“Eh Giselle, nanti habis ini ke ruangan saya ya,” ujar Mas Teddy kepadanya disela-sela kegiatan Giselle mereview dokumen yang tempo hari diserahkan oleh Raka di kantor Danudihardjo Enterprise. “Oh, ada masalah apa Mas Teddy?” Giselle mengerutkan dahinya bingung. Sebenarnya sejak dahulu dia sedikit tidak nyaman kalau meeting berdua dengan Mas Teddy. Makanya selama ada Mas Dirga, mereka suka sekali meeting bertiga atau berempat dengan beberapa junior konsultan. Mungkin bisa dihitung jari juga berapa kali Giselle dan Teddy meeting empat mata di kantor. Karena kebanyakan kasus yang mereka tangani seringkali berbeda, dan itu sebenarnya membuat Giselle merasa sedikit bersyukur. Tapi sejak Mas Dirga resign, Mas Teddy kini sering kali mampir ke ruangannya dan mengajak Giselle pulang bareng. Untung saja dia punya mobil sendiri, jadi dia selalu ada alasan juga kalau diajak pulang bareng. Dahulu juga Giselle menggunakan nama Tristan sebagai tameng untuk menolak ajakan Mas Teddy makan bare
“Ck… Begini sikapmu terhadap senior? Gue ngerasa kalau lo juga nggak punya relasi yang baik ya dengan rekan kerja sebelumnya.” Teddy melemparkan tuduhan kepada Akira.“Saya tidak butuh validasi darimu, Teddy. Jadi saya nggak peduli dengan pendapatmu terhadapku. Kita langsung masuk ke pokok pembicaraan saja!” Akira mengedikkan bahunya dengan santai. Seakan tak peduli dengan ucapan miring yang baru saja diucapkan oleh Teddy.“Mau bicara tentang apa dengan Giselle? Ayo percepat, karena saya dan Giselle masih perlu meeting dengan agenda lain yang lebih jelas dan penting, tentu saja.”Akira memarkir tubuhnya di sofa, dengan isyarat tangannya meminta Giselle untuk duduk di seb
Akira berjalan gusar, mondar-mandir di ruangannya sendiri selepas meeting tidak jelasnya dengan Teddy. Dadanya bergemuruh ketika melihat dengan jelas bagaimana Teddy memandang Giselle di hadapannya. Ingin rasanya dia meninju wajah sengak pria itu di tempat. Tapi tentu saja dia tak mengikuti emosinya dan bersikap tenang serta mengedepankan kepala dinginnya. Tak lama kemudian, Giselle masuk ke dalam ruangannya dan menutup rapat pintunya. “Akira… ” Gadis itu membuka suara, namun dia juga bingung mau berkata apa setelah interaksi mereka bertiga. “Give me a moment, Giselle.” pinta Akira. Dia butuh waktu beberapa saat untuk menenangkan ego-nya yang meronta penuh rasa cemburu. Giselle hari ini tidak banyak membantah, dan dia menuruti permintaan Akira. Akhirnya gadis itu memilih untuk duduk di sofa, seraya memperhatikan dirinya yang sibuk mondar-mandir untuk mengeluarkan ekses energinya. Setelah dirasa dia bisa mengendalikan dirinya dan bisa berbicara secara logis bersama Giselle, barul
Setelah kemarin dirinya dan Akira ngebut menyelesaikan beberapa review dokumen untuk proyek merger Danudihardjo, Giselle akhirnya bisa bernapas sedikit lega di Jumat malam.Dia menuntaskan pekerjaannya minggu ini serta beberapa pekerjaan yang tenggat waktunya minggu depan sampai dia lembur hingga jam 10 malam.Akira dan Giselle sudah beberapa kali berpindah tempat, mulai dari The Black Guard Cafe yang ternyata memang kopinya begitu fresh dan premium. Sampai, makan siang bersama di sebuah restoran Bebek Perdikan dengan interior dan juga suasana asri menemani sepanjang makan siang mereka.Lalu sorenya mereka berdua kembali ke kantor. Dan untungnya Teddy tidak ada di kantor sehingga gesekan antara Akira dengan Teddy
Mobilnya akhirnya sampai di depan rumah orang tuanya. Dia mengklakson sekali, dan tak lama kemudian adiknya, Akito membuka pagar rumahnya seraya tersenyum lebar. Dia melirik sekilas ke arah Giselle. Meskipun dia tahu jika gadis itu sangat grogi, namun itu semua tak terlihat di raut wajahnya. Mungkin karena seringnya perempuan itu menyembunyikan perasaannya sendiri. Tapi karena Akira sudah paham dengan raut wajah Giselle, makanya dia bisa membaca gadis itu dengan mudah. Akira bermanuver untuk memarkir mobilnya masuk di dalam pekarangan rumah. Giselle menghembuskan napasnya untuk menghilangkan kegugupannya. “Sudah siap?” tanya Akira dengan sabar. “Ayo,” ujar Giselle sambil mematut wajahnya sekali lagi di depan cermin. Memastikan kalau make-up dan rambutnya tetap dalam keadaan prima. Akira menghentikan mesin mobil, mengambil cheesecake dan juga buket bunga buah tangan dari Giselle, lalu berlari sebentar untuk membuka pintu dari sisi Giselle. “Oh, makasih.” Giselle tersenyum dan te
“Ayo Giselle, dicicipi hidangannya. Ini salah satu menu yang Akira suka dan selalu minta dibuatkan kalau pulang ke rumah.” Giselle mengulas senyumnya saat centong nasi berisi nasi pulen khas Jepang dituangkan ke dalam piringnya oleh Mama Akira. Tak lama, masuk juga secentong kare daging, lalu ada juga teriyaki daging ditambah dengan sepiring tempura seafood, kemudian di sisi satunya ada sepiring kecil telur dan juga salad dengan dressing wakame atau biji wijen, dan terakhir disuguhkan pula satu mangkuk kecil berisi miso soup. Masakan Jepang lengkap yang penuh. Membuat Giselle gelagapan karena dia bingung menolaknya. Entah bagaimana dia menghabiskannya nanti. Akira sepertinya melihat Giselle dengan sedikit rasa iba, hingga akhirnya dia berkata kepada mamanya, “Mama, yamete yo–hentikan… Giselle porsi makannya bukan porsi tukang gali seperti Akito!” celetuknya. Di sudut matanya, terlihat Akito ingin protes tapi diurungkan niatnya karena melihat betapa canggungnya mamanya dan Giselle s
Setelah berpamitan dengan kedua orang tuanya, mereka berdua akhirnya pergi melajukan mobilnya menuju The Swordfish. Dalam perjalanan, Giselle tak banyak berkata-kata. Akira memberikan gadis itu ruang agar dia bisa menata hati dan pikirannya sejenak. Akira merasa pertemuan antara Giselle dan keluarganya hari ini membawa dampak yang signifikan dalam hubungan mereka. Meskipun Akira tak bisa mengejanya keras-keras, namun dia merasakan dari tatapan yang Giselle berikan tadi di rumahnya setelah dia menelpon Leo. “Giselle, a penny for your thoughts?” Tapi lama kelamaan, Akira penasaran dengan apa yang ada di dalam pikiran gadis yang sedari tadi menatap kerlap kerlip lampu sepanjang perjalanan. Giselle tersentak dari lamunannya dan menatap Akira. “Aku suka dengan keluargamu,” Hanya itu jawaban yang diberikan Giselle. “Apa kamu menyesal bertemu dengan mereka? Kulihat dari tadi kamu diam saja selepas dari rumah.” tukas Akira, langsung kepada pokok persoalan. Tapi Giselle menggeleng
Giselle memperhatikan ketika Akira mencoba menghubungi Raka untuk mengetahui di mana keberadaan si silent partner untuk klub malam hip ini. Sepertinya Raka sudah dekat, jika dilihat dari respons dan jawaban Akira.Setelah selesai menelepon calon klien mereka, Akira menutup teleponnya dan berbalik menghadap Giselle kembali. Dia sontak melempar senyum ketika Akira melempar senyum kepadanya dan duduk di sampingnya persis.“Kamu mau pesan apa?” tanya Akira dengan perhatian. Tangannya membalut bahu Giselle dengan santai, sikap ‘posesif’ ala pasangan kekasih di tengah para pria, seakan mengatakan kalau Giselle adalah miliknya.“Di sini cuma ada Hennessy sama Jack Daniels kesukaan Saga sama
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.