Sinar matahari pagi jatuh tepat di wajah Bhaga. Kain gorden yang halus berembus perlahan ditiup angin pagi perbukitan yang dingin. Agak berat, Bhaga membuka kelopak matanya akibat silau yang teramat. Dia bangkit dari tidur dan memperbaiki posisi duduknya. Mengerjap sekali-dua kali, mengucek matanya sebentar lantas merentangkan tangan yang terasa kaku. Setelah kesadarannya kembali penuh, matanya tertuju keluar, ke halaman yang tepat berada di luar jendela.
Di halaman, Atma sedang menyapu. Hijaunya halaman telah berganti dengan daun-daun tua yang berserak di mana-mana. Atma juga mengutip beberapa buah jambu yang ikut gugur akibat angin kencang semalam. Yang buahnya rusak dia buang, sedang yang kondisinya terlihat masih elok, dia masukkan ke dalam keranjang bambu kecil. Sejenak Bhaga tertekun, matanya tak bisa lari dari sosok Atma yang begitu manis. Lelaki mana yang takkan tergugah hatinya bila melihat sorot mata Atma yang begitu halus dan teduh dengan warna iris mata sedikit kecoklatan. Usianya baru memasuki dua puluh tahun. Ibarat buah, dia sedang matang dan ranum, ibarat kembang sedang mekar di taman bunga. Rambutnya sepunggung, tebal dan hitam alami, kulitnya kuning langsat bersih, serta dagingnya berisi, pas. Tidak gemuk, tidak kurus, tak pula terlalu tinggi, tak bisa juga dikatakan kurus. Bila berhadapan dengan Bhaga yang tinggi, Atma setara dengan dadanya, dia tampak begitu mungil. Atma juga selalu tampak modis meski sederhana, rambutnya dikuncir atau dikepang rapi, tubuhnya dibalut gaun-gaun mini yang menunjukkan keanggunannya. Sekilas Bhaga mengingat Jessica, kekasihnya itu adalah gambaran wanita modern masa kini, dan tak ada yang salah dengan itu, hanya saja dia adalah kebalikan dari Atma. Mata elang Bhaga berhenti di ujung gaun mini berbunga yang dikenakan Atma, gaun satin itu diayun-ayun angin dengan lembutnya, membuat kainnya menari di betis Atma yang cantik.
Saat Bhaga terlalu fokus memandangi kaki Atma, Atma berbalik badan, sejurus mata mereka bertemu. Kagok, Bhaga langsung membuang muka. Segera pria itu mengacak rambutnya. Aku pasti udah gila, apa yang baru aja aku pikirin? Dirinya membatin gundah. Barusan, untuk sekilas, dia jatuh, jatuh kepada pesona Atma, dan dia menyesalinya.
***
"Nanti aku minta ibu untuk pulang ya? Biar kami gantian, aku yang akan jaga bapak nanti." Bhaga berucap sembari menerima bekal yang telah disiapkan Atma. Sudah waktunya untuk kembali ke rumah sakit.
Sejak kejadian memalukan tadi pagi, Bhaga tak berani lagi menatap mata Atma, sebisa mungkin dia mengalihkan pandangan ke arah yang lain.
"Tapi kalau ibu mau jaga di sana juga nggak apa-apa kok, Mas. Aku bisa sendiri, malam ini pasti nggak turun hujan lagi. Semoga bapak cepat sembuh ya, aku titip salam."
Bhaga mengangguk pelan, masih menghindar dari tatapan Atma. Sementara Atma yang sudah telanjur terbiasa menatap Bhaga, menjadi bingung. Apakah dirinya telah melakukan kesalahan sehingga Bhaga tak mau menatapnya, atau karena apa, dia tak mengerti, dan hatinya bertanya-tanya.
"Kalau gitu, aku pergi dulu, kalau ada apa-apa, langsung telpon ibu. Kunci semua pintu kalau sudah gelap, kita nggak pernah tau-tau kan niat orang." Bhaga berjalan santai mendekati mobil yang terparkir di halaman.
Tanpa beranjak dari teras, Atma berseru, "Mas!"
Bhaga berbalik. Akhirnya mata mereka bertemu kembali.
"Apa ..., aku udah melakukan kesalahan?" lirih Atma.
"Hah? Nggak! Nggak ada apa-apa, Atma." Bhaga menggeleng.
"Cuma mau tanya itu aja, Mas."
Walau ada berbagai pertanyaan dan kebingungan di benaknya, Bhaga menepis semuanya, dia tak mau sampai tenggelam dalam keasyikan bercakap-cakap dengan Atma. Cinta selalu dimulai dari komunikasi, Bhaga harus membatasi dirinya, terlebih hanya ada mereka berdua saat ini.
"Bye, Atma."
"Hati-hati, Mas Bhaga."
Mobil Bhaga melaju menuruni bukit, tapi kali ini rasanya sangat berbeda dari sebelumnya, ada sesuatu yang dia tinggalkan di bukit sana. Entah itu Atma, atau hatinya.
***
Sebuah sepeda motor kumbang berwarna merah tua berhenti di halaman depan pada sore hari. Pengemudinya seorang pemuda berpenampilan flamboyan yang terlihat seperti bandit yang baru keluar dari film tahun 80-an. Kemeja berwarna kuning bermotif bunga krisan, celana berbahan dasar, rambut disemir dan ditata rapi, serta sepatu pantofel hitam mengkilap. Aroma parfum murahan menguar dari tubuhnya. Meski penampilannya tampak jadul, dia diberkahi wajah yang cukup tampan dengan kulit sawo matang cenderung gelap yang menawan.
"Salman!" Atma mengeluh setelah mengintip siapa yang datang dari balik gorden jendela.
Pemuda bernama Salman itu berjalan ke teras dengan gaya yang menurut Atma sangat memuakkan, lalu mengetuk pintu. "Atma? Atma? Aku tau kamu ada di dalam ..., bisa kita bicara sebentar?" tanya Salman dengan senyum nakal menyungging di bibir tebalnya.
Dada Atma kembang-kempis, dia punya segudang pengalaman buruk mengenai Salman. Anak tunggal Pak Kades itu kerap menguntitnya. Di sawah, di sungai, di kebun teh, ke mana Atma pergi, dia sering memantau seperti mandor saja. Mereka sebaya, tapi Salman berlagak seperti om-om genit. Bikin Atma geli setengah mati.
"Atma ...? Aku tau nggak ada siapa-siapa di rumah, anak bos kamu sudah pergi, kan? Ayolah ..., mumpung nggak ada siapa-siapa di rumah, kita bisa bicara berdua." Salman masih terus mengoceh, tak kunjung menyerah.
"Tolong, Salman! Aku tau ayah kamu berjasa sama aku, tapi tolong, jangan ganggu aku, jangan ngikutin aku terus!" teriak Atma dari dalam rumah.
"Aku ..., aku nggak berniat mengganggu kamu, cantik. Aku cuma mau kita ..., kita bicara sebagai teman, kita kan dulu satu sekolah juga, kenapa kamu memperlakukan aku kayak orang asing?" Salman tergagap.
"Aku nggak mau berteman sama kamu!" tegas Atma.
"Kamu lupa? Kalau bukan karna ayah aku, mana mungkin keluarga Pak Giring mau menerima kamu di rumah mereka! Sudah waktunya kamu balas jasa, menikah dengan aku!" Kesabaran Salman habis sudah.
Atma terdiam sesaat. Darahnya serasa mendidih, kalau saja dia bernyali, ingin sekali dia hantam kepala si Salman saat ini juga. "Kalau itu tujuan kamu, ngomong sama Bu Sona, mereka udah jadi wali aku." Namun, amarah itu harus diredam.
Salman tertawa pelan, puas hatinya. Perkataan Atma barusan bagai lampu hijau baginya. Itu artinya, Atma bersedia untuk dipinang, namun harus melalui Bu Sona selaku pihak wali Atma.
"Kalau gitu mau kamu, oke, aku akan bicara sama ayah aku, meminta kamu untuk dilamar!" kata Salman kemudian.
"Jangan sekarang, Pak Giring lagi dirawat di rumah sakit." Atma beralasan, semata untuk mengulur waktu. Toh dia pun sadar, cepat atau lambat, Salman akan mengajukan lamaran.
"Iya, aku tau. Aku akan sabar menunggu, sampai kamu ..., jadi milikku."
Sekujur tubuh Atma reflek merinding. Ditepuknya jidatnya, menyesali apa yang tadi telah dia katakan. Salman bisa pergi untuk sekarang, tapi Atma tahu benar, pria itu akan datang kembali secepatnya dengan lamaran serta. Atma mesti segera mencari alasan lain untuk setidaknya menunda.
Satu minggu telah berlalu, namun kondisi kesehatan Pak Giring masih sama, belum ada peningkatan yang signifikan. Dokter bilang, kemungkinan malah kondisinya akan makin memburuk, dan pihak keluarga harus siap untuk hasil yang paling jelek sekalipun. Satu-satunya hal yang barangkali masih menunggu Pak Giring adalah pernikahan Bhaga dan Jessica, dan itu pun sudah harus disegerakan. "Lihat kondisi bapak, Ga. Secepatnya ajak Jessica ke sini, supaya bapak bisa melihat kamu menikah," ucap Bu Sona pada suatu hari. Bhaga mengulum bibirnya, gundah, bingung. Sejujurnya, dalam lubuk hati paling dalam, dia masih ragu, haruskah menikahi Jessica? Keraguan itu kini timbul dan meninggi, setelah hadir Atma dalam hidupnya, yang walau masih terbilang singkat, namun begitu berkesan. Berhari-hari gundah, Bhaga sampai sengaja menghindar dari Atma, tentu untuk mengusir secuil rasa yang timbul tiap kali bertemu pandang dengan gadis cantik itu. Sebisa mungkin dia tepis dan dia padamka
Hawa yang dibawa oleh Jessica memang berbeda. Gadis periang itu seakan membawa serta segala kehangatan ke desa yang dingin. Atma tak bisa mengalihkan pandangannya dari wajah Jessica sejak pertama kali mereka bertemu, wajahnya begitu cantik dan memancarkan aura yang ceria. Kalau perempuan seperti Atma pun terbius akan kecantikan Jessica, apa lagi pria, Atma bisa mengerti kenapa Bhaga bisa jatuh hati kepada Jessica. Bukan hanya Bhaga, Bu Sona pun sudah begitu menyayanginya. Kalau tak ada halangan, minggu depan mereka akan menikah secara agama. Sejak tiba di desa, Jessica tak bisa diam. Dia ingin melihat kebun teh, ingin melihat sawah, ingin melihat jembatan, ingin melihat air terjun, serasa dia datang bukan karena Pak Giring sedang sakit tapi untuk berlibur. Namun siapa yang bisa menghentikannya? Tak ada. Jiwanya bebas seperti seekor burung elang. Dan sejak kehadiran Jessica di rumah, Atma makin berjarak dengan Bhaga. Sebelumnya Bhaga yang menghindar, sekarang giliran Atma yan
Seekor cecak menempel di dinding kamar Atma selama lebih dari satu jam, dan sudah selama itu juga dia sudah memandanginya. Nyaris tak berkedip. Melamun, membiarkan pikirannya diisi berbagai narasi. Dari mulai kenapa sikap Bhaga tadi begitu aneh sampai kenapa dia setuju untuk menikahi Salman. Belum ada jawabannya. Jarum pendek jam sudah menunjuk angka 12, sudah waktunya bagi Atma untuk tidur, mengistirahatkan otaknya dari segala prahara yang ada. Rasa takut terhadap hantu harus dihadapi, tubuh yang lelah akhirnya pasti akan kalah juga. Kelopak mata Atma tesentak ketika telinganya menangkap sebuah suara dari luar. Seperti ada suara langkah di teras. Atma mempertajam indera pendengarannya. Terdengar suara jendela diketuk sekarang. Salman?! Nggak mungkin!pekik Atma dalam hati. Sekilas dia denial dan memutuskan untuk tetap membawa dirinya tidur. Namun, sebuah bayangan besar yang lewat di luar jendela menyentak Atma lagi. Dirinya langsung bangkit dengan pani
Atma terjaga dengan kepala berat dan juga tubuh hanya terbalut selimut di atas tempat tidur hangat milik Bhaga. Sejenak dirinya tak sadar apa yang terjadi semalam, dan sedang di manakah dia sekarang. Dalam keadaan masih setengah tidur, sebuah tangan menyentuh lembut kening Atma. Reflek mata Atma terbelalak, dan dia menarik selimut sampai menutupi lehernya. Rupanya tangan itu milik Bhaga. Senyum manis Bhaga mengembang, dia duduk di tepi tempat tidur sambil sesekali mengusap puncak kepala Atma dengan lembut. "Kamu udah bangun? Mau sarapan? Aku bikin bubur ayam tadi," ucap Bhaga lembut. Belum pernah Atma melihat senyumnya merekah seperti ini, begitu semringah dan berseri-seri secerah warna tomat yang baru dipetik dari kebun. Sementara itu sikap Atma kembali bimbang. Tak semudah membalik tangan baginya untuk menerima Bhaga sebagai "kekasihnya". Dia terlihat gugup, berusaha menghindar dan menolak bubur buatan Bhaga. Sepertinya untuk berhadapan dengan Bu Sona pun, Atma tak
Suasana di rumah masih suram, mendung seperti cuaca yang belakangan sering turun hujan dengan angin kencang. Bhaga dan Atma masih saling membisu, tak ada yang mau untuk berinisiatif untuk meluruskan segala yang terjadi. Sementara Bu Sona telanjur kecewa dengan Atma, dan hal itu dinilai Atma amat wajar, bahkan kalau dirinya berakhir dipecat dan diusir dari rumah, dia pun tak akan protes. Selain menjauhkan Bhaga dan Atma, Bu Sona punya tugas lainnya, yaitu mendekatkan Atma dengan Salman. Meski Atma geli setengah mampus, tapi apa mau dikata, inilah yang harus dia terima akibat perbuatannya sendiri. "Atma, isi kulkas udah mau habis. Kamu belanja kebutuhan untuk seminggu ya, ke pasar besar. Ini udah Ibu buatkan daftar belanjaannya." Bu Sona menyerahkan secarik kertas panjang kepada Atma, berikut beberapa lembar uang kertas pecahan seratus ribu. "Baik, Bu. Aku pergi sekarang ya, takut nggak ada ojek lagi kalau malam." "Nggak usah naik ojek, Salman yang akan
Suara kuah sop yang mendidih mengisi dapur yang hening. Bu Sona memotong daun bawang dengan hati yang remuk, matanya masih bengkak sisa tangis semalam. Jessica mendekat setengah tak yakin lalu duduk di salah satu kursi makan, memperhatikan gerak tangan Bu Sona yang begitu piawai mengendalikan pisau."Aku akan pulang, Bu," ucap Jessica pelan.Gerak Bu Sona otomatis terhenti, dia berbalik dan menatap Jessica lekat. "Kamu akan meninggalkan Ibu dan Bhaga dalam situasi kayak gini? Kamu akan meninggalkan kami? Atau ..., kamu putus sama dia?" selidik Bu Sona."Nggak. Kami nggak putus, kok. Cuma kan, bapak udah nggak ada, udah nggak ada artinya juga mempercepat pernikahan, cuti aku juga udah habis," jawab Jessica cuek.Bu Sona meninggalkan pantri dan ikut duduk di samping Jessica, meraih tangannya dengan lembut. "Jess, hubungan kamu dengan Bhaga baik-baik aja, kan?"Jessica mengangguk sekali. "Gimana dengan Ibu sendiri? Gimana dengan ...," Jessica tampak r
Dari kejauhan, Atma menangkap suara sepeda motor kumbang Salman. Seperti seekor anjing yang bisa membaui aroma ancaman, dia bergegas masuk ke dalam rumah, meninggalkan halaman yang belum bersih disapu. Beberapa detik kemudian, benarlah sepeda motor kumbang milik Salman berhenti di depan rumah. Salman turun seperti tokoh pria utama dalam film heroik, bedanya, di sini dia lebih tepat mendapat peran sebagai penjahat yang kerap mengusik gadis-gadis belia seperti Atma. "E-hem! Atma?! Atma?! Aku tau kamu di dalam, manis!" Salman mengetuk pintu. Dalam hati Atma mengumpat, Bu Sona sedang pergi arisan, cuma ada dia di rumah. "Hei, Atma? Aku cuma mau nawarin antar-jemput ke sekolah kalau kamu mau, cantik!" Lantaran muak mendengar bujuk rayu Salman yang mirip sales obat, Atma memutuskan untuk membuka pintu. Dengan berkacak pinggang, dia melotot, "Aku nggak butuh, Salman! Aku bisa urus urusan aku sendiri. Bu Sona udah kasih tau kamu belum? Kalau sebelum menikah, kita ngg
Jam dinding menunjukkan telah pukul 9 malam, kelas belajar Atma berakhir sudah. Hanya terdapat beberapa murid saja yang akan mengikuti ujian paket C, dan rata-rata adalah dewasa diatas kepala empat. Atma memasukkan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas, waktunya untuk menunggu becak atau mencari ojek malam. Setelah melewati satu bulan masa sekolah susulan, dia menjadi lebih berani dan percaya diri, tak setakut saat pertama kali sekolah dulu. Teman sekelas Atma pun baik-baik kepadanya, tak jarang dia diantarkan pulang sampai ke bukit. Namun, malam ini sepertinya nasib Atma sedikit kurang beruntung, sampai tiga puluh menit berlalu, becak atau ojek belum ada juga yang lewat. Dan kalau tak dapat kendaraan untuk pulang juga, Atma akan nekad menghubungi Salman untuk menjemputnya. Untunglah sebelum pikiran nekad itu dia realisasikan, guru yang tadi mengajar Atma menghampirinya, dia pun hendak pulang. Guru muda itu tinggal satu kampung dengan Atma, cuma beda desa saja, rumah
Habis membawa Tommy tidur bersama Bu Sona di kamar sebelah, Atma kembali ke kamar hotelnya bersama Bhaga. Bhaga masih di bawah bersama Anna, sepertinya masih asyik bercakap-cakap. Mata Atma sudah beberapa kali menarik sendiri, dia paksa untuk mandi sekejap, berganti piyama dan menyikat gigi. Setelah semua beres barulah dia naik ke tempat tidur. Namun, baru saja berbaring sekitar sepuluh menit, sebuah tangan membelai lengan Atma dengan lembut. Membuatnya terjaga perlahan. Ada Bhaga di sampingnya, memeluk dengan lembut, mencium telinganya berkali-kali. "Mas Bhaga udah mandi?" tanya Atma setengah sadar. "Udah ..." Bhaga menjawab setelah mengecup pipi Atma. Atma tahu ke mana tujuan Bhaga. Namun, mata Atma terlalu lelah untuk meladeni. "Kamu udah mau tidur ya? Atma ..., kita kan lagi di Bali! Lagi tahun baru ini!" kata Bhaga memprotes, rewel seperti anak kecil. "Ya terus kalau di Bali kenapa, Mas?" tanya Atma sambil membuka matanya
Malam ini adalah malam pergantian tahun, di mana kembang api akan menyala tepat pada pukul 12. Pantai menjadi lokasi paling banyak diincar untuk menghabiskan malam tahun baru. Sembari menunggu tengah malam tiba, paling nikmat ditemani hidangan laut bakar maupun daging bakar.Itu pula yang dipersiapkan oleh Bhaga. Sebuah meja panjang dia pesan di pinggir pantai, diajaknya serta keluarga Anna untuk ikut bergabung. Sekali lagi Bu Sona absen, sebab dia merasa tak akan tahan begadang sampai larut malam. Dia takut terserang flu keesokan hari. Penyakit orang tua.Bu Sona langsung izin saat pukul 10, membawa Nala serta, mereka tidur lebih awal. Tommy seharusnya juga ikut tidur lebih awal, namun bocah lelaki itu berkeras ingin melihat kembang api. Bhaga pun mengizinkan asal setelah lewat acara kembang api, Tommy langsung kembali ke hotel untuk tidur.Pukul sebelas lewat, masih ada sedikit sosi dan jagung yang bisa dibakar untuk teman menunggu tengah malam. Rohan sibuk me
Cuaca amat cerah dan panas siang itu, dengan angin laut yang tak kalah kuat. Para pengunjung pantai yang rata-rata turis tampak asyik berjemur di atas matras, hanya mengenakan bikini. Mereka sibuk mengolesi krim anti sinar UV di atas kulit mereka agar tak terbakar.Bhaga memesan sebuah pendopo di dekat pantai, yang muat untuk menjadi tempat berteduh bagi seluruh anggota keluarganya, pendopo di sebelah rupanya disewa pula oleh rombongan Anna dan sepupunya. Bu Sona tidak ikut, alasannya karena terlalu panas di pantai. Alih-alih bersantai di balkon hotel, dia malahan pergi mengeksplorasi sendirian, pergi ke tempat yang lebih sejuk seperti kuil atau pasar cendera mata.Satu yang mengusik perhatian Atma adalah pakaian Anna. Anna muncul dari hotel dengan satu set bikini berwarna merah muda, terlihat manis dan seksi di saat bersamaan. Belum lagi kepalanya ditutupi dengan topi pantai dari jerami, serta kacamata hitam, dia bisa berbaur seperti turis mancanegara lainnya. Sementa
Berkat bantuan Anna, Atma mendapat pekerjaan di sebuah restoran yang dimiliki oleh kakak lelakinya. Pria yang sudah berkepala tiga itu bernama Rohan. Statusnya belum menikah. Dari sana Atma bisa tahu kalau keluarga Anna rupanya cukup berantakan.Ibu dan ayahnya telah bercerai sejak dia kecil. Rohan diasuh oleh ayahnya, sementara Anna diasuh oleh ibunya. Bisa dibilang mereka tak terlalu dekat sebetulnya. Namun, dari pertemuan pertama, Atma bisa langsung tahu kalau Rohan adalah pria yang baik, kepribadainnya hangat dan penuh pengertian.Selain Atma, ada seorang karyawan lain yang juga membawa balitanya. Anak-anak yang dibawa bisa dititipkan di lantai atas. Ada sebuah kamar bayi di lantai atas serta ruang bermain anak. Tugas Atma pun tak begitu sulit, cuma bantu-bantu di dapur sebagai asisten yang menyiapkan bahan masakan.Bila semua sudah beres, Atma pun bisa merangkap menjadi pelayan yang membantu mengantarkan pesanan atau mencatat pesanan.Kebanyakan tamu
Bhaga berbalik, lalu memutar bola matanya sambil menghela napas panjang. "Kamu kenapa sih, Atma? Semua itu cuma ada di pikiran kamu. Di sini!" Bhaga menunjuk pelipisnya. "Semua itu khayalan, prasangka! Kamu liat Anna, dia bahkan bukan tipe aku! Nggak sama sekali! Dia itu udah kuanggap kayak temen cowok, tau?!" Bhaga mendekat, duduk di pinggir tempat tidur."Temen cowok? Secakep itu? Secantik dan seseksi itu? Yang benar aja, Mas! Aku ini emang cewek kampung, tapi aku nggak bodoh. Mana mungkin cewek secantik itu Mas anggap kayak laki-laki!" Kening Atma mengerut."Coba kamu pikir-pikir lagi. Kami sama-sama suka basket, sepak bola, ehm ..." Bhaga tergagap sebentar. "Pokoknya aku sama sekali nggak menganggap dia sebagai seorang perempuan. Dia itu kayak adik aja, kayak temen, kayak ... Salah satu 'bro' bagi aku."Muka Atma mengernyit. "Apa lagi itu 'bro'? Mas Bhaga udah deh, jangan ngaco! Jangan bikin-bikin alasan. Pokoknya aku nggak suka kalau Mas Bhaga masih bertema
"Hari ini aku mungkin pulang malam. Kamu masak untuk kamu aja ya, Sayang." Bhaga berujar pada suatu hari, sebelum dia berangkat kerja.Atma yang sedang menyedot debu di sofa langsung menatapnya heran, alisnya menukik tajam. "Belakangan ini Mas Bhaga pergi terus, ke mana sih? Mau ngapain lagi?" tanyanya agak dingin."Ada acara makan-makan dari kantor. Jadi yah ..., kemungkinan kami akan minum juga sampai jam 12 lewat."Sejak mereka kembali dari desa beberapa bulan yang lalu, tiap malam Bhaga hampir tak pernah pulang tepat waktu. Selalu saja ada alasan. Sementara Atma tak bisa ke mana-mana sebab dia mesti mengurus Nala yang masih belum genap 6 bulan.Bukan berarti Bhaga tidak peduli dengan urusan rumah sama sekali. Bila di akhir pekan, dia masih sering menjaga Nala, terkadang membuatkan susu, mengganti popok, namun tetap saja, tingkah polanya belakangan terlihat begitu berbeda. Atma tak bisa bersikap acuh tak acuh lagi, mesti ada sesuatu yang tidak dia keta
"Papa bangun ...! Papa ...!" Tommy kecil naik ke atas tempat tidur di mana Bhaga masih terlelap dengan tubuh telungkup.Sejam yang lalu, Atma telah bangun lebih dulu, langsung mandi lalu menyiapkan sarapan. Bhaga sepertinya masih lelah akibat kegiatan yang menguras energinya semalam."Papa ...! Ayo bangun, dong ...! Hari ini kita mau keliling kampung ...!" teriak Tommy seraya duduk di atas punggung lebar Bhaga.Bhaga terjaga lalu langsung menggendong Tommy meski kesadarannya masih belum seutuhnya pulih."Mama lagi masak, ya?" tanyanya setelah mencium aroma bumbu nasi goreng. "Kamu bau! Kita mandi dulu, yuk?" katanya masih dalam kondisi setengah sadar.Sehabis mandi bersama Tommy, Bhaga turun ke dapur menemui Atma yang juga telah rapi memakai gaun mininya. Atma baru selesai menyusui Nala."Sarapan dulu, Mas. Kita hari ini mau ngajak Tommy keliling kampung." Atma berkata sambil membuka tudung saji di atas meja."Mau ke mana? Mau liat ap
Keputusan untuk menitipkan Tommy kepada Bu Sona sudah bulat. Tentu berita baik itu disambut dengan tangan terbuka oleh Bu Sona. Justru itulah yang telah dia nanti-nanti. Sebelumnya, disangkanya Tommy baru bisa dia rawat setelah menginjak usia belasan, masuk SMP atau SMA.Namun, Bhaga mempercepat rencananya sebab dia tak mau Tommy telanjur nyaman hidup di kota. Nantinya akan lebih sulit bagi bocah lelaki itu untuk menyesuaikan diri hidup di desa. Meski begitu, Tommy sesekali merengek, tak mau berpisah.Seperti yang terjadi hari ini, saat sebulan menjelang kelahiran anak kedua Atma dan Bhaga. Si kecil Tommy memeluk perut Atma begitu lama."Aku nggak mau pisah sama adik, Ma ..." rengeknya manja."Jadi, Tommy nggak mau nemenin Nenek? Gitu?" Bu Sona yang sedang menyedot debu sofa bertanya, sengaja memancing."Bukan gitu juga, Nek! Kenapa sih Nenek nggak tinggal di sini aja? Atau kita semua ikut tinggal sama Nenek?" tanya Tommy polos."Nggak bisa,
"Cucu Nenek ...!" Bu Sona berseru sembari membuka kedua tangannya lebar-lebar.Tommy berlari penuh semangat, senyumnya secerah sinar matahari siang itu. "Nenek! Aku kangen ...!" balasnya manja."Sama, Sayang ..., Nenek juga kangen banget sama kamu! Ya Tuhan! Liat kamu! Udah setinggi apa! Udah besar, udah jadi cowok gede!" Bu Sona mengacak lembut rambut Tommy.Tommy nyengir bangga. "Iya, dong! Kan sering minum susu!"Selepas Bu Sona melepas dekapannya, dia tatap Tommy. Sekilas dia heran kembali, kenapa pupil mata Tommy kian tampak biru. Saat bayi dia kira itu akan berubah seiring waktu seperti warna mata bayi kebanyakan, namun sampai sekarang, mata Tommy masih tampak sama saja. Meski begitu, ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya."Atma ...! Bhaga ...!" Bu Sona beranjak memeluk putera dan menantunya.***Waktu berlalu secepat angin, kandungan Atma kini berusia 7 bulan.Untuk syukuran kehamilan 7 bulan Atma, mereka mengadak