Hello! Terima kasih sudah membaca. Tinggalkan komen dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke pustaka ya, biar gampang kalau ada update dari author. Author juga lagi mikir-mikir mau buat cerita tentang Akito dan Akina, adiknya Akira. Atau mungkin bikin cerita juga tentang geng Morning Mist yang kayaknya bakalan seru kalau cowok-cowok pada ngumpul dan ngobrol. Sampai jumpa besok ya! :)
Giselle masih berfokus pada macbook-nya karena dia sedang mengolah data untuk membuat proposal kepada Kelana Sastrowilogo ketika pintu kantornya diketuk secara konsisten.Dia mengangkat kepalanya dan melihat Akira sendang menyandarkan tubuh tinggi atletisnya di daun pintu kaca ruang kerja Giselle.Jantungnya berdebar seketika ketika dia menatap pria yang harus Giselle akui memang terlihat rapi, necis dan … tampan pada pagi ini.Ditambah lagi Giselle baru pertama kali melihat Akira mengenakan kacamata berbingkai hitam, terlihat seperti Clark Kent si Superman yang dilakoni oleh Henry Cavill, tapi versi wajah Asia.‘
‘Gengsimu tak akan bisa membawamu maju, Giselle! Sudah terima saja!’ begitu logikanya berbisik, mencoba menentang hatinya yang masih terselimuti gengsi.“Ayo cepat, aku tak ada waktu seharian untuk mendengarkan jawabanmu,” Akira mengetuk jam tangannya tak sabaran.“Kapan dan apa yang harus saya siapkan untuk pertemuan dengan Pak Darius nanti?” Giselle akhirnya menyetujui ajakan bosnya ini.Tiga koneksi konglomerat jelas jauh lebih baik dibanding dua kontak konglomerat yang telah dia dapatkan sebelumnya.“Okay, good!” Akira bangkit dari duduknya, memberikan selembaran kertas
Giselle dan Akira tiba di restoran The Opulent yang berada di Hotel Royal Ruby Senayan. Pemilik hotel ini tentu saja Danudihardjo Enterprise. Dan pria yang memegang kendali atas Danudihardjo Enterprise tak lain dan tak bukan adalah pria tampan bernama Darius Danudihardjo. Dia adalah tipikal pengusaha muda, konglomerat, memiliki aset yang entah siapa bisa menghitungnya, serta menjadi pujaan para wanita. Media cetak maupun media elektronik menjadikan pria ini sebagai tokoh idaman layaknya pangeran yang hidup di dunia nyata, atau dalam kasus ini … pangeran yang hidup dan tinggal di Jakarta. Giselle tentu saja sudah pernah melihat pria tampan ini berseliweran di media massa, dan terkadang ketika ada acara penghargaan atau forum pengusaha. Tapi dia tak pernah berkontak secara langsung karena tidak memiliki akses orang tersebut. Secara berat hati, Giselle harus mengakui kalau dia perlu berterima kasih kepada Akira karena bisa mengenalkannya kepada pria kharismatik yang berdiri di h
Akira melirik ke arah Giselle yang terlihat percaya diri dan luwes dalam memberikan presentasi mengenai sepak terjang The Converge, dan menjelaskan portofolio yang telah dikantongi kantor barunya ini selama mereka berdiri dan berkiprah dalam dunia konsultasi.“Oh, kalian sudah pernah bekerja sama dengan Sudibyo Corporation sebelumnya ya?” ujar Raka setelah mendengar pemaparan singkat yang diberikan Giselle tadi.Kini Amira bersikeras agar Giselle dan Akira serta semua orang di dalam ruangan ini untuk menyentuh hidangan yang telah disiapkan sembari berbicara bisnis.“Namanya kan lunch meeting. Jadi jangan bicara bisnisnya saja yang diprioritaskan, bagian
Akira tak tahan dan akhirnya menatap Giselle terang-terangan di dalam mobil Pajero Sport miliknya saat lampu merah menghentikan laju mobilnya. “Presentasi kamu tadi bagus di depan Darius dan juga kedua sahabatnya, Raka dan Nero. Mereka bertiga merupakan pemegang keputusan bagi keberlangsungan perusahaan raksasa tersebut,” puji Akira dengan tulus. Giselle hanya mengedikkan bahunya singkat. “Yeah, I know I am that good,” jawabnya singkat. Memang jika orang yang tak paham dengan Giselle menganggap apa yang diucapkan gadis itu adalah bentuk kesombongan. Tapi Akira tahu dan memahami apa yang diucapkan Giselle itu adalah suatu bentuk kepercayaan diri. Perempuan ini sangat nyaman hidup sebagai dirinya sendiri – yang jika Akira perhatikan beberapa minggu ini, memang memiliki karakter kuat. Srikandi modern jika bisa dibilang. Tapi tentu saja karakter kuat perempuan yang duduk di sampingnya ini berbanding lurus dengan sikap keras kepalanya yang terkadang membuat Akira frustasi saat beker
Giselle kembali ke kantor setelah dia dan Akira selesai bertemu dengan Darius Danudihardjo beserta rekan kerjanya.Dia mendapat banyak informasi baru mengenai Darius Danudihardjo, bagaimana perusahaan raksasa itu bekerja setelah ditinggal oleh Carlos Danudihardjo – patriarch keluarga yang juga ayah dari Darius. Carlos Danudihardjo pergi meninggalkan Indonesia karena tersangkut kasus korupsi dan dinyatakan buron.Giselle juga mendapatkan sedikit informasi bagaimana bisnis mereka secara lebih dekat dan personal.Perlu diakui, Danudihardjo is the real whale! A real prehistoric-sized killer whale.Pantas saja jik
"Kamu ada waktu malam ini? Ayo kita makan malam," ujar Giselle kepada Akira. Akira mengerjapkan matanya ketika dia mengangkat telepon dan menempelkan daun telinganya untuk mendengar sambungan yang dilihat berasal dari ruangan Giselle. “Huh?” tanya Akira refleks. Sedetik kemudian dia sadar jika interjeksinya membuatnya terlihat sedikit bodoh. Tapi ya sudahlah, toh dia memang tidak perlu jaga image lagi di depan Giselle yang jelas-jelas merasa tidak nyaman jika berada di dekatnya. “Kamu ngajak saya makan malam?” tanya Akira sekali lagi. Ini benar-benar informasi yang mencengangkan baginya. Di ujung sambungan, Giselle mendecakkan lidahnya dengan sedikit gemas. “Bukan kita berdua aja, kok! Sama anak-anak satu tim,” tepis Giselle. Ooh!Makan malam bersama tim memang jauh lebih masuk akal, dan kesempatannya jelas lebih besar dibandingkan jika Giselle mengajaknya untuk dinner date dengannya. Akira terkekeh dengan pemikiran konyolnya sendiri. “Nanti malem banget nih?” Akira mencoba
Kedua netra Giselle langsung secara refleks bertubrukan dengan Akira saat mendengar tujuan tempat makan malam tim mereka. Tadinya sebuah protes hampir saja dilayangkan oleh Giselle saat tahu tujuan makan malam tim mereka adalah Hotel Royal Ruby yang berada di Jalan Thamrin. Tapi dia telan kembali semuanya karena ini juga kesalahannya. Dia membiarkan Rindi dan anak-anak lainnya memilih tempat. Jadi dia tak berhak untuk memprotes keputusan mereka. “Di Infinite Sky?” Giselle memastikan sekali lagi. Siapa tahu dia salah dengar. “Iya Bu, saya udah reservasi tempat, aman kok!” Rindi sepertinya salah mengartikan pertanyaan yang dilontarkan Giselle. Ya sudah, apa boleh buat. Toh yang tahu signifikansi tempat tersebut hanya dirinya dan Akira saja. “Yang bawa mobil siapa saja? Saya, lalu?” Akira bertanya kepada tim untuk mengecek logistik. “Saya bawa mobil,” jawab Giselle sambil menatap Akira. “Ada lagi?” tanya Akira yang dijawab juga oleh Rama. “Saya bawa mobil juga, Mas Akira.”“Ok,
EPILOG Akira dan Giselle bertatapan setelah di kursi pelaminan mereka berdua, dan tak lama Giselle terkikik geli dan menepuk lengan Akira sebelum akhirnya terdistraksi oleh beberapa tamu yang mendekat untuk datang memberikan selamat kepada mereka. Akira tak henti-hentinya mengagumi Giselle yang terlihat begitu cantik, elegan dan menawan dalam balutan kebaya modern berwarna silver yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat bersinar. Make up dan Hairdo yang begitu sempurna membuat decak kagum tamu yang melihat Giselle. Tak sedikit yang memuji secara langsung dan mengatakan kalau Giselle cocok menjadi selebriti atau model papan atas. Mereka pun mengangguk setuju ke arah Akira dan mengatakan kalau mereka pasangan serasi. Tampan dan cantik dalam hari istimewa mereka. “Kamu capek?” bisik Akira kepada Giselle yang masih memasang senyumnya selepas para tamu kembali turun. Giselle menggelengkan kepalanya. Tapi perempuan yang kini telah resmi menjadi istrinya melirik ke arah mama dan p
AKIRA Akira merasa sedang berada di atas angin. Semua yang dia inginkan kini berada dalam genggamannya. Tunangannya yang cantik, baik hati dan pintar luar biasa. Keluarga Akira yang begitu mendukung hubungan mereka. Sikap calon mertuanya yang semakin hari semakin melunak kepada dirinya. Meskipun tentu saja terkadang mereka masih suka kelepasan mengontrol sikap snobbish-nya di hadapan Giselle dan Akira. Tapi Akira sadar, mungkin memang mereka yang terbiasa dengan perlakuan golden spoon sehingga realitas mereka berbeda dengan Akira yang memang dibesarkan secara membumi dan sederhana. Tapi untungnya kini sudah tidak ada tendensi merendahkan lagi kepada Akira, dan mereka sudah mulai bisa membuka hati mereka kepada Akira. Kini jadwal malam minggu Akira dan Giselle menjadi lebih padat daripada biasanya. Kini, Tante Mira dan Om Anton terkadang berebut slot, bersikeras agar Giselle mendatangi rumah mereka masing-masing atau mereka mencari waktu untuk lunch bersama di restoran sambil men
Balasan tajam yang Mas Damar lancarkan membuat napas Papa memburu keras seperti habis bertengkar hebat. Tante Elena yang duduk diam di samping papa hanya bisa mengusap punggung papa, sedangkan Giselle meremas jemari Mas Damar yang duduk di sampingnya, menatap Papa dengan tatapan tajamnya. Sepertinya memang berdiskusi dengan papa adalah satu hal yang begitu sulit. Rasa-rasanya restu dari Papa akan sulit mereka dapatkan dan mereka harus siap dengan batu terjal yang termanifestasi dalam bentuk kekeraskepalaan Papa untuk menolak hubungan Giselle dan Akira. Mas Damar setelah ditenangkan oleh Giselle akhirnya menghela napas panjangnya. “Pa, apa yang membuat Papa begitu keras kepala tidak menyukai hubungan Giselle dan Akira? Mereka pasangan yang sempurna dan aku melihat Akira begitu bertanggung jawab sebagai lelaki dan begitu menghormati serta mencintai Giselle,” ujar Mas Damar yang memuji Akira dengan tulus. Papa masih terdiam dengan wajah yang mengeras setelah perdebatannya dengan Mas
GISELLEBenar sesuai janji Mas Damar, dia datang ke kediaman Giselle sebelum mereka bertolak menuju rumah ayah mereka di daerah Pondok Indah. Ini pertama kalinya Mas Damar datang mengunjungi unit studio apartemen milik Giselle. “Wah, tempatmu ternyata nyaman juga ya,” puji Mas Damar saat menginspeksi apartemen Giselle. “Terima kasih, Mas!” jawab Giselle. Saat ini mereka sedang menunggu Akira tiba dan mereka bertiga bisa pergi bersama menuju rumah ayahnya. “Giselle, tenang saja, aku pasti akan mendukung dan membela kamu. Jangan terlalu dipikirin nanti respon papa akan seperti apa,” ujar Damar dengan serius sejurus kemudian. Giselle sontak tersenyum miris. “Sebelum aku ketemu Akira, aku selalu saja merasa kalau ada yang salah sama diriku. Sepertinya mama dan papa nggak pernah puas sama aku. Apa saja yang aku lakukan dianggap salah di mata mereka,” Giselle mengingat kembali kepingan masa lalunya. Hidup sebelum dia mengenal Akira terasa begitu jauh dan pudar. Berbeda ketika Akira d
“Ayo kita bicara!” ujar Pak Hasan dengan cukup keras. Membuat beberapa pengunjung menoleh penasaran ke arah mereka. Beberapa waitress melirik was-was pula ke arah sumber keributan.“Tapi saya sedang ada urusan lain,” jawab Akira tak kalah dingin.Tak bisakah mantan bosnya itu melihat dia sedang bersama orang lain?Tapi sepertinya Pak Hasan sedang diliputi kemarahan dan dia tak peduli bahkan tidak melirik sedikitpun ke arah Raka, Giselle dan Damar.“Kamu bisa-bisanya menarik klien kakap kita dan meminta mereka untuk mundur bekerja sama dengan The Converge! Kotor sekali caramu itu!” Wajah Pak Hasan sudah memerah, dan urat di dahinya mulai keluar–seiring dengan meningkatnya emosi Pak Hasan.
AKIRAAkira tiba di kantor Darius pagi ini dan diharapkan untuk langsung menemui Raka serta head of HR perusahaan ini. Dengan nominal bonus sign in yang telah ditransfer Darius tempo hari, tentu saja Akira harus datang lebih awal dan menunjukkan komitmennya untuk bergabung dengan perusahaan ini dengan sungguh-sungguh. “Hey Akira, akhirnya datang juga!” Raka ternyata telah menyambutnya dan memintanya untuk segera naik ke lantai 50, tempat Darius dan yang lainnya berkantor. Saat di foyer lantai 50, dia melihat ada beberapa gadis berperawakan tinggi seperti Giselle yang menyambut Akira dengan senyum mereka. Setelah menyampaikan kalau dia ingin bertemu dengan Raka dan Darius, sikap mereka berubah profesional dan menunjukkan di mana ruangan yang telah disediakan oleh Raka sebagai tempat Akira menunggu. “Siapa dia? Kok ganteng sih? Rekan kerja Pak Darius kah?” Sayup-sayup Akira masih bisa mendengar diskusi para resepsionis tersebut sebelum pintu ditutup. Tak lama Raka datang dengan seo
Giselle tiba di sebuah gedung perkantoran besar di kawasan SCBD tempat di mana co-working space Mas Damar berada. Giselle berdiri di depan resepsionis sambil menunggu Mas Damar menjemput dirinya. Tak lama, Mas Damar datang dari dalam salah satu ruangan. Hari ini penampilan kakaknya terlihat casual dan santai, namun tetap terlihat rapi dan menawan. Khas gaya CEO muda perusahaan rintisan. “Giselle! Akhirnya kamu datang!” sapa Mas Damar dengan sumringah. “Kamu sudah sarapan belum? Mau sarapan dulu di bawah? Ada kafe di bawah dan croissant-nya juara,” tawarnya kepada Giselle penuh semangat. Ini merupakan sisi lain Mas Damar yang tidak Giselle kenal. Tapi sesungguhnya Giselle sangat menyukai sisi lain kakaknya yang hangat seperti ini. “Aku sudah sarapan tadi dari rumah. Tapi kalau Mas Damar ingin ke kafe itu ayo aku ikut aja,” Giselle menawarkan. “Oke, kita turun sebentar ya. Sekalian aku mau cek supply kopi di kafe tersebut. Ada keluhan atau nggak,” ujar sang kakak. Mereka tu
GISELLE Saat perjalanan pulang, ponsel Akira kembali berdering dan cukup membuat konsentrasi sang kekasih sedikit terbelah saat mengendarai mobil untuk mengantar Giselle kembali pulang dari rumah mamanya ke apartemennya. “Sayang, mending kita menepi dulu deh. Aku penasaran siapa itu yang dari tadi telepon kamu nggak putus-putus,” Giselle akhirnya gregetan dan meminta Akira untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu dan mengecek siapa yang menghubunginya malam-malam ini. Tak lama, mereka menepi dan mengecek ponselnya. “Hmm… Pak Hasan menghubungiku berkali-kali,” ujar Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Huh? Ngapain dia telepon kamu?” Giselle jadi ikut penasaran. Tak lama, ponsel Akira kembali berdering dan akhirnya pria itu mengangkatnya. “Pak Hasan,” ujar Akira dengan dingin, meskipun masih terdengar sedikit sopan. Giselle mencoba menganalisa apa pembicaraan mereka berdua. Kepalanya mendekat ke arah Akira, dan Akira yang menyadari sikap konyolnya tertawa tanpa suara sebe
Dering ponsel di saku celananya begitu mengganggu sepanjang perjalanannya menuju rumah mamanya Giselle yang terletak di kawasan Dharmawangsa, Kebayoran Baru - Jakarta. “Kamu nggak mau angkat teleponnya?” Giselle yang tadinya sudah gugup seharian ini karena Akira mengiyakan ajakan mama Giselle untuk menemui mereka berdua, akhirnya terdistraksi juga dengan suara ponsel Aira yang bergetar sedari tadi. “Nanti saja, yang pasti ini bukan dari keluarga. Nada dering mereka aku setting berbeda,” jawab Akira seraya mengernyitkan dahinya. “Oke kalau begitu,” ucap Giselle pasrah. “Akira… nanti kita bakal bicara apa sama Mama?” Tak lama Giselle bersuara, menyiratkan kekhawatiran yang dari tadi bergumul di dalam hatinya.