“Oh, ya? Vitamin apaan? Heh!” balas Wayan Suri menyambar alat tersebut.
Begitu jarum suntik itu berhasil direbut, seketika perawat itu lenyap bersamaan dengan datangnya asap putih dan angin keras yang berembus. Ningsih segera mendekap tubuh Ni Kesumasari. Bang Deni yang menyaksikan hal barusan langsung beristighfar. Sedangkan Wayan Suri masih berdiri di tempat semula sambil mematahkan alat itu.
“Benar-benar setan jahanam. Masih aja gangguin lagi,”ucap Wayan Suri sembari melangkah mendekati meja lalu membakar jarum suntik di dalam wadah.
“Itu tadi isi apaan?” tanya Bang Deni sambil melihat ke dalam wadah.
“Itu racun, Bang. Untuk merogoh sukma. Bagian dari ilmu setan, bahaya buat Mbok Yan.”
Bang Deni yang mendengar penjelasan dari Wayan Suri tampak terkejut. Pria ini sangat kagum dengan kelihaian wanita muda di sebelahnya. Ia makin kagum dengan kebersamaan keluarga
“Mbok, ‘sesuatu itu' udah di sini. Ngerasain, gak?” tanya Wayan Suri lirih, sambil menunjuk atas. Ia tak ingin sopir taksi mendengarnya“Iya, Mbok tau.”“Gimana, dong?” tanya wanita asli Bali itu dengan ekspresi panik.Ia tahu, terlalu berisiko jika melanjutkan perjalanan dengan taksi, meski tinggal beberapa meter saja. Wanita itu tak mau sopir taksi jadi korban. Lalu, dengan alasan apa mereka ke sopir tersebut agar bisa segera turun?“Pak, kami turun sini aja,” ucap Ningsih tiba-tiba.“Di depan, kan, udah turun, Mbok Gek,” balas sang sopir terkejut.“Gak papa, Pak. Biar gak ketauan orang rumah aja. Kami mau bikin surprise,” sahut Ningsih kemudian.Akhirnya, tanpa meninggalkan kecurigaan bagi sopir taksi, mereka turun. Saat kaki keduanya menginjak tanah dan taks
“Mek! Saya Ningsih, anak Meme dari Jawa. Saya sayang Meme. Tolong kembali ke alam sana. Meski kita beda agama, saya selalu berdoa untukmu.”Kerabat yang kesurupan itu mengangguk mendengar perkataan Ningsih. Ia mengusap tangan dan pipi Ningsih lalu tersenyum. Kakak beradik itu bergantian mencium tangan kerabat ini. Mereka tahu, yang ada di hadapan adalah kerabat yang dirasuki arwah Dadong Canangsari, sang meme.Mereka hanya reuni sesaat, sekadar mengenang kebersamaan yang tlah lewat, meski meminjam raga orang lain. Bertiga saling tatap lalu meneteskan air mata. Mereka saling merindu kebersamaan saat Dadong masih hidup. Kini, Ningsih dan memenya bisa bertemu, setelah sekian tahun terpisah di tanah seberang.Mereka baru tahu, rasa kehilangan yang menyakitkan adalah saat salah satu dari mereka pergi dan tak mungkin kembali karena kematian. Rindu yang mendesak tak bisa terlampiaskan karena jarak dan waktu bukan mi
Ni Kesumasari sudah dirukiah. Menurut Ningsih tak perlu lagi dilakukan ritual yang diajarkan Dadong Canangsari kepada Wayan Suri. Untuk menghilangkan setan atau jin yang mungkin saja masih ada yang bersarang di tubuh Ni Kesumasari bisa dilakukan dengan cara islami. Oleh karena kakak sepupu mereka telah menjadi mualaf.Wayan Suri belum bisa menangkap maksud dari penjelasan sang kakak. Ningsih mengerti itu karena memang mereka hidup dalam kultur dan keyakinan yang berbeda. Mau tak mau ia harus menjelaskan panjang lebar tentang hal tersebut kepada adiknya.“Mbok Yan biar diajari ngaji Bang Deni. Itu cara yang tepat. ““Memang gak sulit baca huruf Arab kayak gitu. Lama itu belajarnya. Keburu kemasukan roh kayak kemarin.”“Belajarnya baca Al-Quran dikit-dikit dulu. Buat jaga diri bisa baca doa harian. Orang berdoa gak harus baca langsung dari Al-Quran.”&nb
Ni Kesumasari sangat bahagia menerima kado dari Ningsih, ia pun segera menyobek kertas pembungkusnya. Kini nampak kotak tertulis huruf Arab dan tertulis latin, Al-Quran digital. Seketika mata wanita tertua di antara mereka terbelalak, tak percaya.“Digital? Isi rekaman?”“Bisa dipakai dibaca sambil mendengarkan pelafalan yang benar. Ada pen sebagai alat bantu. Biar Mbok gampang belajarnya.”“Makasih sekali, adikku,” ucap Ni Kesumasari dengan mata berbinar-binar.Wanita itu meneteskan air mata sambil membuka kotak lalu melihat isi di dalamnya. Tampak sebuah Al-Quran dengan sampul warna keemasan bertulis huruf Arab timbul. Sungguh mewah dan elegan penampilannya. Ni Kesumasari memeluknya dengan haru hingga air matanya tertumpah membasahi pipi.Wayan Suri hanya bisa memandang ke arah mereka. Ia yang beragama Hindu tak mengerti dengan yang dibicarak
Ningsih mengajukan usul untuk mencari keberadaan rambut Dadong Canangsari yang tanpa sengaja disimpan oleh Ni Kesumasari. Bisa jadi, benda itu masih tersimpan dalam saku baju Ni Kesumasari atau tertinggal di laundry. Mereka berharap, pegawai laundry masih menyimpannya jika di saku baju tak ada.Akhirnya, masalah yang dianggap rumit bisa terselesaikan dengan baik. Bertiga tersenyum bahagia, setelah sempat salah paham. Beruntung Ningsih yang penyabar dan bertindak lebih bijak akan masalah yang sedang mereka hadapi. Kini dengan bersemangat mereka akan memperbaiki semua akibat yang telah ditimbulkan oleh ilmu warisan dari Dadong Canangsari.Ni Kesumasari semakin optimis dan mantap hati untuk menghadapi hari pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Ningsih merasa bahagia kedatangannya ke Bali mendatangkan manfaat dan bisa mengambil hikmah dari segala kasus yang terjadi dalam keluarga besarnya. Wayan Suri pun ikut tersenyum senang, pikirannya b
Ningsih dan Wayan Suri keheranan saat melihat Ni Kesumasari mendekat membawa arca dan kitab lontar.“Punya siapa, Mbok?” tanya Wayan Suri.“Apa itu, Mbok?” tanya Ningsih sambil mengamati ketiga benda tersebut.Sedangkan, Wayan Suri memegang salah satu arca lalu mengambil kitab lontar dan membaui wangi cendana bercampur aroma minyak akar wangi barang yang dipegang. Dalam hati, wanita termuda di antara mereka itu merasa mengenal bau khas tersebut. Ujung tangan kanannya beberapa tipok dahi untuk mengingat sesuatu.“Ini punya Bik Tut,” jawab Ni Kesumasari sambil membersihkan barang-barang tersebut.“Oh, ya, ya. Makanya aku hapal aromanya. Tapi, kok ada di Mbok Yan?”Ni Kesumasari pun segera bercerita tentang asal mula ketiga barang hingga ada dalam genggamannya. Begitu wanita itu menuntaskan ceritanya, Ningsih dan W
Terjadi perbedaan cara berpikir Ningsih dengan adiknya. Ningsih berpikir kondisi dan posisi roh kasar Dadong Canangsari berbeda dengan roh kasar Ni Kesumasari. Begitu pun dengan akibat yang diakibatkan oleh pengembalian roh kasar ke tubuh aslinya.Namun, Wayan Suri berpikir bahwa sama-sama roh kasar, hanya beda tubuh yang dirasuki saja. Dadong Canangsari merasuki tubuh kerabat yang masih hidup, sedang roh kasar Ni Kesumasari merasuki jasad. Jika roh kembali pada tubuh asal, maka tubuh yang dirasuki masih hidup, bisa kembali normal dan tubuh yang telah menjadi jasad akan musnah karena bisa berwujud selama ada roh yang menghidupkannya. Semua akan kembali normal sesuai takdirnya masing-masing.“Kalo roh kasar Meme, bisa gitu. Karena jasad udah mati dan tak mungkin jadi pelaku ilmu leak lagi. Tapi, ini roh kasar Mbok Yan. Manusia yang masih hidup. Yang masih bisa dijadikan Pelaku ilmu. Kalo pemusnahan ilmu leak semudah itu, ngapain a
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu