Keesokan harinya, sebelum matahari muncul di ufuk timur, Lanting Beruga telah bangun lebih awal dari pada Kakek dan Neneknya.
Malam tadi dia tidur sedikit terlambat karena suara Roh Api yang tiba-tiba. Pemuda itu menunggu sampai benar-benar larut, berharap suara Roh Api kembali terdengar, tapi sampai dia tertidur dalam posisi dudukpun, Roh Api tidak kunjung muncul.
Saat subuh ini, Lanting Beruga mencari batu asah di dapur. Dengan bantuan obor kecil, pemuda itu mulai menajami pedangnya dengan teliti.
Lanting Beruga belum pernah belajar cara mengasah pedang yang baik, -tekanan dan tingkat kemiringan pedang saat mengaasah contohnya-, tapi dengan modal yakin, pemuda itu bisa menciptakan mata pedang yang cukup tajam lagi kuat.
"Pedang ini memang tidak terlalu bagus, tapi jika aku bisa mengendalikan gerakan dan memahami serangan lawan, pedang ini masih bisa bertahan sampai 1 tahun lagi."
Setelah matahari benar-benar terbit, barulah pemuda itu menyelesaik
Lanting Beruga melihat ke samping, 3 orang pendekar muda berdiri dengan pedang terhunus ke depan. Dari pakaiannya Lanting Beruga bisa tahu jika mereka semua adalah murid dari Sekte Pedang Perak."Lancang sekali kau mengusik pendekar dari desa kami?" seorang pria bernama Lundra Pati berkata dengan geram. "Kami tidak pernah datang ke desa Ranting Hijau, membuat masalah seperti yang kau lakukan hari ini.""Tunggu!" ucap Lanting Beruga. "Aku tidak bermaksud-""Kakak Lundra Pati, orang ini datang ke sini ingin mencari masalah dengan desa kita.""Diam!" bentak Lundra Pati. "Dia tidak memiliki tenaga dalam, bagaimana mungkin kalian bisa dikalahkan olehnya?""Tapi Kakak, dia mungkin menggunakan cara licik untuk mengalahkan kami berdua. Kabar beredar jika dia menggunakan pakaian baja dibalik baju usangnya, Coyo Wigoro pernah juga ditipu oleh pemuda ini."Mata Ludra Pati menyipit, jelas tidak senang melihat Lanting Beruga. Bagaimana mungkin pemuda lem
Ludra Pati melompat ke atas, seraya memberikan tebasan yang mengirim dua cahaya terang ke arah Lanting Beruga.Namun kali ini Lanting Beruga bisa menghindari serangan itu. Ludra Pati kembali menyerang, dan tetap tidak berhasil melukai Lanting Beruga.Sampai 9 kali serangan Ludra Pati, Lanting Beruga bisa menghindarinya dengan cepat. Pemuda itu benar-benar menjelma sebagai orang lain. Dan sayangnya, Ludra Pati mulai kehabisan tenaga dalam.Serangan yang dilakukan oleh Ludra Pati mulai lemah, tidak sekuat sebelumnya.Sementara di sisi lain, tubuh Lanting Beruga juga mulai redup. Warna merah di tubuhnya berangsur-angsur lenyap, menyisakan nafas yang sesak.Ya, itu adalah efek samping yang diterima oleh tubuh Lanting Beruga ketika menggunakan kekuatan Roh Api dalam waktu yang cukup lama.Dengan kata lain, Lanting Beruga harus membayar kekuatan Roh Api yang dia gunakan dengan dada yang terasa sesak, jantung berdetak kencang seakan mau pecah
Belum pula efek samping dari kecepatannya mereda, kini ada orang lain yang datang mengusik Lanting Beruga."Tekanan tenaga dalammu sama sekali tidak ada, apa kau yang bernama Lanting Beruga?" tanya pemuda itu.Dia adalah Raka Prama, murid terbaik nomor tiga di Sekte Pedang Perak. Dia baru saja pulang dari sekte, dan menemukan adik seperguruannya juga teman-teman di desa Cemara babak belur. Mereka mengatakan jika Si Cacat yang menghajar mereka semua.Raka Prama jelas tidak percaya jika Si Cacat yang menghajar temannya, tapi teman-temannya berani bersumpah demi nama kedua orang tua mereka.Raka Prama awalnya akan mendatangi rumah Lanting Beruga di atas dataran tinggi, tapi kebetulan sekali dia bertemu dengan pemuda itu di sungai ini.Lanting Beruga masih berendam sampai saat ini. Meski efek dari kecepatannya masih dirasakan sampai sekarang, dia tetap keluar dari dalam air."Jika tidak salah kau adalah Raka Prama, kenapa kau datang mencariku?"
Serangan itu mengenai dada sebelah kiri Raka Prama, jika Lanting ingin, dia bisa menggunakan potongan pedangnya untuk membunuh Raka Prama tapi dia tidak ingin melakukannya.Raka Prama sama sekali tidak menduga jika dia juga kalah dari Lanting Beruga. Darah dari luka di dadanya mulai keluar, terasa hangat dan berbau anyir.Raka Prama tahu jika Lanting Beruga menahan diri, luka ini bisa saja lebih dalam."Aku melihat Elang Api, kau seperti yang ada di legenda, Lanting." Raka Prama tampaknya tidak berniat untuk melanjutkan pertarungan, dia cukup sadar diri. Jika Jurus Angin Di Musim Dingin saja tidak bisa mengenai Lanting Beruga, maka menggunakan jurus apapun akan sangat percuma.Sementara itu Lanting Beruga melompat ke belakang, pemuda tersebut tampak seperti sosok lain yang mengerikan.Raka Prama memeriksa bagian dadanya, ujung dari luka tepat di titik jantungnya sendiri. Jika lanting ingin menancapkan potongan pedangnya, jantung itu pasti sudah tem
Lanting Beruga membuat ukuran pedang sedikit lebih kecil dari sebelumya, tapi demikian bobot pedang itu masih terasa cukup berat.Untuk hari pertama, dia tidak bisa berlatih sampai petang hari, hanya sampai siang hari saja. Otot pemuda itu seakan mau pecah, dan rasa nyilu menyelimuti sekujur tubuh.Seno Geni tidak bisa membantu apapun, jika mereka cukup kaya, mungkin bisa membeli sumber daya pelatihan yang khusus untuk meningkatkan kekuatan otot, tapi sayang mereka miskin.Jalan satu-satunya untuk menjadi kuat adalah berlatih keras, keras dan lebih keras lagi."Lanting apa kau tidak terlalu memaksa diri dalam berlatih?" tanya Wulandari, wanita tua itu mengurut dua tangan Lanting Beruga di malam harinya."Nenek, jika aku menyerah di sini, maka aku akan terus menyerah sampai kemudian," jawab Lanting, diiringi ringisan kecil.Wulandari hanya tersenyum kecil. Ah, cucu mereka benar-benar sudah dewasa saat ini.Wulandari hanya menggunakan o
"Lanting, apa kau benar-benar tidak punya malu?" Lila Sari benar-benar mau muntah saat ini, beberapa pendekar dari Desa Ranting Hijau juga menjauhi pemuda itu. "Kau ini, harus diletakan dimana muka Pimpin Desa, melihat dirimu kelak." Lanting Beruga tidak peduli meski semua teman-teman satu desanya menggunjing, bahkan meninggalkan dirinya sendiri. Ini sudah biasa, telinganya sudah kebal karena cacian. "Beruntung kita punya Kakak Coyo Wigoro, kalau tidak aku tidak tahu bagaimana tanggapan desa tetangga terhadap kita," sambung Lila Sari. Ketika nama Coyo Wigoro di sebut, membusung dada pemuda itu. "Huh ...semua orang membuat telingaku semakin sakit," gumam Lanting Beruga, mengucek daun telinganya beberapa kali. Karena ditinggal oleh teman-temannya, Lanting Beruga bersiul kecil, meletakan dua tangan di belakang kepalanya, sambil berjalan mondar-mandir. Tindakannya jelas membuat orang semakin mengejeknya. "Lihatlah, dia
Di atas langit ada langit lagi, demikian pepatah yang menggambarkan situasi antara Ketua Sekte Pedang Perak dan Tetua Macan Giok.Sekte Macan Giok menguasai Kota Teratai Biru. Sebuah tempat yang 10 kali lebih ramai dan padat dari tiga desa ini.Tentu saja bagi mereka, Sekte Pedang Perak tiada apa-apanya. Ada banyak sekte kecil di Kota Teratai Biru, bahkan yang paling lemah di antara Sekte kecil itu, mungkin lebih kuat dari Sekte Pedang Perak.Darah Sunta Wira mengalir begitu deras saat ini, hadiah untuk juara pertama dan kedua selain mendapatkan 3 dasar pemahaman pedang, adalah menjadi bagian dari Sekte Macan Giok. Itu ialah hadiah yang paling berharga di tahun ini.Ah, tiada yang tidak ingin masuk ke dalam Sekte Macan Giok."Sekarang semua orang sudah berkumpul, aku harap para peserta bisa mengambil nomor undian,"ucap Eyang Sabat Saketi.Ada guci kaca muncul dari dalam tanah, di dalam guci itu ada kerikil hitam seperti kelereng. Setiap pese
Pemuda desa cemara itu masih berusaha untuk mengendalikan dirinya, tapi Timpu Rereng tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu. Timpu Rereng bergerak cepat, lalu meletakan ujung tombaknya tepat leher lawannya. "Menyerahlan!" Pemuda itu terlihat merah, dia mungkin sedang marah, tapi sekarang dia tahu diri bahwa saatnya untuk mengaku kalah. Menarik nafas panjang, pemuda itu kemudian mengangkat tangan, "Aku menyerah!" Sorakan dari Desa Ranting Hijau terdengar lebih riuh dari pada Desa lain. Timpu Rereng keluar dari arena pertandingan dengan dada sedikit membusung. Dia mendekati Coyo Wigoro dengan bangga, "Kakak, bagaimana menurutmu jurus tombak yang kumiliki tadi?" "Hehehe ...kau memang hebat, Tumpu Rereng, selain kalian berdua," Coyo Wigoro menunjuk Tumpu Rereng dan Lila Sari kemudian berkata, "tidak ada pemuda desa kita yang lebih baik." Coyo Wigoro tersenyum kecil, menatap Lanting Beruga yang masih duduk di tanah seorang diri.