Brakk!
Wanita paruh baya yang melempar ponselnya ke atas meja itu, tampak begitu geram. Mulutnya yang terkunci dengan rahang mengeras seolah sedang merutuki apapun yang membuatnya kesal dalam hati.
Jari lentik wanita paruh baya yang tampilannya modis ini menghentak penuh perhitungan di atas sofa yang ia duduki. Jari dari tangan sama yang masih terasa panas, setelah menggedor pintu kamar putrinya yang masih saja mengurung diri dalam kamar yang di kunci dari dalam dengan suara musik yang rasanya bisa memecahkan gendang telinganya.
Zizi, putrinya itu sama sekali tak memberi Sukma tanggapan apapun. Putri bodoh dan egoisnya itu tak perduli pada wanita paruh baya yang kini sorot matanya begitu dingin.
Wanita paruh baya yang sudah bersiap untuk bermain dengan salah satu cucunya itu, duduk sendiri di ruang tamunya yang luas namun sepi. Sukma yang sedang menahan amarah teramat sangat itu, mengatur nafasnya sendiri. Bahkan dadanya sampai terlihat naik turun dengan
Miss Eva yang ahirnya datang dengan nafas tersengal karena berjalan setengah lari itu, berhenti melangkah sambil menarik nafasnya dalam. Ia mengatur denyut jantung dan dadanya yang naik turun."Ketemu ponsel lo?""Ya, ada dikelas gue ternyata. Lagi ngomongin apa sih lo pada? seru banget kayaknya. Gak jadi makan soto pak Bas, kita?""Jadilah, Va. Nungguin lo doangan ini. Yuk ah, gue udah laper, lanjut ngobrol sambil jalan aja.""Jalan kaki? Gue pikir kita naik mobil lo, Mer.""Mobil gue lagi dibawa bokap, Miss Eva, lagian mau kaki kita gempor, jalan kaki? kita naik angkotlah sesekali.""Sesekali buat lo, Mer. Gue tiap hari," ucap salah seorang yang lalu membuat tawa."Lanjut yang tadi dong, Mer. Jadi cowok ganteng tadi tiap hari kumpul sama orang gila, dong.""Hah? Orang gila mana nih? Dan cowok mana yang lagi kalian gosipin tanpa gue?""Cowok yang lo tabrak tadi, Miss Eva," jawab seorang yang membuat Eva mengangguk paham
"Aku tidak percaya mereka mengizinkan manusia dekil seperti itu masuk ke toko mereka," kesal wanita yang wajahnya terlihat tak terima."Kulit mereka hanya gelap, Maya," ucap Bagas menyentuh tangan Maya yang entah kenapa suasana hatinya jadi begitu buruk."Apa kau tak membuka matamu, Mas Bagas?" tanya Maya menarik tangannya kasar dari genggaman Bagas yang manik matanya membesar tanpa Maya ketahui, "dan pegawai rendahan itu, beraninya membuat putri kita menangis. Putri kita, Mas." Ulang Maya menyentuh Carmen yang tertidur di pangkuannya dengan mata sembab dan masih basah."Mereka datang lebih dulu daripada kita, May. Lagipula masih banyak mainan yang bisa Carmen beli, bukan?" Ucap Bagas membuat manik mata Maya menajam, begitu tak terima dan menggigit keras bibir bagian dalamnya untuk tak berteriak."Kau tak tahu, sudah berapa lama Carmen menginginkan boneka itu, Mas Bagas. Hampir tiap malam putrimu membicarakannya padaku. Dan kita selalu memberikan yang dia
"Tidak, Sayang. Selama kita mampu kenapa harus menahan diri untuk anak," ucap Bagas membuat Maya yang menatapnya, meneteskan airmata lagi. Air yang lolos begitu mudahnya sesuka hati."Dan Carmen bukan hanya anak maminya saja, bukan? Carmen juga anak papinya," ucap Bagas tersenyum melihat pipi Maya yang sudah berurai air mata kembali basah dengan senyum di bibir."Aku mencintaimu, Mas Bagas," ucap Maya membuat Bagas mengangguk lalu mengecup bibir Maya, wanita yang menahan belakang kepala Bagas dengan tangannya yang bebas."May-""Stt, anak kita sedang tidur, jadi jangan bersuara," ucap Maya yang tangannya merayap turun lalu masuk kedalam celana pria yang resletingnya ia buka.Jemari-jemari tangan Maya begitu ahli mempermainkan naluri Bagas yang sengaja ia sulut. Pria bodoh yang bahkan tak melihat setitik pun keburukan dalam diri Maya karena rasa cintanya memburamkan segalanya."Dan teruslah menciumku, Mas," pinta Maya yang tangannya merasakan
'Ya Tuhan apa yang terjadi pada Arimbi?'Tian hanya menepuki punggung putra satu-satunya itu perlahan sampai tangis Rei usai. Bocah nakal yang memeluk erat leher ayahnya itu menagis. Tangis sepenuh hati yang berasal dari bocah polos yang bersedih temannya terluka dan tak bisa bertemu jika Arimbi belum sembuh."Oh, putra papa yang menggemaskan ini pasti sangat suka Arimbi, ya?" ucap Tian menghapus sisa airmata Rei, yang ada dalam pangkuannya. Hidung kecil Rei yang memerah kembang kempis begitu lucu meski ikut basah dengan ingus bening yang ikut jatuh, begitupun pipi dan matanya yang jadi sembab masih basah dengan bekas airmata yang belum mengering."Ok, sekarang bilang ke Eyang, Arimbi kenapa?" tanya wanita tua yang duduk di seberang, tak perduli dengan tatapan protes sang putra yang tak diucapkan."Sabarlah, Bu," ucap Dewi meletakkan secangkir teh hangat di depan Eyang juga suaminya. Sementara Rei yang menjulurkan dua tangannya minta dipangku sang mama da
Sudut-sudut terang, bayang-bayang menggelap karena cahaya terhalang benda. Tiap inci, tiap sudut, tiap jengkal ruangan seluruhnya Arimbi perhatikan dalam diam. Sampai ujung mata yang pancaran ketakutannya makin berkurang itu, mendapati dua orang yang membuat garukan kuku jempol pada plester yang melingkar di telunjuk kecilnya, berhenti.Gadis kecil yang tetap tak sadar dengan apa yang jemari kecilnya lakukan itu, menunjukan wajah lega mendapati wajah femiliar yang membuatnya tenang. Ketakutannya menghilang, menguap, lenyap.Gadis kecil yang ahirnya memilih turun dari bangsal itu, berjalan mendekati dua tubuh yang tertidur tak jauh darinya."(Om Mako... Om Ali...)"Bibir kecil dan basah yang ujungnya sobek itu berucap memanggil dua pria yang tampak begitu lelap dalam tidur mereka. Dan tangan kecilnya yang dipenuhi tanda membiru menjulur hendak menyentuh, tapi gadis kecil yang jadi diam itu menarik tangannya kembali. Urung.Urung menyentuh salah satu
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~She smile to get you~Small small bad wolf~Pria yang bersenandung pelan itu ahirnya berhenti melangkah. Begitupun kaki kecil tak beralas gadis kecil yang berjalan di belakangnya."Kita sudah sampai," ucap pria yang pupil matanya memperhatikan gadis kecil yang mengangguk dalam diam setelah membaca papan nama di bagian depan pintu yang rapat tertutup."(Terimakasih, Om,)" ucap Arimbi menatap pria asing di depannya yang mengangguk dengan mata yang tak lepas memperhatikan gadis kecil yang membuka pintu dan menutupnya kembali setelah
"SIALAN!" teriak sukma menggema bahkan masuk ke dalam pori-pori benda dalam kamar yang penghuninya tak ada saat ia datang.Tidak Maya, tidak Bagas, apalagi Carmen."GUNDIK SIAL!" seru Sukma begitu sepenuh rasa dan kesadaran.Emosi yang ahirnya meledak membuat Sukma seperti orang kesetanan, ia melempar apapun yang ditemui matanya. Sukma tidak lagi perduli kamar yang sedang diamuknya ini adalah kamar sang putra saat Bagas sedang bersama gundik sialannya itu!Wanita tak punya malu yang membuat sang putra menjadi laki-laki bodoh yang membuat sang ibu kecewa berkali-kali tapi selalu bisa menemukan pembenaran bagi sang putra tersayangnya ini.PRANG...! CRASS!! THUD!! BRAKK!! KLONTANG!!Segala macam bunyi seolah menjadi satu kesatuan dan terus terdengar sampai Sukma yang ahirnya selesai melempar apapun yang ingin dilemparnya duduk di atas kasur yang tatanannya masih sama seperti saat ia masuk. Yang membedakan hanyalah lantai yang kini dipenuhi bara
Ping: hei, nona besar, kenapa aku tak dapat kabar apapun darimu? apa semalam Ardi tak memuaskanmu? (Sera)Zizi yang duduk di atas lantai hanya menatapi layar ponselnya yang berdering karena ada panggilan masuk dari Sera.Ping: eh! jangan di read doang dong nona, lo beneran gak puas ya? haha...Ping: yah, Ardi emang terlalu sopan dan gak bisa liar di atas ranjang, tapi gue yakin ia udah bikin lo puas dengan caranya sendiri. His good with his fingers and tongue!Ping: But, Kalo lo mau yang liar dan bikin lo teriak tanpa henti, kita hunting malam ini, gue masih ada di club nih.Ping: I'll be waiting, Zi.Ping: HELLO.......!!Ping: ?Ping: jangan diread doang dong ,Zi! lo masih kepikiran soal Arimbi-Arimbi itu ya?Zizi yang mengernyitkan dahi, langsung mengetiki layar ponselnya cepat setelah mengabaikan Sera yang terus mengiriminya pesan.Send: apa maksud lo?Ping: yeee.. makanya minum jangan kebanyakan, Zi. Mi
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
"Apa Ali dan Marko akan membawa Arimbi pulang kerumahnya?"Lency yang berdiri di depan pintu langsung menoleh pada Sani, "apa?" meski sedetik kemudian wajah Lency jadi pucat mengingat rumah Arimbi meski ia belum pernah ke sana."A--Ali sama Marko gak ngomong apa-apa tentang itu," jawab Lency membuat Sani mengangguk. Mengingat hari ini adalah hari sama Ali dan Marko kembali dari Berlin setelah menyelesaikan pekerjaan begitupun Arimbi yang masa perawatannya selesai.Karena sama-sama sibuk, apalagi Ali dan Marko yang jadwalnya dipadatkan sama sekali belum bertukar kata dengannya."Setidaknya Arimbi sudah kembali, bukan?" ucap Sani saat melihat wajah pucat Lency. Ia jadi merasa tak enak hati melihat wanita yang tadi tertawa bersama Mawardi jadi menunjukan wajah bermasalah.Sani tahu, Marko dan Ali pasti sudah memikirkan banyak hal menyangkut masa depan Arimbi meskipun dalam waktu singkat. Tapi, bagaimanapun juga selain mereka berdua y
"Kok tumben udah balik, Sayang," ucap wanita ayu yang meletakan majalah Fashion saat melihat putrinya masuk dengan wajah kesal."Den Joe, sedang pergi bersama kakaknya, Bu," jawab pengasuh yang mendapat tatapan tanya dari Maya yang mengangguk paham kenapa wajah putrinya yang keluar dengan semangat kembali dengan wajah kesal."Gak usah cemberut gitu dong, Sayang. nanti kalo Joe udah pulang bisa main lagi, kan?""Kata Bu Miranda pulangnya malam, Bu. jadi baru besok bisa main lagi.""Oh, jadi karena itu anak mami wajahnya jadi gini?" ucap Maya tersenyum menyentuh kepala Carmen yang masih saja cemberut dengan bibir kecil mengerucut."Aku tuh mau main sama Joe, Mami. tapi malah keduluan sama Seth. Nyebelin banget!" Sungut Carmen tak melihat Maya memberi kode pada pengsuhnya agar membawakan kue stroberi untuk Carmen."Kalau begitu, gimana kalau kamu jalan-jalan sama Mami dan papi, setelah papi pulang nanti?"Carmen menoleh
Small small bad wolf~She life with a pack of a liar~Small small bad wolf~What she will do when she get older~Small small bad wolf~She smile with innocent smiling face~Small small bad wolf~What she gonna do? What she gonna do~Small small bad wolf~Carefull everyone she come to get you~Small small bad wolf~She life with a pack of liar~Small small bad wolf ~She smile to get you~Small small bad wolf~*Gadis kecil yang langkahnya terlihat ringan itu berjalan digandeng Sabrina, matanya membulat melihat dua pria dewasa yang bahkan tak bisa menahan lari mereka lalu memeluk dan mengangkatnya dalam dekapan rindu disertai kecupan di pipi kenyal nan lembut tanpa bekas tamparan yang sudah tak terlihat lagi.satu minggu terasa begitu lama, Namun setelah melihat gadis kecil kesayangan mereka kembali dengan senyum, Marko dan Ali hanya bisa memeluk Arimbi yang tawanya sudah tak mahal lagi. Rasa syu