Giselle dan Akira tersenyum mendengarnya. “Bagaimana dengan talent untuk promosinya?” “Saya memberikan tiga pilihan untuk Anda periksa, Pak Diraja. Tapi saya merekomendasikan aktris dan influencer Layla Narantika Kamil. Kekuatan dan social presence-nya di berbagai platform begitu tinggi dan banyak yang antusias memilihnya untuk menjadi brand ambassador produk-produk bergengsi.” jawab Giselle penuh semangat. “Sounds good, mungkin kamu bisa berhubungan dengan tim PR kita, dan cari cara untuk mendekati dan menawarkan kerja sama dengan Layla ini. Susun jadwal meeting dengan dia jika dia setuju dengan proposal ini.” Begitu perintah Diraja yang terdengar positif. Giselle merasa senang jika ide dan kerja kerasnya diapresiasi oleh pemilik proyek ini. “Oke, ada lagi yang perlu dibicarakan? Saya harus pamit karena ada meeting selanjutnya.” Diraja mengecek jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 12.15 siang. Akira berdiri dan menjabat tangan Diraja. Mengungkapkan terima kasih dan berj
Diraja Sudibyo mengatakan pada Giselle bahwa dia akan menemuinya dalam waktu sepuluh menit lagi. Memang benar Giselle datang lebih cepat dari waktu yang ditentukan jadi Giselle pun menjawab tak masalah, just take your time. Dia tahu apa yang dilakukan untuk menghindari Akira adalah sebuah tindakan pengecut. Tapi hanya itu yang bisa Giselle pikirkan saat ini. Dia akan pulang ke rumah, lalu bertapa untuk mencari cara bagaimana mengatur hati dan pikirannya yang penuh dengan tanda tanya. Giselle saat ini berada di dalam ruangan meeting kantor Diraja. Menunggu Diraja dan juga Akira serta tim The Converge yang sudah tiba dan sedang dalam perjalanan ke atas. Ternyata yang datang terlebih dahulu adalah Akira beserta Angel dan Fany. Untung saja dia mengajak Angel dan Fany dalam pertemuan ini, agar dia memiliki buffer dan bisa menghindari konfrontasi langsung dari Akira. Benar saja, saat tatapan Akira bertubrukan dengan netra Giselle, pria itu menyeringai singkat sebelum mengubah eks
Jika suasana di dalam mobil city car Giselle tidak setegang saat ini, mungkin Giselle bisa tertawa melihat tubuh tinggi Akira yang berada di belakang kemudi mobil.Pria itu harus memundurkan kursi kemudi ke belakang sampai posisi akhir untuk mendapatkan ruang bagi kakinya yang panjang.“Ini pertama kalinya aku naik mobil mini seperti ini.” gerutu Akira dengan suara pelan.Giselle jadi keki dan membalas ucapan atasannya tersebut, “Ya makanya nggak usah naik mobil aku, seharusnya kamu balik bareng Fany dan Angel aja!” ujarnya.Akira justru terkekeh mendengar omelan Giselle dan memilih menghiraukannya.
Mata Akira menangkap setiap gerak-gerik Giselle yang makan dengan lahap dan cepat. Mungkin selain karena makan siangnya yang begitu lezat, Akira hampir yakin kalau gadis lucu ini juga ingin cepat-cepat berbicara dan menyelesaikan semua ini dengan Akira.Akira tersenyum melihat tingkah perempuan di hadapannya. Giselle bahkan mampu menyelesaikan hidangannya terlebih dahulu dibanding Akira. Ice Americano yang dia pesan kembali diseruput setelah dia menghabiskan nasi gorengnya.Setelah yakin kalau Giselle sudah bersikap sedikit melunak dan tidak terlalu defensif, barulah Akira memulai pembicaraan yang sudah Akira rencanakan sejak tadi.“Kenapa kamu menghindariku?” tembak Akira langsung.
Perasaan Giselle berkecamuk tidak karuan siang ini saat berdebat dengan Akira tentang hubungan mereka. Ucapan gamblang Akira seakan menelanjangi perasaan dan kebingungan yang melanda hati serta pikirannya. Di satu sisi, Giselle ingin sekali menerima Akira sebagai kekasihnya. Tapi di sisi rasionalnya, dia melihat begitu banyak resiko yang mungkin akan Giselle terima konsekuensinya jika dia secara publik berhubungan dengan atasannya sendiri. Cibiran dan gosip, masih bisa Giselle terima. Toh sejauh ini dia memang tak begitu peduli dengan selentingan-selentingan miring tentang dirinya. Tapi, konsekuensi nyata yang mungkin saja dia terima kelak seperti reputasi karirnya yang akan tercemar dan para pemangku kepentingan mempertanyakan kembali kompetensinya sebagai seorang konsultan senior yang profesional. Giselle menginginkan Akira, namun dia takut akan apa yang terjadi dengan karirnya kelak. Maka dari itu, dia begitu gelisah dan kalut saat Akira dengan lugas mempertanyakan inten
Dan lagi-lagi Akira begitu mudah melupakan tempat dan waktu jika dia sudah berada dekat Giselle. Semua terasa blur apalagi ketika dia mencumbu gadis itu. Waktu itu kejadian di lift basement kantor, dan kini dia lagi-lagi mencium Giselle di kedai langganannya! Tempat di mana orang-orang yang mengenalnya bisa saja melihatnya dia melakukan PDA seperti ini.Lebih gilanya lagi, dia mendengar suara Akina yang menegurnya!‘What a douche move, Akira!’ rutuk dirinya dalam hati.Akira menyudahi ciuman spontannya dan menoleh menatap adiknya yang sudah berdiri di sampingnya sambil menata
Kejadian tempo hari di Morning Mist merupakan babak baru hubungan antara Akira dan Giselle. Akira pun sepertinya harus mundur sejenak dan tak bisa merangsek maju untuk seketika mengubah pendapat Giselle untuk definisi hubungan mereka berdua. Tak masalah. Dari sisi Akira, dia akan menggunakan hubungan fwb ini sebagai alat agar dia bisa mencapai tujuannya. Menjadikan Giselle sebagai kekasihnya. Dan untung saja di kedai Morning Mist itu mereka bertemu dengan mama yang secara ajaib, entah kebetulan atau tidak, membantunya untuk mencapai tujuan tersebut. Akira tak mengerti, bagaimana bisa Giselle bisa sampai pada kesimpulan bahwa mereka hanya cocok untuk jadi fwb. Mereka bisa pacaran diam-diam jika Giselle memaksanya, atau mereka bisa melakukan dengan cara Akira–lakukan saja, persetan dengan apa yang orang katakan! Tapi tempo hari Akira begitu terkejut dengan ucapan Giselle sehingga dia pada akhirnya mengikuti saja apa perkataan Giselle. Jadi sesuai permintaan Giselle, maka ketik
Hari ini Akira meminta Giselle untuk menemaninya pergi ke kantor Darius Danudihardjo untuk mengadakan meeting lanjutan mengenai proses merger dan akuisisi antara dua perusahaan besar milik taipan Darius, yaitu Danudihardjo Enterprise serta perusahaan real estate yang memiliki reputasi baik, Sudibyo Corporation. Akira mengharapkan kalau mereka mendapatkan tender untuk menjadi konsultan dengan kontrak eksklusif dari proyek besar dan yang pastinya akan rumit ini. Proyek tersebut pasti akan menjadi pencapaian terbaik Akira selama dia berkarir. Apalagi jika lawan tendernya adalah perusahaan konsultan internasional yang memiliki cabang di berbagai dunia. “Kamu yakin mau mengajak aku ke agenda meeting dengan Darius?” tanya Giselle dari balik macbook-nya. Dia sedang getol menyusun proposal untuk diserahkan kepada tim manajemen aktris Layla Narantika yang akan didekati untuk menjadi brand ambassador real estate Sudibyo Corporation. “Kupikir ini proyekmu? Yakin mau sharing kredit denganku? B
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.