Keberadaan Alya***"Di mana dia sekarang?" Rio mengulangi pertanyaannya."Aku butuh bantuanmu, Rio. Bersiaplah, aku akan menjemputmu, nanti kujelaskan dalam perjalanan." Kembali kukirim pesan suara pada Rio, setelah itu, aku bergegas keluar menuju mobil untuk menjemput Rio.Dalam perjalanan, aku menyempatkan untuk menelepon Mas Ilham. Bagaimanapun juga, dia adalah kakak dari Alya sekaligus om dari anakku, Hanna. Dengan begitu, aku bisa mendapatkan bantuan dari banyak orang, karena kasus ini terlalu berat jika harus kutanggung sendirian, terlebih Hanna, dia masih terlalu kecil untuk terlibat dalam masalah orang dewasa. Aku tidak habis pikir, kenapa para bedebah itu sampai hati melibatkan anak kecil seperti Hanna."Halo, ada apa Ndra? Hanna sehat?" Tanya Mas Ilham begitu sambungan telepon terhubung."Mas ... sebenarnya aku ingin memberi kabar tentang Hanna, juga Alya," jawabku ragu."Apa yang terjadi pada Hanna, apakah dia sakit? Lalu Alya, kenapa dia?" Cecarnya.Aku tidak tahu harus m
Menyelamatkan Hanna dan Dini***Terlihat seseorang keluar dari mobil yang baru saja berhenti tidak jauh dari kami. Namun aku tidak tahu siapa, Karena kami berada di sisi lain.Kulihat Rio memintaku untuk tidak bersuara, sementara siapa dia mengendap-endap untuk melihat seseorang yang baru datang tadi.Rio berjalan sambil berjongkok, kemudian dia melongokkan kepala melihat ke arah sosok tersebut. Suara langkah kaki mendekat, dan berhenti tepat di belakangku, untuk beberapa saat, aku menahan napas."Alya, Alya...apa yang terjadi padanya? Di mana Hanna?" Tanyanya dengan suara panik.Belum sempat aku menoleh untuk melihat orang siapa tersebut, kulihat Mas Ilham menerjang dan memeluk Alya yang terbaring di atas pangkuanku.Dia mengejutkan tubuh Alya sambil memanggil namanya.“Mas Ilham, Alya baik-baik saja,” kataku lirih."Baik-baik saja katamu, kamu tidak melihat kondisinya sekarang?!" Mas Ilham menarik kerah bajuku, sepertinya dia sangat marah melihat kondisi Alya, dan ingin melampias
Pengorbanan Sania***"Jangan, hentikan!" Teriaknya.Teriakan dari seseorang yang suaranya sudah sangat aku hafal.Untuk memastikan siapa pemilik suara itu, aku berusaha bangkit dan melihat ke arah suara tersebut.Di dekatku, Sania berdiri sambil memegang perutnya. Wajahnya terlihat semakin pucat, dan dari perut yang dipegang, merembes cairan berwarna merah--darah."Sania, Sania ... apa yang telah kamu lakukan?" Vito berlari ke arah Sania, dia terlihat panik melihat Sania terluka dan berdarah. Sementara itu, lelaki bertubuh kekar yang tadi hendak menikam Alya dengan pisau, mundur beberapa langkah. Tangannya gemetar, hingga pisau yang dipegangnya terjatuh. "Apa yang telah kamu lakukan pada Sania? Dasar bodoh!" Umpat Vito disertai dengan tinju yang mengarah ke wajahku anak buahnya."Ma--maafkan saya, Bos. Saya tidak tahu kalau dia akan berlari ke sini," ucap pria itu berusaha menjelaskan.Tidak terima dengan penjelasan anak buahnya, Vito kembali menghajarnya. Aku tidak menyia-nyiakan
Terima Kasih, Sania***"Bagaimana keadaanmu, Alya?" Tanyaku sesaat setelah gadis itu membuka kedua matanya. Bola matanya berputar memindai seluruh ruangan, dia terlihat sedikit bingung. Lalu pandangannya terhenti padaku"Mas, aku di mana?" Tanya Alya sambil meraba kepalanya, dia meringis kesakitan. Mungkin kepalanya masih terasa nyeri akibat dihantam benda tumpul berkali-kali kemarin."Syukurlah, kamu sudah sadar," jawabku. "Kamu saat ini sedang berada di rumah sakit setelah sehari tidak sadarkan diri." Aku melanjutkan.Alya termenung, dia terlihat sedang mengingat sesuatu. Mungkin kejadian terakhir yang dia ingat sebelum jatuh pingsan."Beristirahatlah, jangan banyak bergerak dulu," kataku saat melihat dia berusaha untuk duduk, kemudian memintanya untuk kembali berbaring."Hanna, di mana dia dan bagaimana keadaannya, Mas? Apakah dia baik-baik saja?" Cecar Alya.Rupanya dia sedang mengkhawatirkan keadaan Hanna, meskipun dirinya dalam keadaan tidak baik-baik saja.Bahkan kemarin, dia
Semoga Tenang di Sana***"Sania ... Sania," aku beberapa kali memanggil namanya seperti orang yang kehilangan akal."Andra, apa yang kamu lakukan? Apakah kamu ingin orang-orang itu menganggap dirimu gila?!"Rio menarik tanganku kasar hingga membuatku tersentak. Aku mengusap wajah kasar sembari berjalan mondar-mandir, sementara itu, Rio menatapku dari tempatnya berdiri dengan tatapan yang---entah."Ikut denganku!" Sentak Rio.Dia menarik tanganku kasar, dan aku hanya mampu mengikuti langkahnya tanpa tahu ke mana dia akan membawaku. Hingga akhirnya kami berhenti di depan sebuah ruangan, dari sorot matanya, sepertinya dia sedang memberitahuku, kalau di dalam sanalah Sania berada.Perlahan, aku mendekat ke arah jendela kaca untuk melihat ke dalam. Di dalam sana, kulihat Tante Mutia sedang duduk di sebelah tempat tidur, terlihat wanita itu sedang berdoa, hal itu terlihat dari buku yang dipegangnya, sebuah Alkitab, sementara di tangan kanannya, sebuah rosario digenggamnya erat. Sebuah pema
Titik Terang***Setelah ikut mengantarkan Sania ke tempat peristirahatan terakhir, aku sengaja tinggal di sana lebih lama, menunggu orang-orang pulang semua.Tante Mutia mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Sania, juga meletakkan seikat mawar merah di dekatnya. Bunga itu kesukaan Sania, aku dulu sering membelikan untuknya setiap kali dia merajuk denganku.Aku menuntun Tante Mutia menuju mobil, ketika hendak masuk ke dalam, wanita itu berkata, "Sebaiknya Tante naik taksi saja, Andra.""Mana bisa begitu, Tante, di sini tidak ada taksi. Lagipula, saya memang sengaja ingin mengantarkan Tante pulang karena ada sesuatu yang ingin saya bicarakan," kataku.Wanita itu tertegun sejenak, lalu dia masuk ke dalam mobil.Aku menarik napas lega, setidaknya, aku mempunyai kesempatan untuk berbicara dengannya tentang beberapa hal, sesuatu yang mungkin tidak seharusnya aku tanyakan nanti, mengingat dia masih dalam suasana berduka dan baru saja kehilangan.Tante Sania mempersilahkan aku duduk, sem
Ada Apa?***"Kalian kapan?" Pertanyaan Sini kemarin masih terngiang di telinga. Alya yang mendengar pertanyaan Dini, mengalihkan perhatian saya. Dari sorot matanya, aku seperti melihat sesuatu di sana. Saat aku mencoba menyelam ke dalamnya, Alya buru-buru mengalihkan pandanganya, seolah tidak ingin aku mengetahui apa yang tersimpan di dalam sana.Dengan sedikit canggung, dia mencoba tersenyum untuk menjawab pertanyaan Dini. Senyuman Alya begitu manis, namun entah kenapa, aku merasakan kalau dia sedang menyimpan sebuah kegetiran. Ingin sekali aku bertanya tentang semuanya, sehingga membuatnya terlihat begitu gundah, namun aku tidak tahu, harus dari mana memulainya. "Aku ingin kalian berdua datang sebagai tamu istimewa sekaligus saksi dalam pernikahan kami nanti. Karena itu juga yang diinginkan oleh Mas Rio," ucap Dini pada kami sebelum dia pamit pulang.Di luar, terdengar suara riuh orang yang sedang berbicara. Aku yakin itu adalah suara anak-anak dan juga ibu serta Rahma.Melihat
Bertemu Nirmala****Pertemuanku dengan Rio, yang diharapkan bisa mengurangi rasa gamang, justru membuatku semakin merasa gamang. Apa yang dikatakannya berhasil membuatku tidak bisa tidur semalaman, terlebih ketika aku mengingat kata-kata yang diucapkan untuk, "Apakah aku yakin?"Bukan karena aku tidak yakin dengan cinta Alya, ataupun keinginanku untuk menikah dengannya. Namun, aku adalah pria normal, dan saat ini menyandang status duda hampir dua tahun. Jika selama ini aku mampu melalui hari-hariku tanpa terbebani dengan keinginan lelakiku, bukan berarti aku telah lupa atau kehilangan hasrat lelakiku, semua itu karena aku lebih memilih untuk menenggelamkan diriku dalam kesibukan. Kerja kerja dan kerja, selalu menjadi prioritas utama, bahkan aku terkadang lupa untuk meluangkan waktu untuk kedua buah hatiku, Hanna dan Haikal. Jika membayangkan semua itu, aku tidak tahu, apakah harus merasa bangga atau justru sedih, karena selama dua tahun itu, aku melalui hari-hariku seorang diri, m
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid