Akira tak menyangka celetukan ringan Giselle sebelumnya tentang pernikahan konglomerat yang dianggap sebagai business deal ternyata benar-benar terjadi untuk keluarga Danudihardjo dan keluarga Sudibyo. Cukup mengejutkan bagi Akira, namun dia sudah mulai terbiasa ketika bersinggungan dengan para sosialita yang memiliki pakem berbeda dengan rakyat jelata seperti dirinya.Dia menunggu Darius melanjutkan ucapannya. Memahami jika apa yang akan disampaikan di dalam ruang rapat ini merupakan informasi berharga yang tak akan bisa didapatkan dari sumber lain.“Benar. Kami berencana untuk menyatukan kedua keluarga dan tentu saja kami berharap dengan penyatuan kedua keluarga, maka bisnis antara kedua perusahaan bisa berkembang lebih pesat dan ekspansi besar-besaran bisa kami lakukan secepatnya.” jawab Darius seraya melemparkan pandangannya kepada R
“Giselle, besok minggu Mama mau pergi ke acara arisan teman-teman Mama, dan kabarnya Jeng Rahayu mamanya Kelana diundang juga. Kamu ikut Mama ya, biar kita bisa ngobrol lagi sama mamanya.” Saat ini Giselle sedang sibuk merapikan dan membersihkan apartemennya karena beberapa hari terakhir dia acap kali pulang malam karena menyelesaikan proyek real estate milik Diraja Sudibyo, dan juga membantu Akira untuk mengumpulkan data serta riset untuk proses merger perusahaan milik Darius.Banyak laundry yang belum sempat dia kerjakan, begitu pula membersihkan kamar mandi dan kitchen set. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk relaksasi yang suka Giselle kerjakan kalau dia sedang stres karena kerjaan, atau karena silang pendapat dengan orang tuanya.Suara mama di ujung telepon membuat Giselle mengernyitkan dahinya.
AKIRAMalam ini Akira berada dalam mood berkontemplasi.Terutama setelah dia berbincang dan follow up dengan Pak Hasan. Banyak yang perlu Akira pikirkan kembali. Soal pekerjaan dan juga soal hubungannya dengan Giselle.Baru saja dia menaruh tas laptopnya di sofa, Akira mendengar denting pesan di ponselnya.Senyumnya spontan tercetak lebar ketika melihat siapa yang mengirim pesan tersebut.Giselle. Pesannya, [Hey, lagi ngapain?]Dia langsung membal
GISELLE Hal-hal yang Giselle lakukan untuk Akira rasanya tak mungkin akan dipercaya oleh dirinya sendiri. Tapi, begitulah keadaanya. Semua terasa begitu asing bagi dirinya sendiri. Maka dari itu, banyak hal yang terasa meragukan dan membuatnya kikuk sepanjang malam ini. Salah satunya adalah menginap seperti ini di rumah Akira. Tak pernah dia melakukan hal demikian kepada pria yang bahkan belum ada status hubungan dengannya. Dan pertanyaan barusan adalah sebuah spontanitas. Pertanyaan spontan yang sungguh membuatnya ingin ditelan bumi saja saking malunya Giselle. “Kamu ingin jawaban jujur dariku, Giselle?” Akira bertanya balik. Dia menaruh pisaunya di atas pantry dan duduk di bangkunya yang berada tepat di seberang Giselle. Membuat pria itu bebas memperhatikan raut wajah yang sedang dibuat Giselle. Entah seperti apa wajahnya kini sekarang, Giselle tak mau tahu. “Ya tentu saja, aku tidak suka dibohongi.” gumamnya pelan. Tapi mendengar tanggapan Akira yang seperti itu, pera
AKIRA“Ok, jadi strategi dasar bermain catur, semua tujuannya adalah menjaga king kita dari serangan lawan, dan di saat yang bersama juga mencoba menjatuhkan king mereka.” Akira mulai mengajari Giselle langkah-langkah dasar dalam bermain catur. Bagaimana para pion, dan bidak-bidak lain bergerak. Meminta Giselle menghafalkan satu persatu bentuk bidak catur, tujuan bidak catur tersebut dan juga mengajari secara dasar bagaimana cara mengatur barisan. Butuh waktu sekitar 15 menit hingga Giselle bisa menghafal dan juga mengerti secara dasar bagaimana permainan catur itu. “Ternyata main catur cukup rumit juga ya, aku menyesal baru belajar sekarang.” ujar Giselle sambil menopang dagunya memperhatikan bidak catur miliknya yang berwarna hitam. “Nggak masalah, ini kan hanya untuk have fun! Nggak perlu harus serius banget.” tambal Akira seraya menggerakkan bidak caturnya menyerang Giselle tanpa ampun. Tapi karena Giselle memang masih pemula yang belum paham dengan pola serangan yang Akira l
“Hubunganku dengan keluargaku nggak harmonis. Sepertinya berbalik 180 derajat dengan keadaan rumahmu, Akira.” Giselle mengawali kisahnya. “Mama dan Ayah bercerai, hubungan mereka nggak bagus sampai sekarang meskipun mereka sudah memiliki pasangan masing-masing. Hubunganku dengan kakakku–Mas Damar juga bisa dibilang begitu kaku dan dingin.” Giselle mulai menceritakan bagaimana berantakannya kehidupan keluarganya, dan dinamika yang terjadi di dalamnya hingga membuatnya memiliki trust issue yang terkadang tidak Giselle sadari sampai terbawa di kehidupan pribadinya. Tadi setelah Akira mendengar pengakuan spontannya tentang ketakutan yang menghantuinya, pria itu dengan gentle menuntunnya kembali ke dalam ruang tamu dan membawanya duduk di sofa panjangnya. Diberikannya mug yang berisi sencha dan Akira tak lupa menyodorkan potongan buah yang telah disiapkan sebelum Giselle merusak mood dan mengubah suasana. "Kalau kamu nggak keberatan, mungkin kamu bisa cerita tentang itu. Aku akan me
Awalnya Akira berfikir jika Giselle akan bersikap canggung di pagi ini setelah pembicaraan yang serius dan cukup berat di malam hari. Apalagi ditambah dengan tetesan air mata yang membasahi pipi Giselle saat menceritakan kehidupan masa kecilnya yang sukses membuat hati Akira ikut tersayat. Jika Akira urutkan dari awal, kini Akira mengerti mengapa sikap Giselle bisa menjadi keras kepala seperti sekarang. Hal-hal keras dan menyakitkan yang membentuk pribadi Giselle untuk bertahan serta melindungi hatinya. Itu merupakan konsekuensi logis dari kekacauan yang terjadi dalam kehidupan si Giselle kecil. Hal ini justru membuat Akira semakin menyayangi gadis ini. Ketika pagi tiba, Akira dengan gentle mempersilakan Giselle mandi terlebih dahulu. Akira juga tak menyentuh atau menggoda gadis itu sejak semalam. Akira membopong Giselle yang tertidur pulas dalam pelukannya di sofa ruang tamu. Memindahkan gadis itu untuk tidur di kamar utama, dan dia sendiri memilih untuk tidur di kamar tamu. Aki
“Eh Giselle, nanti habis ini ke ruangan saya ya,” ujar Mas Teddy kepadanya disela-sela kegiatan Giselle mereview dokumen yang tempo hari diserahkan oleh Raka di kantor Danudihardjo Enterprise. “Oh, ada masalah apa Mas Teddy?” Giselle mengerutkan dahinya bingung. Sebenarnya sejak dahulu dia sedikit tidak nyaman kalau meeting berdua dengan Mas Teddy. Makanya selama ada Mas Dirga, mereka suka sekali meeting bertiga atau berempat dengan beberapa junior konsultan. Mungkin bisa dihitung jari juga berapa kali Giselle dan Teddy meeting empat mata di kantor. Karena kebanyakan kasus yang mereka tangani seringkali berbeda, dan itu sebenarnya membuat Giselle merasa sedikit bersyukur. Tapi sejak Mas Dirga resign, Mas Teddy kini sering kali mampir ke ruangannya dan mengajak Giselle pulang bareng. Untung saja dia punya mobil sendiri, jadi dia selalu ada alasan juga kalau diajak pulang bareng. Dahulu juga Giselle menggunakan nama Tristan sebagai tameng untuk menolak ajakan Mas Teddy makan bare
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.