin yang ia bisa demi menjauh dari perpustakaan, tempat di mana ia memergoki seorang vampir menghisap darah dari mangsanya, seorang manusia.Acasha lantas menjauhi pintu, melangkah kebingungan tak tentu arah. Ketakutan dan kegelisahan dalam benak bercampur menjadi satu, membuatnya tak bisa berpikir jernih tentang apa yang harus ia lakukan sekarang. Apakah dia harus sembunyi? Harus. Lalu, di mana?Ia hampir menarik selimut ketika terlintas pikiran untuk berlindung dan bergelung di sana. Namun, dengan cepat ia berpindah menuju lemari dan membukanya. Sayangnya, percuma jika ia bisa masuk dan bersembunyi di dalam sana, tapi tak bisa menguncinya dari dalam.Ia pun menoleh ke kanan, teringat dengan sebuah pintu lain yang dapat dikunci dari dalam. Tanpa me
Byurr!Karena tarikan yang terlalu kuat dan tangan yang masih licin oleh busa sabun, mereka berdua pun tercebur ke dalam bathub. Acasha sontak memberontak dalam kepanikan. Namun karena terlalu panik, ia tak kunjung berhasil beranjak dari sana dan malah tergelincir oleh licinnya permukaan bathub, Demian, dan busa sabun."Acasha, hei, tenanglah," ujar Demian berusaha menenangkan perempuan yang seolah kehilangan keseimbangan dan titik tumpu. Namun, Acasha terus bergerak dengan limbung. Mau tak mau, Demian langsung mendekap Acasha dari belakang. "Tenanglah, Acasha. Tenanglah."Suara berat yang sangat dikenalnya, terdengar jelas dan sangat dekat di telinga. Dalam hitungan detik, Acasha mulai menemukan kembali fokusnya. Ia pun terdiam dan menatap jauh ke dalam air. Di sana ada sepasang kakinya dan ada sepasang kaki yang lain.Detik berikutnya, fokusnya lantas berpindah pada gelenyar aneh yang merayap di sepanjang punggung, lengan, dan lengan polosnya. Ada lapisan epide
Mendengar jawaban tak terduga dari Demian, Acasha langsung kehabisan kata. Ia hanya mengeratkan rahang sambil menahan gejolak dalam dada yang semakin menggebu-gebu."K-Kalau begitu, aku saja yang pergi. Aku akan menunggu sampai kamu selesai," ucap Acasha bersiap-siap bangun.Baru pinggangnya bergerak naik, Demian sudah kembali melingkarkan tangan di sana dan menahannya. "Di sini saja. Kita berendam bersama saja.""Demian, tolong, lepaskan," pinta Acasha memegangi lengan yang semakin erat itu."Kenapa? Bukankah tadi kamu memintaku untuk tidak meninggalkanmu? Kenapa sekarang malah kamu yang mau meninggalkanku?" balas Demian tepat sasaran.Deg!Tubuh Acasha membeku. "Bukannya tadi kamu tidak dengar?" tanyanya ragu-ragu."Sedikit. Di sini saja, ya," ucap Demian berbisik di telinga Acasha.Merasakan embusan napas Demian menyentuh daun telinganya, bulu roma Acasha meremang. Bola matanya bergerak gelisah tak tentu arah."Bagaimana ini? Aku harus
Selepas Bedros pergi, Orion langsung membawa Gretta berdiri di samping ranjang. Ia meminta Gretta berdiri membelakanginya, kemudian mendorongnya ke depan hingga sebagian tubuhnya telungkup di atas ranjang. Tanpa melepaskan ikatan di pergelangan tangan Gretta, Orion menahan tangan tersebut ke atas dengan sebelah tangannya dan langsung meluncurkan torpedonya, menembus medan pertempuran.Tanpa letih dan tanpa ampun, Orion melepaskan setengah dari kekuatannya agar medan pertempuran yang mudah rapuh itu tidak lekas hancur.Tanpa mampu melawan, Gretta hanya bisa berusaha untuk menarik napas sebanyak-banyaknya dan terkadang membenamkan wajah ke dalam empuknya ranjang. Gempuran demi gempuran terus menghajar wilayah kekuasaannya yang tak lagi memiliki benteng perlindungan.Gretta hanya bisa mengaduh, merintih, dan mengerang merasakan perpaduan antara kesakitan dan kenikmatan yang membombardir dirinya. Tubuh yang sudah tak seratus persen miliknya itu sudah dikuasai oleh Orion R
Sekitar empat puluh menit kemudian setelah pemesanan, ponsel Demian berdering. Ia pun menerima panggilan tersebut yang ternyata dari pos pengamanan."Ya?" sahut Demian menerima panggilan tersebut.Setelah mendengar kalimat di seberang, Demian menoleh ke arah kasur, di mana Acasha kini mengawasi dirinya. "Tolong, bawa ke sini. Aku sedang tidak bisa pergi dari kamar sekarang." Setelah itu, panggilan pun terputus.Demian meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu menoleh pada Acasha. Acasha tersenyum dari sana."Sudah sampai?" tanya Acasha dengan mata berbinar."Sebentar lagi," sahut Demian menahan senyum karena melihat ekspresi Acasha yang menggemaskan.Acasha mengangguk senang. Ia pun mulai merapikan diri dan beranjak dari ranjang menuju sofa di dekat Demian. Ia duduk di sana sambil memandang ke luar jendela.Tak berapa lama, terdengar suara pintu diketuk.Tok tok tok."Biar aku yang membukanya." Demian bergegas menuju pintu dan menerima pes
Deg ... deg ... DEGDEGDEGDEG ....Degup jantung pria yang tengah tertunduk, terkulai tak berdaya dalam cekalan rantai terkutuk pada kedua tangan dan kaki itu, mulanya sangatlah lemah akibat kehabisan darah. Namun, kini debaran di dada terasa semakin cepat, sangat cepat dan semakin intens seolah ingin meledak dan menghancurkan tulang rusuk menjadi berkeping-keping.Demian membuka mata. Ada kilatan merah di lensa birunya yang membelalak lebar. Keningnya berkerut dalam menahan sensasi sakit luar biasa tengah menggedor-gedor dada bidangnya. Peluh bercampur darah pun mengalir di pelipisnya."Khhh ...."Sesak! Paru-parunya terasa dihimpit batu besar dari dua arah berlawanan. Oksigen sama sekali tidak bisa masuk dengan benar memenuhi rongga-rongga udara seolah ia sedang tercekik dan tak sanggup pula untuk berteriak.Tubuhnya lantas memberontak. Bergerak-gerak dengan brutal dan tak terkendali akibat rasa sakit yang tak bisa didefinisikan lagi dengan kalimat apa pun. Tidak ada satu pun ungkapa
Angin berembus kencang menggoyangkan dahan dan ranting serta menerbangkan butiran salju berputar-putar di udara. Deburan ombak di laut tak kalah riuh menabrak batu karang juga dermaga seolah ingin melahapnya.Langit malam tampak cerah-berawan membawa kelam semakin mencekam saat rembulan perlahan kehilangan cahayanya dan berubah warna menjadi merah, semerah darah.Ialah Super Blood Moon. Fenomena yang terjadi setiap 195 tahun sekali, ketika matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu garis lurus. Bulan akan masuk seluruhnya ke dalam bayangan inti atau umbra bumi, sehingga tidak ada sinar matahari yang bisa dipantulkan ke permukaan bulan.Dalam fenomena menakjubkan yang sedang berlangsung itulah, takdir baru sang vampir muda dimulai.Acasha terbangun dengan kedua warna mata berbeda. Iris ungunya telah berubah warna serupa merah darah, menatap lurus vampir berusia ratusan tahun yang tengah memangkunya."Acasha ...." bisik Athan tertegun melihat perubahan yang sudah pernah ia perkirakan s
"Dasar sinting!" umpat Chesy bersikeras memberontak dan mendorong tubuh Bedros ke depan. Namun, sang kaki tangan Orion yang setia itu justru mengunci tubuh Chesy semakin kuat dan menancapkan taring tajamnya di leher jenjang Chesy yang sudah sangat menggiurkan sejak tadi. Gluk ... Gluk ... Gluk .... Benar. Mirip tapi beda. Mirip dari rambut ginger-nya yang bersinar cerah bagai daun maple di musim gugur. Lalu, bedanya ... harum tubuhnya bak bunga gardenia yang bermekaran dan manis darahnya sangatlah nikmat, membuat siapa pun yang menghisapnya merasa tenang dan larut dalam kesejukan di setiap tegukan, tak terkecuali dengan Bedros. Aroma gardenia yang diterbangkan angin mencapai indra penciuman Gelsi. Ia pun menoleh. Tepat di depan mata, ia menyaksikan satu-satunya putri kesayangannya yang seorang Half Blood Klan Agathias tengah tak berkutik dalam rengkuhan Loyal Blood Klan Remo. Terpantiklah percikan api seketika mengobarkan kemurkaan di dalam diri seorang ayah vampir. "ENYAHK
Sang surya mulai menyembunyikan terang sinarnya, berganti dengan gulita yang siap menyongsong hamparan kristal beku, menambah suasana mencekam yang semakin menyelimuti Pegunungan Wolley.Udara dingin bukanlah masalah besar bagi para vampir, tetapi serangan dari makhluk yang diciptakan dari darah terlarang itu tak kunjung berakhir. Mereka datang dari berbagai penjuru, bagai muncul dari selang air yang menyemburkan Forbidden Blood nan menjijikkan, hingga membuat muak para Loyal Blood yang tengah membasmi mereka. Namun, ada satu hal positif yang bisa menjadi petunjuk. Dengan semakin rapatnya intensitas kemunculan Forbidden Blood, berarti mereka sudah semakin dekat dengan lokasi tujuan.Athan, sang Pure Blood Klan Agathias, ditemani Half Blood dan ketiga Loyal Blood terdekatnya, terus berlari dalam kecepatan yang sama—sangat cepat—demi mengejar detik yang terus bergulir."Waktu kita tidak banyak," gumam Athan setelah menatap langit sesaat.***Setelah menghadapi segala aral melintang, ak
"Jangan bilang ... dia belum kembali," ucap wanita itu, tercenung."Ha ...." Ela mendongakkan kepala, menghela napas kesal. "Nona, saya tahu, Anda tidak menyukai Nona Acasha, tapi saya tidak menyangka kalau Anda sejahat itu.""Nona Zelika, kenapa Anda tega meninggalkan Nona Acasha sendiri? Seharusnya Anda membawa dia kembali bersama kami!" imbuh Lieke tersulut emosi, entah ke mana perginya ketakutan dan kekhawatiran yang sempat menciutkan nyali.Zelika memejamkan pelupuk sambil memijat pangkal hidungnya pelan. "Nona-Nona Sekretaris, sebenarnya bukan saya yang meniggalkan, justru saya yang ditinggalkan. Lagi pula, saya sudah berbaikan dengan Nona Acasha. Sudah tidak ada lagi niat jahat padanya barang sedikit pun."Dengan alis yang masih bertaut, Lieke membalas, "Lalu, di mana dia sekarang?""Mungkinkah, dia sudah masuk ke sini sebelum kami?" celetuk Ela. "Atau berlindung di tempat lain?" lanjutnya.Zelika mendesah pelan. Parasnya tetap terlihat cantik dan menawan meski gurat keresahan
Brakk!!! Sebilah meja persegi panjang yang terbuat dari pahatan kayu pinus seketika terbelah dan hancur berkeping-keping setelah Athan menerima kabar buruk yang disampaikan oleh Chesy.Bukannya dia tak tahu, bahkan dia sudah memperkirakan bahwa peristiwa ini cepat atau lambat akan terjadi jua. Namun, ia tetap tak bisa menyangkal atas ketidaknyamanan yang sedang ia rasakan saat ini. Bagaimana pun dia telah gagal mengantisipasi."Dasar, ceroboh!" umpat Demian, menggeram. Alisnya menukik tajam, bak bara api menyala di merah matanya, rahangnya mengetat, pun tangannya mengepal erat.Tak berbeda jauh dengan Chesy, perasaannya sangat kalut. Sambil menahan emosi yang terus menggelegak, ia menunjukkan ponsel milik Demian dan Acasha yang sudah remuk."Kami menemukan ini ... sudah hancur tergeletak di trotoar."Tanpa berkomentar, Athan menatap tajam Gelsi yang tengah sibuk dengan laptop di lantai—sebab meja yang semula dijadikan alas sudah dihancurkan Athan dan dia membutuhkan kesepuluh jarinya
Tanpa mereka sadari, seorang pria dengan setelan jas formal tengah mengintai mereka sejak tadi. Dia terus memerhatikan dari kejauhan tanpa sedikit pun berpaling.Dialah Demian. Pria yang diam-diam mengikuti ke mana pun Acasha pergi hampir seminggu ini, tapi bersikap sok cuek ketika berhadapan langsung.Dia melakukan semua itu untuk menutupi rasa canggung yang terbentang sejak pengakuan bodohnya tempo hari.Namun, entah dasar apa, Demian tetap tidak bisa melepaskan Acasha menjauh dari pandangannya barang sedetik saja. Karena itulah dia melakukan cara ini di belakang. Sebuah tindakan pengecut dari seorang pria yang masih mencari-cari makna dari kata cinta.Demian yakin, gadis muda yang tengah menggandeng lengan Acasha itu memiliki hubungan yang tidak baik dengan Acasha. Tapi, apa yang telah terjadi sampai mereka bisa tampak sedekat itu?Namun, sebelum itu, bagaimana bisa gadis itu ada di sini? Sudah dipastikan sebelumnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui ke mana perginya Aca
Setibanya di suatu restoran bernuansa kafe yang tak terlalu jauh dari kantor, Acasha dan Zelika duduk berhadapan dengan canggung."Ehm, soal tadi ... apa yang ingin Nona bicarakan?" tanya Acasha membuka percakapan setelah keheningan yang panjang.Zelika tampak ragu-ragu. Ia pun menyesap lemon tea yang sudah mereka pesan, lalu menatap Acasha lekat-lekat. "Saya ... maafkan saya, Nona ...." ucapnya dengan wajah tertunduk. Entah ke mana perginya kepercayaan diri dan keangkuhan yang selalu terpancar di wajahnya.Alis Acasha mengerut. "Maaf? Maaf untuk apa?" tanyanya masih tidak mengerti.Ingatan tentang kemurkaan sang pemimpin klan tempo hari seketika kembali terekam di benak Zelika. Tanpa perlu mengetahui latar belakang tentang status dari sang sekretaris itu, Zelika harus sadar diri dan tahu batasan bahwa Acasha bukanlah seorang manusia sembarangan. Pastilah dia punya pengaruh besar untuk klan Agathias."Saya melakukan kesalahan pada pertemuan terakhir kita. Saya tidak yakin Nona ingat a
"Kenapa aku di sini? Sebenarnya, aku sedang bersama siapa? Aku ... tidak bisa melihat wajahnya sama sekali. Tapi, kenapa ... rasanya ... mhh ...."Pikiran dan batinnya terus beradu untuk memenangkan, siapa yang harus ia ikuti? Gairah yang terasa semakin nyata ataukah akal sehat yang terus meneriakkan kata-kata, "Bukankah seharusnya kau bersama Orion?"Dalam sekejap, Gretta mendorong tubuh di atasnya dengan sangat kuat. Namun, ia justru merasakan sakit menghantam kedua tangannya hingga spontan berteriak dan mengaduh."Sampai kapan kamu akan tidur Gadis Malas?" Suara yang tidak asing terdengar jelas di telinga, seketika membangkitkan seluruh kesadaran Gretta.Menatap lurus dengan mata tercengang. "Orion?"Orang yang dipanggil pun tersenyum miring dengan tatapan licik. "Kau sudah berani memanggil namaku? Hanya namaku?"Tubuh Gretta sontak gemetar tatkala menyadari kecerobohan yang telah dilakukannya. Dia tidak berpikir bahwa sosok di hadapannya adalah Orion yang sesungguhnya karena dia y