“Istri saya sudah lewat belum?” tanya Alaska pada resepsionis. Ia tak sabar jadi niatnya pulang bersama Senja. Perkiraannya Senja baru turun dari lift dan menuju lobby.“Is-istri Bapak?” Resepsionis itu dibuat heran karena ia tahunya Alaska belum menikah.“Iya, yang tadi bawa makanan buat saya. Sudah lewat belum?”“Belum, Pak. Mungkin masih di atas, lift tiba-tiba macet, ini sedang dicoba untuk diperiksa.”“Lift khusus juga sama?”“Tidak, Pak.”“Kamu membiarkan istri saya pakai lift karyawan?” bentak Alaska.“Ma-maaf, Pak. Saya tidak ta-.”Alaska memutus sambungan telepon itu lalu keluar dari ruangannya. Ia melihat plang bertulisan lift rusak di depan lift.“Jangan-jangan Senja lewat tangga.”Lelaki itu berputar menuju tangga darurat. Langkahnya terhenti melihat kotak bekal dan tas Senja berhamburan di bawah.Tanpa berpikir lagi lelaki itu menuruni anak tangga. Saat akan mengambil tas dan ponsel Senja, sudut matanya menangkap sosok yang tergeletak tak berdaya dengan darah menggenang d
“Sayang, jangan bercanda. Ini nggak lucu.” Cakra menggeleng, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya barusan.“Coba Mas lihat baik-baik wajahnya. Tapi jangan melotot begitu, Biru takut nanti.”Cakra memperhatikan dengan lekat cucunya itu, membuat ia ingat Al saat masih kecil. Namun ia masih merasa tidak bisa percaya.“Nanti Al yang jelasin semuanya.”“Nggak bisa, kalau kamu tahu. Kamu yang harus jelasin kenapa tiba-tiba Al punya anak? Bukan dengan Mona ‘kan? Siapa wanita itu?”Tidak mampu menutupi lagi, Kasih menceritakan semuanya. mengenai Alaska dan Senja. Cakra memegangi lehernya yang tiba-tiba menegang setelah mendengar semua penjelasan dari sang istri.“Aku ... nggak bisa percaya ini.” Cakra menggeleng.“Aku juga sama, Mas. Awalnya nggak percaya, tapi ... kehadiran Biru mempertegas semuanya.”“Kenapa takdir anak-anak kita serumit ini?” Lelaki tua itu mengusap wajahnya kasar.Sedangkan Kasih menghela napas lega, ia pikir suaminya akan murka tapi ternyata tidak. I
“Ibu ....” Biru berlari sambil menangis.Senja buru-buru bangkit dibantu oleh Alaska.“Kenapa, sayang?”“Mau jajan cilok. Tapi, tapi Opa bilang ndak boleh.” Bocah itu terisak sambil mengusap pipinya.“Tadi bukannya Biru lagi bobo ya?” Senja mengernyit heran.Biru menggeleng. “Ndak, Biru main sama Opa di taman belakang.”Senja menatap tajam suaminya yang berbohong. Sedangkan yang ditatap malah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Alaska memang sengaja karena ingin menghabiskan waktu berdua dengan istrinya, mumpung Biru juga anteng bersama dengan opanya bermain.“Biru ndak mau lagi main sama Opa.” Anak itu naik ke atas ranjang dan memeluk sang ibu.“Nggak boleh begitu, Nak. Opa bukan larang Biru buat jajan.” Senja mengusap lembut kepala putranya.“Opa bilang ... cilok ndak sehat. Kalau makan cilok nanti ndak tinggi badanya.”Senja terkekeh geli mendengar celotehan Biru.“Opa memang begitu, dulu ayah juga sering dilarang. Nanti Biru jajan cilok sama ayah saja ya.”Cakra itu termasuk or
Kondisi kaki Senja masih belum sembuh benar tidak bisa banyak bergerak bahkan untuk memiringkan badannya pun ia tidak bisa. Wanita itu hanya tidur terlentang sambil memeluk Biru.Sedangkan Alaska di sampingnya tidur miring menghadap Senja. Ia bahkan tak rela memejamkan mata karena pemandangan di depannya sayang untuk dilewatkan.Senja tak bisa menolak kalau itu permintaan Biru. Namun seranjang lagi dengan lelaki yang sudah lima tahun meninggalkannya itu membuat perasaan Senja tak karuan. Tak bisa dipungkiri kalau cinta pada Alaska masih melekat di hatinya.“Maaf. Selama ini kamu sangat menderita karena aku. Aku mohon biarkan aku menebus semuanya, jangan pergi. Kalian bagian dari hidupku,” batin Alaska menatap lekat wajah Senja dan Biru bergantian.Keduanya sudah sama-sama terlelap. Senja yang niatnya tidak akan tidur sekarang malah terlihat nyenyak karena efek obat yang diminumnya.Dibelainya lembut pipi Senja.“Aku mencintaimu,” bisik Alaska tepat di telinga Senja.Bibirnya mengecup
Tanpa aba-aba Danes membopong tubuh Senja.“Dan, turunin aku.” Senja meronta namun kekuatannya tak ada apa-apanya dibandingkan Danes.“Nggak. Kamu nggak aman meskipun di rumah orang tua aku, kamu aman kalau ada di sekitar aku.”“Aku bisa jaga diri aku sendiri, kamu nggak usah-”“Diem, Senja.” Danes melangkah meninggalkan taman tak peduli dengan protes yang dilakukan Senja. “Kamu harus jelasin semuanya, termasuk soal kondisi kamu ini.”“Iya, aku jelasin tapi turunin dulu. Kamu mau bawa aku kemana?” tanya Senja saat mereka sudah keluar dari dalam rumah.“Pokoknya kamu ikut saja, kamu aman sama aku.”Biru sudah kembali bermain, ia tidak melihat sang ibu yang dibawa paksa oleh Danes.Orang-orang disana pun tidak berani menegur apalagi yang bertingkah anak majikan mereka. Mereka tahu betul seperti apa watak Danes.“Kita bisa bicara di sini ‘kan? Nggak usah di tempat lain.”“Nggak.”Danes menutup pintu mobil dengan kencang.Senja yang merasa harus bicara dengan Danes pun akhirnya pasrah, ia
“Pak Sena.”Deg. Suara itu. Aku seperti mengenalnya.Aku langsung berbalik dan saat itu juga merasakan dunia seolah berhenti berputar. Tubuh ini membeku dan lidah mendadak kelu.Dia juga tampak kaget dengan mata membulat sempurna. “Mas ... Aska.” Suaranya begitu lirih namun masih bisa kudengar.“Senja.”Dadaku bergemuruh saat menatapnya. Setelah lima tahun berlalu, baru kali ini aku bertemu dengannya. Dulu aku meninggalkannya setelah satu bulan menikah. Niatku memang hanya mencari kepuasan namun Senja bukan wanita yang mau disentuh tanpa ikatan. Tidak seperti wanita yang sebelumnya pernah kudekati.Maka dari itu aku menikahinya di bawah tangan, hanya sebagai syarat saja. Aku tidak akan tenang sebelum mendapatkannya. Setelah urusanku di tempat itu selesai, aku pulang tanpa beban, tidak peduli seperti apa kehidupan Senja berlanjut.Tidak menyangka sekarang dipertemukan lagi dan di tempat seperti ini.Tapi kenapa dia bekerja seperti ini? Aku tahu Senja bukan wanita yang suka berada di te
“Sudahlah, tidak usah dibahas yang tak ada.”“Tapi aku benar-benar mengirimkan uang setiap bulan untukmu, Senja.” Aku mencoba meyakinkan. “Aku bahkan ada bukti transfernya.”Kemana perginya uang yang selalu kukirim, seharusnya Senja tidak perlu bekerja karena uang dariku pasti sangat cukup untuk menopang hidup wanita itu dan juga ibunya.Sepertinya aku harus menanyakannya pada Rini. Dulu aku dapat nomor rekening dari sahabatnya Senja itu. Kalau bukan bertanya padanya aku pasti tidak akan dapat apa-apa. Aku percaya karena Rini dan Senja sahabat dekat.“Mohon maaf, Pak. Di sini saya bekerja jadi saya tidak mau membahas hal yang di luar pekerjaan.” Senja tak memberi kesempatan aku menjelaskan.Pesanan sudah datang. Aku melirik Senja penuh curiga.“Apa? Saya tidak akan mungkin meracuni Anda, Pak. Bisa-bisa saya dipenjara dan an-” Senja menggigit bibir untuk menghentikan ucapannya.“An apa?” Sebelah alisku terangkat.“Tidak. Silakan dimakan, kalau dingin tidak enak.” Senja memaksakan senyu
Tak sabar meraup bibir merah itu. Aku bahkan masih ingat lembutnya benda kenyal itu saat dulu pertama kali menyentuhnya.“To-”Kubungkam bibirnya tanpa berpikir lagi.Hangat napasnya membuatku semakin menggila, mencecap habis bibirnya. Aku tidak yakin hanya sekedar ciuman apalagi Senja seperti pasrah.Dering ponsel menyentak. Kesadaran Senja kembali, wanita itu buru-buru mendorongku menjauh dan langsung berdiri.“Sialan!” Aku mengumpat namun tetap menerima panggilan itu.Mama menelepon dan menyuruhku pulang, pasti ini ulah Mona. Dia sepertinya tidak bisa membuatku tenang sehari saja.“Sen-”Plak. Sebuah tamparan mendarat di pipi membuatku membeku beberapa saat.Kulihat mata Senja basah, rahangnya mengeras.“Anda mungkin bisa menyewa saya untuk menemani. Tapi saya tidak terima perlakuan Anda yang lancang ini, Pak Sena.” Matanya berkilat.“Senja, aku tidak bermaksud untuk ... aku hanya terbawa suasana.”Kedua tangannya mengepal. “Tolong hargai prinsip saya, Pak. Saya tidak mau ada sentu
Tanpa aba-aba Danes membopong tubuh Senja.“Dan, turunin aku.” Senja meronta namun kekuatannya tak ada apa-apanya dibandingkan Danes.“Nggak. Kamu nggak aman meskipun di rumah orang tua aku, kamu aman kalau ada di sekitar aku.”“Aku bisa jaga diri aku sendiri, kamu nggak usah-”“Diem, Senja.” Danes melangkah meninggalkan taman tak peduli dengan protes yang dilakukan Senja. “Kamu harus jelasin semuanya, termasuk soal kondisi kamu ini.”“Iya, aku jelasin tapi turunin dulu. Kamu mau bawa aku kemana?” tanya Senja saat mereka sudah keluar dari dalam rumah.“Pokoknya kamu ikut saja, kamu aman sama aku.”Biru sudah kembali bermain, ia tidak melihat sang ibu yang dibawa paksa oleh Danes.Orang-orang disana pun tidak berani menegur apalagi yang bertingkah anak majikan mereka. Mereka tahu betul seperti apa watak Danes.“Kita bisa bicara di sini ‘kan? Nggak usah di tempat lain.”“Nggak.”Danes menutup pintu mobil dengan kencang.Senja yang merasa harus bicara dengan Danes pun akhirnya pasrah, ia
Kondisi kaki Senja masih belum sembuh benar tidak bisa banyak bergerak bahkan untuk memiringkan badannya pun ia tidak bisa. Wanita itu hanya tidur terlentang sambil memeluk Biru.Sedangkan Alaska di sampingnya tidur miring menghadap Senja. Ia bahkan tak rela memejamkan mata karena pemandangan di depannya sayang untuk dilewatkan.Senja tak bisa menolak kalau itu permintaan Biru. Namun seranjang lagi dengan lelaki yang sudah lima tahun meninggalkannya itu membuat perasaan Senja tak karuan. Tak bisa dipungkiri kalau cinta pada Alaska masih melekat di hatinya.“Maaf. Selama ini kamu sangat menderita karena aku. Aku mohon biarkan aku menebus semuanya, jangan pergi. Kalian bagian dari hidupku,” batin Alaska menatap lekat wajah Senja dan Biru bergantian.Keduanya sudah sama-sama terlelap. Senja yang niatnya tidak akan tidur sekarang malah terlihat nyenyak karena efek obat yang diminumnya.Dibelainya lembut pipi Senja.“Aku mencintaimu,” bisik Alaska tepat di telinga Senja.Bibirnya mengecup
“Ibu ....” Biru berlari sambil menangis.Senja buru-buru bangkit dibantu oleh Alaska.“Kenapa, sayang?”“Mau jajan cilok. Tapi, tapi Opa bilang ndak boleh.” Bocah itu terisak sambil mengusap pipinya.“Tadi bukannya Biru lagi bobo ya?” Senja mengernyit heran.Biru menggeleng. “Ndak, Biru main sama Opa di taman belakang.”Senja menatap tajam suaminya yang berbohong. Sedangkan yang ditatap malah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.Alaska memang sengaja karena ingin menghabiskan waktu berdua dengan istrinya, mumpung Biru juga anteng bersama dengan opanya bermain.“Biru ndak mau lagi main sama Opa.” Anak itu naik ke atas ranjang dan memeluk sang ibu.“Nggak boleh begitu, Nak. Opa bukan larang Biru buat jajan.” Senja mengusap lembut kepala putranya.“Opa bilang ... cilok ndak sehat. Kalau makan cilok nanti ndak tinggi badanya.”Senja terkekeh geli mendengar celotehan Biru.“Opa memang begitu, dulu ayah juga sering dilarang. Nanti Biru jajan cilok sama ayah saja ya.”Cakra itu termasuk or
“Sayang, jangan bercanda. Ini nggak lucu.” Cakra menggeleng, ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh istrinya barusan.“Coba Mas lihat baik-baik wajahnya. Tapi jangan melotot begitu, Biru takut nanti.”Cakra memperhatikan dengan lekat cucunya itu, membuat ia ingat Al saat masih kecil. Namun ia masih merasa tidak bisa percaya.“Nanti Al yang jelasin semuanya.”“Nggak bisa, kalau kamu tahu. Kamu yang harus jelasin kenapa tiba-tiba Al punya anak? Bukan dengan Mona ‘kan? Siapa wanita itu?”Tidak mampu menutupi lagi, Kasih menceritakan semuanya. mengenai Alaska dan Senja. Cakra memegangi lehernya yang tiba-tiba menegang setelah mendengar semua penjelasan dari sang istri.“Aku ... nggak bisa percaya ini.” Cakra menggeleng.“Aku juga sama, Mas. Awalnya nggak percaya, tapi ... kehadiran Biru mempertegas semuanya.”“Kenapa takdir anak-anak kita serumit ini?” Lelaki tua itu mengusap wajahnya kasar.Sedangkan Kasih menghela napas lega, ia pikir suaminya akan murka tapi ternyata tidak. I
“Istri saya sudah lewat belum?” tanya Alaska pada resepsionis. Ia tak sabar jadi niatnya pulang bersama Senja. Perkiraannya Senja baru turun dari lift dan menuju lobby.“Is-istri Bapak?” Resepsionis itu dibuat heran karena ia tahunya Alaska belum menikah.“Iya, yang tadi bawa makanan buat saya. Sudah lewat belum?”“Belum, Pak. Mungkin masih di atas, lift tiba-tiba macet, ini sedang dicoba untuk diperiksa.”“Lift khusus juga sama?”“Tidak, Pak.”“Kamu membiarkan istri saya pakai lift karyawan?” bentak Alaska.“Ma-maaf, Pak. Saya tidak ta-.”Alaska memutus sambungan telepon itu lalu keluar dari ruangannya. Ia melihat plang bertulisan lift rusak di depan lift.“Jangan-jangan Senja lewat tangga.”Lelaki itu berputar menuju tangga darurat. Langkahnya terhenti melihat kotak bekal dan tas Senja berhamburan di bawah.Tanpa berpikir lagi lelaki itu menuruni anak tangga. Saat akan mengambil tas dan ponsel Senja, sudut matanya menangkap sosok yang tergeletak tak berdaya dengan darah menggenang d
Senja terpaku berdiri di depan gedung pencakar langit milik keluarga Alaska. Ia masih tidak percaya lelaki sederhana yang lima tahun lalu menikahinya ternyata bukan orang biasa.Namun tahu siapa Alaska yang sebenarnya tidak membuat Senja memanfaatkan keadaan dan kembali pada lelaki itu. Senja hanya ingin kembali ke kampungnya setelah Biru benar-benar pulih, ia akan memulai kehidupan barunya disana.Namun sayang, keinginan sesederhana itu mendapatkannya tidaklah mudah.“Permisi, saya mau antar makan buat Mas As, eh maksud saya Pak Alaska.” Senja sudah ada di tempat resepsionis.“Bu Senja?” Resepsionis itu memastikan, tadi sudah diberitahu akan ada tamu untuk Alaska.“Iya.”“Di lantai 35, di dekat lift langsung terlihat ruangannya. Untuk liftnya bisa gunakan yang umum ya, Bu.”“Iya. Terima kasih.”“Selamat siang, Pak.” Senja menyapa lembut dengan senyum manis.Ia hanya memposisikan diri seperti sedang menemani tamunya seperti biasa. Ia tak mau terlihat hancur di depan Alaska meski lelak
“Syukurlah kalau Biru nggak apa-apa, ibu khawatir banget.”“Cuman butuh dirawat beberapa hari, habis itu bisa pulang,” ujar Burhan mencoba menutupi yang sebenarnya.Seperti apa yang diminta oleh Senja, wanita itu tidak mau ibunya tahu. Beruntung sekarang Biru sudah dioperasi, setelah menginap beberapa waktu dan dinyatakan pulih maka anak itu diperbolehkan untuk pulang.“Oh ya. Apa Aska sering kesini?”Burhan menggeleng. “Baru sekarang aku lihat dia, Bu.”Wanita paruh baya itu mengangguk, ia merasa tidak pantas kalau menanyakan tentang urusan yang menyangkut putrinya pada Burhan. Selama ini Burhan sudah berusaha mengambil hati Senja meski sampai detik ini belum berhasil, jadi Sari hanya menjaga perasaan dokter muda itu saja.Burhan mengantarkan Sari ke ruangan Biru, sebelumnya ia sudah mengirimkan pesan pada Senja. Memberitahu kalau ibunya datang.“Jam istirahatku habis, Bu. Aku permisi ya, kembali ke ruangan.”“Iya, Nak. Terima kasih ya, maaf ibu ngerepotin.”“Jangan sungkan, Bu.”Sar
“Ibu.”“Benar kamu Aska?”Alaska mengangguk. Ia benar-benar malu karena bertemu dengan ibu mertuanya setelah sekian lama, apalagi masalahnya dan Senja belum menemui titik terang.Pintu ruangan terbuka membuat Alaska dan Sari menengok.“Loh, Bu. Kenapa ada di sini?” Burhan kaget karena tidak menyangka ibunya Senja ada di sini.“Ibu nggak tenang dan memutuskan kesini, tapi kontrakan Senja sepi, kata tetangganya Biru sakit. Memang sakit apa? Kenapa nggak ada yang kasih tahu ibu?”“Bicara di ruanganku saja ya, Bu. Biru lagi istirahat soalnya, aku jelasin semuanya.” Burhan mengajak Sari ke ruangannya.Sedangkan Alaska masih berdiri mematung di sana. Ia ingin sekali masuk tapi takut membuat Senja marah. Meski mencoba untuk terlihat baik-baik saja, Alaska tahu istrinya menahan diri untuk tidak meledak seperti sebelumnya.“Pak Alaska, Anda bisa pulang kalau tidak ada kepentingan di sini.” Burhan sudah ada di sana karena kebetulan ruangannya tak jauh, ia tidak tenang kalau belum mengusir Alas
Pertanyaan itu memenuhi benak Alaska. Ia sangat penasaran kehidupan sang istri setelah ia tinggalkan lima tahun lalu.“Mas, Ibu nggak tahu ‘kan?” tanya Senja setelah menandatangani surat persetujuan untuk operasi.“Nggak. Kamu tenang saja.”Suara dering ponsel milik Alaska membuat lelaki itu buru-buru bersembunyi, ia tidak mau sampai ketahuan. Mau ditaruh di mana mukanya nanti kalau kepergok mengikuti Senja.“Apa?” Suara lelaki itu meninggi membentak sekretarisnya.“Maaf, Pak. Setengah jam lagi meeting akan dimulai.”“Ya.”Alaska mematikan sambungan teleponnya lalu pergi dari sana. Ia tidak bisa mengabaikan jadwal meetingnya atau menunda. Berniat mencari tahu lagi nanti mengenai mantan istrinya itu.“Bilangnya saja menungguku, tersiksa tapi menikah juga dengan orang lain.” Alaska menggerutu karena merasa apa yang diucapkan Senja tempo hari tidak sesuai dengan kenyataannya.*[Maaf, Pak. Untuk beberapa hari ini saya tidak bisa menemani Anda makan. Saya janji akan mengganti di hari lain