“Tyang bersedia dirukiah,” ucap Ni Kesumasari sembari tersenyum ke arah adik-adiknya.
“Demi Allah, Tuhan yang tyang sembah, dengan ikhlas dan atas izin Allah tyang ingin cabut ilmu. Ningsih, Suri tolong bantu Mbok Yan, ya,” ucap Ni Kesumasari dengan terisak-isak tampak sekali rasa penyesalan dari raut wajah wanita asli Bali itu.
“Alhamdulillah,” sahut Ningsih.
“Mbok, ampura. Tapi ... risikonya ....” Wayan Suri tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia jadi serba salah, padahal hal itu yang terpenting harus diketahui si mbok. (Ampura: maaf)
“Kenapa gak dilanjut? Risiko apaan, Suri?” tanya Ni Kesumasari seketika.
“Mbok, mohon maaf. Kalo ilmu itu dicabut otomatis keistimewaan yang didapat dari ilmu itu pun lenyap,” sahut Ningsih berusaha menjelaskan.
“Maksudmu?”
“Gini, Sayang. Begitu ilmu dicabut, kamu akan jadi seperti asalnya. Badan dan kesegaran tub
“Terserah kalian aja. Yang penting, jangan ada korban lagi dan ilmu itu harus enyah dari keluarga besar kita,”ucap Pak Lana sembari geleng-geleng.Bertiga membahas langkah apa saja yang harus dilakukan untuk menyingkirkan ilmu leak dari silsilah keluarga besar. Sebenarnya, keluarga Pak Lana bukan termasuk keluarga besar keturunan Dadong Canangsari, berhubung proses penitisan ilmu telah dirusak oleh Ni Kesumasari, akhirnya ilmu bisa ke mana saja tanpa diketahui jejaknya.Hal tersebut bisa jadi ancaman bagi semua orang yang terhubung secara garis keluarga maupun tidak.Tak lama kemudian, Pak Lana berpamitan kepada keduanya akan ke toilet. Ningsih membuka laman facebook lalu memperlihatkan kepada sang adik.“Lalu ini siapa, Suri?”“Entar tyang beresin Mbok.”“Berarti, kamu udah tau, siapa dia?”“Ini jiwa murni Mbok Yan yang tersisih dari tubuhnya sekarang.”“Pake tubu
“Cang gedeg jak ci! Cang sube ngomong. Pesu! Pesu! Sing nyak pesu. Alih tongos len!”(“Saya marah pada kamu! Saya sudah ngomong. Keluar! Keluar! Tak mau keluar. Cari tempat lain!”Susuk magis telah habis terbakar bersama lantunan mantra terucap dari mulut Wayan Suri. Kepulan asap kehitaman keluar dari kepala Ni Kesumasari. Mata wanita itu terpejam dan dari mulutnya terdengar rintih kesakitan.“Bang Deni, Mbok Ning laksanakan tugas kalian. Tyang bantu pegang Mbok Yan,” ucap Wayan Suri sambil duduk di samping tubuh Ni Kesumasari yang pingsan. Bang Deni dan Ningsih bergantian ambil wudu lalu bersiap di dekat pembaringan.“Bismillāhir raḥmānir raḥīm ....”Bang Deni dan Ningsih membaca ayat-ayat Al-Quran berbarengan. Tubuh Ni Kesumasari yang pingsan terlihat bergerak, menggeliat.
Bang Deni sangat berharap Ni Kesumasari tak jadi dioperasi. Tak jauh beda harapan calon sepupunya—Ningsih—memperkirakan bahwa gumpalan darah kehitaman dengan tampilan aneh yang keluar barusan adalah penyakit atau apa pun itu, beberapa hari terakhir telah menggerogoti tubuh Mbok Yan.Kini, mereka tinggal menunggu wanita bergamis putih yang sedang terbaring lemah hingga siuman. Di saat semua orang sedang asik dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba dikejutkan bunyi dering dari ponsel Wayan Suri.Ia pun segera mengambil benda pipih itu dari meja. Di layar ponsel tertera sebuah nomor kontak yang ia hubungi sesaat sebelum sembahyang tadi. Wanita berparas khas Bali ini tak segera mengangkat panggilan masuk tersebut. Tampak sekali, keraguan di raut wajahnya.Wanita beralis tebal itu tahu persis bahwa roh wanita yang ditelepon tadi telah menyatu ke dalam tubuh Ni Kesumasari yang sedang terbaring lemah. Ia sibuk berpi
“Oh, ya? Vitamin apaan? Heh!” balas Wayan Suri menyambar alat tersebut. Begitu jarum suntik itu berhasil direbut, seketika perawat itu lenyap bersamaan dengan datangnya asap putih dan angin keras yang berembus. Ningsih segera mendekap tubuh Ni Kesumasari. Bang Deni yang menyaksikan hal barusan langsung beristighfar. Sedangkan Wayan Suri masih berdiri di tempat semula sambil mematahkan alat itu. “Benar-benar setan jahanam. Masih aja gangguin lagi,”ucap Wayan Suri sembari melangkah mendekati meja lalu membakar jarum suntik di dalam wadah. “Itu tadi isi apaan?” tanya Bang Deni sambil melihat ke dalam wadah. “Itu racun, Bang. Untuk merogoh sukma. Bagian dari ilmu setan, bahaya buat Mbok Yan.” Bang Deni yang mendengar penjelasan dari Wayan Suri tampak terkejut. Pria ini sangat kagum dengan kelihaian wanita muda di sebelahnya. Ia makin kagum dengan kebersamaan keluarga
“Mbok, ‘sesuatu itu' udah di sini. Ngerasain, gak?” tanya Wayan Suri lirih, sambil menunjuk atas. Ia tak ingin sopir taksi mendengarnya“Iya, Mbok tau.”“Gimana, dong?” tanya wanita asli Bali itu dengan ekspresi panik.Ia tahu, terlalu berisiko jika melanjutkan perjalanan dengan taksi, meski tinggal beberapa meter saja. Wanita itu tak mau sopir taksi jadi korban. Lalu, dengan alasan apa mereka ke sopir tersebut agar bisa segera turun?“Pak, kami turun sini aja,” ucap Ningsih tiba-tiba.“Di depan, kan, udah turun, Mbok Gek,” balas sang sopir terkejut.“Gak papa, Pak. Biar gak ketauan orang rumah aja. Kami mau bikin surprise,” sahut Ningsih kemudian.Akhirnya, tanpa meninggalkan kecurigaan bagi sopir taksi, mereka turun. Saat kaki keduanya menginjak tanah dan taks
“Mek! Saya Ningsih, anak Meme dari Jawa. Saya sayang Meme. Tolong kembali ke alam sana. Meski kita beda agama, saya selalu berdoa untukmu.”Kerabat yang kesurupan itu mengangguk mendengar perkataan Ningsih. Ia mengusap tangan dan pipi Ningsih lalu tersenyum. Kakak beradik itu bergantian mencium tangan kerabat ini. Mereka tahu, yang ada di hadapan adalah kerabat yang dirasuki arwah Dadong Canangsari, sang meme.Mereka hanya reuni sesaat, sekadar mengenang kebersamaan yang tlah lewat, meski meminjam raga orang lain. Bertiga saling tatap lalu meneteskan air mata. Mereka saling merindu kebersamaan saat Dadong masih hidup. Kini, Ningsih dan memenya bisa bertemu, setelah sekian tahun terpisah di tanah seberang.Mereka baru tahu, rasa kehilangan yang menyakitkan adalah saat salah satu dari mereka pergi dan tak mungkin kembali karena kematian. Rindu yang mendesak tak bisa terlampiaskan karena jarak dan waktu bukan mi
Ni Kesumasari sudah dirukiah. Menurut Ningsih tak perlu lagi dilakukan ritual yang diajarkan Dadong Canangsari kepada Wayan Suri. Untuk menghilangkan setan atau jin yang mungkin saja masih ada yang bersarang di tubuh Ni Kesumasari bisa dilakukan dengan cara islami. Oleh karena kakak sepupu mereka telah menjadi mualaf.Wayan Suri belum bisa menangkap maksud dari penjelasan sang kakak. Ningsih mengerti itu karena memang mereka hidup dalam kultur dan keyakinan yang berbeda. Mau tak mau ia harus menjelaskan panjang lebar tentang hal tersebut kepada adiknya.“Mbok Yan biar diajari ngaji Bang Deni. Itu cara yang tepat. ““Memang gak sulit baca huruf Arab kayak gitu. Lama itu belajarnya. Keburu kemasukan roh kayak kemarin.”“Belajarnya baca Al-Quran dikit-dikit dulu. Buat jaga diri bisa baca doa harian. Orang berdoa gak harus baca langsung dari Al-Quran.”&nb
Ni Kesumasari sangat bahagia menerima kado dari Ningsih, ia pun segera menyobek kertas pembungkusnya. Kini nampak kotak tertulis huruf Arab dan tertulis latin, Al-Quran digital. Seketika mata wanita tertua di antara mereka terbelalak, tak percaya.“Digital? Isi rekaman?”“Bisa dipakai dibaca sambil mendengarkan pelafalan yang benar. Ada pen sebagai alat bantu. Biar Mbok gampang belajarnya.”“Makasih sekali, adikku,” ucap Ni Kesumasari dengan mata berbinar-binar.Wanita itu meneteskan air mata sambil membuka kotak lalu melihat isi di dalamnya. Tampak sebuah Al-Quran dengan sampul warna keemasan bertulis huruf Arab timbul. Sungguh mewah dan elegan penampilannya. Ni Kesumasari memeluknya dengan haru hingga air matanya tertumpah membasahi pipi.Wayan Suri hanya bisa memandang ke arah mereka. Ia yang beragama Hindu tak mengerti dengan yang dibicarak
“Jangan pura-pura! Sengaja betulin rumah Dadong untuk ambil alih, kan. Kami tau tipu muslihatmu, Nak Jawa!” Pria berkulit gelap ini berteriak berapi-api.“Kami? Dugaan kalian sekeluarga salah! Tanah itu milik Dadong dari gadis. Sebelum menikah dengan dengan suaminya,” ucap Ni Kesumasari dengan hati-hati lalu melanjutkan, “itu memang hak anak-anak kandungnya, meski wanita. Putu Adi telah dapat bagian setelah bapak angkatnya meninggal. Kemana itu? Kalian jual!”Ni Kesumasari kini tak dapat menahan emosi juga. Ia marah dengan keserakahan keluarga yang didatanginya. Putu Adi yang diangkat jadi anak sentana begitu mendapat harta warisan kembali ke keluarga asal.Ia dibujuk keluarganya untuk menjual harta tersebut tanpa menghiraukan upacara keluarga dan kehidupan Dadong Canangsari. Kini, bapaknya masih ingin menguasai tanah milik Dadong pula.Pria tukang judi ini telah menghabiskan harta peninggalan suami Dadong untuk b
“Astaghfirullah! Dari darah?”Semua yang ada di situ terkejut mendengar penjelasan dari Ni Kesumasari. Mereka terkesima sekaligus ngeri saat melihat warna merah pada tenun tersebut. Seketika bayangan mereka melayang sibuk mereka-reka cara mendapatkan darah untuk proses membatik.“Apa pun itu, yang penting dengan kamen ini Mak Nah telah dipercaya Bik Tut untuk menyelesaikan masalah kita sekarang,” kata Ni Kesumasari menatap ke arah Mak Nah.“Insyaallah Mak Nah bantu sebisanya. Tapi, gimana caranya, Mbok Yan?” tanya Mak Nah.Semua saling pandang, termasuk Mak Nah dan Lek Dirman yang diberi barang wasiat oleh Dadong Canangsari.“Setau tyang, tinggal pake aja, Mak. Oh, ya. Bungan sandat selipkan di atas telinga kiri dan sunggar di bagian rambut depan. Sayang, gak ada kebaya Meme,” ucap Wayan Suri dengan nada menyesal.“Mbok Yan ada warisan kebaya dari Bik Tut.”“Wah bisa ke
Hingga mobil sampai rumah pun, belum ada sepatah kata dari mereka. Bang Deni memarkirkan mobil di luar gerbang karena ia harus segera berangkat kerja.Pria ini berniat ke kebun belakang ingin memastikan penglihatan sebelum berangkat ke rumah Bik Mang tadi. Rasa penasaran yang memenuhi otaknya sepanjang perjalanan barusan.Tiga wanita bersaudara telah melangkah meninggalkan mobil lalu menuju dapur. Mereka kehausan, lebih tepatnya efek dari rasa kecewa telah mengeringkan tenggorokan dan dada. Mak Nah melihat mereka dengan rasa penasaran.“Gak ketemu lagi?”“Bukan gak ketemu. Ia sengaja sembunyi, Mak,” kata Ni Kesumasari bisa dibilang sebuah keluhan lalu mengambil botol mineral dari dalam kulkas.“Maaf, kalo boleh Mak Nah tau. Ada masalah apa?”“Oh, iya. Mak Nah belum tau ini. Bik Mang mencuri sunggar emas Bik Tut dan juga sebagian kulitnya diiris,” jawab Ni Kesumasari sambil menahan rasa sesak.
“Bang, aku harus segera ke Bik Mang, “ucap Ni Kesumasari sambil meminum teh hangatnya. “Yang penting harus segar dulu. Entar Abang yang antar,”sahut Bang Deni sambil berdiri. “Mau ke mana, Bang?” tanya sang calon istri. “Mau minum kopi. Tadi Abang taruh di meja depan sambil nunggu kalian siuman,” jawab pria berambut lebat ini sambil berlalu. “Mak Nah permisi ke dapur dulu. Tadi bawa pisang, mau bikin pisang goreng.” “Enak itu, Mak. Perlu bantuan?” “Gak usah, matur nuwun. Mbak Ning, rehat dulu. Barusan siuman juga,” ucap Mak Nah menepuk bahu Ningsih lalu balik badan lalu keluar kamar. Kini tinggal tiga bersaudara saling menatap dan segera tersenyum begitu menyadari bahwa mereka saling menunggu untuk berbicara duluan. “Okey, Mbok Yan yang ngomong dulu. Bisa jadi Bik Mang telah dapat darah kita buat ritual.” “Adi, Mbok Yan ngomong keto?” “Kamu gak diberitahu Bik Tut?” “Gak tuh, Mbok,” jawab Wa
Polisi segera membuat garis kapur di TKP. Para petugas mengambil beberapa foto di tempat tersebut. Pak Lana, Lek Dirman, Bang Deni, dan kedua tukang ikut ke kantor polisi untuk diminta keterangan.Setelah kepergian para aparat dan kelima pria ke kantor polisi, ketiga wanita berembuk secara serius.“Suri, kira-kira siapa?”“Kok aku yang ditanya Mbok Yan?”“Lah iyalah. Secara, kamu yang lebih peka dibanding kami,” sahut Ningsih sambil senyum meledek ke arah sang adik.“Sejak awal aku menduga, Bik Mang.”“Mbok Yan juga,” timpal Ni Kesumasari lalu berpaling ke arah Ningsih.“Aku belum pernah ketemu Bik Mang. Kemarin diajak Suri ke sana juga gak ketemu.”“Mbok Ning udah liat orangnya. Di Labfor Polri kemarin itu,” ucap Wayan Suri mengingatkan kakaknya.“Oh ya. Mbok baru ingat sekarang. Bik Mang sempat bantuin masak di sini dan juga semba
Ada apa dengan keluarga Bik Mang?Semoga Bik Mang belum sempat mempraktekkan ilmu itu.Sejak kapan mereka tahu cara curi ilmu?Ni Kesumasari semakin pusing dengan berbagai pertanyaan yang menumpuk satu persatu dalam benak. Ia belum bisa menemukan jawaban hingga mobil yang mereka tumpangi meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu, Wayan Suri belum beranjak meski Bang Deni telah memberi kode klakson.Mobil semakin menjauh, justru motor Wayan Suri semakin mendekat ke arah hutan. Ia melihat bayangan seseorang melangkah di antara pohon-pohon jati.Bayangan itu pasti salah satu dari anggota keluarga Bik Mang, batin wanita berpinggang ramping ini.Wayan Suri ingin masuk ke hutan, tapi hati nurani melarang. Akhirnya, terpaksa balik arah untuk mengejar mobil Bang Deni. Ia berpikir akan menceritakan hal ini kepada ketiga kerabatnya dan bisa jadi pendukung anggapan mereka belakangan ini.Mereka hanya ingin membantu Bik Mang agar tak terjebak r
“Cicing cai! Panak tyang mati, bangka caine!” teriak Ningsih dengan mata memerah.Tangan wanita berdarah Jawa yang telah dirasuki roh Dadong Canangsari telah terangkat dan Ni Kesumasari buru-buru memeluknya.“Bik Tut, tenang! Tyang akan ngajak ngomong ke dia. Percaya ke tyang! Ini bukan jalan terbaik,” ucap wanita mualaf ini dengan sesengukan.“Wak, tolong pulang dulu. Nanti kita ke rumah Wak. Sayang nyawa,” ujar Wayan Suri sembari membantu pria ini untuk bangkit.Meski dengan ekspresi tak senang, suami Bik Mang mau menuruti kata-kata Wayan Suri. Ia berlari ke arah motor lalu menstater dan berlalu dengan kepulan asap motor dua tak.Begitu suami Bik Mang sudah pergi, tubuh Ningsih seketika lunglai dan hampir jatuh ke lantai. Beruntung Ni Kesumasari dan Wayan Suri telah sigap menangkap tubuhnya. Tubuh wanita keturunan Jawa ini dibopong ke ruang tengah lalu dibaringkan di sofa.“Ningsih ... ningsih,&rdq
Mereka lega telah memiliki beberapa foto adegan dalam rekaman yang dianggap penting. Kakak beradik ini mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan para petugas lalu mohon diri kepada sang kepala dan anak buahnya.Langkah keduanya menuju tempat parkir diisi pembahasan langkah selanjutnya yang akan dilakukan. Tanpa sengaja, pandangan Wayan Suri tertuju kepada seorang wanita yang berjalan mengendap-endap dari tempat parkir motor menuju bagian samping gedung.Wayan cekatan menarik tangan sang kakak diajak bersembunyi di balik tembok ruang lapor. Ningsih hanya bisa bengong saat diajak memindai gerak-gerik wanita itu.“Itu yang kita cari tadi, Mbok.”“Bik Mang?”“Iya. Dia adik ipar Bapak.”Setelah wanita yang diintip telah berlalu, mereka keluar dari tempat persembunyian lalu berjalan ke tempat parkir. Sejurus kemudian motor telah membawa keduanya berbaur dalam keramaian jalan raya.Perjalanan menempuh j
“Berapa orang?” tanya Ningsih sambil mengambil piring dari rak lalu ditaruh di meja.“Sekitar 20 orang termasuk tukang, Bli Yan dan Pak Lana,” jawab Wayan Suri sembari membantu menaruh teko kopi dan teh di nampan.“Jangan lupa gelasnya,” ucap Ningsih sembari menata beberapa gelas di nampan lain.“Udah komplit. Tolong bawa ke sana! Biar segera sarapan. Untuk kita udah Mbok siapin di wajan,” kata Ni Kesumasari.Mereka melangkah keluar dari dapur menuju teras rumah besar. Pak Lana dan Lek Dirman telah selesai mempersiapkan meja panjang untuk tempat menaruh sarapan.“Kita perlu ngomong bertiga. Ada leak baru di daerah ini,” ucap Wayan Suri kepada kedua saudaranya.“Kamu tau dari mana?” tanya Ni Kesumasari terkejut.Ketiga wanita ini kemudian melangkah ke dapur dan duduk di dipan. Wayan Suri menatap Ni Kesumasari lekat-lekat. Terang saja pandangan mata sang adik sepupu