Dari pertama kerja sejak aku cuti terasa sedikit aneh, bahkan sejak menginjakkan kaki di lobi, tatapan dari mereka yang bertemu atau berpaasan denganku begitu dingin, namun aku memilih untuk tidak menghiraukan mereka semua dan langsung menemui Rio. "Bagiamana anak-anakmu?" tanya Rio. "Apakah mereka sudah bisa menerima kalau mama mereka tidak lagi bersama mereka, terutama Hanna?" Rio melanjutkan begitu aku duduk di depannya.Aku menarik napas dalam, mencoba melonggarkan dada agar tidak terasa terlalu sesak."Entahlah. Semua ini begitu tiba-tiba bagiku, Rio. Aku harus membiasakan diri menjadi papa sekaligus mama bagi mereka, dan itu sangat berat. Terlebih tidak banyak yang kuketahui tentang anak-anakku atau rumahku sendiri."Rio terdengar menghela napas, lalu dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, memandangku beberapa saat dan kembali menarik napas dalam."Semua belum terlambat Andra, kamu bisa mulai mendekatkan dirimu dengan kedua buah hatimu mulai sekarang. Kembalikan sesuatu y
Aku tidak meneruskan kalimatku saat Alya tiba-tiba memotong kalimatku dengan cepat."Mbak...tolong siapkan makan malam, ya, Mas Andra sudah pulang. Kita akan makan bersama," ucap Alya memberi perintah pada Sania.Sania menatap Layar dengan tatapan yang---entah. Namun jelas terlihat kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Sania masih menatapku tajam, meremas kain lap yang dia pegang."Mbak, kamu dengar kan, apa yang kukatakan? Semua sudah siap, tinggal menghidangkan di atas meja saja," ucap Alya kembali memberi perintah.Tanpa berkata, Sania berlalu ke belakang. Ingin sekali mulut ini berkata kasar pada Alya, seperti yang sering kulakukan pada Laila. Namun kata-kata itu seolah terhenti di tenggorokan.“Kamu kenapa, Mas Andra, kok bengong gitu? Anak-anak sudah lapar, lho,” ucapnya membuyarkan lamunan."I-iya, kita makan sekarang," jawabku. Lagi-lagi dengan tergagap.Saat di meja makan, suasana begitu kaku. Sania menekuk wajah dan sesekali memberi isyarat padaku untuk berbicara dengannya.
"Ini gila Sania, benar-benar gila," ucapku dengan suara tertahan. Bagaimana mungkin Sania akan berpura-pura jadi pembantu di rumah ini, sementara dia sama sekali tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah, dia bahkan tidak bisa mengambil hati Hanna."Mas, kenapa kamu malah bengong? Bukankah ini bagus? aku jadi bisa bertemu denganmu setiap hari. Ini benar-benar di luar dugaanku semula, tapi ... aku sangat menyukai sandiwara ini," ucap Sania berapi-api."Ini bukan ide yang bagus Sania, bagaimana kalau tiba-tiba pembantu yang asli itu datang?""Itu bisa diatur nanti, Mas. Lagipula, aku bisa pergi kapanpun aku mau, kan? Jadi lupakan dulu soal kekhawatiranmu itu, Mas.""Tapi Sania, aku tidak yakin kalau kamu mampu melakukannya. Apalagi kamu harus memakai pakaian seperti itu, belum lagi saat Alya memintamu melakukan ini dan itu," ujarku gusar.Sania berdiri, dia lalu mendekatkan tubuhnya padaku sambil berbisik, "Apakah kamu lupa siapa aku Mas? aku bisa dengan mudah membuatmu tergila-gila padaku
Apa sebenarnya yang ingin kamu lakukan, Alya?" selidikku. Karena firasatku tiba-tiba menjadi tidak enak, apalagi ketika dia mengatakan kalau akan berangkat bersama."Aku mau Mas Andra memberi kami tumpangan sampai di pasar," jawab Alya santai, dan itu membuatku merasa semakin tidak nyaman. Atau mungkin, aku terlalu berlebihan menanggapi sesuatu? Entahlah."Sebaiknya saya sendiri yang ke pasar, karena tidak baik membawa anak-anak ke sana. Terlebih mereka masih kecil," ucap Sania menimpali. Dia melihatku penuh arti, dan seketika aku mengerti maksudnya dari ucapan Sania tersebut."Alya, apa yang dikatakan Suci benar. Lebih baik kamu di rumah bersama anak-anak, biar Suci yang ke pasar," ucapku.Alya terdiam, dia melihat Haikal dan Hanna bergantian. Lalu dia mengulas senyum."Baiklah kalau begitu, karena aku sebenarnya malas kalau pergi ke pasar. Oh iya, ini catatan belanjaan hari ini dan tempat di mana harus membelinya juga sudah aku tulis, sekalian nama penjualannya."Alya menyerah selem
Bertemu Dokter Leo****Untuk beberapa saat aku seperti kehilangan arah, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga kudengar suara dokter Leo di ujung telepon memanggilku."Pak Andra masih di sana?" tanyanya pelan, mungkin dia berpikir aku sudah meninggalkan percakapan."Ma--maaf, Dok, tadi sedang ada sesuatu sedikit," kataku gugup. "Sebenarnya apa yang ingin dokter Leo bicarakan dengan saya?" lanjutku.Dari ujung telepon, terdengar tarikan napas dokter Leo. "Pak Andra, ada yang ingin saya sampaikan pada Bapak mengenai bu Laila. Jadi jika ada waktu, tolong temui saya," ucapnya."Tentu saja, saya akan segera ke tempat Dokter. Apakah hari ini kita bisa bertemu?" Kataku sekaligus mengiyakan permintaannya."Setelah makan siang, saya akan ke sana. Apakah bisa?" tanyaku."Baiklah, saya tunggu."Aku mengakhiri panggilan dan menyandarkan punggung ke bantalan kursi. Kepala terasa begitu berat, kematian Laila, penyadapan ponselku, semua membuat kepalaku berdenyut hebat.Kulirik arloji di tangan, dan
Jawaban Menohok Alya***Gadis yang duduk di depanku ini diam sesaat, entah apa yang dipikirkannya saat itu. Kemudian dia menatapku lekat, seolah menantang tatapan mataku."Kenapa baru sekarang Mas Andra bertanya tentang mbak Laila?" tanyanya."Aku ....""Mbak Laila sudah tiada, jangan lagi mengungkit tentangnya. Tapi ... ingatlah apa yang selama ini dia lakukan untukmu. Apa saja yang sudah dikorbankan untuk bisa tetap berada di sampingmu. Mbak Laila sangat cerdas, dia punya cita-cita menjadi seorang dokter waktu itu. Namun dia harus mengubur impiannya ketika Mas Andra datang dalam hidupnya, memberinya mimpi dan harapan hingga membuatnya jatuh cinta. Meski demikian, tidak sekalipun mbak Laila melupakan cita-citanya, dia ingin tetap sekolah. Namun apa yang Mas Andra lakukan saat itu?" Alya bertanya, matanya masih menatapku tajam."Aku ...." kataku dengan dengan suara tercekat."Biar aku ingatkan jika Mas Andra lupa," ucap Alya cepat memotong kalimatku."Saat itu Mas Andra datang ke rum
Apa Yang Diketahui Alya?***Perlahan kulangkahkan kaki menuju pintu untuk mengetahui apa yang terjadi, namun hal itu urung kulakukan dan memilih menghentikan langkah sambil menajamkan pendengaran. Aku ingin tahu apa yang terjadi di luar kamarku saat ini. Namun setelah beberapa saat, tidak ada suara apa-apa lagi setelah itu, sepi. Apakah mereka telah pergi?"Mbak Suci, kenapa malah bengong seperti itu? kalau Mbak membutuhkan sesuatu, katakan saja padaku."Kembali terdengar suara Alya yang sedang berbicara dengan Sania di luar sana, itu artinya mereka berdua masih di depan kamarku."Itu ... saya tadi sedang menyapu dan mengepel," jawab Sania, suaranya seperti orang bingung."Kan kemarin saya sudah bilang, Mbak, kalau membersihkan rumah, tunggu kakak saya berangkat bekerja dulu. Setelah itu baru Mbak mulai bersih-bersih. Kalau seperti ini, siapa yang jagain anak-anak sementara saya sedang menyiapkan sarapan. Ayo cepat ke depan, anak-anak tidak ada yang jagain tuh ...."Alya berkata panj
Apa Yang Terjadi?****"Sa, Su ... Suci, apa yang terjadi denganmu, kenapa kepalamu?" tanyaku panik. Hingga membuatku hampir saja keceplosan dan salah memanggil nama Sania."Dia terpeleset di kamar mandi tadi," jawab Alya cepat."Kok bisa?" gumamku dengan tidak percaya.Rupanya Alya mendengar apa yang kukatakan tadi meski lirih, dan dia pun menjawab dengan cepat. "Tentu saja bisa, Mas. Jangankan mbak Suci yang bergerak ke sana ke mari, orang tidur saja bisa jatuh dari tempat tidur," ujarnya sinis sambil mengangkat sebelah alisnya, dan hal itu membuatku benar-benar muak dan sebal melihatnya."Mas, titip Haikal sebentar. Aku mau mandi, seharian enggak sempat mandi karena sibuk," ucap Alya sambil menyerahkan Haikal padaku yang masih mematung. Hanna berlari mengejar Alya menuju kamar, sementara Sania bersandar di dinding. Dia menggelengkan kepalanya dan berjalan tertatih menuju kamarnya."Sania, tunggu," panggilku dengan suara lirih. Namun dia tidak menghiraukanku dan terus berjalan ke
All Well, End Well****Alya menatapku, kedua matanya berkaca-kaca, perlahan, air matanya luruh membasahi pipinya."Kamu menangis, Alya?" Tanyaku sambil mengusap air matanya. "Mas ...." ucapannya lirih, memanggilku.Buru-buru aku merengkuhnya ke dalam pelukan. "Kamu hebat, Alya, kamu sudah menunaikan kewajibanmu sebagai istri di malam pertama, kamu sekarang menjadi wanita dan seorang istri seutuhnya," kataku.Alya menenggelamkan kepalanya dalam pelukan, isaknya masih terdengar."Aku sangat bahagia, Mas," ucapnya lirih."Andai aku tahu, kalau menjadi istri itu senikmat ini, seharusnya kita menikah lebih awal," kata Alya lagi.Aku merenggangkan pelukan, mencoba melihat ekspresi Alya, dia tidak lagi menangis, senyum tipis terukir di bibirnya."Alya ... jangan katakan kalau kamu minta lagi?""Aku tidak bilang begitu," ucapnya sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.Namun ucapan Alya tadi, cukup bagiku untuk kembali membawanya berpacu denganku."Kita lakukan lagi, ayolah, pokoknya
Malam Pertama****Hari ini semua keluarga sudah berkumpul di rumah, aku sendiri, meskipun semalaman tidak bisa tidur karena terlalu gembira dan tidak sabar menunggu hari ini, merasa begitu bersemangat. Tidak merasa ngantuk ataupun lelah.Ibu beberapa kali merapikan baju yang kupakai, sambil sesekali melihat ke luar, kami semua menunggu kedatangan Alya dan keluarganya. Seperti yang telah kami sepakati sebelumnya, kalau kami akan melakukan akad nikah di KUA saja. Dan ternyata, ada beberapa pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan pernikahan hari ini. Aku sendiri, mendapatkan nomor urut 3. Tidak apa-apa, aku bahkan bersyukur, dengan begitu, ada waktu untuk belajar mengucapkan ijab kabul."Santai saja, ga perlu tegang begitu. Toh ini bukan pernikahan pertama elu," seloroh Rio yang saat itu memang datang untuk menjadi saksi dalam pernikahan kami."Elo belum ngerasain di posisi gue, coba nanti dah, apakah bakal grogi apa enggak," sungutku.Rio terkekeh, lalu dia kembali berseloroh,
Bertemu Mas Ilham****Buru-buru aku mengakhiri panggilan telepon dari ibu dan sebelumnya mengingatkan agar beliau tidak lupa untuk mempersiapkan acara akad nikah nanti.Pelan, mataku mengeja satu persatu huruf yang tertulis di pesan yang dikirim Alya."Ibu dan Mas Ilham setuju." Aku membaca sekali lagi pesan itu, dan kali ini aku berteriak untuk meluapkan rasa bahagiaku."YESS, gue nikah, gue kawin!!"Teriakku sambil mencium ponsel yang kupegang berkali-kali.Dan aku beruntung di rumah tidak ada siapapun, sehingga tidak akan ada orang yang mengira aku telah gila. Meskipun ada yang menganggap ku gila, aku tidak peduli itu.Aku duduk di tepi tempat tidur dengan perasaan yang masih dipenuhi rasa bahagia. Ketika tiba-tiba ponselku kembali berdering dan membuyarkan semua kegembiraanku."Aku ingin berbicara denganmu, datang ke alamat ini." Sebuah pesan yang dikirim oleh Mas Ilham membuatku mengernyit dahi. "Untuk apa Mas Ilham ingin bertemu denganku? Bukankah dia sudah memberikan ijin pa
Memenuhi Wasiat Laila****Pertemuan dengan Nirmala berjalan lancar, bahkan lebih mudah dari yang kubayangkan. Nirmala meyakinkan Alya kalau dirinya tidak akan meninggalkan Mas Ilham hanya karena selalu menunda rencana pernikahan mereka. Nirmala melakukan semua itu, karena ingin membuat Mas Ilham bisa bersikap lebih tegas dan mengerti posisi dirinya.Sebagai seorang wanita, Nirmala merasa statusnya selalu digantung. Meskipun Mas Ilham selalu meyakinkan dirinya untuk selalu setia dan akan segera menikah dengannya begitu Alya menikah, namun hal itu tidak cukup untuk membuat Nirmala sabar menunggu. Mengingat usianya sudah tidak lagi muda, dan tidak ada yang bisa menjamin jika Mas Ilham akan memenuhi semua janjinya. Selain itu, tekanan dari kedua orang tuanya, semakin membuat Nirmala tidak mempunyai banyak pilihan, selain mendesak Mas Ilham untuk segera menikah dengannya. Untuk hal itu, aku bisa memahaminya. Walau bagaimanapun, Nirmala adalah seorang wanita. Dia bahkan sudah menghabiska
Ini Salahku****Nirmala masih mematung di tempat duduknya, dia terlihat sangat terkejut dengan kehadiran Alya di sana, karena aku sedari awal memang tidak mengatakan padanya kalau Alya juga akan datang. Selain itu, sepertinya ucapan Aly lah yang membuatnya terpaku seolah kehilangan kata-kata.Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi di antara mereka berdua, namun melihat bagaimana reaksi Nirmala padaku, juga caranya dia berbicara dengan Mas Ilham yang selalu menyalahkan Alya, seperti dia memang kurang menyukai Alya.Alya menarik kedua sudut bibirnya hingga membuat matanya sedikit menyipit, dia tersenyum manis padaku. Seolah ingin mengatakan padaku kalau dirinya baik-baik saja, dan akan menyelesaikan masalahnya dengan Nirmala."Mbak Nirmala apa kabar?"Tanya Alya beberapa saat setelah dia duduk di sebelahku, ketika Nirmala sudah terlihat lebih tenang dan keterkejutannya hilang dari ekspresi wajahnya. Meskipun dia masih terlihat canggung dan tidak nyaman berada di sana, hal itu jelas ter
Menemui Nirmala****Alya sudah terlihat lebih tenang, dia juga sudah tidak lagi menangis. Hal itu membuatku merasa sangat lega, setidaknya, semua berjalan sesuai rencana. Alya menerima lamaran dariku, bahkan dia juga bersedia untuk mempercepat pernikahan kami.Alya memandangku lekat, aku mencoba menantang tatapan matanya hingga pandangan kamu beradu. Kesempatan itu kugunakan untuk bertanya sekali lagi padanya."Aku duda dengan dua orang anak, apakah kamu yakin menerimaku untuk menjadi suamimu?" Tanyaku."Aku, Alya, gadis jutek, manja dan keras kepala, akan menerima Andra Haruki sebagai suami sekaligus ibu sambung bagi kedua anaknya. Akan aku cintai dua anak itu, seperti aku mencintai papanya," jawab Alya.Kedua sudut gadis itu terangkat hingga membentuk senyum yang begitu manis. Senyum yang serta Merta membuat duniaku menjadi berwarna, bahkan jauh lebih berwarna daripada lembayung senja di ufuk barat sana. "Kamu cantik sekali, Alya," pujiku."Aku tahu, Mas Andra sering bilang itu pa
Menikahlah Denganku***"Mas ... kamu ini kenapa, sih?"Alya bertanya, wajahnya terlihat sedikit bingung. Melihat dia yang kebingungan, membuatnya terlihat semakin menggemaskan, terlebih, dengan kedua pipi yang merona merah.Aku mengeluarkan cincin yang kubeli beberapa waktu yang lalu, namun belum sempat memberikan padanya karena menunggu waktu yang tepat, dan sepertinya, waktu itu telah datang untukku memasang cincin itu di jari manisnya."Mas, ini ...."Alya menggantung kalimatnya ketika aku meraih tangannya, serta menyematkan cincin di jari manisnya. "Aku, Andra Haruki, duda dengan dua orang anak. Hari ini memintamu untuk menjadi istriku, maukah kamu menikah denganku?" Tanyaku pada Alya.Mata gadis itu berbinar, wajahnya yang sejak tadi bersemu merah, kini makin merona. Dia memandang tanpa berkedip pada jari manisnya, jari yang baru saja kusematkan cincin di sana. Beberapa kali dia mengerjap, meskipun dia masih belum berkata, namun dari bahasa tubuhnya, bisa kulihat pancaran kebah
Mas Ilham dan Nirmala****Berkali-kali aku menghela napas dalam, kepalaku kembali berdenyut setiap kali aku mengingat kalimat demi kalimat yang diucapkan Wida tadi.Seumur hidup, aku tidak pernah berpikir untuk melakukan apa yang dia sebarkan tersebut. Bahkan, seandainya diberi kesempatan untuk terlahir kembali pun, aku tetap akan memilih untuk dilahirkan menjadi diriku saat ini, sebagai lelaki normal yang mencintai wanita dan mempunyai anak.Kusandarkan punggungku di sandaran kursi dan memejamkan mata. Pengakuan Wida tadi, membuatku berpikir sejenak tentang apa yang dia katakan. Dia bilang kalau dirinya menaruh perasaan terhadap Rio selama ini, namun yang aku tidak mengerti, kenapa dia tidak pernah mengungkapkan isi hatinya atau setidaknya, menunjukkan rasa sukanya terhadap Rio.Jangan-jangan selama ini aku saja yang tidak peka dengan perubahan sikapnya setiap kali bertemu dengan Rio.Lalu ingatanku melayang pada sebuah kejadian beberapa waktu yang lalu.Seperti biasanya, aku selal
Cemburu Yang Membutakan ***"Apakah saya pernah berbuat suatu kesalahan padamu, Wida?"Aku kembali bertanya pada Wida yang masih bersimpuh di lantai, karena sejak tadi, dia hanya menangis sambil mengucapkan kata maaf tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya kesalahan yang telah dia lakukan. Meskipun sekilas, aku sudah mempunyai gambaran tersendiri. Wida, sudah cukup lama gadis itu bekerja di perusahaan tempat aku bekerja. Sebelum menjadi sekretarisku, dia dulu bekerja di bagian administrasi. Entah bagaimana ceritanya, sehingga dia mendapatkan posisi sebagai sekertaris. Awalnya aku sering salah memanggil namanya, karena dia memiliki nama yang hampir sama dengan sekretaris sebelumnya, Widi, yang mengundurkan diri setelah melahirkan anak pertamanya, iya, nama mereka hanya beda satu huruf saja, Widi, Wida.Aku berjalan menjauh dari Wida, kubuka sedikit pintu untuk melihat ke luar. Aku tidak ingin keributan di dalam ruang kerjaku ada yang menguping, kemudian menyebarkan berita palsu dan tid