"Bang, bangun!" Aku berusaha menggoncang tubuh kekar Hilman berulang kali.Hilman bukannya bangun, malah menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Kemudian kembali mencumbuku dalam diam, aku hanya bisa pasrah dengan apa yang dilakukannya.Tiga jam kami masih bergelung dalam selimut, hingga pintu kamar di ketuk beberapa kali. Hilman dengan malas turun dari ranjang dan membukakan pintu. Ternyata room service yang mengingatkan kami untuk segera cek out atau akan menambah hari."Saya tambah hari, saja! Nanti saya ke bawah sekalian untuk sarapan," ujar Hilman dengan santai.Aku tahu, Hilman kembali ke ranjang, karena dia berteriak mencariku. Menggedor pintu kamar mandi dengan tidak sabaran dan sambil menggerutu tidak henti. Aku, aku tetap melanjutkan mandiku tanpa terganggu dengan panggilannya."Mandi, dan kita langsung berkemas setelah shalat!" ujarku yang menyerupai perinta padanya."Sayang, sehari lagi, ya," rayu Hilman dengan memasang wajah sendu dan memohon."Tidak, aku sudah rindu pada Aq
Sesampainya di rumah, orang-orang sudah berkumpul dan jenazah mantan ibu mertua sudah akan berangkat di pembaringan terakhir. Tidak terkira perihnya hatiku ditinggalkan olehnya yang selalu menyanyangiku, meski aku hanyalah seorang menantu."Sayang, aku langsung ikut mereka, ya," ujar Hilman yang meletakkan tasnya sembaranagan dan berlari untuk ikut memanggul keranda mantan ibu mertuaku.Aku hanya bisa menghela napas panjang dan berlalu untuk menghampiri Mbak Naura yang terisak dan belum bisa merelakan kepergian ibunya. Aku hanya bisa memeluknya dengan erat, dan mengusap punggungnya."Mbak, Mas Attar sudah tahu jika ibu berpulang?" tanyaku padaMbak Naura yang masih terus terisak."Untuk apa anak durhaka itu diberitahu kepergian ibu!" ujarnya dengan intonasi tinggi.Aku tahu sakit hatinya Mbak Naura dan ibunya, tapi setidaknya kasih kesempatan Mas Attar, untuk meminta maaf untuk terakhir kalinya."udah, Mbak. Kasih bayi yang dikandungan Mbak Naura kalau terus menerus meratapi kepergian
Aku terperanjat, karena sadar jika yang membangunkanku adalah ibu. Arwah ibu masih bersama kami, dan aku tidak boleh berlarut dalam kesedihan. Begitu pula Mbak Naura, aku harus memberitahunya."Eh, Bang. Udah pulang?" sapaku, saat melihat Hilman yang sedang menggelar tikar di ruangan depaan."KIta mau pulang dulu?" tanya Hilman setelah menanggapipertanyaanku dengan anggukan kepala."Sebentar, aku pamit dulu ke Mbak Naura dan ingin memberi semangat untuknya. Aku tadi nyari ibu, tapi tidak kutemukan," ujarku pada Hilman dan tanggapi dengan senyuman.Aku langsung menuju kamar Mbak Naura, melihatnya tertidur pulas aku tidak sanggup membangunkannya. Sebaiknya aku menitipkan pesan pada Ustadz Idris dan menuliskan pesan singkat melalui WA."Ayo, Bang!" ajakku pada Hilman yang sedang duduk."Ngobrol apa cepat banget?" tanya Hilman.Aku hanya menanggapinya dengan senyuman dan menarik tangan Hilman, untuk segera keluar dan pulang ke rumah.Dalam perjalanan, aku lebih banyak diam. Memikirkan bag
"Kalian sedang bertengkar? Apa Hilman membuat kesalahan padamu?" tanya bapak dengan nada tinggi.Kelemahanku ada di lelaki yang bergelar ayah di hadapanku ini. Teramat takut kehilangan mereka yang mencintaiku, dan sangat menjagaku hingga saat ini."Enggak, Pak. Aku sangat mencintaiku suamiku ini, iya, kan sayang?" tanyaku pada Hilman dengan sedikit mencubit perutnya yang masih rata.Hilman dengan senang hati merangkulku dan memberikan sebuah ciuman di kening. Ibu yang tadi ada di dapur langsung mengernyitkan dahinya, saat melihat tingkah Hilman yang sangat romantis."Ada apa sih?" tanya ibu aneh."Anakmu sedang bertengkar dengan suaminya!" ketus bapak dan ditanggapi dengan kekehan oleh Hilman, mereka berdua seperti sedang mencemburuiku."Oya, ibu ingin membicarakan sesuatu pada kalian, tentang keinginan almarhumah mantan ibu mertuamu sebelum menghembuskan napas terakhirnya!" " ujar ibu.Aku pun berniat bertanya pada ibu dan bapak mengenai keinginanku mengunjungi Mas Attar yang sedang
"Bu, ini menyalahi hukum waris, aku tidak bisa menerimanya!" tegasku dan berharap bisa memusyawarahkan tentang hal ini dengan Mbak Naura, Ustad Idris yang lebih kompeten dalam hal ini, dan Juga Mas Attar yang seharusnya mendapat bagian harta dari almarhumah mantan ibu mertua."Kamu memang benar, tapi menurut ibu, harta yang diberikan untukmu adalah haknya Attar dan diberikan ke Aqila," ujar ibu dengan memegang dagunya,"Tapi Mas Attar mempunyai anak laki-laki dan dia lebih berhak atas harta Mas Attar dari pada Aqila," terangku dan ibu mengangguk, membenarkan ucapankuIbu membenarkan posisinya, lalu menyandarkan kepalanya di bahu ranjang. Menghela napas panjang dan berat, menatapku dengan pandangan kesal. Mungkin pikiran kami berbeda, karena aku tidak ingin memakan hak orang lain yang lebih berhak daripada aku dan Aqila."Bu, aku mau masak dulu, Hilman belum makan," ujarku lirih. "Nanti kita obrolin lagi ini bersama setelah makan.Aku beranjak dan keluar untuk menemui Hilman, kemudian
Lagi-lagi, ni tetangga mulutnya perlu dikasih pelajaran. Cukup kesal setiap mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya yang seperti bisa ular."Terus kenapa kalau kami enggak punya kendaraan?" tanyaku dengan santai, tapi berusaha menutup kekesalanku."Sok cantik!" ketus wanita yang tubuhnya sama gempalnya dengan diriku dulu."Aneh, dijawab malah ngatain orang, eh, tapi aku memang cantik loh, Mbak!" balasku tak kalah ketusnya. "Mbak, diet! Biar tambah cantik kayak aku!" ujarku dengan menyeringai puas, karena melihat tetanggaku itu sudah pias."Sssst!" Hilman menarik tanganku untuk melingkar di pinggangnya. Sebanrnya, aku sudah lama ingin membantah setiap ucapan wanita yang jadi biang gosip itu. Akan tetapi, selalu saja ada yang membelanya, bukan membela kekurang ajarannya, tapi lebih ke menjaga kewarasan sendiri. Ujar para tetangga yang tidak luput menjadi bahan gosipnya.Entahlah, kali ini aku sudah sangat kesal. Sehingga menjawab apa yang dia lontarkan, bukan tidak ingin menghorma
"Sudah dapat!" jawab Mbak naura dengan mengusap kepala anak-anaknya.Namun, aku tidak percaya begitu saja. Hal ini bukanla hal yang bisa dibawa main-main. Setidaknya, aku harus tahu bagaimana pembagiannya dan apakah memang benar-benar adil."InsyaaAllah, kamu tenang saja!" Mbak Naura menjawab dengan pasti semua yang kupertanyakan."Saat ini, kita harus memberitahu Mas Attar. Aku tidak ingin masalah harta ini akan membawa musibah dikemudian hari," Aku benar-benar ingin menyelesaikan urusan ini, agar tidak menjadi boomerang di kehidupanku ke depannya.Belum ada yang menanggapi ucapanku, di depan sana terdengar suara ribut-ribut. Membuatku dan yang lainnya serempak melihat ke arah suara. Mulutku menganga, ketika mengetahui siapa yang membuat onar di hari ketujuh Almarhumah mantan ibu mertuaku meninggal dunia."Hei, Shanum! Jangan buat ribut di sini!" bentakku.Rasanya, kemarahanku yang dulu, kini akan kukeluarkan melihat sikap Shanum yang mulai kurang ajar di hari berkabung keluarga suam
"Siapkan semuanya, agar saat kekalah kalian masih mampu membayar pengacara yang kalian sewa!" ketusku yang sudah tidak tahan dengan kelakuan wanita tua itu.Aku mendekati kedua wanita itu dan juga beberapa lelaki di belakanganya. Menatap tajam mereka satu persatu, dengan perasaan mendidih. "Saya selama ini diam, tidak pernah melakukan tindakan anarkis pada anak ibu dan juga ibu yang berani menghancurkan kehidupan rumah tangga saya, mencuri uang masa depan anak saya dan sekarang?" tanyaku mengejek. "Datang di rumah orang yang sedang berkabung, membahas harta yang tidak pernah ada sangkut pautnya dengan kalian! Meski saya sudah bercerai dengan Mas Attar, saya pastikan dia akan menjandakan anak ibu saat tes DNA yang dia lakukan sudah keluar, dan saya akan membantunya untuk menuntut kalian yang telah melakukan tindakan penipuan besar-besaran dan terencana. Jangan berpikir jika saya terlalu bodoh untuk kalian bodoh-bodohi terus. Saya terus belajar menjadi manusia yang berguna untuk orang
Setelah satr tahun pertemuanku dengan Mas Attar, Aqila tidak lagi terlihat murung. Dia selalu memancarkan senyuman manis yang menenangkan, becanda dengan adik-adik dan sepupunya. Sungguh pemandangan yang selalu ingin kulihat sampai mataku tak mampu lagi terbuka.Radit dan istrinya benar-benar pindah, untuk menetap dan kembali memulai usahanya di sini. Kami bersama, mengurus semua hal yang ditinggalkan oleh suamiku tercinta. Si kembar pun sangat gembira, meski kehilangan sosok ayah, tapi mendapatkan banyak cinta yang tidak terduga. Ya, inilah buah kesabaran kami dan cinta yang datang terlambat. Rasanya, aku merindukan suamiku yang telah lama pergi meninggalkanku."Ma," Aqila memanggil dan langsung memelukku dari belakang.Gadis itu mengecup pundakku dan menangis, mengatakan kata maaf berulang kali dan makin mengeratkan pelukannya. Aku membelai kepalanya, dan memegang kedua tangannya. Merasakan kegelisahan yang dialaminya."Kenapa? Apa kamu enggak yakin dengan pernikahan ini?" tanyaku pa
Aku mengerjapkan mata berkali-kali, takut jika yang kulihat hanya khayalanku saja. Akan tetapi, orang itu tidak berubah sedikitpun, dia tersenyum dengan matanya yang memerah. Bukan marah, tapi seperti menahan kesedihannya yang membuat matanya seperti itu. "Ada apa, Mas?" tanyaku lirih. Radit memilih duduk menjauh, memberi ruang padaku dan Mas Attar. Aku yakin, ini pasti ada hubungannya dengan Aqilla. Membuat Mas Attar memberanikan diri datang ke rumahku, karena tidak mungkin dia akan datang dengan suka rela tanpa ada sesuatu yang mendesak. "Maaf, aku melukai anakmu lagi," ujarnya, dengan suara bergetar. Tubuhku pun ikut lemas dengan apa yang dia ucapkan, apa yang sebenarnya terjadi, sampai mereka berdua seperti ini dan kenapa Mas Attar tidak mau belajar dengan kesalahannya yang telah lalu. Terus saja menyakiti hati putri semata wayangnya. "Ada apa?" tanyaku lembut, tidak ingin merusak mood yang sudah terbangun dengan baik. "Aku meminta Aqilla menjauhi lelaki yang sedang dekat den
"Mbak?" Radit bertanya, tapi hanya menyebutku namaku saja. Sekarang semua mata menatapku, tatapan penuh tanya. Catra menuntunku untuk duduk dan memijat bahuku, mengecup ubun-ubunku penuh kasih sayang dan aku menggenggam tangannya yang masih berada di pundakku. "Ada apa, Ma?" tanya Candra lembut dan tangannya mengengam tangaku dan Catra. "Mama hanya mencicipi nasi goreng buatan Aqila, dan mama menggunakan sendok dan hanya sekali tanpa mengaduk-ngaduk," jawabku apa adanya. "Keterlaluan kakak!" Candra yang memang lebi emosian berjalan menuju kamar Aqila, mengetuk pintu itu dengan sangat kasar. Namun, Aqila tidak membukanya. Candra yang sedang terbalut emosi, terus memanggil kakaknya, berharap mendapatkan jawaban yang lebih baik dari pernyataanku. "Kenapa kakak tiba-tiba menjadi kasar?" tanya Catra, tepatnya seperti gumaman untuknya sendiri. "Mungkin kakak sedang banyak pekerjaan dan sedang kelelahan," ujarku menenangkan. Perubahan-perubahan inilah yang membuatku takut, apakah semu
Siang ini, aku berencana ke cafe untuk mencocokkan data-data yang sudah masuk ke emailku. Tidak semua cafe dapat kukontrol, hanya ada dua saja. Bukannya tidak ingin melihat semua progres cafe yang sudah berjalan, tapi keterbatasan waktu dan tempat membuatku harus tetap memperhatikan kesehatanku sendiri. Ada rasa tidak nyaman dalam tubuku dan entah itu apa, aku tidak ingin periksa ke dokter. Bukan apa-apa, aku hanya takut, jika diagnosanya tidak baik dan membuat semua menjadi khawatir padaku. Membuat peraturan-peraturan yang akan membatasi ruang gerakku."Mama mau pergi?" tanya Aqila yang baru keluar dari dalam kamarnya."Loh, kamu enggak kerja?" Aku balik bertanya padanya tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dulu."Mama kebiasaan, ditanya malan nanya!" gerutu Aqila, dan aku hanya tersenyum mendengarnya. "Hari ini jadwalku padat untuk keluargaku, Ma. Aku berharap, mama tidak terlalu lelah. Mama terliat pucat dan lemah," Aqila memperhatikanku dari ujung kaki hingga ujung kepala.Helaan
Pagi ini begitu cerah, secerah hati dan wajah Aqilla. Suaranya yang bersenandung, dan tangannya yang cekatan mengerjakan pekerjaan rumah. Tidak ada satu pun yang diperbolehkan membantunya, dia membersihkan ruma dan membuat sarapan seorang diri. Aku tau, ini pasti karena dia telah mengetahui keberadaan ayahnya dan juga memastikan ijin yang telah kuberikan. "Mama ini teh hangatnya," ujar Aqila, dan wajanya selalu dihiasi dengan senyuman hangat. Setelah meletakkan cangkir te itu, Aqila berlalu pergi. Enta apa saja yang dia lakukan di dalam rumah, bahkan adik kembarnya langsung disuruh jogging, saat berniat membantu. Aku hanya bisa tertawa geli melihat tinkah putriku, memang cukup ajaib saat dia mengetahui keberadaan sang ayah. "Mbak, aku mau jalan pagi saja. Anakmu sepertinya memiliki tenaga samson hari ini, semuanya ingin dia kerjakan, termasuk merawat Nita. Semuanya deh!" Radit berpamitan. Aku hanya bisa mengangguk, dan menikmati udara pagi di depan teras. Melihat bunga-bunga yang b
Aqilla mendekatiku dan duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan sayunya. Matanya sudah mulai berkaca-kaca, bibirnya bergetar tanpa suara. Aku tahu, rindunya pada Mas Attar sangatlah besar. Sejak kecil dia selalu menanyakan Hilman yang sudah dikebumikan, lalu beralih bertanya mengenai Mas Attar karena tetangga julid yang mempengaruhinya."Iya," Mau tidak mau, aku memberitau kenyataan ini pada Aqilla.Rasanya sudah lelah untuk menyembunyikan hal yang seharusnya memang diketahui oleh anak itu. Meski ada rasa tidak nyaman dalam sudut hatiku yang terdalam, tidak ingin keegoisan ini menyelimuti hati dan membuat anak-anak malah menjauhiku."Mama rela aku menemuinya?" tanya Aqilla dengan suaranya yang lirih."Kenapa kamu bertanya seperti itu pada mamamu?!" tanya Radit dengan ekspresi yang datar.Aqila menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah pamannya dengan tatapan yang entahlah, aku pun menatap Radit dengan kesal. Bagaimana lelaki itu bisa berucap seperti itu, tapi aku tahu dia hanya meng
"Emang apa yang aku lakukan?" tanyanya dengan pongah dan menaikkan dagunya. Aku tidak menyangka, wanita ini sama dengan ibunya dulu, yang sering sekali menggangguku. Bagaimana aku bisa bertahan dengan mereka sebagai tetanggaku. "Baiklah, dari pada kita ribut dan cari pembenaran sendiri, maka lebih baik kita bawa masalah ini ke ranah hukum. Ini sudah perbuatan yang sangat tidak manusiawi, dan mengancam nyawa. Juga nanti akan ketahuan saya selingkuh dengan Radit atau tidak!" Kembali, aku menekankan setiap kata-kata yang keluar. Bisik-bisik kembali terdengar, aku bukan merasa sok atau apalah, cuma menghindari hal yang paling menakutkan dikemudian hari. Belum apa-apa, sudah ada yang berani melakukan hal keji seperti ini. Apa lagi jika aku hanya diam dan menerima semua gosip murahan yang mereka lakukan. Bisa saja mereka berbuat seenaknya. "Lebih baik kalian bubar, dan biarkan ini ditangani oleh polisi,' ujarku dengan tatapan sinis. Satu persatu mereka pergi dengan wajah pias, ini sudah
Aku dan Radit. tentu saja panik mendengar Nita yang terjatuh entah di mana dan aku yakin ini ada campur tangan orang lain, karena setahuku, Nita adalah wanita yang sangat hati-hati dalam segala hal. Tidak mungkin pula dia terjatuh karena terpleset, saat ini bukan musim hujan."Tenang, Dit. Jangan sampai kita juga ikut celak," Aku memperingatkan Radit yang mengemudi terlalu cepat. "Pasti ada yang menolongnya, tidak mungkin dia sendirian di jalan! Mbak tahu kamu khawatir, tapi kamu juga harus bisa menguasai diri kamu untuk saat ini!" imbuhku, karena Radit semakin terlihat gugup.Radit tidak menjawab pertanyaanku, atau pun melihat ke arahku. Pandangannya terlalu fokus ke depan. Hingga kami kembali ke rumah dan dengan cepat dia turun untuk mencari Nita. Aku sedikit aneh, karena melihat beberapa orang ada di teras rumah dan sebagian ada di halamn rumah. Seperti sedang membicarakan sesuatu, aku yakin ini mengenai kejadian Nita yang terjatuh."Permisi, Bu," sapaku seramah mungkin.Namun, aku
Aku menoleh ke arah radit, dan tertawa dengan sangat lepas, menertawakan pertanyaan konyol dari lelaki yang selalu ada saat aku butuhkan sejak dulu. Dia-lah adik sepupu, rasa adik kandung."Kamu tahu usia mbak berapa?" tanyaku dan Radit mengangguk. "Wanita seusiaku, tidak ada yang memikirkan untuk menikah lagi, sudah memikirkan bagaimana untuk bekal akhirat dan melihat anak-anak bahagia. Jadi buang pikiranmu yang ane itu!" ujarku dengan gelengan kepala.Tidak habis pikir, kenapa bisa ada kata-kata seperti itu yang muncul darinya. Apakah ini yang membuatnya tidak semangat hari ini. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh padanya, takut dia malah bertanya hal-hal aneh lagi. Diam ... diam lebih baik, untuk saat ini.Sesekali aku melirik ke arah radit yang tidak nyaman dengan posisinya, apakah dia sedang sakit atau sedang menahan sesuatu. Namun, aku juga mendengar beberapa kali dia menghela napas berat, adakah kaitannya dengan pertanyaannya tentang kesendirianku. Lama-lama aku juga kesal meli