Aku jadi yakin kalau Tio sakti mandraguna. Buktinya, Bang Ayas benar-benar berhenti mengganggu. Entah apa yang dia katakan, tapi selama dua hari belakangan ini, Bang Ayas sama sekali tidak muncul dalam jangkauan mataku. Seharusnya aku senang, kan? Seharusnya aku berterima kasih kepada Tio atas bantuannya itu. Namun, ternyata ada kehampaan yang merayap dalam dada, menikam waktu yang kini hanya terlewat dalam bisu. Ada yang menyayat-nyayat hatiku saat turun ke lobi dan mendapatinya kosong melompong tanpa ada sosok Bang Ayas yang biasanya duduk menunggu sembari menatap ke arah tangga. Tidak ada lagi panggilan darinya yang kemarin-kemarin sangat memuakkan, tapi sekarang rasanya ingin sekali lagi kudengar. Aku tahu. Ini salah. Merindukan orang yang jelas-jelas merendahkan diriku adalah suatu kebodohan. Dan aku berjanji akan segera menyudahi perasaan ini. Aku janji. Aku akan melupakannya. Sejauh ini, aku belum bisa menjumpai Acha. Sejak kemarin lalu, nomornya tidak pernah terlihat onli
Aku masih menggulir layar, mencari tahu harga jam tangan yang sama persis seperti dengan pemberian Tante Fatma. Seperti dugaanku, harganya cukup membuat sesak napas. Terlalu mahal untuk diberikan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak memiliki hubungan dekat. Aku menimbang-nimbang, sempat ingin mengembalikan, tapi mengingat Tante Fatma berkata akan sangat bahagia kalau aku selalu mengenakannya, aku jadi mengurungkan niat itu. Bagiku ini barang mewah, tapi di mata Tante Fatma mungkin ini sama murahnya dengan jam tangan dua puluh lima ribuan di pasar malam. Aku memandangi jam tangan berwarna rose gold ini. Cantik memang, terlihat simpel dan elegan. Sayangnya, benda ini diberikan di saat semuanya sudah hancur berantakan, baik hubunganku dengan Bang Ayas, maupun Acha. "Bagus. Baru, Va?" tanya Tante Elin. Terlalu larut dalam lamunan membuat aku tidak menyadari kehadirannya di dapur. Aku mengangguk. Namun, sesaat kemudian ingat kalau aku sedang kesusahan dalam hal finansial. Jadi, aka
Asli sih, ini parah banget. Sumpah. Bisa-bisanya aku ngaku-ngaku kalau Bang Ayas adalah calon suamiku! Entah kenapa hanya nama itu yang ada di kepalaku saat ingin menyombongkan diri di depan Agam. Padahal tanpa menyebutkan embel-emel 'abangnya Acha' pun Agam pasti tidak akan bertanya dengan detail siapa calon suamiku. Efek potong rambut sepertinya membuat pemikiranku jadi ikut pendek. Sumpah. Nyesel. Mana aku ngomong kayak pakai toa lagi. Benar-benar lepas kontrol! Semoga ya, semoga Tio tidak mendengar pengakuan konyolku itu. Dia pasti akan meledekku habis-habisan karena menganggap aku belum move on. Sampai di kos-kosan, aku masih terus memikirkan hal itu. Bagaimana kalau tadi ada yang iseng merekam, lalu menyebarkan video itu dan sampai ke tangan Bang Ayas? Oh, tidak! Aku meninju bantal, menggigit, dan menenggelamkan wajah. Berharap dengan begitu, semua kekesalanku berkurang. Saat sedang uring-uringan, tiba-tiba ponsel bergetar. Ya Allah. Tio! Bagaimana, dong? Tolong. Siapa
"Kok Ibu nggak bilang?" Aku mencoba memelankan suara meski tetap terdengar ngegas juga. Bagaimana tidak, bisa-bisanya Ibu tidak bilang kalau Bang Ayas datang bersama kedua orang tuanya. Acara lamaran yang seharusnya mengundang keluarga besar, memang dibatalkan. Tidak ada acara seserahan sebagaimana mestinya karena kedatangan Bang Ayas, Tante Fatma, dan Om Adnan sejatinya adalah untuk meminta maaf atas perbuatan Bang Ayas kepadaku. Kata Ibu, Bang Ayas mengakui semua kesalahannya. Dia memohon agar dimaafkan dan tetap diizinkan menjalin hubungan denganku. "Bu ….""Ibu tetap menyerahkan semua keputusan ke kamu kok, Va. Memangnya Ibu salah menyambut tamu dengan baik?"Ya, tidak salah. Tapi kan Bang Ayas jadi kegeeran! Level kepercayaan dirinya meningkat berkali-kali lipat. Sebenarnya yang membuat aku kesal bukan tentang esensipertemuan itu, melainkan kenapa tidak bilang terus terang kalau mereka datang? "Ibu tidak membenarkan apa yang Ayas lalukan sama kamu. Tapi, Ibu juga tidak berh
Jumlah uang dalam amplop cokelat ini masih sama seperti ketika aku memberikannya kepada Bang Ayas. Sepuluh juta. Tidak kurang, dan tidak lebih. Bahkan kertas pengikatnya masih dari bank yang sama, artinya Bang Ayas tidak membuka uang itu, apalagi memakainya. Uang ini dikembalikan Bang Ayas sebagai tanda setuju atas hubungan kami yang beristirahat—kalau memang tak mau dikatakan berakhir. "Pantang bagiku menerima uang dari cewek." Begitu katanya ketika aku menolak. Ya, wajar. Ini hanya sepuluh juta. Sangat kecil bagi Bang Ayas. Sedangkan tabungannya yang ratusan juta dihabiskan Diandra saja tidak diminta kembali. Dan sekarang, sepuluh juta ini berada di tanganku. Entah akan kugunakan untuk apa, karena rasanya terlalu sayang jika dihambur-hamburkan. Aku mengambil dua juta, lalu menyimpan sisanya. Sembari menenteng kebab yang kubeli via GoFood, aku berjalan menuju kediaman Tante Elin. Anak laki-laki Tante Elin yang berusia lima tahun jingkrak-jingkrak begitu tahu aku membawakannya k
"Ngerti sekarang?" Ingin kucakar wajah Bang Ezra karena tingkahnya yang pongah itu. Namun, tentu saja yang kulakukan saat ini hanyalah mengangguk setelah semua informasi yang dia berikan, tanpa terkecuali.Aku seperti baru saja ditampar sebuah kenyataan bahwa selama ini aku terlalu larut dalam kabut tebal, bergelung, tanpa pernah mencari jalan keluar yang sesungguhnya. Betapa aku mudah percaya dengan berita di luaran sana bahwa Bang Ayas menganiaya Agam lebih dulu. Padahal kenyataannya, semua itu dilakukan untuk membela diri. Hari itu, Bang Ayas diminta datang ke kampus oleh Agam yang mengatakan sedang bersamaku. Tidak salah. Bang Ayas memang sempat melihat aku bersama Agam. Dari kejauhan dia menyaksikan ketika aku berselisih dan menampar Agam. Awalnya, Bang Ayas berusaha abai. Namun, setelah aku pergi, Agam kembali mengirim pesan bahwa dia akan membuat perhitungan denganku karena sudah berani menamparnya di tempat umum. Bang Ayas meradang. Tanpa pikir panjang, dia mencegat Agam
Mau ngumpet aja, tolong! Tolong! Sumpah, manusia bodoh mana yang tiba-tiba membuka blokiran dan langsung bilang kangen? Sepertinya di dunia ini hanya aku yang melakukan tindakan konyol itu! Asli. Sekolah tinggi-tinggi, giliran chat sama Bang Ayas, otak rasanya langsung jeblok. Resva … Resva …."Katanya kangen. Kok, nggak mau angkat telefon?"Tuh, kan. Bang Ayas tuh nggak bisa dibaikin dikit. Dia langsung video call, dong! Mau di taruh di mana mukaku? Panci mana panci?! "Aku juga kangen." Tuh kan! Kenapa Bang Ayas menonaktifkan fitur baca, sih? Padahal dulu kan tidak! Makanya aku taunya, pesan centang dua abu-abu yang belum terbaca. Ah, ribet! Ponsel kembali bergetar lama. Bang Ayas kembali melakukan panggilan video untuk ketiga kalinya. Dengan ragu-ragu, aku mengusap ikon biru. Dalam hitungan detik, wajah Bang Ayas terpampang di layar. Lelaki itu mengernyit. Mungkin karena hanya melihat meja belajar yang berisi laptop dan beberapa buku. "Oh, bisa curang begitu, ya?" Dia men
"Aku masih bau matahari!" Aku membelot saat Bang Ayas mengajak ke kafe setelah Tante Fatma pamit pulang. Pria itu menyugar rambut. "Jangankan bau matahari, kamu bau lumpur juga aku mau."Gombalan receh itu membuat tawaku memburai, tapi tetap saja tidak mampu meluluhkan aku agar mengikuti ajakannya ke luar. Pasalnya, aku masih kucel, kringetan, dan mungkin juga bau asem! "Kenapa nggak makan di sini aja?" Aku melirik lunch box yang tadi dibawa Tante Fatma, sepertinya cukup untuk makan kami berdua. Bang Ayas menoleh ke arah pintu, di mana ada salah seorang penghuni yang baru saja masuk. "Kamu yakin? Aku kangen kamu, loh."Lagi-lagi aku tertawa, lalu menarik tangan pria itu ke arah dapur. Kalau hanya sebatas sini, sepertinya tidak apa-apa. Toh, ada CCTV yang memantau kami. Lagi pula, kalau kangen memangnya mau apa? Bukankah bertemu saja sudah cukup? Aku membuka lunch box, lalu menghidu aroma daun kemangi yang bercampur dengan cumi sambal hijau. Tante Fatma selalu tahu cara menggugah
Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan
Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka
Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d
Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k
"Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut
Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji
Bukan Mama kalau tidak rajin menanyai kabar anaknya. Dalam sehari, beliau bisa menelepon dua sampai tiga kali. Anehnya sejak pagi handphone-ku belum menerima panggilan dari wanita itu. Maka, selepas pulang kerja, aku memutuskan untuk video call. Apron merah muda dengan motif bunga-bunga menjadi pusat perhatianku begitu panggilan video terhubung. Di rumah ada dua asisten rumah tangga yang siap melayani keluarga kami karena Mama yang biasanya ikut sibuk mengurus pabrik, tidak punya waktu memasak. Namun, saat ini, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wanita itu berada di dapur, mengenakan apron, dan menyiapkan makanan. "Lihat, Yas, Mama masak enak!" kata Mama dengan antusias. Bisa dibilang keluarga kami berkecukupan. Jadi, sangat berlebihan jika sebatas olahan ayam dikatakan enak. "Tumben Mama masak." Aku menopang dagu dan tidak protes ketika diabaikan oleh Mama. Sepertinya Mama meletakkan ponselnya di suatu tempat sehingga kamera bisa menyorot ke arah yang sedang terlihat sibuk.
"Kapan nikah?""Nggak bosen sendirian terus, Yas?""Cuma kamu lho yang belum nikah."Kalimat seperti itu sudah menjadi santapanku sehari-hari. Tidak hanya datang dari keluarga, tapi juga teman-teman semasa kuliah dan juga SMA. Mereka sangat perhatian sampai statusku saat ini menjadi topik utama setiap pertemuan. Biasanya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Namun, ada satu pertanyaan yang selalu membuat aku malas hadir di acara-acara penting. Dan bisa dipastikan aku akan langsung memberikan jawaban menohok. "Belum move on dari Diandra, Yas?" Nama perempuan itu telah lama hengkang dari hatiku. Tepat setelah mengetahui dia menikah dengan Hanif, anak dari adik sepupu Mama yang sewaktu kecil sering mengambil mainanku di rumah. Mendengar nama Diandra tidak membuat aku kembali tenggelam dalam kidung nostalgia. Waktuku terlalu berharga jika hanya dihabiskan untuk menangisi pengkhianat sepertinya, yang pernah mengemis-ngemis di kakiku untuk dijadikan kekasih, tapi mengobral selangkangan
Aku baru tahu ternyata Bang Ayas yang selama ini terkesan kaku, judes, dan terkadang menyebalkan bisa semanja itu kepada ibunya. Sehabis makan malam, dia terus mengekori Tante Fatma, mengeluh sakit kepala. "Serius, Ma. Mama tega biarin aku nyetir?" Bang Ayas merebahkan kepalanya ke pangkuan Tante Fatma yang sedang duduk di sofa ruang tengah. Tante Fatma mengusap kepala Bang Ayas, menunduk demi melihat lebih jelas. "Mana. Nggak kelihatan yang sakit""Ya, nggak kelihatan, Ma. Sakitnya dari dalam."Acha yang melihat tingkah kakak sulungnya itu hanya tertawa. Ketika ibunya berpaling, dia memberi kode kepada Bang Ayas. Jari dan telunjuknya bertemu, membentuk huruf O. Isyarat itu disambut baik oleh Bang Ayas. Dibalas dengan kode yang sama pula. "Ya sudah, kamu boleh menginap di sini. Tapi, Resva tidur sama Mama." Bang Ayas dan Acha langsung saling pandang, sebelum akhirnya sama-sama mengembuskan napas lelah. Dengan gontai, Acha naik ke lantai dua. "Ngantuk," ucapnya ketika ditanya ken